Alexa Dana Queenara Hanum adalah wanita yang merasa sangat beruntung di dunia. Ia mendapatkan karier yang mapan di usianya yang masih muda. Pertemanan yang erat, dan keluarga yang sangat mendukungnya.
"Hai Dan," kata Putri pada Dana. Ia menemui teman-temannya setelah mereka berpisah cukup lama. Sekitar 6 bulan lalu ketika terakhir kali mereka berkumpul.
"Kok diganti sih nama groupnya?" Dana membuka pembicaraan tak lama setelah ia datang.
"Loh kita girls support girls Dana, jangan salah," kata Fina menjawab.
"Ini bukan girls support girls Cik, ini ngingetin aku buat nikah namanya," Dana sedikit kesal karena tingkah Fina.
"Apaan sih?" kata Putri penasaran. Dia lalu membuka HP dan tertawa melihatnya.
"Sama siapa?" Putri tak bisa menahan tawanya. Mereka berdua melihat Dana secara bersamaan. Berharap Dana akan menjawab pertanyaan mereka.
FINA MENGGANTI NAMA GROUP " 23 JATAH DANA NIKAH"
PUTRI MENGGANTI NAMA GROUP "DANA KAPAN KAWIN"
DANA MENGGANTI NAMA GROUP " SUKSES BESTIE"
FINA MENGGANTI NAMA GROUP " CALON DANA MANA? YOK BISA YOK 23 NIKAH"
"Ih udah dong ngeledek mulu!" Dana menampilkan ekspresi cemberut pada mereka berdua. Mereka hanya tertawa melihat tingkah Dana.
"Lagian keluarga kamu aneh sih Dan, masa kamu harus nikah umur 23 sih? Dikira masih jaman Siti Nurbaya?" kata Putri meledek.
"Namanya juga orang tua."
"Jadi mana calonnya?" tanya Fina menyelidik.
"Ya, belum ada," Dana menjawab pertanyaan Fina dengan santai.
"Yah, gimana sih" Putri tampak kecewa mendengarnya.
Tiga orang sahabat itu lalu melanjutkan percakapan dengan topik yang lain.
Keluarga Dana memang sedikit aneh dengan tradisi menikah di umur 23. Sebenarnya hal itu merupakan harapan dari keluarganya agar Dana sama seperti nenek, ibu, tante dan om nya yang menikah di usia 23 tahun. Ia tak tau mengapa, tapi hal tersebut sedikit banyak mengganggu pikirannya.
Dana yang sebenarnya 23 tahun belum pernah punya pacar pun sangat sebal jika ditanya tentang pasangan.
"Mana pacarnya? Pacarnya orang mana? Kok sendiri aja? Sudah ada pacar belum, kenalin dong sama budhe, kapan nikah?" pertanyaan yang hanya bisa dijawab dengan "Doain saja budhe, tante. InsyaAllah secepatnya kok doain ya." Hal tersebut terkadang membuat Dana malas bertemu orang.
Setelah bertemu Putri dan Fina, Dana langsung pulang ke rumah. Ia terlihat lelah karena telah lama tak membuang energinya untuk mengobrol dengan orang lain.
"Sudah pulang? pergi kemana aja tadi?" kata mama yang menyambut Dana di depan rumah.
"Sudah, cuma ke caffe sama Fina dan Putri di Cangkir" katanya singkat.
Mama tiba-tiba menariknya untuk duduk di ruang tamu. Ia membuka percakapan dengan Dana.
"Nduk? kamu ingat gak sama anak temennya mama yang dulu adek kelas kamu?" kata mama dengan serius. Dana langsung mengerutkan dahi. Jujur Ia lupa siapa orang yang dimaksud mama. "Yang kuliah di pertanahan itu," mama mencoba membuatnya ingat.
"Oh, ingat. Kenapa?" Jawab Dana dengan santai.
"Dia udah selesai pendidikan," kata mama semakin bersemangat.
"Lalu?" Dana masih tak mengerti maksud dari ucapan mama.
"Kamu belum punya pacar kan?" tanya mama menyelidik.
"Belum, terus?" Tanya Dana yang masih tak mengerti.
