Wanita itu tertunduk malu, rona merah tak lekang dari pipinya. Semilir angin menerbangkan anak rambutnya yang terurai panjang.
"I love you," ucap pria di hadapannya, sembari menyentuh pipinya lembut.
Tersebab mendengarkan ungkapan itu, si wanita menegakkan kepalanya malu-malu. Dipejamkannya kedua matanya, mempersilahkan sang pria melakukan apa yang hendak ia lakukan. Degup di dadanya semakin tak karuan, nafasnya bahkan tertahan.
Sang pria merangkulkan kedua tangannya pada bahu si wanita, dipandanginya setiap lekuk wajah wanitanya lekat.
Benar-benar menggairahkan.
Perlahan, didekatkannya wajahnya pada wajah si wanita.
Dred... dred... dreeddd ....
Tiba-tiba ponsel itu bergetar menyebalkan, menampilkan sebuah nama yang entah mengapa akhir-akhir ini terasa membosankan.
"Huh!" keluh Rana kemudian menolak panggilan itu segera. "Salah sendiri nelpon gue pas lagi nonton drakor!" omelnya lagi, kemudian melanjutkan aktifitas kesukaannya.
Namun, baru saja beberapa detik ia memulai lagi hobinya, tiba-tiba HP-nya berdering lagi. Nomor yang sama dengan nama yang sama. Ditolak, nelfon lagi. Ditolak, nelfon lagi. Begitu terus sampai 10 kali ia ulangi.
"Iya, hallo!" Rana akhirnya terpaksa mengangkat telfon itu.
"Hallo! Sayang! Kok ditelfon dari tadi gak diangkat-angkat? Chat aku juga gak dibales-bales. Jangankan dibales, diread aja enggak," ujar seorang pria diujung sana, masih berusaha sabar dengan sikap tak acuh pacarnya ini.
"Iya, Maaf. Eh, Yang, aku masih nonton ini. Aku matiin dulu, ya." Rana langsung menekan tombol akhiri tanpa menunggu persetujuan dari si lawan bicara.
"Capek juga ya, punya pacar terlalu perhatian kayak Daniel," keluhnya kemudian memulai hobinya kembali.
Sedang seru-serunya, si pria mulai mengecup bibir si wanita, tiba-tiba saja Hp Rana berdering lagi .
Ia sebal sekali, tapi ternyata ini bukan Daniel lagi, melainkan panggilan video grup dari teman-temannya.
...💕...
Ruangan itu amat lenggang, hanya ada seorang cewek berkaca mata yang masih bekutat dengan buku-bukunya. Sudah sejak dua jam lalu, tapi ia masih setia duduk diruangan ini. Baginya, perpusakaan adalah tempat ternyaman sekaligus termenenangkan.
"Udah, Nad, jangan terlalu rajin, napa? Entar harus pakai kaca mata yang lebih besar lho," seloroh seorang cowok, tiba-tiba menyahut buku yang sedang dibaca Nada.
"Arsya! Apaan sih! Ganggu aja," gerutu Nada. Sebenarnya ia adalah tipe cewek yang kalem atau lebih bisa dikatakan pendiam, tapi kalau setiap hari dijahili begini ... siapa yang tak emosi?
"Lah, jangan marah atuh, Neng. Tanya gitu kek, kenapa gue belum pulang jam segini," sarannya, masih setia mengamit buku Nada.
"Ngapain juga! Siniin, bukuku!"
"Eh, gak bisa langsung gitu dong... tanyain gue dulu." Arsya masih bersikukuh tak mau memberikan buku Nada.
"Kenapa?" tanya Nada pada akhirnya, tak lupa dengan nada ketusnya yang terhusus hanya untuk menghadapai mahluk Tuhan paling menyebalkan ini.
"Karena hari ini ..." cowok itu mengantung kalimatnya, "Gue ngidam pengen nganterin lo pulang!" ucapnya lagi penuh semangat, seolah-olah ia adalah pacar Nada yang sedang memberi surprise.
Nada hanya mengernyitkan dahi, mata awasnya tak lepas mengamati bukunya dan, Settt ... buku itu sudah kembali ketangannya. Yaps!
