Pagi yang cerah, di dalam sebuah kamar kecil dari rumah yang sederhana itu, Shifa Almadinah sedang bersiap-siap untuk pergi ke sekolahnya. Ya, dia bergegas pergi ke sekolah hari ini karena hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu olehnya terutama kedua orang tuanya.
“Semoga hari ini menjadi hari yang seperti aku harapkan," gumam Shifa dalam hati.
“Shifa , ayo sarapan dulu," ucap Bu Dahlia dari dapur sambil berjalan menuju meja makan.
“Baik Bu...," jawab Shifa dari dalam kamarnya.
Di meja makan terlihat Khaula dan Hafsa sedang menikmati sarapannya dan sudah memakai seragam sekolah. Setelah beberapa menit Shifa keluar dari kamarnya menuju meja makan.
“Selamat pagi kak Shifa ku yang cantik," sambut Khaula.
"Apakah kakak sudah siap untuk melihat hasil pengumuman kelulusan kakak?”
Shifa tersenyum, "Insyaa Allah sudah dik. Kakak berharap semoga hasilnya baik."
“Semoga kakak lulus dengan nilai terbaik ya dan bisa mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri seperti yang kakak impikan," Hafsa mengatakan dengan lembut dan penuh harap kepada kakak tersayangnya itu.
“Aamiin," balas Ibu Dahlia yang dari tadi sudah berada di meja makan.
Shifa terlihat bahagia karena ia memiliki keluarga yang mendukungnya dalam kedaan apapun.
“Setelah ini, ibu akan pergi ke rumah sakit untuk mengantarkan sarapan ayah. Kalian hati-hati yaa pergi ke sekolahnya," Bu Dahlia mengatakan dengan lembut.
“Baik Bu," balas ketiga anak perempuannya.
***
Setelah sampai di sekolah, beberapa menit kemudian pengumuman pun dimulai. Kepala sekolah SMA Negeri X mengumumkan bahwa Shifa Almadinah terpilih sebagai siswa lulusan terbaik di sekolahnya dan berhasil lulus tes untuk mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri di salah satu universitas di negara Eropa.
“Alhamdulillah," ucapnya dengan penuh rasa syukur.
Shifa tak pernah sekolah di swasta. Ia selalu lulus di sekolah negeri karena kecerdasannya dan jika tidak maka orang tuanya tak akan sanggup membayar biaya sekolah Shifa karena ayahnya bangkrut dan jatuh sakit. Sejak duduk di sekolah dasar, Shifa selalu mendapatkan juara dan menjadi siswa terbaik di sekolahnya.
Teman-temannya pun senang berteman dengannya karena Shifa gadis yang bukan hanya cerdas dan cantik tapi memiliki kepribadian yang baik, lembut, sopan serta tidak sombong.
Shifa bergegas pulang menuju rumah sakit untuk memberitahu Ayah dan Ibunya bahwa ia lulus dengan nilai terbaik serta mendapatkan beasiswa kuliah ke luar negeri dan itu pasti membuat orangtuanya bangga dan bahagia.
Di dalam kamar pasien, Shifa memberitahu Ayah dan Ibunya atas apa yang ia dapatkan.
“Ayah sangat bangga padamu nak, semoga Allah memberkahi perjalananmu untuk menuntut ilmu ke luar negeri," Pak Syukron berkata dengan penuh arti.
“Terima kasih Ayah," Shifa membalas perkataan ayahnya dengan sendu.
“Ibu juga akan selalu mendo’akan mu nak, semoga kamu berhasil dan bisa menjadi kebanggan keluarga," Bu Dahlia mengatakan dengan tulus sambil mengusap kepala putrinya itu."
Shifa menangis penuh haru karena mendengar do’a tulus dari kedua orantuanya sehingga ia tak perlu cemas untuk pergi ke luar negeri karena kedua orantuanya mendukungnya.
“Ayah, Ibu, terima kasih atas do’a nya. Shifa akan bersungguh-sungguh untuk meraih mimpi Shifa. Itu semua Shifa lakukan untuk Ayah dan Ibu. Semoga Ayah dan Ibu baik-baik saja saat Shifa berada disana dan semoga Ayah segera sembuh."
Mereka adalah keluarga yang saling menyayangi dan memiliki ilmu agama yang baik.
