Prolog
Andin Aisyah seorang perempuan berusia 25 tahun bekerja sebagai pegawai wedding organizer terkenal di Jakarta.
Andin sudah berpacaran selama 3 tahun dengan Tio seorang fotografer freelance namun harus putus setelah Tio selingkuh dengan salah satu modelnya.
Satya Yudha Permana seorang PNS di kementerian keuangan yang akan menikah dengan pacarnya Vera namun di saat hari pernikahan ditinggal kabur oleh Vera terpaksa manikah dengan Andin demi Bundanya yang pingsan dan malu jika acara batal.
*
Andin memastikan acara pernikahan kliennya hari ini berjalan dengan lancar tanpa ada kendala apapun.
Sederet persiapan sudah di kroscek agar tidak ada satupun yang luput.
*
"Apa Vera kabur!"
Seketika tubuh Bunda Dona ambruk.
"Bun, Bunda!" teriak Dinda panik Bundanya pingsan.
"Bun, bangun Bun, Bunda!" Satya mengguncang tubuh Bundanya dengan tangan masih terus menghubungi Vera namun ponsel wanita itu tidak aktif.
"Sial!" Satya mengusap wajahnya dengan kasar.
Andin yang awalnya masuk ruangan itu untuk bertegur sapa dengan keluarga sahabatnya seketika dibuat bingung dengan keadaan yang dilihatnya.
"Din, Bunda, Din." Dinda menangis sambil terus berada disamping Bunda Dona yang masih tak sadarkan diri.
Andin menatap ke arah Satya.
Melihat raut wajah kakak Dinda tersebut membuat Andin kembali mengalihkan pandangannya pada Dinda.
Tatapan Satya begitu galak, marah dengan rahang mengeras.
"Din, Bunda pingsan kenapa?" Andin mendekati Bunda Dona yang terbaring disisi Dinda.
Dinda masih panik dan cemas dengan kondisi ibunya yang tak kunjung sadarkan diri.
Kemudian datang kedua orang tua Vera dengan perasaan takut dan malu menghampiri Satya.
"Nak Satya kami tidak tahu Vera akan berbuat seperti ini." Orang Tua Vera dengan nada pelan takut melihat wajah Satya yang tengah murka.
"Saya kecewa dengan Vera, Bagaimana bisa Vera tidak bertanggung jawab begini!" Satya dengan nada marah.
Satya kemudian dihampiri oleh petugas keamanan hotel tersebut.
"Mari Pak." Petugas keamanan Hotel mengajak Satya menuju ruang kontrol cctv.
Satya sangat amat terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Muka Satya memerah padam. Tangannya mengepal mencengkram meja.
"Kurang ajar kau Vera, Brengsek!"
Satya tanpa peduli segera masuk ke dalam ruang dimana semua orang kini berkumpul.
Tampak Bunda Dona sudah siuman terus menangis sambil memeluk Dinda.
"Jelaskan pada Saya mengapa Vera kabur bersama Toni?" Satya menatap orang tua Vera dengan tatapan kejam dan amarah memuncak.
Kedua orang tua Vera tampak tak bisa lagi menutupi apa yang sebenarnya terjadi.
Semua yang ada didalam ruang menatap orang tua Vera dan bingung dengan pertanyaan Satya.
"Nak Satya, Kami selaku orang tua Vera mohon maaf sudah membuat keluarga Nak Satya malu. Namun kami juga tidak mengetahui dan menyangka kalau Vera dan Toni akan nekat." Ayah Vera menjelaskan tampak ketakutan dalam raut wajahnya.
Bunda Dona seketika langsung mengambil alih pembicaraan.
"Jelaskan ada apa sebenarnya." Bunda Dona menatap orang tua Vera menuntut penjelasan.
"Vera sedang hamil. Bayi yang ada didalam kandungannya anak Toni." Mama Vera menjawab dengan suara terbata-bata.
Satya dengan kemarahan memuncak dan perasaan kecewa, dan terkhianati.
"Bisa-bisanya sebagai orang tua Anda masih melanjutkan rencana pernikahan ini setelah tahu Vera hamil dengan pria lain. Saya benar-benar kecewa dengan keadaan ini." Bunda Dona menatap tajam orang tua Vera.