"Tungguin aja kalo kuat." Nada kemudian duduk, kembali berkutat dengan bukunya.
"Ah, gak seru amat lo, Nad," keluh Arsya, tapi bukannya pergi cowok itu malah duduk di samping Nada.
Namun, kali ini ia tak bersuara lagi. Hanya saja kepalanya ia sandarkan ke meja dan matanya terus mengamati raut wajah Nada yang datar tanpa ekspresi ketika sedang membaca buk, dan ... ia suka itu.
Baru sebentar saja rasanya ia bisa menikmati buku-bukunya, tiba-tiba handphone-nya berdering. Panggilan Video grup.
"Pulang sana, Sya! Takutnya entar dicari nyokap lo." Nada kemudian berdiri dan pergi berlalu meninggalkan Arsya yang diam-diam merutuki orang yang menelfon Nada. Gara-gara orang itulah, ia tak bisa menikmati wajah menenangkan gadisnya lebih lama.
...💕...
Cewek itu tersenyum puas melihat rentetan notif di HP-nya. Banyak sekali pesan masuk dari bajul-bajul piaraannya.
Dibukanya salah satu pesan dari yang paling tampan menurut penilaiannya.
Aldi May Lup-lup
Nonton yuk, Yang
Ada film baru, genre kesukaan kamu
Komedi romantis
Malem ini kamu nganggur, kan?
Vira terdiam sejenak, kemudian berfikir mengingat-ingat apakah malam ini ia sedang kosong atau tidak. Ah ... kalau ada juga gak papa lah, mumpung Aa' ganteng lagi senggang nih, batinnya kemudian segera membalas pesan itu.
^^^Anda^^^
^^^Iya, aku nganggur^^^
Oke, entar malem aku jemput, ya ....
Tiketnya langsung aku pesen aja.
^^^Anda^^^
^^^Ok^^^
Senyum Vira mengembang, kemudian jemarinya mengklik lagi membuka beranda pesan dari cowok lain.
Rio Mood boosterq
Yank!
Ayank!
!
!
Kangen, Yank
^^^Anda^^^
^^^Iya, Ayank^^^
Entar malem jadi, kan?
Aku udah siapin tempatnya lho...
Vira menepuk keningnya pelan. Padahal, sudah sejak beberapa hari lalu ia dan Rio merencanakan makan malam romantis mereka. Tuh kan ... gue sih, suka kelupaan. Dasar neneknya nenek gayung! rutuknya.
^^^Anda^^^
^^^Aduh, maap Ayank^^^
^^^Besok ada ujian^^^
^^^Aku mau belajar^^^
^^^bareng temen-temenku^^^
Yaah ... yaudah deh, gak papa
Entar kabarin lagi ya, Yang
Aku kangen banget
^^^Anda^^^
^^^Ok😍😘😘^^^
Vira menghela nafas lega, untung saja Rio gampang dikibuli.
Gadis itu kemudian memencet pesan dengan nama pengirim "Fino Ayank 05".Tapi baru saja beranda pesan itu terbuka, tiba-tiba HP-nya berdering. Panggilan video grup.
...💕...
Terus berbaring sejak sepulang sekolah tadi, diedarkannya pandangan ke setiap jengkal ruangan luas itu. Mewah, lengkap dengan segala hal yang menyebabkan dirinya dijuluki Miss Fashionable.
Diliriknya menu makan siang yang sudah satu jam tadi dibawakan bik Dami ke kamarnya. Hanya melirik, tapi sama sekali tak ada niatan menjejalkannya ke dalam lambung jaim miliknya.
Sepi, sendiri, tak ada yang menemani. Digeser-gesernya menu HP malas sekali. Scrool Tik-tok pun, sudah membuatnya bosan sejak tadi. Dibukanya aplikasi WhatsApp, benar-benar sepi.
Tangannya kemudian mengklik tombol panggilan video grup untuk ketiga temannya. Setidaknya, ocehan mereka bisa mengobati sepinya.
"Bukan Janda kembang Group"
Vira : "Hay, guys!! Iya, ini kenapa, ya? Apakah ada ghosip terbaru?"
