...Pada akhirnya wanita lemah lah yang kalah. Wanita yang selalu memilih diam dan bersabar. Bahkan ketika mimpinya direnggut dengan paksa....
...-...
Aku Revanda Relista, seorang anak perempuan muda yang harus siap berumah tangga. Kehidupan remaja ku harus kupertaruhkan, demi pernikahan yang begitu diinginkan keluarga ku, juga keluarga suamiku.
Kupikir tidak akan sulit. Setelah menikah aku akan menjalani kehidupan rumah tangga seperti biasanya, seperti yang seringkali aku lihat di antara ayah dan ibu. Namun ternyata berbeda untuk seorang gadis tanpa pengalaman sepertiku. Pasti sulit sekali, aku akan terlihat seperti orang bodoh yang benar-benar sangat bodoh.
Jujur, sangat sulit berada di situasi yang seperti ini. Usiaku bahkan baru 18 tahun, namun sekarang aku sudah melihat rumah asing yang penuh dengan dekorasi cantik berbunga. Yah, ini adalah hari pesta pernikahanku. Aku gugup, aku juga sedikit khawatir.
"Reva, kamu cuma berdiri di sini? Kamu gak mau masuk buat istirahat sebentar?"
Dia ibuku, menyentuh pundakku sambil tersenyum lembut. Aku tidak mengerti lagi, senyuman yang biasanya menghangatkan hatiku kini seperti sebuah ejekan yang menyayat. Demi dirinya aku rela kehilangan masa remaja dan mimpi untuk berkuliah setelah lulus. Demi dirinya aku harus memenuhi kesepakatan tidak masuk akal yang ia buat bersama sahabatnya, yaitu menjodohkan kedua anak mereka.
"Mama panggilin Revan ke sini yah? Buat nganterin kamu ke kamar."
Ibuku langsung pergi. Aku bahkan tidak sempat mengatakan sepatah katapun. Menyebalkan sekali berada di situasi seperti ini.
"Aku pengen pergi aja rasanya," Kataku pelan dengan nada yang begitu pasrah.
Setelah beberapa menit berlalu, aku melihat Revan dari kejauhan berjalan kearahku. Aku tidak melihat ibu bersamanya, padahal ibu yang mencarinya untukku.
Sedikit perkenalan untuk Revan. Dialah suamiku saat ini, pria yang dijodohkan sejak kecil denganku. Sama sepertiku, dia juga adalah korban. Aku dengar ia memiliki seorang kekasih, sedikit sakit sebenarnya saat mengetahui fakta itu dari mulut Revan sendiri.
"Nih kunci, kamu masuk duluan aja. Kalau tamunya udah pada pulang, aku nyusul tidur di sofa," Ucap Revan sambil menyodorkan kunci kamar kearahku. Saat ia hendak berbalik, aku langsung menahannya.
"Tunggu...."
Revan langsung kembali membalikkan badannya. Menatapku seolah bertanya ada apa.
"Kenapa di sofa?"
Revan memejamkan mata sejenak. "Kamu sadar gak? lihat kamu aja aku udah begitu tersiksanya, apalagi kalau harus tidur bareng. Lagian aku juga tahu kamu lebih suka kayak gini aja kan? Dan-"
Ucapan Revan terpotong begitu satu panggilan masuk dan nama 'Sayang' muncul di layar handphonenya. Aku tersenyum miris, ternyata mereka masih saling berhubungan bahkan saat salah satu di antaranya sudah menikah.
Ayolah Reva, kamu ini hanya istri yang terikat tanpa diinginkan. Revan memiliki cintanya sendiri dan kamu jangan sampai merasa sesakit ini. Tugasmu sekarang hanyalah berusaha untuk tidak jatuh cinta bahkan sampai kalian berambut putih.
Tapi apakah itu mungkin?
...----------------...
Masa bodoh. Reva menatap kunci di telapak tangannya, kunci yang di berikan Revan. Tanpa menunggu lebih lama lagi Reva langsung masuk ke dalam kamar. Tidak peduli dengan keadaan seisi rumah yang masih sedikit ramai. Baginya beristirahat adalah hal yang paling penting. betisnya seperti akan patah akibat terlalu lama berdiri melayani tamu undangan.
Sementara itu, di bawah sana Revan menatap layar handphonenya. Panggilan dari kekasihnya terus saja masuk padahal Revan sudah mengabaikan dan mengirim pesan agar bisa lebih sabar menunggu.
"Revan?" Panggil seseorang.