"Maaf Jeng, kami mohon maaf atas semua perbuatan Vera." Mama Vera menangis sambil memohon maaf.
"Sebaiknya kalian pulang, Saya tidak mau meneruskan pernikahan ini. Saya tidak rela putra saya Satya menikah dengan keluarga pembohong dan perempuan pengkhianat." Bunda Dona sudah sakit hati dengan tindakan Vera.
"Nak Satya, tolong jangan batal pernikahan ini, Kami akan mencari Vera dan membawanya kesini. Tolong Nak Satya." Ayah Vera memohon pada Satya.
"Maaf Pak, Bu, Silahkan pulang. Saya membatalkan pernikahan Saya dengan Vera. Saya tidak ingin memiliki istri seorang pengkhianat seperti Vera. Lebih baik Bapak Ibu urus saja putri kalian yang sedang kabur dengan pria brengsek itu!" Satya berbicara tanpa menatap calon mertua yang batal melaksanakan pernikahan.
Tanpa basa basi dan perasaan marah orang tua Vera meninggalkan tempat itu.
Seketika semua terdiam.
Pernikahan yang seharusnya berlangsung 1 jam lagi kini entah bagaimana nasibnya.
"Satya, mau kemana kamu!" Bunda Dona menghentikan langkah Satya yang hendak keluar.
"Satya mau membatalkan pernikahan ini Bunda." Satya dengan wajah menahan amarah dan gemuruh kebencian yang berkobar terhadap Vera.
"Pernikahan ini tetap akan dilaksanakan!" Bunda Dona berdiri mendekati Satya.
"Bunda aku ga sudi meskipun Vera mengemis kembali padaku. Lebih baik batal daripada malu!" Satya hendak keluar namun kata-kata bunda menghentikan langkah Satya dan membuat semua orang tercengang.
"Siapa bilang kamu menikah dengan Vera. Bunda tidak sudi punya menantu pengkhianat seperti dia. Kamu hari ini tetap menikah. Pernikahanmu tidak boleh batal. Kamu menikah dengan Andin!" Bunda Dona memegang bahu Satya menatap tajam pada mata Putranya.
Tatapan mata semua tertuju pada Andin.
Sementara Andin bak disambar petir disiang bolong seketika berteriak.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak bersedia!"
Andin keluar ruangan tersebut merasa terjebak dalam situasi yang tidak mengenakan ini.
Dinda keluar mengejar Andin, sementara Bunda Dona menenangkan Satya yang teriak tidak setuju dengan perkataan Bundanya.
"Tidak Bunda. Lebih baik batal. Menikah tidak main-main Bunda. Andin? Jangankan menikah, melihatnya saja tidak terlintas sedikitpun dalam benak Satya!" Satya menatap dengan raut cibiran sebelum Andin keluar berlari dari ruangan tersebut.
"Kalau begitu kamu lebih senang melihat Bunda mati Satya! Silahkan kamu menolak dan membatalkan pernikahan ini, maka Bunda lebih baik mati daripada menanggung malu!" Bunda Dona keluar ruangan menyusul Andin.
Satya mengusap kepala dan wajahnya dengan kasar sambil berteriak mengeluarkan amarah, kebencian dan rasa kecewa mendalam.
"Vera! Toni! tega sekali kalian mengkhianatiku!" Aku akan membalas perbuatan kalian.
Satya membatin dihatinya meluapkan kekesalan dengan berteriak.
"Din, tolongin gw Din, Tolongin keluarga gw Din. Gw mohon" Dinda beraih tangan Andin memohon agar Andin mau menikah dengan Satya kakaknya.
Bunda Dona menatap Dinda dan Andin sedang dalam posisi Dinda memohon pada Andin.
"Sayang, boleh Bunda bicara sebentar?" Bunda Dona meraih tangan Andin menatap wajah Andin dengan tatapan kesedihan dengan mata sembabnya.
Andin mengalah, walaupun berat hati, Andin menerima permintaan Bunda Dona.
Andin tak pernah sedikitpun terbayangkan akan terjadi hal ini.