Rena hanya tersenyum menanggapi, baru Vira dan ia yang muncul dilayar ponsel keluaran terbaru miliknya.
Vira : "Mana yang lain, Rey? Kok baru gue ama elo?"
Rena : "Tau deh ... paling bentar lagi juga nongol."
Nada ... sedang menghubungkan.
Nada : "Hay! Lagi apa, nih?"
Vira : "Biasalah Nad, lagi ngembangin usaha piaraan buaya jantan, gue."
Rena : "Hhh ... gak takut karma, lo?"
Vira : "Yaelah, Rey, hari gini masih percaya aja ama yang namanya karma. Eh, BTW kalian lagi ngapain, nih?"
Rena : "Biasalah, gabut, makanya gue ngajak VCall."
Nada : "Lagi di perpustakaan sekolah, ini."
Vira : "Buset deh, Mpok, betah banget lo. Eh, mana si Rana? Jangan-jangan masih nonton Drakor, tu bocah."
Nada : "Hmm ... mungkin."
Vira : "Coba panggil lagi, Rey!"
Rena : "Okay."
Rana .... sedang mengubungkan.
Rana : "Huaa.....akh." (Pura-pura baru bangun tidur). "Ya saya, ini dengan siapa, ya?" (Sok-sok an meregangkan otot).
Vira : "Halah! akting aja lo, Ra, paling-paling habis nonton bokep 'kan?"
Nada : "Istigfar, Rana ... belum juga cukup umur." (sambil menahan tawa, tahu saja ide jahil Vira).
Rana : "Idiiiih ... jijik banget deh, ya kali gue nonton begituan."
Vira : "Tuh kan, akting lagi dia, guys."
Rana : "Reeyy!! Liat tuh ... masa aku dituduh yang enggak-enggak." (Bibir mungilnya mengerucut imut sekali).
Rena : "Udah, udah, biarin aja Rananya, mungkin emang udah waktunya dia dewasa."
Rana : "Loh kok, malah percaya, sih? Orang gue habis nonton drama korea, kok."
Rena : "Nonton apa, Ra?"
Rana : "Drakor."
Rena : "Nonton apa?"
Rana : "Dra... Hehehe." (Nyengir kuda sembari menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal).
Vira : "Tuh, kan," ( menyipitkan mata). "Eh Ra, kapan lo mulai ke sekolah? Daring mulu gak bosen, lu? Cepet vaksin, sana!"
Nada : "Iya, Ra, belajarnya nanti gak bisa maksimal kalo kamu daring terus."
Rena : "Iya, Ra, vaksin, sana! Suntik aja kok takut."
Rana : "Yeee ... gue gak takut loh, yaa ...."
Vira : "Masa?"
Rana : "Iyaa...."
Rena : "Yakin, Ra, gak takut?"
Vira : "Tau gak sih, Ra, rasanya tuh, ahh ... mantap," (dengan ekspresi super duper berlebihan).
Rana : "Beneran, Vir? Emang sakit banget, ya?" (mulai cemas).
Vira : "Wahh, banget, Ra. Rasanya tuh, lengen gue kayak mau putus aja tahu gak!"
Rana : "Iya, Vir? Kalau gitu gue daring aja deh, sampai lulus SMA juga bodo amat lah."
Nada : "Tenang aja, Ra, gak sakit kok. Aku aja gak kerasa apa-apa."
Rana : "Kalo entar abis divaksin gue metong *mati , gimana?" (Matanya membulat, membayangkan yang tidak-tidak).
Rena : "Halu aja lu, Ra."
Nada : "Ya enggak lah, Ra ... kita aja masih hidup gini."
Vira : "Udahlah, Ra, gak sakit kok, becanda doang gue. Rugi banget deh, kalo lo gak cepet vaksin. Di sekolah kita, ternyata banyak cogannya. Masa iya, lu betah satu tahun daring mulu."
Nada : "Iya Ra, biar kita bisa jajan bareng di kantin Ibu'ku."
Rana : "Tau deh, entar gue fikir-fikir lagi."
Rena mengakhiri panggilan
Rana : "Haa ... mana Rena? Kok gak bilang-bilang, sih."