Revan yang kaget mendengar namanya dipanggil refleks menjatuhkan handphonenya. Ternyata itu mertuanya, ibu dari Reva. Untung saja saat terjatuh layarnya menghadap kebawah jadi ibu Reva tidak akan melihat dari siapa panggilan itu.
"Loh, Van kamu harusnya hati-hati." Ibu Reva hendak mengambil HP milik Revan tapi dengan cepat Revan mengambilnya lebih dulu.
"Ada apa, Ma? Revan tadi lagi chattan sama teman. Katanya mau datang tapi sampai sekarang belum datang." Revan alasan melirik kanan dan kiri seolah sedang mencari keberadaan temannya.
"Yaudah Mama mau pamit pulang dulu. Papa kamu masih disini, katanya karena masih ada sekitar tiga keluarga yang betah ngobrol. Kalau kamu capek, kamu bisa istirahat."
"Makasih, Ma. Hati-hati dan kabarin Revan aja kalau Mama mau berkunjung ke sini."
Mama Reva mengangguk sambil tersenyum tulus lalu berjalan keluar. Dalam hati Revan terus berucap syukur, hampir saja ia ketahuan.
Berhubung suasana rumah mulai sepi, Revan langsung pamit untuk keluar ke Papa Reva yang kebetulan sedang berada di dekatnya. Setelah mendapatkan izin, Revan pun segera pergi untuk menjawab panggilan dari kekasihnya.
"Ratu.... Kamu apa-apaan sih? Kan aku udah ngechat bilang kalau aku lagi sibuk."
"..... "
"Iya aku tahu kamu kangen, aku juga gitu. Tapi kamu harus paham posisi aku. Gimana kalau mertua aku sampai tahu?"
"..... "
"Kok malah nangis? Sayang, udah. Besok kita ketemu yah dikampus. Kamu sabar aja dulu."
"..... "
"Yaudah aku mau istirahat dulu, capek banget soalnya. Kamu juga istirahat yah, sayang?"
"..... "
"Nite."
Revan menatap sekeliling. Merasa situasi aman, ia langsung bergegas masuk ke kamar.
Begitu berada di dalam kamar ia melihat Reva sudah berbaring di ranjang. Matanya terpejam nyenyak, napasnya pun begitu tenang. Mungkin karena faktor melelahkan.
"Enak banget tidurnya."
Revan langsung menghempaskan tubuhnya disofa. Seperti katanya tadi, ia akan tidur disofa dan Reva diranjang. Bukan apanya, Revan seperti tersiksa setiap kali melihat wajah Reva.
"Badan kamu gak sakit tidur di situ?"
Revan kaget mendengar suara Reva yang begitu tiba-tiba. Ia pikir gadis itu sudah tidur dengan nyenyak, tapi ternyata belum.
"Kenapa bangun?"
"Aku gak pernah tidur."
"Terus?"
"Cuma nutup mata karena capek dan aku juga masih bisa dengar kamu ngomong."
"Oh."
Reva menghela napas, ia tahu Revan tidak akan pernah menyukainya, begitupun dengannya yang tidak menyukai Revan. Tapi kenapa mereka terlihat seperti musuh begini, lebih tepatnya Revan yang memperlakukan Reva seperti musuh. Padahal diawal Reva berniat menganggap Revan seperti kakaknya sendiri, meskipun mereka adalah sepasang suami istri.
"Kak...."
"Apa?"
"Kakak gak suka sama aku yah?"
Mendengar pertanyaan itu keluar dari mulut Reva, Revan rasanya semakin kesal saja. Kenapa harus bertanya untuk pertanyaan yang sudah jelas jawabannya?
"Gak usah nanya, udah jelas nggak. Aku tahu kamu juga sama gak sukanya dengan pernikahan ini. Kamu bahkan gak bisa kuliah dan aku harus ngejauhin pacar aku. Kamu pikir kita masih bisa berbaikan setelahnya?
"Seenggaknya aku gak sejutek kakak."
Revan yang tadinya berbaring langsung mengubah posisinya untuk duduk. Ia menatap Reva yang entah sejak kapan juga sudah duduk diranjang.
"Dengar, Reva. Aku gak bakal suka sama orang yang ngerebut kebahagiaan aku. Sekalipun itu Mama sama Papa."
Revan langsung keluar dari kamar. Suasana mendadak begitu panas. Reva yang melihatnya hanya bisa terdiam dan tidak berani berkata lagi. Sepertinya rumah ini akan terus berada dikegelapan selama Revan dan Reva tinggal bersama.