Andin yang awalnya mengurusi pernikahan Kakak sahabatnya justru kini Andinlah yang akan menikah dengan Satya, kakak Dinda.
*
Dalam satu tarikan nafas Satya mengucap ijab kabul dengan lancar.
Kini Andin SAH menjadi istri Satya, kakak sahabatnya, pria yang tak terbayang dalam benak Andin menjadi suaminya.
Tamu undangan saling menatap dan berbisik-bisik.
Bagaimana bisa mempelai wanitanya berbeda dengan nama yang tertera diundangan.
Terlebih rekan-rekan kerja mereka yang tak mengetahui kejadiannya.
Satya memasangkan cincin pernikahan yang semula akan ia pasang dijari Vera, kini sudah melingkar di jari manis tangan Andin.
Begitpun Andin memasangkan cincin pernikahan di jari manis Satya.
Rasanya seperti mimpi di siang bolong bagi Andin.
Andin menatap ke arah Satya, namun Satya dengan tatapan tak peduli dengan wajah kaku masih terlihat jelas kemarahan yang tertahan.
"Ya Allah, mengapa ini terjadi padaku?" Andin berbicara dalam hatinya.
Setelah akad langsung dilaksanakan Resepsi sampai pukul 20.00 WIB.
Suasana pernikahan yang seharusnya bahagia dan begitu dinantikan kedua mempelai, justru suasana sedih dan mencekam.
"Satya, Andin, kemari Nak." Bunda Dona memanggil keduanya.
"Kalian sekarang sudah menikah resmi sah baik secara agama maupun negara. Apapun kondisinya kalian bisa sampai menikah, namun hak dan kewajiban kalian sebagai suami istri tetap harus kalian jalani. Bunda harap kalian berdua bisa menerima, menjalani dan saling mencintai satu sama lain. Lakukanlah dengan perlahan-lahan." Bunda memeluk kedua anaknya yang terpaksa menjalani pernikahan seperti ini.
Tak ada yang menjawab, Andin maupun Satya hanyut dengan fikirannya masing-masing.
...****************...
Satya mengantar Andin ke kosan Andin.
Keduanya kini berada di kamar kos Andin.
Mengemasi barang-barang Andin untuk tinggal dirumah Satya bersama Bunda Dona dan Dinda.
Sebenarnya Satya langsung ingin kembali ke Apartemen namun dilarang Bunda Dona.
Alhasil Satya dan Andin mau tak mau menuruti.
"Andin, bisa kita bicara sebentar." Satya memanggil Andin yang sedang memasukan baju-baju ke koper.
Keduanya kini berbicara duduk lesehan dikamar kos Andin.
"Pernikahan kita memang SAH secara agama maupun negara, namun kita menikah tidak saling mencintai. Aku tidak akan menuntut macam-macam padamu. Kamu tak perlu repot-repot menjalankan kewajibanmu sebagai istri. Kamu juga tidak perlu takut aku akan berbuat macam-macam padamu." Satya dengan wajah datar berbicara menatap Andin.
"Baik. Ka." Andin hanya menjawab singkat.
Pikiran Andin belum sepenuhnya pulih.
Andin masih tidak mempercayai bahwa kini ia telah menikah.
Menjadi seorang istri dari Satya kakak sahabatnya sendiri yakni Dinda.
Meski kedekatan Andin dengan Dinda dan Bunda Dona, dan tentu Andin mengenal Satya, namun ia hanya mengenal Satya sebagai kakak Dinda, dan memang hanya sekedar tahu.
Andin bahwa jarang bertemu Satya karena saat Andin kenal Dinda Satya sudah tinggal di apartemennya sendiri.
Pribadi Satya yang dingin, pendiam dan kurang ramah membuat Andin tidak terlalu mengenal sosok pria yang kini berstatus suaminya.
Satya dan Andin sudah sampai dirumah Bunda Dona.
"Assalamualaikum." Andin dan Satya mengucap salam saat masuk kerumah.
"Waalaikumsalam." Bunda tersenyum melihat kedatanagan anak dan menantunya.
Dinda segera menghampiri sahabatnya membantu Andin membawa barang-barangnya.