Vira : "Tau tuh, paling-paling kebelet dia."
Nada : "Mungkin ... dia lagi ada urusan."
Vira : "Yaudah, kalo gitu. Oh ya, girls, gue punya gosip baru."
...💕...
Rena menutup panggilannya segera. Barusan, ia mendengar suara mobil terparkir di depan rumahnya. Buru-buru ia mengecek dari jendela kamarnya yang terletak di lantai tiga.
Ternyata benar, itu papa dan mamanya. Masing-masing mengenakan mobil yang berbeda, tak mau kalah bermewah-mewahan.
Segera saja Rena turun ke lantai dua. Sudah lima hari papa dan mamanya tidak pulang ke rumah dan... walaupun ia tak pernah mengakuinya, tapi ia rindu.
"Maksud Mama apa, nuduh Papa yang enggak-enggak?!" Rena menghentikan langkahnya. Apa lagi ini? Kenapa harus sekarang?
"Papa gak usah nutupin lagi dari Mama!!!Mama udah tau semuanya. Dasar perempuan tak tahu diri!!" hardik mamanya tersalut emosi.
Prak!!
Tak bisa dihindari, akhirnya suara tamparan itu menggelegar lagi. Suara tamparan yang tak asing di telinga Rena.
Guys, gue pengen ketemu, ketiknya dengan mata mulai berlinang.
Keempat sahabat itu sudah berkumpul di rumah Vira. Maklum saja, ibu Vira adalah ibu paling pengertian sedunia. Selalu bisa memahami bagaimana heboh dan ribetnya kehidupan empat ciwi-ciwi ini. Itulah kenapa mereka sering berkumpul disini.
"Gue tuh, gak bisa ngerti sama bokap gue, gak pernah berhenti ngulangin kesalahan yang sama," decak Rena, tanpa memperlihatkan air muka sedihnya. Tatapannya tajam penuh kebencian.
Rana, Vira, dan Nada dengan penuh perhatian terus mendengarkan cerita Rena sejak tadi. Sesekali menepuk-nepuk pundak cewek itu atau mengelus-elus tangannya sebagai bentuk rasa simpati.
"Kalau emang udah gak cinta, kenapa juga masih dipertahanin? Dari gue kecil ampe gede, gak pernah bisa akur."
"Positif thingking Rey, mungkin mereka gak mau lo hancur," Ujar Nada tersenyum menguatkan.
"Nad, ya kalo emang gitu terus kenapa mereka selalu berantem di depan gue? Bokap gue bahkan dulu sering bawa-bawa perempuan pas gak ada nyokap. Huh! Ini alasan gue kenapa gak pernah punya pacar sampe sekarang. Semua laki-laki sama aja, apalagi bokap gue." Matanya kemudian beralih menatap Rana.
"Ra, lo harus ati-ati sama cowok-cowok yang ngejar-ngejar lo. Termasuk Daniel juga, gue gak mau lo sakit hati cuman gara-gara cinta."
"Enggak kok, Rey, Daniel cowok baik. Kita kan udah temenan lama ama dia," ucap Rana polos. Mana mungkin Daniel yang sebegitu sabar dan perhatian akan tega menyelingkuhinya.
"Jangan terlalu percaya laki-laki, Ra, kita gak tau kedepannya bakal gimana. Lihat aja kalo dia berani nyakitin lo, dia bakal berhadapan sama gue. Dan lo Vir ..." ucapnya kemudian menunjuk Vira yang langsung tertunduk, sudah mengerti apa yang akan dikatakan temannya itu.
"Jangan terlalu sering mainin perasaan orang lain. Gue tau semua laki-laki bajingan, tapi karma masih berlaku di dunia ini."
Vira menunduk sedalam mungkin, tapi bukan untuk meresapi perkataan Rena melainkan untuk menahan tawa karena kalau sudah seperti ini, Rena akan berlagak seolah-olah menjadi ibu bagi mereka bertiga.
"Dan lo Nad ..."
Belum selesai Rena berbicara, tiba-tiba ruangan itu dipenuhi dengan gelak tawa Vira dan Rana. Ternyata, sejak tadi keduanya sudah berkode-kode ria tak tahan mendengar ocehan Rena yang mengalahkan ocehan para emak mereka.