Waktu berjalan begitu cepat. Shifa segera berangkat ke luar negeri untuk melanjutkan sekolahnya.
Di bandara, Bu Dahlia, Khaula dan Hafsa sudah berdiri di samping Shifa sambil menunggu jadwal penerbangan Shifa.
“Bu, beberapa menit lagi Shifa akan berangkat. Ibu, Khaula dan Hafsa hati-hati disini yaa," Shifa berkata kepada tiga perempuan yang ia sayang itu.
“Iya nak, jaga dirimu disana. Jangan lupakan apa yang ibu selalu pesankan keapada kamu sebagai pelindung dirimu," ucap Bu Dahlia.
Khaula berkata sambil meneteskan air mata, "Kakak jangan lupakan kami yaa."
“Tidak, kakak tidak mungkin melupakan adik kakak yang jail ini."
“Kakak jangan lupa menghubungi kami disini," gumam Hafsa.
“Tentu adikku yang cengeng, heheh," Shifa tertawa sedikit untuk mencairkan suasana.
Shifa yang sudah tenang karena telah berpamitan dengan ayahnya di rumah sakit sebelum ia, ibu dan adik-adiknya pergi ke Bandara.
“Assalamu’alaykum Bu," ucap Shifa sambil mencium tangan ibunya.
“Wa’alaykumussalam," jawab ibu dan kedua adiknya.
***
Di negara X yang merupakan salah satu negara di Eropa, dimana Shifa akan menuntut ilmu. Di salah satu restoran terlihat duduk seorang pemuda tampan namun memilki karakter yang dingin dan menakutkan bersama dengan tangan kanannya sedang menunggu seseorang.
“Dimana dia ? Kenapa lama sekali. Waktuku tidak banyak hanya untuk menunggu seperti ini," desisnya.
“Mungkin sebentar lagi tuan, dia akan datang," jawab seorang pria disampingnya yang merupakan orang kepercayaannya itu.
“Kau kan memang selalu membelanya, tidak heran," balasnya lagi.
“Maaf tuan," Marcel mengalah.
Tak lama setelah kedua pria itu berbincang, seorang wanita cantik berambut panjang, bertubuh tinggi dan elegan berjalan masuk menuju restoran itu.
“Maaf kak Zano menunggu lama hehe…," Celine mengatakan sambil tertawa sedikit kepada Revano Alzano yang merupakan sepupunya itu.
“Kebiasaan," ketus Zano yang sudah biasa mendengar alasan sepupunya itu.
“Kau tak meminta maaf padaku ?" tanya Marcel.
Tanpa memperdulikan perkataan Marcel, Celine duduk di samping di antara mereka berdua sambil memesan beberapa minuman dan makanan untuk mereka.
“Bagaimana dengan kuliahmu tahun ini ?” tanya Zano.
“Yeah, aku sudah memilih dimana aku akan kuliah dan aku sudah mengikuti tes juga," jawab Celine dengan ramah.
“Masih di negara ini atau di negara lain ? tapi kau ingatkan uncle Jordan tidak mengizinkanmu untuk kuliah di negara lain," ucap Zano dengan tegas dan wajah dinginnya.
“Well, kak Zano santai aja, aku sudah memutuskannya kok," ucapnya dengan santai tanpa memperdulikan sikap sepupunya itu.
Celine sudah memesan minuman dan makanan untuk mereka bertiga dan menunggu pelayan datang mengantarkan makanannya.
“Aku kuliah disini kok, bahkan aku memilih yang dekat dengan tempat tinggal kita di kota ini juga dan aku lulus," Celine mengucapkannya dengan lantang kepada Zano.
“Dimana ?” tanya Marcel dengan penasaran.
“Nimbrung aja loe Cel," jawab Celine ketus.
“Abis kalian ngobrol sendiri tanpa menghiraukan aku," ucapnya datar.
Dihadapan Celine Marcel tidak kelihatan seperti seorang mafia melainkan seorang pria yang bertingkah seperti sahabatnya sendiri. Berbeda dengan Zano, ia sama dinginnya dengan orang manapun.
“Aku lulus di Universitas X dan akan mulai semester pertama bulan ini," ucap wanita elegan itu.