"Sayang kamu sudah bawa semua barang-barang kamu dan pamit dari Kosan?" Bunda berkata saat Andin mencium tangannya.
"Iya Bunda. Sudah." Andin tersenyum saat melepas ciuman tangannya dari Bunda.
"Ya sudah sekarang kamu langsung ke atas ya, Kamar Satya di atas kamu istirahat dulu." Bunda menepuk lengan menantunya.
Setelah mencium tangan Bunda Satya memang langsung naik meninggalkan Andin yang masih berbicara dengan Dinda dan Bunda.
Dinda mengantar Andin ke kamar Satya.
Dinda melihat ada keraguan diwajah Andin saat hendak membuka pintu kamar Satya.
Dinda mengetuk pintu kamar Satya.
"Kak, buka pintunya." Dinda mengetuk sambil memanggil Satya.
"Din aku ke bawah dulu ya, kamu masuk saja. Ini kamar kamu juga." Dinda mengusap punggung Andin sambil memegang tangan Andin
Sepeninggal Dinda, Andin membuka pintu kamar Satya.
Ada keraguan dari hati Andin.
Bayangkan saja selama ini Andin hidup sebatang kara.
Andin tidak mengenal Ayahnya sejak kecil.
Andin hanya mengenal ibunya.
Namun saat Andin SMP ibunya meninggal.
Maka Andinlah sendiri berjuang melanjutkan hidup dan sekolahnya.
Sampai akhirnya Andin berjumpa pemilik WO tempatnya bekerja yang menolong Andin memberikan pekerjaan dan tempat tinggal.
Dari sanalah Andin berkenalan dengan Keluarga Dinda termasuk Bunda Dona yang memang salah satu pelanggan di butik milik Bos Andin sang pemilik WO tempat Andin bekerja.
Ceklek.
Andin masuk ke kamar Satya.
Andin mengedarkan pandangannya saat memasuki kamar itu.
Kamar bernuansa didominasi warna putih, krem, dan hitam tampak sekali menunjukkan sisi pria dewasa yang maskulin.
Andin mendengar suara gemericik air dari kamar mandi.
"Mungkin Kak Satya sedang mandi." gumam Andin karena memang sejak Andin masuk kamar ini kosong.
Andin memilih duduk di sofa yang berada dikamar itu.
Andin tidak mah lancang karena ini kamar Satya.
Selang beberapa lama Satya keluar dari kamar mandi.
Keduanya sama-sama terkejut.
Andin seketika memalingkan wajahnya.
Andin tak memungkiri wajahnya pasti merah saat ini.
Melihat Satya hanya menggunakan handuk setengah badan dan membiarkan dada bidang nan atletisnya terekspos nyata membuat mata Andin sekejap mampu menangkap detail roti sobek tersebut ditambah tetesan air dari rambut basah Satya membasahi tubuh Satya yang bisa dikatakan sempurna layaknya oppa-oppa drakor yang sering Andin kagumi.
Begitu Satya, meski ia bukanlah pria polos karena bagaimanpun ia sudah berpacaran dengan Vera cukup lama.
Selayaknya kedua insan dewasa berpacaran tentu tak asing bagi Satya menunjukkan tubuhnya kepada Vera, meski Satya menjaga betul bahwa mereka tidak akan pernah melakukan hal yang satu itu sebelum menikah.
Jika hanya sebatas pelukan, ciuman, pegangan Satya den Vera biasa melakukannya.
Melihat reaksi Andin Satya hanya tersenyum mencibir.
Satya mengambil pakaiannya dan bergegas masuk kamar mandi dan memakainya.
Andin masih duduk disofa, dan kembali mengedarkan pandangannya setelah Satya masuk ke kamar mandi.
"Apa-apan dia, seenaknya saja cuma pake handuk doang." Andin yang saat ini sudah bisa mengendalikan gemuruh jantungnya setelah melihat pemandangan indah.
"Kamu bisa pakai lemari yang di sebelah kiri. Masukan baju-baju kamu disitu." Satya berbicara setelah keluar kamar mandi tentu kini dirinya sudah menggunakan kaos dan celana santai.
Andin memasukan baju-bajunya ke dalam lemari yang ditunjukkan Satya.
