Lelaki itu berlari dan terus mengayunkan kakinya secepat mungkin meninggalkan sesuatu dibelakangnya. Sesekali wajahnya yang disertai ketakutan itu menoleh hanya untuk memastikan kalau sesuatu itu tak mengejarnya.
Napasnya berkali-kali nyaris hilang saking dijalari rasa takut yang sedemikian merasuk.
Dimana? Dimana jalan keluarnya?!
Lelaki itu terus berlari dan dinding labirin yang terbuat dari tanaman hidup itu seakan mengejeknya yang tak mampu menemukan rute yang bisa membuatnya keluar dari tempat itu.
Ya Allah! Keluarkan aku dari sini, kumohon!!!
Wajahnya yang pias makin memelas, berpadu dengan napas yang sudah tertekan ke ujung tenggorokan meresap bersama kelelahan yang menyelubungi sekujur serat-serat ototnya.
Makin lama lelaki itu makin lunglai dan akhirnya rasa nyeri yang menyucuk limpa membuatnya terpaksa menghentikan langkahnya.
Ya Allah... jalan ini seakan tak berujung...
Lelaki itu mengeluh, sekaligus gagal paham dengan peristiwa yang dialaminya saat ini. Ia sendiri tak tahu pasti, mengapa ia terperosok ke tempat ini. Ia tak mengerti, mengapa dia harus mengalami hal semacam ini?
Seingat benaknya, Ia baru saja berkemul selimut, mengantisipasi hawa dingin yang memenuhi ruangan kamarnya. Kantuk yang datang perlahan mulai mengawini kedua kelopak matanya yang juga lelah setelah seharian mengamati pemandangan dari sejak subuh hingga pukul Dua Belas dini hari.
Namun dia tiba-tiba telah berada ditempat ini, terjebak dalam labirin yang seakan tak memberi jalan untuk keluar. Lelaki itu membungkuk menumpukan kedua tangannya pada lutut, dan membuang pelan napas yang dirasainya begitu sesak.
"Arya.....? Dimana kau.....?"
Suara seorang wanita kembali menggema di dinding-dinding labirin itu. Suara itu begitu dikenalnya. Itu suara dari masa lalu. Suara yang akhir-akhir ini sering muncul dalam mimpinya.
Arya, lelaki itu, yakin bahwa pengalaman yang dialaminya saat ini adalah mimpi. Bagian *c*onsius disudut jauh wilayah subsconcius didalam benaknya memberontak dan memberitahu dirinya sendiri bahwa ini adalah sesuatu yang tidak nyata, hanya sebuah virtual real yang terpampang dari sekian byte dari komponen-komponen organik otaknya sendiri.
Tapi... ini serasa lebih nyata ketimbang kehidupan itu sendiri.
Arya sudah kenyang berhadapan dengan teror dan tantangan disepanjang karirnya sebagai seorang enterpreneur. Namun teror kali ini, merupakan teror yang tak mampu dihilangkannya meskipun harus menyewa sepasukan regu elit untuk memberangus pemilik teror tersebut.
Teror itu terus menghantuinya dimulai dari sebuah percakapan yang tak secara sengaja kembali mengungkit masa lalu. Masa yang begitu ingin dilupakannya sebab terlalu sakit jika ingin dikenang lagi.
Itu adalah masa yang paling tidak membahagiakan baginya secara personal. Rasa bersalah yang terbit akibat peristiwa itu sampai saat ini begitu sulit untuk dihilangkan.
"Aku merasa, karma telah benar-benar menampar kita, Arya." ujar sahabatnya pada suatu ketika saat ia menjenguknya disebuah rumah sakit.
Sahabatnya itu menderita penyakit prostat yang entah kenapa tidak pernah lagi tersembuhkan. Ia menderita karenanya. Sangat menderita. Menjelang akhir kehidupannya, sahabat itu memintanya datang.
"Kau ingat tentang Schnucky?" ungkit sahabatnya tiba-tiba.
"Kau masih mengingatnya?" desis Arya memicingkan mata.
Sahabatnya itu tersenyum. "Arya, hingga saat ini, rasa bersalah itu tetap ada. Tidak akan hilang, Arya." keluh sahabatnya.
"Lalu... apakah kau pernah kelepasan omong menyinggung nama itu dihadapan istrimu?" selidik Arya.
Sahabatnya tersenyum, "Aku menutup rapat benar-benar kisah itu dari Rahmi. Hingga saat ini, ia tak mengetahui dosa yang kita berdua lakukan, Arya..." ujar sahabatnya kemudian mengeluh sedikit lalu menyambung bicaranya. "Arya... sebelum kau menemukannya... dosa itu tidak akan hilang. Percayalah padaku... aku sudah mengalaminya."