"Kamu gak pingin kenalan dulu sama dia?" kata mama tanpa basa-basi.
"Mama masih mau ngejodoh-jodohin aku sama dia?" Dana sedikit kaget mendengar ucapan mama. Ia sampai mengubah posisinya dari duduk langsung berdiri.
"Duduk dulu, kan mumpung kamu libur, dia juga belum berangkat tugas. Apa salahnya ketemu dulu kan? kalau cocok ya lanjut, kalo enggak ya sudah. Kamu itu sudah 23 tahun, masa belum pernah bawa pacar ke rumah."
"Mah, Aku kenal saja tidak, tahu orangnya aja tidak, walaupun satu SMP dan SMA, tapi aku belum pernah ketemu sama dia. Lagian dia lebih muda dari aku, mama yakin mau jodohin aku sama dia?" dari awal, Dana memang sangat ragu akan perjodohan ini. Walaupun Ia bersekolah di tempat yang sama dengan laki-laki itu, Dana tak pernah melihat dan mengenal orangnya. Ia hanya tau orang itu dari cerita mama.
Dana bahkan tak penasaran sama sekali tampang dari orang yang selalu dibicarakan mamanya. Usianya 2 tahun lebih muda darinya. Adek sepupunya saja 5 tahun lebih muda. Baginya tak ada alasan apapun untuk penasaran dengan orang yang usianya 2 tahun lebih muda darinya. Bagi Dana, dia tak lebih dari sekedar anak kecil.
Semuanya bermula dari 2 tahun yang lalu. Mama bekerja di tempat yang sama dengan tante Hesti. Dia adalah mama dari laki-laki itu. Dia ingin menjodohkan anaknya yang saat itu masih kuliah dengan Dana. Tante Hesti tau soal Dana semenjak SMP. Saat SMP Dana memang aktif di berbagai kegiatan sekolah. Marching Band sekolah, juara PMR di Propinsi, bahkan 10 besar nilai UN tertinggi di SMP. Tak heran, namanya sering terpajang di majalah sekolah. Bahkan mading utama.
Dari sanalah awal mula tante Hesti ingin menjodohkan Dana dengan anaknya. Sebenarnya ia heran, dari sekian banyak orang yang jauh lebih cantik dan lebih populer di SMP nya saat itu, kenapa Dana yang ingin dijodohkan dengan anaknya. Awalnya Dana tak tau, sampai ternyata Tante Hesti menelfonnya untuk menanyakan mama, padahal mama tak pernah memberikan nomor telfon anaknya pada tante Hesti. Sangat aneh mengapa dia bisa dapat nomor telfon itu.
Lanjut ke percakapan Dana dan mama.
"Dicoba dulu nduk, agamanya baik, orangnya baik, dari keluarga baik juga, lalu apa yang salah?" kata mama membujuk. Jujur Dana pasrah akan hal itu. Siapa yang bisa menentang kemauan mama. Selama ini ia selalu saja menurutinya. Mulai dari memilih sekolah, Memilih jurusan, bahkan memilih apa yang akan ia lakukan. Bagaimana ia bisa menolaknya kalau begitu.
"Ma, kalau sudah berhubungan dengan perjodohan, itu berarti bukan hanya aku dan dia yang terlibat, ini sudah menyangkut 2 keluarga. Mama yakin?" Dana mencoba memastikan niat dari mamanya.
"Insyaallah," jawab mama mantap. Suasana hening sejenak. Dana masih ragu akan apa yang akan ia lakukan. Disisi lain Dana tak menyukai laki-laki itu. Ia bahkan tak mengenalnya sama sekali. Di sisi lain Dana tak bisa menolak keinginan mama.
"Ketemu dimana?" Dana akhirnya mengalah pada mama.
Mama yang tadinya sangat tegang tiba-tiba sumringah mendengar kata-kata anaknya.
"Sebentar, mama tanya sama tante Hesti, tadi sih niatnya mau di Cangkir, mama pastikan dulu." kata mama bersemangat.
Dana lalu mandi dan menuju dapur. Ia memasak makanan untuk makan malam.
"Nduk," kata mama dari ruang keluarga.
"Ya?" Dana menyahut panggilan mama.
