Di suatu malam yang tenang.
Jika menurut beberapa orang dunia baik-baik saja, merasa damai dengan semua keadilan yang telah dikaji sedemikian seriusnya. Apa manusia benar-benar bisa membuat dunia yang adil dengan semua hukum yang tertulis itu?
Sebuah video amatir terputar.
"Jangan bang."
Pukulan itu mengenai wajahnya.
Bagi Kevin dunia sungguh tidak adil. Sungguh Ia tidak ingin hidup seperti ini. Merasa tidak layak diperlakukan seperti ini. Bahkan Ia tidak mengerti apa salahnya.
"Lepasin saya bang."
BLAM!
Pukulan lagi.
Setelah menerima banyak pukulan. Kevin tersungkur tangannya siap menepis apapun yang akan datang ke wajahnya. Tapi semua sia-sia kan? Pada akhirnya jika ditepis pun serangan ini akan datang lagi berkali-kali.
Meski sekarang bisa menahannya sebanyak mungkin, bagaimana dengan besok? Apa masih bisa? Setiap pulang sekolah mereka akan terus menyergapnya. Terus bergulir menjadi bom waktu yang membesar dan siap meledak kapan pun.
Bakbukbakbuk!
Kimon yang sejak tadi telah melihat apa yang diperbuat ke temannya mulai gemetar.
Perundungan terjadi kepada mereka berdua, hanya saja menunggu giliran tiba. Keduanya merupakan murid SMA Elang Emas ditahun ajaran baru. Mereka tidak tahu jika karena masuk sekolah terkutuk ini, akan jadi seperti ini.
Di tengah laut air yang tenang pun, bisa memakan banyak korban. Di tengah baiknya reputasi SMA Elang Emas, ada banyak cerita yang tak terkatakan.
Kevin meronta-ronta meminta dilepaskan, mengakhiri semua yang diperbuat kepadanya. Wajahnya memar, pelipisnya membengkak biru, merasa lemas tak sanggup berdiri.
Keringat dingin mengalir di dahi Kimon. Menyadari gilirannya akan segera tiba. apa yang mereka perbuat kepada kevin akan dia dapatkan juga. Nafasnya tercekat hanya dengan memikirkan itu, darahnya mengalir deras mengatasi ancaman yang Ia pikirkan, membuatnya tidak bisa berpikir logis sekarang.
Video berhenti.
Kimon berhasil melarikan diri.
Ada beberapa hal dalam hidup tidak bisa diubah, salah satunya ialah masa lalu. Karena semua ini telah terjadi, tidak dapat ditarik dan diubah lagi hasil akhirnya.
[Catatan kepolisian mengatakan bahwa warga setempat menemukan satu orang tewas dengan luka memar serta pendarahan diarea kepala.]
Kimon berlari keluar dari tempat itu dimana orang-orang tadi mengepungnya. Entah bagaimana Ia bisa lolos melarikan diri. Tidak ada yang mengerjarnya. Ia berlari seolah dirinya hampir mati.
Karena bersekolah ditempat yang salah. Keadaan ini telah merusak seluruh psikis dalam dirinya hingga tiap kali melihat seorang berjalan kearahnya Ia menganggapnya sebagai sebuah ancaman. Berulang kali terjadi, hidup dalam rasa takut khawatir kejadian yang menimpa Kevin akan menimpa dirinya juga.
Hingga Ia tak berani untuk berinteraksi dengan siapapun. Dunia seolah menghukumnya untuk alasan yang tidak diketahui, seorang yang hadir di sekitarnya diam-diam telah menempelkan kutukan kepada dirinya.
Kimon bertekad untuk tidak berangkat sekolah lagi setelah dengan susah payah mencoba melawan dirinya sendiri yang selalu dihantui rasa cemas itu. Tak ada yang peduli tentang dirinya, tidak ada seorang pun yang mencari dirinya, atau menganggapnya menghilang.
Dengan begitu, Kimon merasa lebih baik dirinya mati. Namun, dirinya pun tak sanggup melakukan hal buruk kepada dirinya sendiri. Jadi biarlah dunia melakukan tugasnya hingga membuatnya mati entah bagaimana caranya.