“Ya sudah aku tak perlu lagi repot untuk membujuk mu dan akan lebih mudah untuk mengawasimu. Hah, andai saja aku tak di perintahkan untuk melakukan ini sama Uncle Jordan," keluh Zano.
“Siapa suruh mau di suruh sama Papa , aku kan tak meminta. Jangan ketus-ketus Zan. Tenang nanti aku carikan gadis yang cocok untukmu di kampus baruku ini supaya kamu merubah sifat kulkasmu itu. Aku sudah bosan melihat sikap dinginmu dari kecil seperti ini. Setuju kan ?” Celine mengucapkannya dengan gaya menggoda.
“Iya jadi kita bisa ngedate couple, benarkan Celine ?" Marcel memotong ucapan Celine.
“Kalian bicara apa sih, hah ? Aku tak ada waktu memikirkan hal-hal semacam itu. Menurutku itu hal yang tak penting," Revano membalas ucapan dua manusia yang berada di samping kanan dan kirinya.
Selesai mereka mengobrol dan menyantap makanan dan minuman di restoran itu, Zano, Marcel dan Celine bergegas pulang ke markas mereka untuk membicarakan pekerjaan mereka sebagai mafia yang belum terselesaikan. Mereka akan bertemu Uncle Jordan dan Tuan Zardo yang merupakan ayah dari Zano.
Di dalam pesawat saat penerbangan, Shifa selalu berdo’a dan melaksanakan ibadah.
Melakukan aktivitas lainnya seperti membaca buku dan mendengarkan beberapa alunan musik menggunakan earphone yang menempel di telinganya.
Ia selalu mempergunakan waktu dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi dirinya.
Sesampainya di bandara negara Eropa tersebut, Shifa berjalan sambil membawa barang-barangnya ke gerbang keluar bandara. Disana sudah terlihat seorang gadis yang memakai hijab seperti dirinya sambil membawa papan berwarna dasar putih yang bertuliskan *Welcome Shifa, I’m waiting you here*.
Shifa tersenyum ramah dan segera menuju ke arah dimana gadis itu berdiri.
“Assalamu’alaykum...Zainab. Thank you for your kindness," ucap Shifa.
“Wa’alaykumussalam Shifa Almadinah. My pleasure friend," balas Zainab.
Zainab merupakan seorang gadis yang berasal dari negara lain seperti Shifa. Ia juga mendapatkan beasiswa dari negara asalnya. Shifa dan Zainab sudah berkomunikasi sebelumnya melalui media sosial sehingga mereka tak canggung lagi ketika bertemu langsung.
Setelah mereka saling menyapa, Zainab mengajak Shifa untuk pergi meninggalkan bandara dan segera menuju ke asrama yang telah disediakan kampus untuk mereka berdua. Kebetulan Shifa satu kamar dengan Zainab sehingga Shifa tak sulit lagi untuk mencari siapa teman sekamarnya.
Di dalam mobil yang sedang berjalan menuju asrama, Shifa dan Zainab sedikit berbincang karena dari bandara ke asrama mereka tak terlalu jauh sehingga mereka mengobrol singkat di dalam mobil.
“How are you today, Zainab ? I hope to meet you for along time," Shifa berbicara sambil menoleh ke arah dimana Zainab duduk.
“I’m very well, Shifa. I hope so," balas Zainab dengan lembut.
Zainab memiliki karakter yang hampir sama dengan Shifa. Namun perbedaan mereka berdua terletak pada sifat Zainab yang lebih ceria dibandingakan Shifa.
Zainab berasal dari keluarga yang kaya sehingga tak sulit baginya untuk membantu Shifa.
“Well…Shifa, aku sudah belajar bahasa negaramu beberapa bulan sebelum aku berada disini. Bagaimana menurutmu ? Apakah sudah baik dalam pengucapannya ? tanya Zainab.
“Maasyaa Allah Zainab, pengucapanmu sudah bagus. Kau cerdas sehingga cepat sekali kamu bisa menggunakan bahasa negaraku. Hehe," tawa Shifa singkat.
“Benar kau mengerti apa yang aku katakan ? Ya aku melakukannya dengan senang hati dan agar lebih mudah berkomunikasi denganmu. Jika aku datang ke negaramu itu akan lebih mudah juga benarkan ? jawab Zainab.