"Besok siang jam 11 di Cangkir." Mama menghampiri anaknya yang sedang sibuk memasak.
"Ya," Dana masih sibuk dengan masakkanya.
Malam harinya, Dana sama sekali tak tidur karna lembur pekerjaan kantor. Ia mengambil sisa WFH dan cuti untuk pulang. Jadi mau tak mau ia harus merelakan jam tidurnya untuk bekerja mengejar deadline. Dana baru tidur setelah subuh. Kepalanya sangat pusing karna kurang tidur.
09.30 WIB
"Nduk bangun, ya ampun kok masih tidur." Mama membangunkannya dengan pelan. Dana hanya menggeliat di balik selimut. Udara di kampung halamannya memang sangat sejuk. Lebih tepatnya dingin sampai ia tak mau beranjak dari sana.
"Ayo bangun, kan ada janji jam 11. Kamu kalo mandi lama, nanti telat." Mama menariknya bangun dari kasur. Dana hanya bisa pasrah mengikuti. Ia di tarik ke kamar mandi dengan mata yang masih menutup.
"5 Menit lagi deh Ma, masih ngantuk," katanya berbalik ke kamar.
"Enggak, nanti bablas tidur lagi kamu." Mama mendorongnya berbalik lagi menuju kamar mandi.
Setelah mandi, Dana sedikit berdandan dan siap untuk berangkat.
10.30 WIB
Dana duduk di depan TV setelah selesai memakai kaos kaki. Ia pikir tak apa terlambat sedikit.
"Kok belum berangkat?" kata mama padanya.
"Ma, cewe tu emang harus datang terlambat, kalau cepet datangnya dikiranya aku yang ngarep, tenang aja. Lagi pula dari sini 10 menit aja, Cangkir juga baru buka jam 10 tadi. Pelayannya masih masak air di dapur." Dana menjelaskan panjang lebar.
"Kalau kesiangan, rejeki bisa dipatok ayam. Kalau terlambar, jodoh bisa diambil orang. Dah cepet berangakat!" kata mama pada anaknya.
"Iya, ini mau berangkat." Dana berangkat ke cafe yang sudah disepakati sebelumnya. Cafe yang sama dengan tempat Ia, Fina dan Putri bertemu. Entah mengapa di kotanya hanya cafe ini yang lumayan menjanjikan untuk dijadikan tempat nongki.
...****************...
Dana datang lebih awal dari orang yang akan ditemuinya. Mungkin, karena ia tak tau orang yang akan di temui seperti apa, ia hanya berfikir untuk langsung mengambil menu dan duduk di pojok cafe. Tepat duduk di dekat kasir, supaya ia tau orang yang akan masuk dan keluar dari cafe itu. Dana melihat ada beberapa orang disana. 2 Pasangan di arah jarum 9 dan 2 orang laki-laki yang mungkin lebih tua darinya. Ia menyimpulkan orang itu belum datang.
Dana membolak-balik menu disana. Pagi ini ia belum sarapan, jadi Dana memesan menu makan berat dan 1 gelas besar mojito. Jam telah menunjukan pukul 11.15 WIB.
"Telat!" katanya bermonolog. Dana menghela napas kesal karena orang yang ditunggu tak kunjung datang. Akhirnya Dana memutuskan untuk menelfon mama karena sudah terlampau lama ia menunggu.
"Ma, yang mana sih orangnya? Aku sudah nunggu 20 menit di sini dan dia belum datang. Makanan yang aku pesan saja sudah dateng. Pokoknya, kalau makananku abis dia belum datang aku pulang!" Dana terlihat sangat kesal di telefon. Ia menutup telfonnya dengan kesal.
"Tok-tok," seseorang mengetok meja. Ia lihat seorang laki-laki tinggi memakai kacamata di depannya.
"Kak Dana?" tanyanya dengan wajah datar.
"Iya," Dana membalasnya dengan tatapan dingin.
"Aku Awan,"
"Oh, duduk!" Dana menjawabnya dengan singkat.
"Aku ambil laptop dulu, tadi aku duduk disana soalnya." Laki-laki itu menunjuk bangku yang ada di pojok ruangan. Mata elang Dana mengikuti arah dimana tangan Awan menunjuk.