Reva menggeliat di atas kasur. Ia merentangkan kakinya lalu berbalik ke arah kanan dan kiri. Suara kretekan dipunggung langsung membuat senyum cerah muncul diwajahnya.
"Kemana dia?"
Melihat seisi kamar hanya diisi olehnya, Reva mulai tersadar jika Revan benar-benar tidak berada di kamar semalaman. Rasa bersalah muncul kembali, memang seharusnya Reva tidak banyak bicara.
Reva meraih ponselnya, melihat jam sudah menunjukkan pukul 07:00. Matanya terbelalak, padahal baru tadi malam Mamanya memperingatkan untuk bangun lebih awal karena hidupnya sudah berubah. Memiliki seorang suami artinya ia harus bersikap lebih dewasa. Tidak bermalas-masalasan atau sekedar bermanja-manjaan.
"Kok sepi yah?"
Reva yang sudah membuka pintu kamarnya merasa aneh dengan suasana rumah yang begitu sepi. Seperti tidak ada orang lain selain dirinya. Aneh, di mana Revan tidur?
"Apa?"
"AAAAA ASTAGA!!!!"
Reva reflek berteriak saat sebuah tangan menepuk pundaknya. Ia tidak berpikir apakah itu Manusia atau hantu, hanya saja teriakannya muncul karena kaget.
"Ngapain teriak?" Tanya Revan yang entah muncul dari mana sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"A-aku cuma kaget. Aku pikir gak ada orang di rumah," Jawab Reva dengan gugup sebab yang ada dihadapannya saat ini adalah Revan yang hanya berbalut handuk dari pinggang hinggal bawah lututnya.
Pemandangan ini membuat Reva tersiksa, ia merasa geli karena tidak biasa.
Revan yang sadar dengan ekspresi Reva hanya bisa. menggeleng sambil berjalan kearah kamar untuk memakai pakaian. Dalam hati ia bertanya apakah benar Reva sepolos itu atau hanya pura-pura polos. Tapi bisa jadi memang polos, mengingat umur Reva yang masih 18 tahun, lulusan kemarin.
"Benar-benar yah, masa pakai handuk gitu di depan aku. Gak malu apa?" Reva menatap sinis punggung Revan yang mulai menjauh.
Reva mungkin lupa jika Revan adalah suaminya, dan ini adalah rumah mereka. Jadi masing-masing sudah miliki hak ingin melakukan apa tanpa harus membuat yang lain pusing.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 10:25. Reva menatap makanan diatas meja yang sudah ia siapkan. Sambil menunggu Revan turun dari kamar, ia mencicipi masakannya satu-persatu. Untung saja Reva mahir dalam hal bergelut didapur, jadi ia tidak perlu pusing ketika rumahnya yang sekarang tidak memiliki seorang pembantu.
"Sempurna..." Reva tersenyum bangga merasakan masakannya yang begitu lezat dan wangi.
Tidak lama kemudian Revan turun, terlihat sudah rapi dan bersiap berangkat ke kampus. Jujur saja ketika melihat hal itu ada sedikit kecemburuan dihati Reva. Dulu saat masih SMA ia dan teman-temannya pernah membicarakan akan kuliah di Universitas mana. Bahkan Reva pernah menyebutkan Universitas impiannya. Namun apa daya begitu kelulusannya ia harus menerima berita buruk jika dirinya akan segera dinikahkan.
Harapan untuk kuliah sudah hilang. Status pelajar kini berubah menjadi status menikah.
"Ngapain ngelamun?" Revan melambaikan tangannya kedepan wajah Reva. Bagaimana tidak, sejak kedatangannya dimeja makan Reva sudah banyak melamun. Mungkin juga tidak menyadari kedatangannya.
"Nggak, lagi mikir harus ngapain setelah ini."
"Belanja."
"Aku malas keluar."
"Pesan online."
"Takut."
Revan mengehela napasnya lalu duduk dimeja makan dan mulai menyantap sarapannya. Terserah Reva ingin melakukan apa, ia juga tidak ingin peduli.
"Gimana masakannya?"
"Lumayan."
Reva tidak puas dengan jawaban itu.
"Gak enak?"
"Enak," Jawab Revan sekali lagi yang akhirnya membuat Reva tersenyum puas sekaligus bangga.
"Aku udah selesai, mau pamit kuliah."
"Iya," Ketus Reva yang membuat Revan sedikit terganggu.
"Ngapain nada bicaranya kayak gitu?"
"Loh, ada yang salah?"