Sementara Satya memilih berkutat dengan Laptopnya dimeja kerja.
Melihat gelagat Andin bingung setelah selesai memasukan baju Satya kembali bersuara.
"Kalau kamu mau mandi, handuknya bersihnya ada di dalam lemari, namun kalau kamu mau handuk baru coba tanyakan pada bibi." Satya menjelaskan tanpa melihat wajah Andin.
"Aku bawa handuk sendiri Ka." Andin hendak menuju kamar mandi.
Memang tubuhnya sudah rindu dengan air. Letih rasanya badan, pikiran dan hati Andin.
"Oh iya Din," ucapan Satya menghentikan langkah Andin hendak masuk kamar mandi.
"Kamu tidak perlu canggung. Kamar ini kamar kamu juga sekarang. Satu lagi, lusa kamu siap-siap kita akan pulang ke Apartemen. Kita akan tinggal di apartemen. Mungkin kamu tidak nyaman berdua bersamaku, namun lebih aneh lagi bila kita tinggal terpisah dan tidak terlihat bersama. Seperti yang pernah aku katakan. Aku tidak akan meminta dan menuntut macam-macam. Jadi tidak perlu repot-repot menjadi istriku. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Begitupun kamu silahkan lakukan mu seperti biasa tanpa perlu sungkan atau ijinku." Satya dengan suara datar dan wajah menatap Andin.
"Iya Ka, Aku paham. Kakak tidak perlu khawatir. Akupun tidak akan menuntut macam-macam terhadap Kakak." Andin segera masuk ke kamar mandi.
Dalam kamar mandi Andin memejamkan matanya saat merendam tubuhnya.
"Pernikahan seperti inikah yang harus aku jalani?" batin Andin dengan lirih.
Disaat dirinya masih terluka akibat pengkhianatan Tio, mantan kekasih Andin yang tentu tak bisa Andin lupakaan saat Andin memergoki keduanya tengah asik melepas gairah tanpa sehelai benang distudio foto Tio.
Kini Andin harus menjalani pernikahan tanpa cinta dengan laki-laki yang tak mencintainya bahkan memberikan garis dan jarak yang begitu lebar.
Andin menetaskan airmatanya seolah lelah akan perjalanan hidupnya yang berliku, berbalut kesedihan dan nestapa.
Dalam titik ini, Andin merasa hancur tak punya semangat.
Meski selama ini cobaan dan ujian datang menyelimutinya meski mampu dilewati, tapi Andin tetaplah manusia biasa, bisa merasakan sakit dan terluka hingga kehilangan semangat hidup.
Sudah berapa lama Andin berada dikamar mandi.
Satya yang sudah dikabari bibi ditunggu Bunda makan malam dibawah mau tak mau mengetuk kamar mandi mengecek keadaan Andin.
"Andin, Andin." Satya mengetuk pintu kamar mandi.
Andin bergegas merapikan pakaiannya. Dengan Kaos putih dan celana pendek serta rambut yang masih tergulung handuk Andin keluar dari kamar mandi.
"Kamu bertapa Din, lama banget?" Ucap Satya yang datar dirasa membingungkan Andin bercanda atau memang kesal.
"Bunda menunggu kita makan malam." Satya kembali melanjutkan kata-katanya setelah Andin tak menjawab apapun dari kata-kata Satya sebelumnya.
"Kak Satya duluan saja, aku mau keringkan rambut dulu."
Andin membuka gulungan handuk dan tergerailah rambut panjang Andin yang basah mengeluarkan aroma harum hingga tercium oleh hidung Satya.
"Harum." batin Satya dalam hatinya.
"Aku ke bawah duluan."
Satya bergegas keluar ia tak mau Andin sadar indera penciuman Satya sempat menikmati aroma wangi rambut Andin.
Andin melanjutkan mengeringkan rambutnya.
...****************...
Bunda Dona tampak berat melepas Andin dan Satya pindah ke Apartemen Satya.
Berat rasanya hati Bunda Dona terlebih mengingat pernikahan mereka berdua terjadi secara tiba-tiba.
Bunda Dona khawatir akan hubungan kedua.