Buk! buk!
Dua tinjuan singkat langsung saja melayang ke lengan kedua cewek itu.
"Orang serius juga," Gerutu Rena sebal, tapi bibirnya tak bisa mengelak untuk tak mengembangkan senyuman.
"Iih ... sakit tau, Rey!" teriak Rana dan Vira memegangi lengannya yang baru saja menjadi korban kekerasan dalam persahabatan.
...💕...
Pria umur 40-an itu mengamati deretan nama di layar monitornya. Sedikit mengerutkan kening melihat daftar siswa yang sudah melakukan aktivitas belajar tatap muka setelah divaksinasi. Ternyata program itu lumayan mendapat respon baik dari para wali murid. Tak butuh waktu lama, hampir seluruh siswa-siswi SMA Tunas Bangsa sudah aktif belajar di dalam kelas. Mungkin, itu karena mereka juga jengah jika terus-terusan belajar online.
"Ini kopinya, Pak," ucap Istrinya, meletakkan secangkir kopi hangat di meja bapak itu.
Bau kopi menguar samar, membuat bapak itu tak perlu aba-aba langsung menyesapnya.
"Mbok hati-hati, Pak. Siapa juga yang akan meminum kopi Bapak?" seloroh sang istri kemudian menghilang dari balik pintu ruang kerja, menuju ke ruang keluarga hendak menonton sinetron kesukaannya.
"Uhuk!" Baru saja ditegur si bapak langsung keselek saja. Tapi akhirnya, ia mengingat nama yang sejak tadi ia tatap di layar monitor.
"Tuh kaaan ... Bapak sih, nggak hati-hati!" teriak sang istri masih tetap fokus dengan sinetronnya.
"Eh, Buk? Rana Puspakarina ini, bukannya anaknya Cipto? Cipto yang murid kesayangan Bapak dulu itu lho," tanyanya tak lupa mengeraskan suara pula.
"Ooooh ... seingat Ibuk sih, iya pak. Ibuk pernah berkunjung ke rumah Cipto dulu. Cantik banget itu anaknya, Pak. Bapak kenapa nanyain itu?" Si ibu menghampiri bapak, mulai tertarik dengan topik yang ditanyakan suaminya itu.
"Ini lho, ternyata anaknya Cipto itu belum divaksin dan masih dalam masa belajar online. padahal dia sudah kelas 2 tahun ini, kan sayang kalau belajarnya tidak maksimal."
"Kalau begitu Bapak tanyakan saja sama Cipto. Telfon saja kalau tidak sempat berkunjung. Bapak masih punya nomer telfonnya, kan?"
"Tentu masih. Nanti coba Bapak hubungi, semoga saja Cipto belum ganti nomer." Ujarnya sembari membenahkan kaca mata kemudian kembali mnyeruput kopi hitamnya lagi.
...💕...
Kamar Rana_08.25
Ruang itu didominasi warna pink cerah. Di desain dengan sangat imut, ciri khas kamar seorang anak gadis. Walau, sayangnya Rana bukan termasuk hitungan anak gadis yang kalem dan suka kerapian.
Dalam hitungan seminggu setelah pengecatan ulang, dinding kamar itu sudah penuh dengan coretan. Bahan dasarnya bermacam-macam, mulai dari pilox, pewarna cair, cat air, cat tembok, cat kayu sampai lipstik pun, jadi korban.
Tulisannya pun bermacam-macam pula, Rana the magic gril, Rana and friends, Rana oh meranaaa..... , Rana orang gila, sampai Rana Niel lope-lope - itu ditulis saat ia baru saja jadian dengan Daniel yang notabennya adalah sahabatnya sejak lama, yang,,, tulisannya masih ada sampai sekarang walau sudah banyak sekali dilakukan pengecatan ulang.
Dengan posisi tengkurap, ia mengecek WhatsApp nya setelah sekian lama Ia anggurkan begitu saja. Hanya ada chat dari Daniel dan tumpukan nomer baru yang meminta agar nomernya di save. Entah siapa, Rana tak kenal. Entah pula dari mana mereka mendapatkan nomernya, malas sekali ia merespon mereka. Oh ya, tak lupa beberapa grup daring yang membuatnya semakin malas membuka aplikasi ini.