"Oke," Jawabnya singkat. Awan berbalik dan membereskan beberapa barang-barangnya yang ada di meja.
"Dia sudah dari tadi? kapan dia masuk? tunggu, berarti dia tau aku duduk disini dari tadi?" Dana bermonolog dengan dirinya lagi. Ia heran karena tak ada seorangpun datang saat ia duduk di sini. Dana melihat kearah luar sehingga bisa dipastikan jika Awan sudah disana sebelum Dana datang.
"Kalau itu benar, berarti dia membiarkanku menunggu 20 menit di sini sembari dia duduk di sana?" Dana berbicara dalam hati. Ia menghela napas tak percaya.
Awan duduk di depannya. Dana memperhatikan barang bawaan yang dibawa laki-laki itu. Sebuah laptop dan minuman dengan cepat memenuhi meja di depan mereka.
"Sudah lama?" Dana bertanya membuka pembicaraan.
"Dari jam 9 tadi sih, lagi ngerjain projek soalnya sebelum penempatan" Awan masih sibuk membereskan barang-barangnya.
"Kamu liat aku duduk disini dari tadi?" Dana bertanya padanya.
"Liat, cuma gak expect itu kak Dana aja, sorry aku agak lupa muka kakak, baru sadar tadi dengar pas telfon."
"Ya sudah, aku sambil makan soalnya belum sarapan tadi, kamu sudah makan?" Dana mencoba menghilangkan rasa kesalnya pada Awan. Lebih baik ia mencoba untuk berfikir positif daripada kesal pada orang yang baru ia temui hari ini.
"Sudah," jawabnya singkat.
Dana menyendok sedikit demi sedikit spagetti yang di pesan. Tak ada percakapan diantara mereka untuk beberapa saat. Ia sudah mendapatkan kesan pertama yang buruk dari laki-laki itu. Awan hanya memainkan HP tanpa menghiraukannya makan.
"Kamu kenapa datang kesini?" Dana membuka percakapan.
"Buat nemuin kak Dana lah," jawabnya singkat.
"Kamu tau kan ini perjodohan?" tanya Dana tanpa basa-basi.
"Iya."
"Lalu, kamu masih datang kesini setelah tau?" Dana mengajukan pertanyaan lagi pada Awan.
"Iya," Dana mengubah posisi duduknya setelah mengengar jawaban itu. Menurutnya tak ada orang waras yang akan datang jika dijodohkan orang tuanya seperti ini.
"Why? i mean, kamu bukan seperti orang yang mau dijodoh-jodohkan." Dana mengernyitkan dahi. Matanya memicing menunggu jawaban dari Awan.
"Kak Dana juga, kenapa mau dateng kesini?" Awan mengubah posisi duduknya dan ganti menatap Dana dengan tatapan liciknya.
"Saya tanya sama kamu duluan, siapa tadi nama kamu, Awan?"
"Iya, Awan." jawabnya singkat.
Dana masih menatapnya dengan sedikit kesal.
"Sepertinya jawabanku akan sama seperti jawaban kamu " Awan merubah posisi duduknya, menyandar di kursi.
"Your mom?" Dana mencoba menebak apa yang dimaksud oleh Awan.
"Yap!"
Dana hanya tersenyum sinis padanya. Ternayata alasan Awan tak jauh berbeda dengannya.
"Terus bagaimana? mau di lanjutin?" Dana bertanya padanya spontan.
"Jadi aku yang memutuskan mau lanjut atau enggak?" Awan terlihat antusias mendengar pertanyaan kakak kelasnya itu.
"No, Aku tanya pendapat kamu." Dana terlihat kaget mendengar ucapan Awan.
"Kalo aku sih, ayo-ayo aja," Awan menjawabnya dengan enteng. Ia mengubah posisi duduknya lagi ke posisi semula.
"Kamu gak gay kan?" pertanyaan itu tak sengaja keluar dari mulut Dana.
Awan hanya tertawa mendengar pertanyaan konyol dari kakak kelasnya itu.
"Kalaupun gay kenapa?" Awan balik bertanya pada Dana. "Bukannya orang luar negeri juga banyak yang gay? harusnya kamu lebih open minded dengan hal seperti itu," katanya melanjutkan.