5 hari dirumahnya Bunda Dona tahu bahwa Satya dan Andin sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda layaknya sepasang pengantin baru.
Tidak ada komunikasi intens antara Satya dan Andin.
Tentu hal tersebut membuat Bunda Dona khawatir akan kelangsungan rumah tangga keduanya.
"Sayang, sering-sering datang kesini. Satya pokoknya bunda mau setiap libur kamu menginap disini bersama Andin."
"Iya Bun." Satya menjawab Bundanya sambil memasukan koper kedalam bagasi mobilnya.
Satya dan Andin Pamit meninggalkan rumah Bunda menuju Apatemen Satya yang berlokasi tidak begitu jauh dari tempat Satya bekerja.
Jarak apartemen Satya hanya membutuhkan 20 menit menuju kantornya.
Sebab itulah Satya memilih tinggal di apartemennya karena lebih efisien dari segi waktu.
Dulu Vera lah satu-satunya wanita yang keluar masuk apartemen Satya.
Selama perjalanan Satya san Andin tak ada satupun yang berbicara.
Keduanya asik dengan pikirannya masing-masing.
Meski kini Andin akan menempuh perjalanan lebih jauh menuju tempat kerjanya.
Apa boleh buat, suka tidak suka Andin kini istri Satya, bukankah seorang istri wajib ikut kemanapun suaminya pergi.
"Istri?" batin Andin segera ditepisnya hingga Andin tak menyadari ia tersenyum.
Satya memperhatikan senyuman Andin.
Tanpa disadari senyuman tersebut menular pada Satya.
Satya dan Andin serta dibantu security apartemen menuju unit apartemen Satya di lantai 19.
"Terima kasih Pak." Satya mengatakannya sambil memberikan tip kepada security.
Andin membuntuti Satya masuk ke Apartemen Satya.
Apartemen Satya yang berukuran Studio dengan nuansa putih dan padanan warna dasar lainnya.
Seperti kamar dirumahnya, Satya memang senang dengan sesuatu yang adem dan kalem.
"Kamu bisa masukan baju-baju kamu dilemari itu." Satya menunjukkan Andin lemari yang ia maksud.
Andin membereskan baju-bajunya dan setelah rapi Andin hendak menuju dapur.
Satya meneguk air dingin dengan sangat kehausan hingga jakunnya bergerak menimbulkan gelayar pada leher kokoh miliknya.
Melihat pemandangan tersebut Andin menghentikan langkahnya semula akan mengambil air.
Satya melihat Andin yang mematung menatapnya.
"Kalo mau minum ambil disini. Untuk makan malam aku akan pesan online, karena kulkas kosong belum sempat aku isi. Oh iya satu lagi, kamu tidak perlu repot-repot karena setiap hari akan ada petugas yang membersihkan Apartemen ini. Begitupun dengan laundry 2 hari sekali petugas laundry akan datang." Satya kini duduk disofa sambil menonton film di Netflix.
Andin tidak menjawab hanya menganggukan kepala saja.
Kemudian Andin memilih mengganti pakaiannya sekaligus mandi.
Andin turun ke bawah menuju tempat Groseries di Apartemen Satya.
Saat keluar Apartemen Andin memang belum sempat bilang pada Satya. Karena Satya sedang berada dikamar mandi.
Andin mendorong keranjang, menuju display mie instan.
Andin memang menyukai mie instan, selain murah meriah tentu harganya pas dikantong Andin sebagai anak Kos, meski kini ia pensiun jadi anak Kos.
Andin begitu senang, sejenak ia memiliki waktu sendiri setelah 1 minggu ini seluruh jiwa dan raganya terasa tergadai akibat segala kejadian diluar kuasanya.
Saat ini Andin hanya terpikir mau makan mie instan dengan sawi, cabe rawit dan telur.
Membayangkannya saja liur Andin mau menetes.
Tak lupa Andin juga membeli beberapa cemilan dan roti untuk sarapan mereka besok.
Ya, Mereka adalah Andin dan Satya.
Meski Satya menegaskan mereka akan mengurus hidup masing-masing, namun Andin berpikir tentunya urusan makan menjadi tanggung jawab Andin.
Bagaimanapun juga Andin tetap akan menyiapkannya.