Mereka saling bercanda singkat satu sama lain dan tak terasa mereka sudah tiba di gerbang asrama mereka.
Kedua gadis itu turun dari mobil dan supir menurunkan barang-barang Shifa dari mobil sambil meletakkannya didekat Shifa berdiri. Shifa membayar jasanya dan kemudian taxi itu pergi dan tak terlihat.
“Maasyaa Allah, tak ku sangka asrama kita sebagus ini Zainab," Shifa mengatakan dengan kagum.
“Ya benar Shifa dan kau tahu kamar kita berada di lantai tiga nomor 172," Zainab mengatakannya dengan penuh semangat.
Kemudian mereka berjalan menuju kamar asrama menggunakan lift.
Sesampainya di kamar asrama, Shifa meletekkan barang-barangnya di samping kasurnya.
Terlihat dua kasur mungil berwarna dasar putih. Kasur itu memang disediakan untuk mahasiswa yang tinggal di asrama. Disamping kiri kasur mereka terletak dua lemari mungil untuk masing-masing mahasiswa.
“Inilah kamar kita Shifa selama satu tahun ini," ucap Zainab kepada Shifa dengan aksen yang masih kaku.
“Ya, menurutku ini sudah sangat bagus Zai," Shifa mengatakannya sambil tersenyum.
Zainab membantu teman sekamarnya itu untuk menyusun barang-barangnya.
***
“Zano, bagaimana rencanamu selanjutnya ?” tanya tuan Zardo.
“Aku sudah memikirkannya Ayah, aku akan bertemu dengannya secara langsung malam ini," Zano membalas ucapan ayahnya itu dengan tegas dan dingin.
“Baiklah, tapi ingat kau harus berhasil memastikan kalau dia akan setuju dengan kesepakatan ini."
“Hmmmm…," jawabnya datar.
Tak lama setelah mereka mengobrol Marcel, Uncle Jordan dan Celine datang menghampiri Zano dan Tuan Zardo.
“Marcel, siapkan anggota kita untuk pergi malam ini ke markas Devil Horns," perintah Zano kepada tangan kanannya itu.
“Malam ini Tuan ?" tanya Jordan.
“Yes, I can’t wait much longer," jawab Zano dengan ekspresi datarnya.
Uncle Jordan yang duduk disamping Tuan Zardo menatap Zano dengan seksama.
“Tapi kau harus benar-benar menyusun strategi Zano karena kau tahu kan mereka tidak bisa dianggap remeh," Tuan Jordan mengatakannya dengan serius kepada Zano.
“Ya, uncle. I know that," balas Zano.
Celine hanya duduk diam disamping ayahnya itu dan tak mengatakan apapun karena jika dia ingin ikut, ia tahu ayahnya belum mengizinkannya untuk membantu Zano karena ini adalah misi yang berbahaya.
***
Di sore hari, cuaca terlihat mendung. Di kamar asrama terlihat Shifa yang telah selesai menyusun barangnya dan duduk di dekat jendela. Ia melihat pemandangan di tempat yang akan ia tinggali itu ditemani dengan cuaca mendung.
“Astaghfirullah... aku lupa menelpon Ibu," gumamnya ketika lamunannya terpecah karena ingatannya.
Jaringan Telpon
Tututut….Bunyi nada telpon sedang memanggil.
“Assalamua’laykum Bu...," sambut Shifa.
“Wa’alaykumussalam, Nak," balas Ibu Shifa dengan lembut.
“Bu Shifa sudah sampai di Negara X, dan sekarang Shifa sudah berada di dalam kamar asrama Bu," ucap Shifa.
“Alhamdulillah, syukurlah nak kau sampai disana dengan selamat," Ibu Dahlia membalas perkataan Shifa dengan rasa syukur yang mendalam.
“Bu, bagaimana dengan Ibu, Ayah, Khaula dan Hafsa. Mereka baik-baik saja kan Bu ? tanya Shifa.
“Kami baik-baik saja disini nak. Jaga dirimu baik-baik yaa disana," balas Bu Dahlia.
“Baik Bu… sampaikan salam Shifa kepada ayah, Khaula dan Hafsa yaa Bu," ucap Shifa.
“Iyaa nak...," jawab Bu Dahlia.