Dibukanya chat dari Daniel, sudah menumpuk entah seperti apa. Dibacanya dari yang paling atas sampai bawah. "Nieel ...." ketiknya di keyboard ponselnya, sedikit merasa bersalah sebab jarang sekali ia membalas pesan dari cowoknya itu.
Baru saja ia hendak mengirim pesan itu, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka.
"Rana? Ayo makan, Nak! Mami udah masakin makanan kesukaan kamu juga lho," kata seorang wanita menyembulkan kepala dari balik pintu kamar Rana. Suaranya lembut, bibirnya mengembangkan senyum yang amat manis. Benar-benar cantik. Tak heran, kecantikan Rana adalah warisan berharga dari beliau. Walau tidak dengan sikap dan tingkah lakunya.
"Ada Papa gak?" tanya Rana langsung saja.
Mendengar pertanyaan itu, Puspa agak tertegun. Hubungan ayah dan anak itu ternyata masih belum membaik sampai sekarang.
"Ra, ayo makan! Tadi papa bilang pengen bicara sama kamu," ucap Puspa kemudian menghilang dari pandangan Rana. Rasanya getir sekali, tapi nyatanya ia tak bisa menyalahkan Rana jika anak itu masih saja membenci ayah kandungnya sendiri.
Rana mendengus kesal, feelingnya sudah tidak bagus. Dihapusnya pesan yang baru saja ia ketik, kemudian beranjak dari posisi tengkurapnya. Bergerak menuju ruang makan.
Ruang makan
Hening, hanya ada suara gesekan sendok dan piring yang terdengar samar. Rana hanya menatap malas makanan dihadapannya. Ia tak tahu mengapa setiap ada ayahnya, selera makannya hilang seketika. Padahal, semur jengkol dihadapannya pasti sudah dimasak dengan resep markotop rahasia maminya.
"Gimana sekolah kamu, Dhira?" tanya Cipto pada anak keduanya yang masih duduk dibangku kelas 5 SD.
"Baik, kenaikan kemarin peringkatku tetap pertama," jawab Dhira datar, tetap fokus dengan makanannya.
Rana hanya melirik adiknya sekilas, Dhira pasti sudah bukan anak-anak, gerutunya dongkol dalam hati. Bocah itu datar, serius, perfeksionis dan ... tidak pernah terlihat ceria. Benar-benar mirip dengan Cipto, ayahnya. Bahkan ia tampak sama sekali tak mirip dengan Puspa, ibunya.
"Bagus, pertahankan. Jangan sampai ada yang menggeser," ujar Cipto penuh penekanan. Bukan untuk menekan anak keduanya itu, melainkan untuk membuat anak pertamanya sadar bahwa seharusnya ia tak boleh dipermalukan di depan adiknya yang masih kelas 5 SD.
"Rana, bagaimana sekolahmu?" tanyanya kemudian, menatap lurus kepada Rana si sulung. Entahlah bagaimana cara ia bisa membuat bocah itu hengkang dari posisi peringkat terakhirnya yang seolah sudah mendarah daging itu. Ia juga bingung, teramat bingung. Juga malu.
"Baik," jawab Rana tanpa menatap balik ayahnya.
"Kapan kamu vaksin?"
"Nanti."
"Nanti kapan?"
"Nanti, kalau Rana sempet."
"Tadi Bapak Kepala Sekolah sudah nelfon, menanyakan kapan kamu mulai belajar tatap muka."
Rana diam seribu bahasa, terbayang diotaknya rasa sakit saat jarum kejam itu dengan tega mencabik-cabik lengan mulusnya.
"Peringkat berapa, kamu?" Sebenarnya Cipto sudah tahu jawabannya. Hanya saja, kalimat ini adalah salah satu cara untuk membuat anak bebalnya ini mau melaksanakan titahnya.
"Lima puluh lima," jawab Rana singkat tanpa ekspresi, menutupi rasa sesak yang mulai menggelayuti.