"Biarin gua pergi ke neraka selamanya. Daripada, harus ngerasain hidup malang yang perih kaya gini."
***
Tiga bulan bulan lalu.
SMA Elang Emas.
Jalan ramai dipenuhi murid di penerimaan tahun ini, kemacetan memenuhi lalu lintas sekitar. Sekolah ELANG EMAS menerima banyak murid yang berjumlah mencapai sekitar seribu lebih dari berbagai jalur penerimaan.
Salah satunya adalah Baskara. Ia berasal dari luar kota Jakarta. Karena hal yang tidak diketahui ia bisa diterima bersekolah di daerah metropolitan ini. Terlihat wajahnya cukup ramah sehingga mudah diterima oleh lingkungan. Rambutnya hitam pekat dengan poni belah pinggir ke arah kanan. Ia tidak terbilang tinggi karena bisa diukur hanya sekitar seratus enam puluh lima centimeter, namun posturnya cukup bagus.
[Baskara Mahendra, kelas satu, Murid baru.]
Angin semilir hingga pepohonan di taman berguncang rantingnya, menandakan cuaca cerah pagi itu. Acara dimulai murid berbaris rapih di lapangan serbaguna di tengah SMA Elang Emas yang dikelilingi gedung bertingkat tempat mereka bersekolah nantinya.
"Oke singkat aja dari gua." Ujar seorang cowok berambut pirang yang berdiri di mimbar. "Gua Pras ketua tim pengamanan dari organisasi di sini."
[Aditya Prasetya, Kelas dua, Ketua tim pengamanan organisasi.]
"Liat tuh petinggi SMA ini, orang-orang julukin dia 'Monster Pirang'." Celetuk murid baru yang sedang berbaris.
"Kenapa dijulukin gitu?"
"Katanya, dia pernah dikepung sama musuh sekolah ini. Rumornya, cuma dia yang berhasil lolos dengan modal tangan kosong."
"Jadi seperti yang kita tau SMA kita termasuk sekolah favorit di Jakarta" Lanjut Pras lagi. "Kalian sebagai murid kelas satu pasti jadi incaran musuh-musuh sekolah ini."
Seorang murid perempuan mengangkat tangan. "Maksud kakak? Kita masuk SMA ini sama aja 'bunuh diri' gitu?"
"Seharusnya sepadan sama yang kalian dapetin. Karena sekolah ini gratis dan banyak dari kalian bisa sekolah di sini gara-gara rekomendasi dari sekolah sebelumnya." Sanggahnya menenangkan. "Dengan kualitas pendidikan dan organisasi yang baik. Gua harap kalian bisa ngerti."
Murid berbisik satu sama lain mempertanyakan keamanan mereka untuk bersekolah di sini. Tapi adapula sebagian dari mereka yang telah mengerti resiko bersekolah di sini.
Salah seorang cewek mengharap semua bisa baik-baik saja disini. Namanya Melody, Ia juga berasal dari luar Jakarta. Sebagai seorang cewek Ia cukup atletis dan terlihat sangar, namun di sisi lain tetap cantik. Berkulit agak kehitaman, berambut ikal dengan tinggi yang lumayan. Ia ahli memainkan alat musik, Terlihat dari tas yang dibawanya yaitu tas gitar akustik.
[Melody Kartika, Kelas satu, murid baru.]
"Muka lu keliatan takut?" Tanya seorang cowok di sebelahnya.
"Iya." Sahutnya seraya menoleh. "Soalnya gua baru di Jakarta, dan nggk ngerti apa-apa tentang sekolah ini." Imbuhnya.
"Tenang gua orang sini." Seolah berusaha menenangkan cewek itu. "Kenalin gua Alvin."
Ujarnya sambil mengulurkan tangan.
"Gausah salaman bisa kan." Malahan mendapat sambaran ketus dari Melody.
Alvin tertawa "Sorry-sorry.. Pokoknya kalo lu butuh sesuatu bisa kabarin gua, okey?"
[Alvin Hoover, Kelas satu, murid baru.]
Adapula Alvin, berbeda dengan yang lain Ia memang sudah besar di perkotaan ini. Matanya agak sipit, berkulit putih, dengan rambut lurus yang rapih. Ia terlihat berbeda dengan anak seumurannya karena bahu yang lumayan besar memberikan kesan gagah bagi yang melihatnya.