Mau dimakan atau tidak terserah.
Andin memasukan teh, kopi dan susu.
Andin sempat mengecek rak didapur.
Memang tidak ada stok apapun.
Jadi Andin membeli makanan untuk makan malam dengan mie instan dan sarapan besok dengan roti dengan teh, kopi atau susu.
Andin sebenarnya tipikal orang yang biasa sarapan pagi dengan makanan berat, namun badan letih Andin ditambah baru saja pindahan, Andin memutuskan memakan makanan yang mudah saja.
Satya melihat keseluruh penjuru kamar apartemennya.
Tak terlihat Andin disana.
Satya menggambil HP hendak menghubungi Andin, namun suara HP Andin berdering dari nakas.
Andin lupa membawa HP.
Satya mengecek pekerjaannya sambil menunggu Andin pulang.
Andin kembali dengan kantong belanjaan.
"Assalamualaikum." Andin masuk dan melihat Satya sedang didepan Laptop.
"Waalaikumsalam. Darimana?" Satya menjawab salam melihat kantong belanjaan ditangan Andin.
"Aku dari Groseris, Beli Mie instan, aku mau makan mie. Kak Satya mau?" Andin memindahkan belanjaannya dan siap mengeksekusi mie instan impiannya.
"Kok makan Mie aku pesankan online saja ya. Ga bagus malam-malam makan mie." Satya menjawab dengan wajah kurang suka.
"Kalau kakak mau pesan silahkan, aku mau masak mie, sedang kepingin makan mie soalnya." Andin tak terbantahkan keinginannya makan mie tak ada yang bisa menghalangi.
Satya memilih tak menjawab, ia pun memilih memesan makan untuk dirinya saja.
Andin begitu ceria meracik mie instan rebusnya ala Andin, dengan tambahan sawi, telur rebus double dan cabe rawit kali ini Andin juga memasukan bakso.
Wah alangkah nikmat membayangkan Mie Rebus Ala Andin.
Pesanan makanan Satya datang bersamaan dengan Mie Rebus Ala Andin yang sudah jadi siap disantap.
Kini keduanya duduk dimeja makan menikmati menu makanannya masing-masing.
Satya melirik ke arah Andin dan makanannya.
Tampak tergiur dengan Mie Rebus yang Andin makan.
Sementara Satya mengaduk makanannya dengan malas.
Andin memperhatikan Satya yang tengah menatap makanannya.
"Kak Satya mau coba? Atau aku mau buatin mie?" Andin menawarkan Satya.
"Sepertinya enak. Tapi ga usah deh." Satya menghentikan ucapannya.
Andin menangkap Satya mau tapi sepertinya enggan makan dengan makanan Andin, ya kadang orang kan ada yang merasa jijik makan bersama orang lain.
"Gpp Kak, aku buatin dulu saja yang baru." Andin hendak bangun.
Tangan Satya menahannya.
"Ga usah Din, memang gpp kalo aku coba ?" Satya melirik meunjukkan mangkok mie Andin.
"Kak ga geli makan bareng aku emang? semangkok berdua?" Andin memastikan.
"Jadi kamu geli?" Satya Balik tanya.
Tapi babibu dan berdebat panjang Andin juga masih laper ingin kembali menyantap mienya.
Andin tanpa permisi menyuapi Satya, begitupun Satya melihat arah sendok kemulutnya seketika membuka dan melahapnya.
Satya mengunyah menikmati makanan dimulutnya yang disuapi Andin.
"Enak." senyuman Satya terlihat.
Kini keduanya makan mie instan semangkok berdua dengan Andin menyuapi Satya dan Satya dengan nyaman melahapnya.
"Alhamdulillah." Ucap keduanya bersamaan.
Tentu saja baik Satya maupun Andin tersenyum dengan kekompakan lafaz hamdalah keduanya.
Andin sedang mencuci piring dan membersihkan dapur pasca memasak tadi.
Satya yang kembali menonton TV sedikit mencuri-curi pandang ke arah Andin.
Senyuman Satya mengembang mendengar Andin yang sedang beres-beres sambil bersenandung kecil namun terdengar sampai telinga Satya.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!