Setelah mereka mengobrol kemudian Shifa mengakhiri telpon dengan ibunya, Zainab pun menghampiri Shifa yang masih duduk di dekat jendela kamar mereka.
“Ada apa Shifa, kau terlihat melamun dari tadi. Kau menelpon Ibumu ya ? itulah yang menyebabkanmu melamun sore-sore begini ? tanya Zainab.
“Iya Zai, sebenarnya aku hanya ingin tahu saja keadaan keluarga ku disana. Dan mereka baik-baik saja kok."
“Okeyy, well… lebih baik kita pergi ke luar membeli makanan di minimarket. Bagaiamana, setuju? tanya Zai kepada Shifa yang masih menatapnya.
Zainab mencoba untuk membuat teman sekamarnya itu tidak melamun lagi.
“Iya Zai, tapi mahal gak yaa. Hehehe," Shifa tersenyum malu.
“Aku traktir deh, gimana ? tanya Zai.
“Tapi...,"
Sebelum temannya itu melanjutkan perkataannya, Zainab sudah memotong ucapannya.
“Udah tidak usah sungkan, kau sudah aku anggap sahabatku Shif," Zai mengatakan dengan aksen yang masih kaku.
“Okeyy, thank you so much my best," balas Shifa.
Mereka mengambil jaket tebalnya dari lemari dan segera keluar dari kamar asrama.
Setelah sampai di Minimarket, Shifa dan Zainab mengambil beberapa makanan dan minuman serta beberapa susu kotak.
“Shif, kau suka sekali susu ? tanya Zai.
“Iyaa Zai hehe," balas Shifa sambil tersenyum.
Ketika dua gadis itu memilih makanan dan minuman, seorang wanita cantik masuk ke dalam minimarket yang mereka kunjungi.
“Wah... dua gadis berhijab.Tumben kelihatan disini kan sangat jarang," gumam Celine dalam hati sambil melihat ke arah dua gadis itu.
Ia tak tahu kalau mereka akan menjadi teman sekampusnya.
***
Sesampainya di kamar asrama setelah Shifa dan Zainab pulang dari minimarket mereka segera meletakkannya di dalam kulkas dan Shifa mengambil satu kotak susu.
Malampun telah tiba Zai dan Shifa masih belajar di meja belajar mereka masing-masing.
Malam itu, anggota Black Wolf sudah mempersiapkan anggotanya.
Mereka berkumpul di istana milik Revano Alzano.
Sebenarnya, tempat tinggal Revano itu lebih dari kata rumah melainkan istana yang mewah karena luasnya yang tak terduga.
“Mereka sudah siap kan? Zano berbicara ke arah Marcel yang bediri disampingnya.
“Sudah Tuan," jawabnya singkat.
“Baik, kalau begitu kau ikut aku. Mereka bertindak sesuai strategi yang telah kita rencanakan," Zano mengatakannya dengan serius.
Marcel mengangguk kemudian mereka berjalan menuju mobil yang telah disediakan oleh salah satu anggota Black Wolf.
***
Dikediaman Devil Horns, seorang lelaki yang kejam sedang duduk di ruangan dimana ia dan anggota berkumpul.
“Hahah baiklah, aku memang menunggu kedatangan mereka. Senang rasanya dikunjungi oleh teman lama," laki-laki yang sedang duduk dengan santai itu mengatakan kepada seluruh anggotanya.
Dua orang lelaki bertubuh tegap masuk ke dalam ruangan itu.
“Mereka sudah sampai Tuan," ucap Charles yang merupakan salah satu anggota kepercayaan Devil Horns.
“Ya Tuan, mereka sudah menunggu di depan istana kita," ucap Maxim menambahi perkataan dari Charles.
“Suruh mereka masuk ke ruangan saya. Kita akan bernegosiasi dengan mereka tapi jika mereka tidak menerimanya, maka kita lakukan sesuai apa yang telah kita rencanakan," balas Faelardo.
Revano dan Marcel masuk menuju ruangan dimana Faelardo dan anggotanya berada dan di dalam ruangan itu tampak bahwa dua pemuda yang datang ke ruangan itu berhati-hati karena mereka tau kelicikan dari si ketua Devil Horns itu.
“Silahkan duduk teman lama," Ketua Devil Horns itu menyambutnya dengan gaya mengejek sambil berjalan memeluk Revano.