"Tapi kalian nggk perlu khawatir." Lanjut Pras lagi. "Ada tim yang udah gua bentuk buat jagain kalian radius tiga kilo dari sekolah ini, udah gua bagi jadi beberapa titik rawan. Di luar itu mendingan jangan pulang-pergi sendiri." Tuturnya.
"Hampir aja.. gua kira sekolah di sini bakal nggk tenang." Kata seorang murid.
"Iya padahal gua udah usaha biar sekolah gratis." Balas temannya juga.
"Tapi, jangan seneng dulu." Sela Pras.
Hening.
"Sekolah ini emang gratis.. Tapi ada pajak yang harus dibayar tiap bulan dengan jumlah.. yang seharusnya kalian sanggup bayar lah.. Uang ini bakalan dipake buat pendanaan organisasi untuk ngejaga lu semua."
Raut wajah banyak yang menunjukan kekecewaan dengan penjelasan Pras, karena banyak dari mereka yang kekurangan uang dan berusaha untuk bersekolah gratis.
Namun mereka tidak pernah tau ada hal seperti ini. Karena dijaman ini, sulit untuk mencari uang dan jarang pula yang bisa melanjutkan sekolah.
"Gimana nih? Bokap gua udah mentok, nggk bisa sekolahin gua. Udah masuk sini malahan ada pajak." Celetuk seorang murid mengeluh.
"Iya gua juga." Timpal temannya menambahkan.
"Gua keluar lah kalo gini mending kerja aja."
"Jauh-jauh ke Jakarta malah kaya gini. Jelas beda ekonomi daerah sama kota.. Udah pasti gua nggk bisa bayar."
Sudah dua tahun terakhir sistem pajak dalam sekolah ini dijalankan untuk meminimalisir kekerasan yang terjadi di luar sekolah Elang Emas. Karena sebelum ini sudah memakan banyak korban jiwa karena peperangan antara sekolah dan geng motor.
"GUA NGGK PERLU DIJAGAIN! GUA JUGA NGGK MAU BAYAR PAJAK ILEGAL!!" Teriak seorang murid baru di tengah barisan.
Hening.
Mata Pras menatap lekat sambil menunjuk. "Okey kita liat aja.. berarti lu siap mati." Pungkasnya menyelesaikan upacara penerimaan.
***
Seorang cowok terduduk seraya menghisap rokok. Di sekelilingnya bergelimpangan murid-murid tak berdaya, Ia duduk di punggung salah satunya.
"Jadi siapa yang mau cari gara-gara lagi?" Tanya Alex menantang.
Ia baru saja dikeroyok banyak murid kelas satu, sekitar sepuluh orang. Mereka sok jagoan tanpa mengetahui siapa yang mereka lawan.
Seorang lagi yang baru saja Ia pukuli, masih tersadar mengelus perut seraya membungkuk kesakitan.
"Maaf, Bang. Gua cuma lagi nyari panggung di sekolah baru ini."
Alex menatap sinis. "Sekarang lu udah tau kan? Kenapa sekolah ini dari dulu nggk bisa dikalahin?" Ia bertanya retoris. "KARENA ADA ORANG KAYA GUA!"
Hening.
[Alexander Leonardo, Kelas dua, Calon petinggi organisasi.]
Murid kelas satu itu ketakutan hingga tak berani menatap mata Alex secara langsung.
"Mulai sekarang lu semua di sini jadi anak buah gua!" Ia berdiri lalu melangkah pergi.
Siluet seseorang memperhatikan dari sisi lain gedung sekolah, di balik gorden di lantai dua.
"Cari tau siapa bocah itu." Titahnya. "Kita bisa jadiin bidak buat nguatin organisasi."
"Siap, Bos." Balas anak buahnya singkat.
***
Baskara menyusuri lorong. Mencari tau letak kelasnya berada kelak, karena hari ini belum memulai kegiatan sekolah. Berusaha menyocokan nomor kelasnya dengan kartu pelajar yang baru saja Ia miliki. Sekolah ini memiliki area yang cukup luas. Bangunan utamanya berbentuk kotak mengitari lapangan yang lumayan luas karena terdapat beberapa kotak lapangan yang memiliki pola garis berbeda-beda sesuai kegunaannya. Dan juga, Masing-masing bangunan tersebut memiliki tinggi tiga lantai.