"Gak tau." Revan langsung meraih tasnya kemudian pergi meninggalkan Reva. Ia sempat melemparkan tatapan sinis nya sebelum benar-benar pergi.
Menyadari hal itu, Reva langsung mengatupkan giginya saking kesalnya. Ada apa dengan tatapannya? Kenapa setajam itu? "Ah iya lupa, kan tatapan lembut dan kasih sayangnya cuma buat sang pacar. Makan tuh pacar."
Karena sudah begitu kesal, Reva langsung meninggalkan meja makan tanpa berniat makan. Napsu makannya juga sudah hilang, lebih baik ia berbaring di kamar sambil bermain game. Lagi pula apa yang harus ia kerjakan di rumah ini sendirian? Apalagi dengan suasana yang sudah bersih. Sepertinya besok ia membutuhkan seorang pembantu. Tidak mungkin harus melayani keganasan harimau yang tidak lain adalah suaminya sendiri. Membosankan sekali, rutuknya dalam hati.
Baru saja Reva hendak melangkahkan kaki ke kamar, satu notifikasi tiba-tiba muncul di layar hpnya. Di sana ada pesan dari gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak kecil. Reva menjerit kesenangan karena sudah satu bulan lebih mereka tidak bertemu. Alasannya karena Putri, sahabatnya sibuk mengurus perkuliahan. Bahkan tidak sempat datang ke pernikahan Reva.
"Rev, ketemu yuk? Kangen nih. Mumpung lagi gak sibuk."
"Gaskan. Aku juga malas di rumah, tapi gak tau mau ngapain. "
"Yaudah aku jemput yah. Eh, ngomong-ngomong suami kamu mana?"
"Gak tau, hilang mungkin."
"Yaudah deh, aku jemput sekarang."
(Read)
Reva segera bergegas mengganti pakaiannya. Untung ia bangun lebih awal dan mandi juga lebih awal. Jadi, begitu Putri mengajaknya keluar, ia hanya perlu mengganti pakaian dan sedikit merias wajah.
Merias wajah khas remaja umur 18. Tenang, riasan nya tidak terlalu norak, hanya bedak dan sedikit lipstik yang tidak terlalu terang. Bagaimanapun, Reva juga masih mencintai wajah naturalnya.
Setelah menunggu hampir 15 menit, akhirnya terdengar suara klakson mobil diluar sana. Sudah pasti itu Putri.
"Cepat banget, seharusnya kan 15 menit lagi? Wah parah, ini anak pasti ngebut tadi." Reva bersiap-siap melayangkan pukulannya pada Putri namun begitu pintu rumah dibuka, yang nampak adalah wajah Revan bersama seorang gadis yang entah siapa.
"Revan?"
Revan tidak mengubris panggilan Reva untuknya. Ia langsung menggeser tubuh Reva dan masuk lebih dulu.
"Aku Ratu, pacarnya Revan," Ucap gadis yang datang bersama Revan.
Apa katanya? Pacar? Bisa-bisanya gadis itu memperkenalkan diri dengan santai dan menyebutkan dirinya adalah kekasih dari Revan. Tidakkah ia melihat Reva sebagai seorang istri di sini? Yah sekalipun usia mereka memang berbeda jauh, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa yang tua seperti Ratu pun harus sopan pada yang muda. Atau mungkin Ratu tidak tahu jika Reva adalah istri dari Revan? Bisa jadi.
"Aku Reva, istrinya Revan."
Ratu tersenyum manis lalu mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Reva nyaris tersedak liurnya sendiri.
"Iya, aku tau."
"Hah??"
Apa? Jadi Ratu sudah tahu kalau Reva adalah istri dari Revan? Hebat sekali, di mana Revan menemukan wanita unattitude ini?
"Sayang," Panggil Revan di tengah-tengah obrolan Reva dan Ratu. Mendengar itu, Ratu langsung memberikan senyum pada Reva kemudian menyusul Revan di dalam.
"Psikopat, senyumnya aja udah serem," Ucap Reva dengan kesal.
Bagaimana bisa Revan mempertahankan perempuan seperti itu? Gaya pakaiannya yang tidak sopan, dan dengan berani datang kerumah istri dari pacarnya?
Cinta memang membutakan seseorang dan Revan sudah buta sekarang. Yah, Reva akui Ratu memang sangat cantik dan manis. Caranya berbicara juga terdengar sangat lembut dan memikat. Mungkin itu yang membuat Revan bisa jatuh cinta.