"Kamu tau aku pernah ke luar negeri dari mana?" Dana terlihat kaget mendengar ucapan Awan.
"Mama cerita banyak soal kamu, sampai aku bosan mendengarnya." Awan kembali sibuk mengaduk minumannya.
"Jadi kamu gay?" Dana memastikan jawaban dari lawan bicaranya itu.
"Untungnya sih enggak," jawaban Awan sedikit membuatnya lega.
"Lalu? maksudnya aku masih gak paham. Laki-laki seperti kamu harusnya gampang banget buat dapet cewe, terus kenapa malah memilih untuk dijodohkan? sama aku lagi yang sebenarnya gak kamu kenal sama sekali kan?" Dana bertanya panjang lebar.
"Kak Dana bagaimana? kenapa mau dijodohkan sama aku? kak Dana juga kan baru kenal sama aku, belum pernah ketemu aku, kenapa mau?" Awan menunjukan ekspresi yang tak bisa Dana tebak. Entah dia ingin memastikan atau meledek pertanyaan Dana yang terus berualang.
"Siapa yang bilang mau? kita jujur-jujuran aja deh, Aku datang kesini ya karena gak mau ngecewain mama aja, aku gak bisa nolak kemauan mama aku."
"Nah sama, jadi kita deal?" Awan terlihat antusias menanggapinya. Ia mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
"Deal untuk apa?" Dana spontan menepis tangannya.
"Nikah kontrak!" Jawabnya dengan yakin.
"Kamu gila? nikah itu sesuatu yang sakral, ibadah. Kamu mau main-main sama tuhan?" Dana terlihat sedikit kesal dengan tanggapan Awan setelahnya.
"Yasudah, jadi kak Dana yang nolak kan?" Awan terlihat bersemangat. Dana mengubah posisi duduknya. Ia benar-benar tak menyangka kedatangannya ke tempat itu hanya untuk membicarakan hal tak masuk akal dengan Awan.
"Sepertinya percuma saya dateng kesini." Dana tersenyum sinis pada Awan.
"Akan lebih percuma lagi kalau aku gak dapat jawaban apapun dari kamu," Awan menimpali perkataan wanita yang duduk didepannya. Cukup lama sampai Dana menanggapi perkataan Awan.
"Oke, bilang ke mama kamu, aku menolak perjodohan ini. Aku gak mau dijodohkan dengan orang seperti kamu. Dan sepertinya tak ada yang bisa dibicarakan lagi disini. Saya permisi!" Dana memutuskan untuk berdiri dan meninggalkan Awan.
Dana benar-benar marah padanya. Ia tau jika ini adalah perjodohan. Tapi ia tetap tak bisa mempermainkan pernikahan.
Dana berjalan menuju parkiran setelah membayar bill. Ia melirik Awan yang masih duduk menikmati minuman yang dipesannya. Dana memutuskan untuk masuk ke dalam mobil.
Dana pulang dengan perasaan marah dan kesal. Ia merasa seperti membuang-buang waktu untuk bertemu dengan laki-laki itu. Mungkin lebih tepanya ia kesal karena ternayata laki-laki pilihan mama tak seperti yang ia dengar.
"Baik? keluarga baik-baik? agamanya bagus? hah bulshit!" Dana menggerutu di dalam mobil.
"Apa sih yang aku harapkan dari seseorang yang 2 tahun lebih muda dariku? untung aja ketauan di depan, benar-benar gak bisa membayangkan kalau aku nikah sama orang kaya gitu" Ia benar-benar mengutuk kebodohannya sendiri yang menyetujui untuk datang menemui seseorang yang bahkan ia tak pernah kenal sebelumnya.
Sesampainya di rumah, Dana menghela nafas berat. Ia akhirnya memutuskan untuk masuk ke rumah.
"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsalam, sudah pulang?" kata mama padanya.
"Sudah," tanpa basa-basi Dana masuk dan menuju kamarnya. Mama sedikit heran dengan tingkah anak perempuannya itu.
"Bagaimana Awan? baik kan?" pertanyaan mama membuat Dana mengernyitkan dahi. Dana memilih tak menjawab pertanyaan itu.