Ketika memasuki gerbang sekolah terdapat jalan menuju lapangan utama dengan kanan-kirinya yang terdapat taman kecil untuk singgah di dalam area sekolah.
Baskara berdiri di salah satu pintu ruang kelas. Ruangan dengan nomor yang sama seperti di kartu pelajar milliknya. Ia membuka pintu kelas. Berada seseorang di dalam kelas tersebut.
Ia seorang diri.
"Eh ada orang." Ucap Baskara basa-basi. "Sorry gua nggk ngetuk dulu."
Seorang murid itu tersenyum. "Ah gapapa, Gua juga baru liat-liat kelas."
"Sama dong." Balas Baskara hangat. "Anyway, Siapa nama lu?" Ia menautkan alis penasaran.
"Kevin."
[Kevin Octavianus, Kelas satu, murid baru.]
Baskara mengulurkan tangan. "Baskara."
Itu merupakan perkenalan yang akan membawa petaka bagi sekolah ini.
"Ayo kita keliling bareng."
Di luar sisi bangunan utama terdapat gedung lain untuk kegiatan murid. Juga banyak laboratorium, seperti Lab. komputer, Lab. Sains, Lab Bahasa. Untuk seukuran sekolah gratis di sini memiliki fasilitas yang cukup bagus.
Adapula, kantin yang terletak di lantai bawah. Terdapat banyak rooftop di atas gedung sekolah, yang sering dipakai tidur siang oleh beberapa murid senior yang membolos.
Sekolah ini secara utuh berbentuk kotak sederhana dengan tembok pembatas yang cukup tinggi agar tidak mudah membolos keluar, dengan satu gerbang utama yang dijaga ketat organisasi.
Kevin dan Baskara berkeliling sekolah bersamaan di hari penerimaan. Teman pertama yang Ia kenal di sekolah barunya.
***
Alvin mencengkeram bola basket dengan kedua tangannya. Perkenalan pertamanya di sekolah cukup buruk pagi ini. Ia mulai memantulkan bola itu ke lapangan berkali-kali, berusaha mengendalikannya, lalu menyusuri pinggir lapangan mendekati ring, dengan melangkahkan kaki seraya memegang bola dan Ia melompat setinggi mungkin.
BUM!
Bola memasuki ring.
Napasnya naik turun. Dengan keringat di sekujur badan. Ia memutuskan untuk beristirahat, karena kesulitan untuk berinteraksi hingga belum berkenalan dengan siapapun lagi setelah tadi pagi. Yang Ia kenal mungkin hanya beberapa teman basket sejak SMP yang duduk di kelas dua. Tetapi hari ini mereka belum saling bertemu.
Alvin telah memainkan bola basket sejak tadi untuk mengusir rasa bosan. Menghabiskan waktu hingga sore, karena Ia enggan untuk pulang lebih awal.
Setidaknya Ia lebih baik melakukan sesuatu daripada harus kembali ke sebuah tempat yang disebut sebagai 'rumah'. lagipula, setelah dipikir lagi, Ia juga tidak punya tempat pulang.
Alvin merupakan seorang yang perasa, hatinya mudah berempati kepada orang lain meski tidak mengenalnya. Matanya sering mengamati sekitar, memastikan semua baik-baik saja dipandangan matanya.
***
Tim pengamanan menyebar di setiap jalan utama di radius tiga kilometer dari sekolah. Upaya seadanya yang dilakukan organisasi untuk menjaga keamanan murid sekolahnya. Juga alasan bagus untuk memungut pajak ilegal.
Pras memimpin timnya memastikan semua tetap aman. Memonitor semua dari sekolah, lewat hape dari tim yang telah Ia sebar.
Tapi apa upaya ini akan memastikan keamanan murid setiap saat? Sedangkan manusia bisa lengah juga malas. Apalagi terkait orang lain. Memikirkan diri sendiri lebih penting bukan?
Karena semua manusia sejatinya adalah egois.