"Berapa murid dikelasmu?"
"Lima puluh lima," jawabnya lagi, berusaha terlihat acuh tak acuh.
Cipto menghela nafas berat, sedang Puspa hanya terdiam tak mampu menyuarakan apa-apa. Ia tak heran jika suaminya sampai seperti ini. Beliau adalah tipe orang yang sangat mempedulikan reputasinya, sebagai seorang pengacara terkenal di negeri ini.
"Papa heran sama kamu, dari dulu sampai sekarang gak berubah-berubah. Gak pernah bisa banggain papa, bisanya cuman buat Papa malu," ujar Cipto sinis. Apa yang bisa dibanggakan jika nilai Rana selalu saja dibawah standar? Ia lelah menyokong anak itu dari belakang, juga lelah menahan malu yang disebabkan kebebalan otak anak sulungnya itu.
Rana membuang nafas dongkol. Gadis itu kemudian berdiri dari duduknya dan menatap mata ayahnya lekat. Memangnya cuma Papa apa, yang bisa marah-marah?
"Rana juga heran sama Om Cipto, dari dulu sampai sekarang gak pernah berubah-berubah. Gak pernah bisa bahagiain Rana. Bisanya cuman marah-marah, nyalahin Rana tiap hari. Rana tuh juga manusia Om, punya kekurangan! Gak kayak Om, yang SEMPURNA layaknya malaikat," balas Rana membalikkan kata.
"Rana!" bentak Cipto tersalut emosi, bisa-bisanya anak ini menyebutnya om, seolah ia bukanlah ayahnya sendiri.
"Pa, udah, paa," Puspa menengahi, tak mau keadaan menjadi lebih rumit lagi.
"Papa tuh, cuma pengen dia itu …"
Bla bla bla....
Rana langsung saja meninggalkan meja makan. Perut laparnya saja tak ia hiraukan, apalagi ocehan papanya yang menyebalkan.
Bruak!
Suara pintu yang dibanting menjadi pertanda bahwa malam ini ia tak akan tidur di rumah.
...💕...
Tongkrongan itu tampak ramai seperti biasanya. Kebanyakan, mereka sibuk dengan gedgetnya masing-masing. Game online, memang sedang sangat trand dikalangan cowok-cowok seumuran mereka. Bukan cowok namanya, jika tak lihai beradu lewat dunia maya yang satu ini.
Tidak seperti yang lainnya, Daniel si ketua geng justru termenung menatapi layar ponselnya. Sudah dibaca, tapi tak kunjung dibalas juga. Kalau begini terus perlakuan Rana padanya, maka akan sama saja rasanya, punya dan tak punya pacar.
"Udahlah bro, lu kayak gak tau Rana aja. Mungkin buat dia, lu emang bukan siapa-siapa," ucap Regy menepuk pundak sobatnya itu. Kasihan, punya pacar cantik sekali tapi seperti tak pernah dianggap keberadaanya.
Daniel membuang nafas berat. Ucapan seperti itu sudah tak asing ditelinganya. Bahkan, terkadang terasa benar apa adanya.
Ruang kelas IX_SMP Kertajaya
Daniel *******-***** jemarinya ragu sekaligus gugup. Tepat dibelakangnya kerumunan teman-temannya bersorak ria menyemangati. Ia ragu untuk segera memasuki ruangan ini. Di dalamnya hanya ada Rana. Katanya, ia sedang dihukum membersihkan kelas sendirian karena lagi-lagi tak mengerjakan PR.
Diliriknya ketiga sahabat Rana yang berdiri tak jauh dari kerumunan. Vira dengan keantusiasan menyemangatinya, Nada dengan tatapan khawatirnya, dan Rena dengan tatapan tajam penuh ancaman.
Sebenarnya, mereka sudah melarangnya melakukan ini. Tapi ia sudah menyukai Rana dari semenjak pertemuan pertamanya pada masa orientasi, berteman dekat selama dua tahun, dan ... ia fikir inilah saat yang tepat untuk menyatakan perasaannya.
Daniel kemudian mulai melangkahkan kaki memasuki kelas. Tak mau keraguannya menjadi sebab hilangnya Rana dari genggamannya.