Jujur ia tak sampai hati memberi tahu jika pilihan mama sangatlah buruk. Tapi perempuan itu juga tak tau harus berkata apa dengan mamanya. Apa ia harus menceritakan hal yang sebenarnya atau hanya akan megatakan jika dirinya tak mempunyai kecocokan dengan laki-laki itu.
Dana melihat mama menyusul di belakang.
"Mama mau jawaban seperti apa?" kata Dana membuka pembicaraan.
...****************...
Dana sangat sebal dengan ketidak sopanan Awan padanya.
"Aku kan kakak kelas dia, benar-benar gak ada sopan santunnya, itu yang suka dibangga-banggain nyokap?" Dana mengerutu saat masuk kamar. Mama menyusulnya masuk ke kamar setelah membereskan beberapa tanaman Anggerek yang ia tanam sendiri.
"Kamu ditanya mama kok malah mlengos?" mama masih berdiri di depan pintu kamar anak perempuannya.
"Mama mau jawaban seperti apa?" kata Dana membuka pembicaraan.
"Dia baik kan? cocok enggak?" tanyanya penasaran.
"Aku gak mau dijodohin sama dia," Dana hanya menjawab singkat pertanyaan mama. Dana tau tak seharusnya ia mengatakannya. Tapi setidaknya ia harus jujur tentang ini pada mama.
"Kenapa? gak cocok?" mama menghampirinya dan duduk di atas kasur.
"Iya ma, gak cocok, sama sekali gak ada kecocokan antara aku sama dia," Dana tampak tak bisa menjelaskan alasan yang sebenarnya pada mama. Ia tak bisa mengatakan jika laki-laki itu menawarkan nikah kontrak padanya. Mama bisa sangat kecewa dibuatnya. Apalagi mama dan tante Hesti bekerja di tempat yang sama. Pastilah itu akan mempengaruhi pekerjaan mereka. Mama cukup memahami putrinya saat itu. Mungkin karna Dana sudah terlihat sangat kesal ketika pulang.
'Cukup diam. lagi pula aku tak akan pernah menemuinya lagi 'kata Dana dalam hati.
Sore harinya, Dana bersiap untuk pergi ke Jakarta. Besok ia akan menaiki kereta jam 4 sore sehingga mau tak mau harus bersiap dari sekarang. Dana mengemas baju dalam koper berukuran sedang. Ia memang tak banyak membawa baju mengingat hanya 4 hari dirinya berada di rumah.
Pagi harinya Dana berangkat ke Jogja. Ia sengaja berangkat pagi agar bisa mengunjungi rumah Tante Ari sebelum kembali ke Jakarta. Mereka membuat janji untuk makan siang hari ini.
"Jadi kemarin udh ketemu?" tanya tante pada keponakannya itu.
"Sudah,"
"Gak cocok?" tante terus mengajukan pertanyaan soal laki-laki yang dijodohkan dengan keponakan kesayangannya itu.
"Enggak,"
"Kenapa?" Dana menghela nafas berat.
Sebenarnya Dana tak ingin menceritakan ini pada siapapun. Sedikit banyak harga dirinya dipertaruhkan atas cerita ini. Ia merasa Awan tak menyukainya dan ia merasa buruk karna tak bisa membuat laki-laki itu menyukainya. Tapi Dana memutuskan untuk menceritakannya pada Tante.
Mama hanya mengantarnya tanpa ikut kami makan siang karena ia harus bekerja. Jadi Dana pikir tak apa menceritakan hal ini pada Tante selagi mama tak tau.
"Dia minta untuk nikah kontrak." Dana masih mengunyah makanan yang ada di mulutnya.
"Hah? kok bisa?" tante terlihat kaget mendengar ucapan keponakannya.
"Ya begitu, aku juga gak tau tan. Mama belum tau soal ini, Tante jangan kasih tau mama ya? yang jelas aku nolak dia. Aku jelas gak akan mau lah nikah kontrak seperti itu." Dana menceritakan nya dengan perasaan yang masih kesal.