Mata Pras terasa berat, menguap. Ia melempar hape sembarangan. Mengangkat kakinya ke meja di depannya. Lalu melipatkan kedua tangannya di dada, kemudian tidur seraya merebah di kursi. Karena tidak ada yang lebih penting selain diri sendiri, kan?
***
Sekarang.
Sari biji kopi yang dilarutkan dengan air bersuhu tinggi mengucur dari portafilter lalu turun ke seloki menjadi espresso, Diambilnya lalu dituangkan ke wadah yang telah berisi susu dan es batu. Tak lupa diberinya sedotan untuk menikmatinya.
Bell berbunyi.
"Iced caffe latte!"
Waiters pun mengambil pesanan yang telah jadi langsung dari Bar.
"Gimana hari pertama kamu SMA, Bas?" Tanya seorang pria paruh baya.
"Biasa saja, de." Jawab Baskara. "Cuma ada informasi aja untuk pembayaran lagi bulan depan."
[pakde; akronim bapak gede, sapaan kepada kakak laki-laki ibu atau ayah.]
"Lho bukanya sekolah kamu itu gratis?"
Air dari westafel mengucur. "Iya, pakde. Cuman beberapa waktu lalu dikasih tau ada biaya tambahan sedikit."
"Apa masih cukup untuk kebutuhan bulanan kamu kalau ada biaya itu?"
"Masih cukup ko, de. Biaya kosan ku murah, nanti untuk makan ku hemat-hemat lah." Timpalnya sembari membersihkan peralatan kopi yang dipakai tadi. "Bas, bersyukur bisa dikasih pekerjaan disini jadi bisa tetep bersekolah, de."
"Iya pakde juga cuman bisa bantu seperti ini. Semoga bisa lancar yah sekolah kamu." Katanya tersenyum. "Tolong bantu, bude mu di dapur sana, Bas."
"Siap pakde!"
***
["Tahun ini terjadi anomali cuaca diberbagai daerah, termasuk kota Jakarta. Diprediksi hujan lokal akan terjadi di beberapa titik ibukota, oleh sebab itu sumur resapan yang dibangun dibeberapa titik dipercepat."]
Suara berita dari televisi yang menyala di ruangan berpetak.
["Masuk ke berita selanjutnya, warga Manggarai digemparkan dengan penemuan mayat disebuah gedung tak terpakai pagi ini yang diduga adalah siswa dari SMA Elang Emas."]
Sontak mata Baskara terperangah mendengar berita tersebut. Padahal itu kan dekat dari letaknya sekarang, juga dekat dengan area sekolah menurut radius pengamanan. Ia keheranan dicampur khawatir, karena kematian murid sekolahnya itu menjadi sorotan di berita.
["Tidak ada luka tembak maupun tusukan di tubuh siswa tersebut, namun luka lebam di wajah hingga ke seluruh tubuh dan belakang kepala yang terus mengucurkan darah. Masih menunggu tim forensik untuk memastikan penyebab kematiannya. Polisi berusaha melacak pelaku pembunuhan tersebut."]
"Apa Jangan-jangan tim pengamanan lengah?" Ia berusaha konsentrasi memperhatikan wajah korban di televisi.
Terbesit di pikirannya untuk mengingat apa korban termasuk seorang yang Ia kenal. Tak memberikan cukup bukti karena wajah diblur oleh pihak televis. Hal ini mengganggu benak Baskara hingga membuatnya harus memastikannya sendiri.
Maka, Ia mengambil sling bag dan beberapa yang barang dimasukan ke dalamnya, setelah itu pergi menancap gas motor jadulnya.
Binter Merzy 200 cc.
***
BRUUMM
Bermodalkan alamat dari televisi dan juga mengetahui ciri tempat yang ditampilkan, Jarak kosan baskara dekat dengan TKP sehingga bisa sampai dengan waktu yang singkat.
Warga masih ramai mengitari TKP, Sirene masih menyala dari mobil polisi yang terparkir. Garis pembatas berwarna kuning terpasang tanda bahwa tidak ada yang boleh melewatinya, selain pihak berwenang. Beberapa oknum polisi menghimbau warga untuk membubarkan diri.
Baskara memicingkan mata dari kejauhan, menerabas di tengah keramaian untuk mendekat. Berhenti didepan garis kuning sembari 'celingak-celinguk'.