Arya hanya tersenyum, "Lalu... menurutmu, aku harus mencarinya dimana?" ujar Arya dengan sedikit kesal.
"Waktuku tinggal sedikit, Arya." tandas sahabatnya. "Aku hanya meminta satu permintaan kepadamu."
"Apa itu?" tanya Arya.
"Jika kau menemukannya.... titip salamku kepadanya... katakan... aku sangat menyesal dan sangat menyesal karena... aku tidak mampu menebusnya..." ujar sahabatnya itu.
Arya kembali tersenyum.
...****...
"Kutemukan kau, Arya!" seru suara itu.
Arya terhenyak dari lamunannya dan menatap sosok dihadapannya. Sosok itu seorang wanita berjilbab panjang dengan pakaian yang telah koyak disana-sini. Sebelah *********** yang membulat itu nampak malu-malu menyembul dari robekan kain yang koyak-koyak itu.
Bagian bawahnya, rok yang panjang, juga koyak, dilumuri oleh debu dan nampak aliran darah mengalir dari bagian pribadinya yang terselimut rok itu, mengalir membasahi kedua kakinya dan membuat jejak yang jelas saat ia melangkahkan kakinya.
"Kau! Kau!" Arya hanya bisa mengucap kata itu sambil megap-megap tak kuasa mengendalikan kontrol tubuhnya yang mendadak lumpuh.
"Arya... kau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!" seru wanita itu dengan wajahnya yang terlihat beringas.
Arya merasa napasnya terhenti di tenggorokan.[]
Arya Kusuma Datau, menatap dengan sayu, sebuah pusara batu yang berdiri tegak, sedikit oleng. Entah karena struktur tanah yang lembek, atau pengaruh pergerakan lempeng bumi, membuat batu nisan itu menjadi seperti itu.
Disana terpahat sebuah nama dari seseorang yang telah menemani kehidupannya selama dua dekade. Sejak kecil mereka bersama dan mengarungi kehidupan dengan takdir yang berbeda-beda, namun tak sedikitpun saling melupakan sebab tali persahabatan yang terjalin lebih layak disebut sebagai saudara yang tak dilahirkan dari rahim ibu kandungnya.
...RUDIANTO RAMUS BOBIHU...
...Lahir : Toto, 31 Desember 1999...
...Wafat : Kabila, 28 Oktober 2020...
Arya menghela napas kembali. Kepergian sahabatnya seminggu yang lalu masih menyisakan luka perih. Sebagai seorang enterpreneur kawakan, Arya tidak banyak memiliki sahabat. Dan Rudi - nama panggilan sahabatnya itu - senantiasa ada meskipun sesibuk apapun ia menggeluti pekerjaan sebagai seorang aparatur sipil negara.
"Kalau kau menemukannya.... titip salamku kepada Schnucky... katakan padanya, secara pribadi aku meminta maaf atas perbuatanku. Aku sangat menyesalinya..."
Kalimat-kalimat yang diutarakan mendiang Rudi kembali terngiang dalam benaknya. Kenangan semalam terlintas lagi.
...*****...
TIDAAAAAAAAKKKK.......
Arya terbangun dengan tubuh bersimbah peluh. Matanya nyalang memandang tembok yang ditengger jendela, namun tatapan itu terlihat kosong. Napasnya megap-megap pertanda kesulitan benar ia hendak meraup berjuta-juta ion oksigen sekedar menyegarkan kembali kedua kantung paru-paru miliknya yang sejak tadi jyaris kehabisan udara.
Sejenak kemudian, kesadarannya kembali dan Arya berhasil mengenali ruangan tempat tidurnya sendiri. Napasnya perlahan mulai teratur dan paru-parunya mulai berfungsi dengan penuh, menyerap udara dan mengeluarkannya secara ritmis.
Arya menundukkan wajah sejenak dan lengannya kemudian terangkat menyeka peluh yang memenuhi wajah dengan punggung lengan itu. Arya baru menyadari sekujur tubuhnya telah bermandi keringat ketika udara dingin yang berhembus dari penyegar ruangan terasa menyejukkan kulit dan perlahan mulai membuatnya kedinginan.
Arya mendesah lega dan sejenak komat-kamit lalu meludah ke kiri untuk menghilangkan efek negatif dari mimpi buruk yang merasukinya tadi. Untuk menghilangkan efek dingin, ia menelanjangi dirinya sendiri. Benar-benar polos bagai seorang bayi dewasa, layaknya Adam alaihisalam yang baru saja diturunkan ke hamparan mayapada.