"Niel?" ujar Rana menyadari siapa yang datang. Tangannya hendak menurunkan kursi yang masih setia nangkring diatas meja.
"Sini, biar gue bantu," kata Daniel meraih kursi itu dan segera menurunkannya.
"Tapi, Niel, nanti kalau ada yang liat, gimana? Rana kan lagi dihukum," Rana terbengong, akan repot jadinya kalau pak mustam marah-marah hanya karena Daniel nekat membantunya.
Tanpa menjawab pertanyaan Rana, Daniel justru berpindah ke titik-titik lain dan melakukan hal yang sama. Menurunkan kursi dari atas meja.
"Ra, gue pengen ngomong sesuatu," Ucapnya dengan penuh keyakinan, setelah duduk dihadapan Rana. Peluh di dahinya memiliki 2 sebab kemungkinan. Satu mungkin karena gugup, dan dua, mungkin juga karena kelelahan. Maklum saja, kelas mereka lumayan luas untuk ukuran salah satu sekolah favorit tingkat menengah pertama di kota ini.
"Haa ... ngomong apa?" tanya Rana terbengong lagi.Tiba-tiba ia jadi teringat sinetron-sinetron romantis kesukaannya yang menjadi santapan hariannya sejak masih bocah ingusan.
Daniel meraih kedua tangan Rana, kemudian menggenggamnya. Setahunya, beginilah cara cowok-cowok dalam film menyatakan perasaan mereka.
Rana semakin dibuat ternganga.
"Ra, gue suka sama lo. Lo mau gak, jadi pacar gue?" ungkap Daniel memandang mata Rana lekat. Jantungnya serasa mau copot, menunggu respon dari cewek di depannya ini.
Rana diam seribu kata. Ia tak menyangka jika tebakan ngawurnya barusan, ternyata benar adanya. Benaknya masih berusaha mencerna segalanya.
"Tapi, kita kan temenan, Niel." Susah payah Rana mengatakannya.
"Tapi gue sayang sama lo, Ra. Emang lo gak punya perasaan, sama gue?" tanya Daniel, dengan perasaan harap-harap cemas.
"... sayang ... tapi Rana gak mau kehilangan Niel. Entar kalau kita berantem, terus putus, gimana?" tanya Rana ragu sekaligus polos sekali.
"Janji, kita gak bakal berantem, apalagi sampe putus." Daniel menyodorkan jari kelingkingnya. Senyumnya mengembang, sebab ternyata perasaannya selama ini tak bertepuk sebelah tangan.
Rana tersenyum canggung, kemudian menyambut kelingking Daniel dan mengaitkannya tanpa rasa ragu.
"Janji," ucapnya, tersenyum memperlihatkan lesung pipi indahnya.
Sorak ria semua teman mereka seketika ricuh, meneriakkan cie.... cieeee...!! Ternyata sejak tadi, mereka jadi tontonan gratis buat teman-teman mereka.
Daniel memalingkan pandangannya jengah. Sekelebat kenangan manis dari masa SMP, semoga Rana tak melupakannya begitu saja.
"Bro, mabar, yok!" ajaknya pada Regy, yang langsung disambut antusias oleh temannya itu. Daripada ia galau memikirkan Rana, lebih baik ia menghabiskan malamnya ini dengan mabar sampai pagi menjelang. Setidaknya, itu bisa membuatnya lupa akan posisinya yang seolah tak kasap mata dimata pacarnya sendiri.
Sudah main cukup lama, sedang seru-serunya, tiba-tiba ada chat masuk dari Rana. Tak perlu basa-basi, ia langsung membukanya.
❤Rana Q
Jemput aku dirumah
Sekarang
^^^Anda^^^
^^^Ok^^^
Daniel langsung saja berdiri dari duduknya, bergegas menuju motornya. Tanpa pamit, ia segera melesat ke rumah pacarnya.
Regy hanya bisa terbengong, begitu pula dengan teman-teman se-angkrigannya.
"Kebiasaan banget tuh bocah, orang lagi seru-serunya juga," gerutunya sebal, kemudian mengajak temannya yang lain mabar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!