Revano mundur bertanda tidak ingin basa basi dan masih berdiri di hadapan Faelardo.
“Tak usah tegang sekali Tuan Zano," ucap Faelardo dengan gaya santainya.
“Aku tidak ingin berhubungan denganmu," ketus Zano.
Raut wajah Faelardo seketika berubah menjadi kejam dan sangar sedangkan Zano masih dengan gaya dinginnya.
“Cih... bukankah Ayahmu yang memulai hubungan kita ini,hah ?” balas Faelardo dengan suara kejamnya.
“Hah apa ? kau masih tak tau mana antara lawan dan kawan mu. Mengapa kau begitu bodoh," Zano masih membalas perkataan Faelardo dengan dingin.
Faelardo begitu emosi mendengar perkataan dari mulut Zano dan segera tembakan muncul dari arah yang tak disangka menuju ke tubuh Zano.
“Dor ………..," sekali tembakan dengan dentuman keras terdengar dari istana Devil Horns itu.
Zano tak pernah merasa takut menghadapi kelompok mafia manapun.
Black Wolf merupakan kelompok mafia yang paling ditakuti dan disegani dalam dunia mafia Internasional karena kecerdasan strategi yang dimiliki serta memiliki etika dalam dunia mafia sedangkan Devil Horns kelompok Mafia yang ditakuti dengan aksi kejam dan brutalnya.
“Kau pikir semudah itu menewaskan ku," Zano mengatakan kepada Faelardo sambil mengelak dari peluru yang berasal dari tembakan salah satu anggota Devil Horns.
“Dor dor……," dua kali tembakan menuju ke arah Faelardo dan sebelum peluru tembus menuju tubuh tuannya itu Charles yang dari tadi berada di bealakang tubuh Faelardo seketika menarik tubuh tuannya itu.
“Awas Tuan," ucap Charles.
Faelardo tak menyangka bahwa Marcel memiliki tindakan yang secepat itu.
Di ruangan itu tampak dua kelompok mafia yang sedang melakukan aksi tembak menembak.
Mereka saling mengarahkan pistol ke arah lawan.
“Jika kau tak mengganggu kami maka kami tak mengganggumu. Kau ingat itu," Zano berjalan ke arah Faelardo.
“Kau tak sadar hah, Ayah mu yang tak tau diri itulah yang menyebabkan ini semua. Apa gunanya ucapanmu yang selalu mengatakan memihak yang benar. Cih hanya omongan belaka," balas Faelardo dengan emosi.
“Ayahku sudah mengatakan kepadamu kejadian yang sebenarnya. Tak perlu ada yang diperdebatkan lagi. Aku mau kau jangan mengganggu kami lagi," Zano mengatakan dan menatap Faelardo dengan tajam.
“Dor….," tembakan yang berasal dari pistol Zano meluncur ke arah salah satu anggota Devil Horns.
“Itu imbalan karena kau telah menghina ayahku," ucap Zano dengan dingin dan wajah kejamnya. Seketika pria itu terjatuh di atas lantai dan menghembuskan napas terakhirnya.
“Dor…dor…dor…," terjadi saling tembak menembak antara kelompok Black Wolf dan Devil Horns itu.
Beberapa anggota Black Wolf terluka begitu juga Devil Horns.
Zano dan Marcel juga sedikit terluka. Beberapa tetesan darah kelaur dari tubuh Faelardo.
Charles dan Maxim memegangi tangan Faelardo agar tidak jatuh.Terlihat pertarungan itu berakhir seri.
“Aku akan terus mengganggu kehidupan mu Zano karena ayahmu yang telah memulainya. Ingat !!! aku tak pernah melupakan kejadian itu. Ya, Ayahmu seorang penghianat," Faelardo mengatakan dengan emosinya yang belum padam.
“Hah baik kalau itu kemauanmu," balas Zano.
Kelompok Black Wolf meninggalkan tempat itu. Itulah akhir pertarungan mereka malam itu tanpa adanya negosiasi yang terselesaikan.
Di dalam mobil mewah berwarna hitam anti peluru itu, Zano dan Marcel membalut luka mereka masing-masing dengan perban untuk menahan darah yang tumpah dari luka mereka.