"Wah gak bener, sudah kalau memang orangnga seperti itu mending gak usah. Nanti tante carikan kamu laki-laki yang lebih baik, yang benar-benar niat nikah sama kamu." Tante mengusap kepala keponakannya itu. Dana hanya mengangguk mendengarkannya.
Setelah makan siang, Dana berbelanja sedikit keperluan untuknya. Tante memang senang mengajaknya berbelanja. Bisa dibilang Dana seperti anak pertamanya walaupun tante Ari sudah mempunyai 4 anak. Anaknya yang paling besar masih kelas 3 SMA dan dia laki-laki. Ia adalah adek Dana yan mempunyai jarak umur terpaut 5 tahun di bawahnya.
Pukul 3 sore tante Ari mengantarkan keponakannya itu ke stasiun. Dana menaiki kereta tepat waktu. Ia menaikkan koper yang dibawanya ke rak bagasi yang ada di atas kursi penumpang.
Koper yang ia bawa sebenarnya cukup ringan. Tapi tangannya tak kuat menopang koper itu karena ia masih menggendong tas di tangan kirinya. Akhirnya koper itupun hampir jatuh mengenainya. Hampir, jika tak ada yang menolongnya.
"Makasih, hampir aja" Dana tampak lega ada orang yang menolongnya menaikkan koper ke atas.
"Makasih," sekali lagi ia berterimakasih padanya sambil menatapnya.
"Sama-sam..." belum selesai orang itu berbicara, mereka berdua sama-sama terkejut.
"Lo!" mereka menunjuk ke arah masing-masing dengan kaget.
"Wan, ngapain disini?" Dana masih tak percaya jika ia bertemu Awan di kereta.
"Ke Jakarta lah, jelas kan ini kereta ke Jakarta?" nada bicaranya yang menyebalkan sama sekali tak berubah sejak mereka bertemu kemarin.
Dana hanya mematung menahan amarahnya sendiri. Ia tak percaya bertemu dengannya di kereta yang sama. Orang yang tak ingin ia temui lagi ada di depannya. Dana benar-benar kaget dibuatnya. Lebih kagetnya lagi ketika Awan tiba-tiba duduk di samping nomor kursinya.
"Sorry, kursi itu tempatku," Dana masih mencoba berbicara sopan padanya.
"Aku disini, kamu yang disana," katanya pada kaka kelasnya itu. Dana mengendus kesal karenanya. Mau tak mau ia duduk di samping Awan di dekat jendela. Dana duduk memunggunginya. Ia tak mau melihatnya sama sekali. Dana mulai mengambil headset yang ada di ranselnya. Ia memutar lagu sangat keras agar tak mendengar suara Awan atau suara apapun yang akan mengganggunya. Berharap ia melupakan fakta jika Awan duduk di sebelahnya. Dana hanya melihat pemandangan di luar jendela.
Kereta yang berhenti sudah kembali berjalan. Tak lama seorang masinis berkeliling mengecek tiket penumpang. Dana tak mendengar jika masinis tersebut memanggil namanya karna lagu yang ia putar cukup kencang.
"Woy tiket!" kata Awan sedikit berteriak. Refleks Dana menengok ke arahnya ketika salah satu headset yang ada di telinganya dilepas oleh laki-laki itu. Segera ia mengeluarkan tiket yang ada di ransel merahnya.
"Ini pak," Dana menyerahkan tiket yang dipegangnya. Ia sedikit gugup dan malu saat itu.
Dana merasa sangat sial duduk di samping Awan.
"Makanya mba, kalo dengerin lagu jangan keras-keras." Awan melipat tangannya ke depan. Ia terlihat sangat puas karna bisa menyindirku.
"Suka-suka lah," Dana mejawabnya dengan nada sinis.
"Suaranya sampai kedengeran keluar tau?" kata Awan padanya.
"Bukan urusan kamu," Dana menatapnya dengan sinis.
"Urusan aku lah, mengganggu! Kamu gak lihat aku lagi baca?" laki-laki di sebelahnya itu menunjukkan buku yang dari tadi dibacanya.
Akhirnya Dana mengalah dan mematikan musik yang didengarkan dari tadi.