Putri menyeruput minumannya sambil menatap Reva. Saat ini mereka memang duduk berhadapan, namun Putri tahu jika pikiran Reva sedang berjalan-jalan. Putri ingin bertanya tapi Reva lebih dulu menggebrak meja. Membuat seisi cafe sontak menatap mereka bersamaan.
"Ngeselin banget!!!!!" Teriak Reva cukup keras. Seperti cafe itu adalah miliknya dan tidak ada siapapun selain dirinya.
Putri tersenyum canggung menatap para pengunjung lalu menarik tangan Reva keluar dan mendudukkan nya di kursi yang lebih sepi.
"Apa sih, Rev. Kamu gak lihat tatapan pengunjung tadi? Main gebrak aja."
"Yah aku gak peduli. Kamu tahu gak? Sebelum aku ke sini, Revan sama pacarnya ke rumah. Bayangin mereka dirumah berdua aja ngapain? Aku malu, Put."
"Malu atau cemburu?"
"Enak aja cemburu. Kita kenal juga baru dua bulan, di mana letak cemburunya."
Melihat suasana hati Reva yang kacau, Putri lagi-lagi menarik tangan gadis itu, membawanya menuju mobil. Reva berkali-kali bertanya mereka akan kemana, namun bukannya menjawab, Putri justru semakin mengemudi dengan cepat.
Reva melihat jalan, ini adalah jalan menuju rumahnya. Apakah mereka akan pulang secepat ini?
Dan benar saja, setelah beberapa menit mereka akhirnya tiba di rumah. Dari depan rumah mereka bisa melihat dua pasangan sedang asik bercengkrama di depan laptop. Mereka tertawa terbahak-bahak. Bahkan Reva sendiri tercengang melihat bagaimana bebasnya Revan tertawa bersama gadis itu, tawa yang bahkan ia sendiri belum pernah melihatnya.
"Permisiiiii," Sapa Putri dengan sopan. Ia sedikit menunduk, disambut dengan heran oleh Revan dan Ratu.
"Ini teman kamu, Rev?"
Reva kaget mendengar pertanyaan Putri. Kenapa bertanya padahal ia sendiri sudah tahu jawabannya? Apakah Putri sengaja?
"B-bukan...."
"Terus?"
"Suami aku."
Putri mengangguk-anggukan kepalanya lalu menatap orang yang sejak tadi berdiri disamping Revan. Dia gadis yang sangat cantik menurut Putri, tapi percuma kecantikan itu.
"Kalau ini sepupu suami kamu, yah? Akrab banget tadi."
Mendengar ucapan Putri, Ratu jadi sedikit tersinggung. Apakah seperti ini rasanya disembunyikan oleh kekasih sendiri? Ratu seperti semakin membenci Reva. Karena gadis itu ia harus menjaga batasan dengan pacarnya.
Dengan wajah dingin Ratu mengulurkan tangannya ke Putri lalu mulai memperkenalkan diri "Ratu, sepupunya Revan."
Revan kaget, matanya menatap Ratu dengan tatapan keheranan. Begitupun dengan Reva, padahal tadi Ratu begitu bangganya memperkenalkan diri dan menyebut Revan sebagai pacarnya. Ada apa sekarang?
"Yaudah, Rev. Aku mau masuk dulu, kangen kamar tamu soalnya."
"Put.... Kamu apa-apaan sih," Ucap Reva yang merasa sedikit tidak suka dengan kelakuan Putri. Menurutnya sangat tidak sopan.
"Kenapa sih, Rev. Emang aku biasanya gini kan."
Tanpa peduli lagi Putri langsung masuk kedalam rumah. Meninggalkan Revan, Ratu, dan Reva diteras rumah. Mereka bertiga terdiam sebelum akhirnya Reva mulai bersuara untuk mewakili Putri meminta maaf.
"Gakpapa." Dengan lembut namun wajah datar, Ratu membalas ucapan Reva. Revan yang melihatnya jadi tenang dan senang. Ratu memang sebaik itu.
"Kak, aku masuk dulu," Pamit Reva.
Wajah Revan kembali dingin, ia hanya berdeham untuk merespon ucapan Reva. Padahal tadi suasana begitu membahagiakan untuknya. Tapi setelah Reva datang, semua menjadi gelap kembali. Bagi Revan, Reva tidak lain hanyalah orang yang akan membuat kebahagiaannya menghilang.
Bagaimana bisa seorang bocah seperti itu menjadi istrinya.
"Van, aku juga mau pulang."
"Loh, aku masih kangen kamu padahal."