Perlahan suhu tubuhnya menghangat dengan sendirinya, mengantisipasi arus dingin dari angin yang dihembuskan oleh alat penyegar ruangan.
Kalau kau bermimpi buruk, maka meludahlah ke kiri dan bacalah doa perlindungan agar apa yang kau takutkan itu tidak akan terjadi....
Kalimat-kalimat pesan yang pernah diucapkan ibunya, terlintas dan seketika Arya langsung mengamalkannya. Lelaki itu kemudian merebahkan kembali tubuhnya meskipun ia kini kehilangan minat melanjutkan tidurnya.
Arya sejenak menoleh ke nakas dan meraih weker. Jam pengingat itu menunjukkan angka digital 02.21 menit. Empat jam lagi, pagi akan segera menjelang. Lelaki itu meletakkan lagi weker itu ditempatnya dan kembali berbaring menghadapkan tubuhnya ke arah langit-langit kamar.
Perasaan gelisah kembali merasuki benak lelaki itu. Kantuk benar-benar hengkang dari kelopak matanya dan kelihatannya sulit sekali untuk membuatnya kembali lelap meski sejenak.
Arya akhirnya bangkit dan duduk disisi dipan seraya menumpukan kedua sikunya pada lututnya, lebih mirip patung The Thinker karya Auguste Rodin.
Wajahnya merunduk menatap hamparan lantai sekitar dipan yang dilapisi permadani lembut. Sekali lagi lelaki itu mendesah dan akhirnya tetap diam disana menunggu pagi.
...******...
TIT TIT TIT TIT...
Bunyi suara khas dari gawai yang tersimpan di saku, berhasil mengembalikan kesadaran Arya yang sempat mengembara dalam khayalan. Lelaki itu kemudian sigap merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah Handphone dari sana. Ia mengaktifkan nada panggilan itu.
📲 "Assalamualaikum, Ya Ma...?" tanya Arya.
📲 "Nak, jam berapa kamu pulang?" tanya suara wanita parobaya diseberang.
📲 "Sebentar lagi, Ma." jawab Arya sambil senyum. "Arya lagi menyambangi Rudi..."
📲 "Habis itu, pulang ya nak." pinta wanita dari seberang itu. "Ibu mau konsultasikan sesuatu denganmu."
Arya manggut-manggut sejenak.
📲 "Iya, Ma." jawab Arya.
Percakapan seluler itu terputus dan Arya kembali menyimpan gawai itu disakunya. Langkahnya terayun maju dan Arya lalu jongkok disisi pusara tersebut.
Lengannya terulur dan mengusap bagian atas pusara. Sejenak ia menarik napas dan mulai berujar.
"Aku tak tahu, dimana mencari perempuan itu, Rudi..." ujar Arya dengan pelan. "Namun jika memang Allah menghendaki kembali pertemuan kami.... aku akan menyampaikan permohonan maafmu kepadanya..."
Lelaki itu kemudian bangkit lalu berbalik dan melangkah meninggalkan pemakaman keluarga tersebut. Langkahnya terayun pelan namun mantap dan tubuh lelaki itu menghilang disisi tembok yang mengarah ke jalanan. []
All New Avanza hitam yang dikendarai Arya tiba di depan gerbang kediamannya. Seorang asisten rumah tangga muncul dan menggeser pintu gerbang ke samping agar mobil keluaran Toyota itu dapat masuk ke dalam halaman.
Arya mematikan mesin kendaraannya lalu mencabut kunci pengaman dan membuka pintu. Lelaki itu kemudian keluar dari kendaraannya dan melangkah memasuki beranda rumah setelah terlebih dulu menutup pintu mobilnya dan memasang alarm.
Bunyi detukan tapak sepatu milik lelaki itu terdengar saat ia menjejak lantai, terus hingga masuk ke dalam ruangan. Arya menyeberangi ruang tamu dan ruang keluarga. Ia tak menemui orang yang diinginkannya, melainkan salah satu wanita parobaya, asisten rumah tangga lainnya yang sementara sibuk membersihkan lantai dengan vacuum cleaner.
"Ajus*) dimana, Bi?" tanya Arya.
Ajus adalah salah satu istilah dalam bahasa slang Gorontalo, merujuk pada sosok seorang ibu. Asisten rumah tangga itu menatap majikan muda itu.
"Ti Ajus ada di beranda samping, Pak." jawab wanita parobaya tersebut dengan santun.