"Puas!" Dana melihat pemandangan diluar jendela. Ia memikirkan tentang mama yang pasti kecewa dengan keputusannya. Dana memikirkan masa depannya yang masih tak berbayang. Siapa laki-laki yang nantinya akan menikah dengannya. Apa laki-laki itu akan disukai oleh mama. Semua bayangan dimasalalunya juga nampak disana.
Bayangan akan laki-laki yang selama ini ia tunggu. Laki-laki yang membuatku tak bisa menerima siapapun sampai detik ini.
...----------------...
Flashback!
6 years ago
Kak Sad Dan, kamu dirumah gak? Aku mau ngajak kamu main, mumpung aku lagi dirumah √√
^^^Dana Wih asik traktiran, kemana?^^^
Kak Sad Cangkir aja kali ya yang deket? √√
^^^Dana Oke, jam berapa?^^^
Kak Sad Nanti aku kabarin, Aku lagi di rumah Wisnu√√
^^^Dana Oke!^^^
Kak sad adalah sepupu dekat Dana. Mereka cukup dekat karna mereka bersekolah di tempat yang sama. Kak Sad 2 tingkat di atasnya. Dana sudah menganggapnya seperti kakak kandungnya. Ia memang anak pertama, jadi Dana merasa sangat senang jika punya kakak sebaik kak Sad.
Kak Sad Jam 11 ya Dan, pas makan siang√√
^^^Dana Siap!^^^
Dana cukup senang karna kak Sad pulang. Fyi dia sudah lulus dari kampusnya. Sementara Dana masih SMA saat itu. Kak Sad mengambil jurusan keuangan D1.
Dana menunggunya di Cafe cangkir. Ia datang lebih awal karena harus mengerjakan sesuatu yang memerlukan wifi. Dana membuka laptopnya. Pendaftaran UTUL UGM. Dana siswi kelas 12 yang akan menghadapi ujian masuk universitas saat itu. Ia berkutat dengan laptop di depannya sambil memakan kentang goreng yang dipesan. Cukup lama menunggu hingga akhirnya ia melihat Kak Sad Datang.
"Wih, rajin banget?" kak Sad menyapanya dengan celetukan khas seperti biasanya. Dana hanya tersenyum melihatnya.
"Ngapain?" ia mengintip ke balik laptop yang masih terbuka.
"Gak papa, sudah selesai kok tinggal shutdown." Dana menutup laptopnya dan menyimpannya di kursi sebelah tempat duduknya yang kosong.
Dana tak sengaja melihat ke arah belakang kak Sad, dilihatnya orang yang tak asing datang dari pintu.
"Gak papa kan aku ajak Wisnu?" tanya kak Sad padanya.
"Ya gak papa lah," Dana tampak ramah tersenyum pada kak Wisnu.
"Hai dek," kata kak Wisnu tak kalah ramah.
"Hai, sudah libur juga kah kak?" Dana mencoba untuk basa-basi dengannya. Jujur ia tak begitu mengenalnya. Dana hanya tau jika dia 1 kelas dengan kak Sad. Mereka ber 2 baru bertemu secara langsung dan mengobrol di saat itu.
Dana berbincang banyak dengan mereka. Tentang issue yang ada di SMA sekarang, sampai gosip tentang orang yang mereka kenal.
"Kamu kalau mau tanya tentang biologi aku bisa lah jawab, tapi kalo MTK aku nyerah pokoknya. Kamu bisa tanya Wisnu soal itu, Anak olimpiade!" kata Kak Sad padanya.
"Oh iya kak? wah mantap, kalau gak keberatan boleh kan nanti aku tanya-tanya?" Dana bertanya padanya dengan sedikit canggung mengingat ia belum terlalu mengenalnya.
"Boleh lah, masa enggak," kata kak Wisnu ramah padanya.
Mereka mengobrol sampai sore. Entah mengapa perbincangan mereka sangat asyik walaupun Dana baru mengenal kak Wisnu. Bahkan ketika kak Sad pergi cukup lama ke kamar mandi, Dana tetap membicarakan banyak topik dengannya.
"Nanti DM (Direct message) saja kalo mau tanya soal MTK dek, aku dah follow instagram kamu." kata kak Wisnu pada adek kelasnya itu.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!