"Aku gak enak sama teman Reva. Nanti dia malah curiga."
Ratu menyentuh kedua pipi Revan kemudian memberi kecupan singkat di pipinya. Membuat Revan tersenyum cerah dan mengacak-acak rambut Ratu dengan gemas. Mereka lalu berjalan bersama keluar rumah.
Padahal saat itu ada Reva yang mengintip mereka dari balik jendela. Entahlah, Reva hanya merasa sedikit sesak melihat perlakuan Revan ke Ratu, seperti sangat saling menyayangi.
Ini bukan tentang apakah Reva sudah mulai mencintai Revan. Ia merasa sesak bukan karena cinta, melainkan statusnya sebagai istri. Kenapa Revan tidak bisa melihatnya dengan baik seperti caranya melihat Ratu? Padahal tidak ada salahnya, mengingat mereka adalah sepasang suami istri. Setidaknya Revan bisa lebih bersikap baik.
Tapi siapa yang akan baik pada orang yang sudah membuatnya menderita?
"Rev...," Panggil Putri yang entah sejak kapan sudah berdiri di belakang Reva. Putri menatap sahabatnya dengan iba. Mimpinya sudah direnggut dan sekarang Reva harus melihat orang yang merenggut mimpinya bahagia diluar sana bersama gadis lain.
"Kenapa, Put?"
"Aku pamit pulang yah? Teman tiba-tiba ngedm, katanya ada tugas mendadak."
"Yaudah hati-hati."
Putri tersenyum lalu berjalan keluar meninggalkan kediaman Reva. Saat Reva hendak berbalik menuju kamar, Revan tiba-tiba berteriak memanggilnya. Reva berbalik dan ia dapat melihat wajah marah Revan yang sekarang sedang berjalan menuju kearahnya.
"Apaan-apaan tadi?"
"Apanya?"
"Kamu sengaja kan bawa teman kamu buat nyindir Ratu?"
Reva mengernyit namun sedetik kemudian tertawa. Revan ini sedang bertanya atau menuduhnya? lucu sekali.
"Kak, dengar yah? Aku gak ada niatan bawa Putri buat nyindir pacar kakak."
"Gak usah manggil kakak, sok sopan banget," Ucap Revan dan langsung pergi meninggalkan Reva.
Lihat, bagaimana bedanya cara Revan memperlakukan Ratu dan Reva. Seperti angel or devil dan Reva adalah devilnya.
Memang diakui, Ratu adalah orang yang sudah bersama Revan dua tahun ini. Mereka kenal lebih dulu dan saling mencintai lebih dulu. Lalu entah dari mana Reva muncul dan mengacaukan semuanya. Tapi bukankah Reva juga kacau? Reva bukan orang yang menginginkan cerita seperti ini. Ia juga memiliki mimpi dan mimpinya bukan menjadi seorang istri. Ia ingin belajar, ingin bekerja di tempat yang juga menjadi mimpinya. Namun siapa sangka jika semua itu hanya benar-benar menjadi mimpi dan tidak akan kenyataan.
Miris sekali. Mereka 50:50 tapi seolah-olah Revan yang paling tersakiti.
"Lama-lama aku juga benci sama kamu, Van."
Reva berjalan menuju kamar tamu lalu meluapkan sakit hatinya di dalam sana. Bisa-bisanya Revan membentak seperti itu setelah memperlihatkan kemesraan dan kelembutannya pada Ratu. Tentu saja Reva merasa iri, padahal yang lebih pantas diperlakukan seperti itu adalah dirinya, bukan Ratu. Sekarang, rasa ingin meremuk wajah Revan tiba-tiba memuncak begitu saja. Kalau bukan karena kedua orang tuanya, tentu Reva akan segera mengemasi barang dan pergi meninggalkan rumah yang seperti neraka ini.
"Gak lupa, aku racunin sekalian biar tau rasa," Batin Reva.
Dari dalam kamar mandi, Revan menatap wajahnya dari pantulan cermin. Jujur, ada sedikit rasa bersalah saat berkata kasar pada Reva.
"Udahlah, Van. Dia memang pantas digituin," Ucap Revan pada dirinya sendiri. Berusaha meyakinkan diri bahwa perlakuannya tadi tidak perlu terlalu dipikirkan.
Tapi ada benarnya juga, dirumah ini sebenarnya bukan hanya Revan yang merasa paling tersakiti. Reva pasti merasakan hal yang sama. Hanya saja Revan terlalu menutup mata tentang fakta itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!