Arya mengangguk lalu melangkah menuju sayap bagian kiri rumah, menemukan sebuah beranda dimana sang ibu lagi asyik menyeruput minuman dan membaca majalah.
"Assalamualaikum..." sapa Arya seraya mengucap salam.
Wanita parobaya itu menoleh sambil mengeluarkan kacamata yang bertengger dipangkal hidungnya. Ia menoleh saat Arya maju hendak mencium tangannya. Wanita itu menyodorkan tangannya dan disambut penuh hormat oleh sang anak, dibawa menuju wajahnya dan dikecup pelan sambil dieluskan ke permukaan wajahnya.
"Duduk, nak." perintah wanita parobaya tersebut. Dengan takzim, Arya mengikuti kemauan sang ibu.
Arya mengambil tempat duduk dan duduk menghadap ke arah sang ibu. Wanita parobaya itu meletakkan kacamata di meja, beserta majalah yang dibacanya itu.
"Ada apa, Ma?" tanya Arya dengan sopan.
Sejenak wanita parobaya itu memandang lekat putranya itu. Arya menunduk menyadari tatapan sang ibu begitu lekat.
"Sudah berapa usiamu, nak?" tanya wanita parobaya itu.
Arya bungkam ditanyai hal itu. Yang jelas arah percakapan sudah dapat ditebak. Sang ibu juga tidak menuntut jawaban. Putranya sudah tahu kode dari pertanyaan tersebut.
"Arya belum menemukan wanita yang cocok untuk dijadikan menantu, dari Mama." kilah Arya sambil menebar senyum santun.
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan pelan lalu mendesah. "Uyong, mau sampai kapan kau bertahan dengan kesendirianmu itu? Kau sudah sangat layak, bahkan wajib harus membina rumah tangga. Apakah kamu mau hidup diusia senja dalam kondisi kesepian?" tegur sang ibu sedikit merajuk.
Arya menghela napas. Teguran itu telak menghantam bagian terdalam sanubarinya. Ia tak memungkiri bahwa umurnya yang telah mencapai 29 tahun, sudah sangat kelewat batas jika mempertahankan status jomblo akutnya itu.
"Mama sudah sangat ingin menimang cucu, nak." ujar wanita parobaya itu dengan wajah memelas.
Arya menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dan menebar jawaban dengan sopan. "Apakah tidak terburu-buru, Mama memaksaku untuk menikah?" tanya Arya dengan pelan.
"Justru semestinya kamu harus malu." balas sang ibu, "Di usia ini, kamu belum bisa memberikan Mama seorang menantu yang baik dan cucu yang lucu." tuntutnya. "Banyak dari anak-anak teman Mama yang sudah menikah. Kamu tahu? Mama sering menjadi bahan karlota ibu-ibu kompleks sini!" rajuknya.
"Iya..." jawab Arya dengan pelan dan sabar. "Sedikit lagi, Mama akan mendapatkan seorang menantu yang baik dan cucu yang lucu."
"Kapan?" tuntut sang ibu.
Lagi-lagi Arya terdiam. Sang Ibu kembali menghela napas.
"Mama nggak mau kamu terlalu lama menunda-nunda." ujar sang ibu, "Yang jelas, Mama sudah melihat calon mantu itu, tiga minggu setelah ini."
Arya terkejut mendengar tuntutan ibunya. Lelaki itu sontak menatap wajah sang ibu.
"Ma... mencari menantu, bukan seperti berbelanja di toko. Ini bukan untuk sesaat, Ma." protes Arya, meski suaranya dipelankan.
"Sudah cukup kamu banyak berkilah, Arya." tukas ibunya kemudian melengos sejenak membuang rasa kesalnya. Arya sendiri kembali menundukkan wajahnya.
Setelah merasa emosinya sedikit mereda, wanita parobaya tersebut kembali menatap putranya.
"Atau ibu akan mencarikan kamu, jodoh?" pancing wanita parobaya itu.
Arya menegakkan wajah dan tertawa mendengar tawaran ibunya.
"Ma... ini bukan jaman Siti Nurbayah lagi, main jodoh-jodohan begitu." tegur Arya setengah mengolok.
"Daripada kamu malas mencari?" balas ibunya.
"Baiklah. Dalam tiga minggu ini, anakmu ini akan mencari-cari perempuan yang bisa membuat Mama bersedia." ujar Arya kembali berupaya menenangkan ibunya.
"Dan jika kamu tak menemukannya dalam jangka tiga minggu ini, maka kau harus rela dengan perjodohan yang Mama gelar untukmu!" sahut wanita parobaya tersebut.
Arya akhirnya mengangguk saja, memenuhi permintaan ibunya. []
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!