Zano bisa dikatakan hampir tidak pernah terkena luka tembak setiap pertarungan antar rivalnya. Tetapi kali ini lawannya adalah kelompok mafia kedua yang paling kuat di dunia mafia Internasional setelah Black Wolf.
***
Di kamar asrama dua gadis muda itu selesai melakukan kegiatan mereka masing-masing.
“Shifa aku duluan tidur yaa... aku sudah merasa lelah sekarang," Zai mengatakan dengan lembut kepada teman sekamarnya itu.
“Okay Zai, good night. Have a beautiful dream girl," balas gadis cantik itu.
Di kursi dekat jendela, Shifa masih merenung tentang kondisi keluarganya disana.
“Semoga hari-hariku disini berjalan dengan baik dan aku bisa segera lulus setelah itu bekerja agar keluargaku bahagia," gumamnya.
Beberapa menit kemudian, gadis itu bangkit dari posisinya dan berjalan menuju kasur untuk tidur setelah melaksanakan ibadah. Dia membaca do’a tidur dan tak berapa lama terlelap dalam tidurnya.
***
Di istana Black Wolf, Zano dan Marcel kembali.Tuan Zardo, Uncle Jordan dan Celine sudah menunggu mereka di ruang khusus.
Zano dan Marcel masuk ke ruangan itu dan duduk di atas kursi yang mewah.
“Kau terluka ? ucap Tuan Zardo tak menyangka.
“Hanya sedikit luka," balas Zano dingin.
“Marcel bagaiamana denganmu? tanya Uncle Jordan.
“Tak apa Uncle Jordan, saya senang Tuan muda Zano selamat," Marcel mengatakan dengan tulus.
“Ketua Davil Horns tak mau bernegosiasi dengan kita. Faelardo masih dendam atas permasalahan itu," Zano menjelaskan.
“Cih, masih saja salah paham. Kapan anak itu menyadari kebenarannya," celetuk Tuan Zardo.
“Sepertinya sulit ayah," balas Zano singkat.
“Sepertinya Faelardo tak akan berhenti sampai dendamnya terbalaskan," timpal Marcel.
“Baiklah kalau begitu, kita lanjutkan saja pertarungan ini jika itu yang ia inginkan," jawab Uncle Jordan, adik dari Tuan Zardo.
Tuan Zardo hanya diam dan mengangguk pelan. Ia masih mencari cara untuk menyelesaikan kesalahpahaman antara dia dan anak temannya itu.
Setelah mereka selesai bicara, Tuan Zardo dan saudara kandungnya pergi meninggalkan ruangan itu.
Celine yang masih duduk di ruangan itu melihat luka Zano dan Marcel di tangan mereka.
“Apakah sesakit itu ? tanya Celine dengan lugunya karena ia belum pernah merasakan luka tembak.
“Tak perlu kau tanyakan," jawab Zano dengan dingin dan kesalnya.
“Kak Zan, kau terlalu ketus dan dingin. Jika ada gadis yang membantu mengobati lukamu, apakah kau masih sedingin ini, hah ? gaya bicara Celine menggoda.
“Celine apa kau tak menanyakan keadaanku hah ? Mengapa kau suka sekali membuat Zano kesal dangan perkataan yang sering sekali kau ucapkan itu," rengekan Marcel terhadap sikap Celine kepada bosnya itu meskipun ia sebenarnya tidak cemburu.
“Ini aku belikan obat penghambat luka untuk kalian. Aku tau ini akan terjadi," ucap Celine kepada dua pria itu.
“Kau pergi keluar tadi ? Celine kau mengapa ceroboh sekali hah? Bagaimana jika ada anggota Devil Horns yang mengintaimu. Itu akan sangat berbahaya untukmu," jawab Marcel dengan sikap khawatirnya.
“Jangan mudah sekali berkeliaran. Itu akan membahayakanmu. Kau kemana saja tadi ?tanya Zano.
“Aku hanya pergi ke mini market untuk membeli beberapa minuman dingin dan ke apotek untuk membeli ini," jawab Celine sambil menunjuk obat yang ia beli .
“Hah ?" Marcel tak habis pikir sambil menggelengkan kepalanya.
“Kau harus berhati-hati. Kau kan tau Black Wolf dan Devil Horns sedang berseteru," timpal Zano dengan sikap santainya.
“Yaya... aku mengerti," jawab Celine.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!