"Nggk heran SMA ini emang punya banyak musuh." Celetuk seorang warga. "Masuk SMA ini sama aja nggk sayang nyawa."
"Setau gua di sekitar sini ada markas Tim Pengaman. Kok bisa kecolongan yak?"
"Ya namanya orang bisa juga lagi lengah kan."
"Iya juga sih."
"MINGGIR!" Ujar seorang pria menerabas dengan terengah.
"Jangan mendekat, mas!" Himbau polisi yang berjaga. "Nanti bisa ngerusak barang bukti!"
"Saya gurunya di sekolah pak! Saya berhak buat liat kondisi murid saya!"
"Untuk liat boleh saja! Sementara ini tim forensik lagi menganalisa bukti."
"Oke pak saya cuma ingin dokumentasi untuk data ke sekolah dan kabar kepada orang tua murid yang bersangkutan." Lalu Ia memotret area sekitar TKP dan mayat korban dari beberapa sisi.
Namanya pak Jajang, Ia adalah guru SMA Elang Emas di departmen konseling bertugas untuk mengawasi murid yang bermasalah. Dengan ditemukannya mayat muridnya tentu saja menambah pekerjaannya yang tidak sedikit.
"Hadehh.." lanturnya mengeluh. Dengan mata menyipit melihat hasil foto satu per satu keluar dari kerumuman.
"Pak Jajang!" Panggil Baskara. "Boleh saya minta foto dari area TKP tadi?"
"Ohh kamu murid saya juga ya?" Tanyanya ragu.
"Betul, pak!"
"Oke saya kirim tapi tolong jangan disebarkan!"
"Terimakasih, Pak Jajang."
Baskara termangu, kaget setelah melihat hasil foto korban tanpa diblur. "Kevin?"
***
[Kevin Octavianus, kelas satu.]
Lembar foto korban pembunuhan ditengah meja. Setelah di otopsi dipastikan bahwa korban mengalami pendarahan parah dikepala yang diduga terbentur benda tumpul, dan tak sadarkan setelah mencoba melawan. Setidaknya begitu yang tertulis dilaporan tersebut.
"Pras, sebagai ketua tim pengamanan. Gimana lu bisa jelasin ini?" Tanya seorang cowok bernada tegas.
"Tim nggk bersiaga sampai sore, Bos. Itu kejadian kan di luar jam kita." Jelas Pras membela diri.
"GUA NGGK MAU TAU SOAL ITU!"
"Tapi bos-"
"Kita bisa hilangin kepercayaan sekolah. Kalo gini caranya organisasi kita lama-lama bisa nggk dapet ijin buat mungut pajak lagi."
Semua yang hadir di rapat itu terdiam memasang wajah tegang. Ia adalah orang nomer satu di Elang Emas saat ini, ketua organisasi. Jarang terlihat di permukaan, hanya mengendalikan lewat bayang-bayang.
[Nama tidak diketahui, Ketua Organisasi.]
"Pras, pokoknya lu harus organisir bocah supaya nggk ada kejadian gini lagi. Ada pertanyaan kali ini?"
Sementara itu Fara langsung menyambar mengangkat tangan, memberi sinyal.
"Silahkan."
"Untuk daerah Manggarai setau gua aman. Baru kali ini ada kasus di daerah itu. Dan, ada satu sekolah yang bisa kita curigai." Fara terhenti sejenak. "SMA Murai Merah!" Lalu melanjutkan dengan tuduhan tidak terduga.
Hening sekejap.
[Angel Farasya, kelas dua. Ketua Tim medis organisasi.]
Semua petinggi yang hadir berbisik resah.
"Mereka udah lama 'tertidur' jadi nggk mungkin mereka." Ujar Alex.
"Iya, juga udah dua tahun terakhir ini kita nggk ada ancaman dari mereka."
"Jadi gimana bos?"
"Usut, Pras! Kalo mereka melanggar perjanjian itu kita ratain!" Perintah langsung dari ketua. "Gua nggk bakal main-main untuk Murai Merah."
Perjanjian damai memang sudah dilakukan ke beberapa sekolah. Salah satunya ialah kepada Murai Merah yang terjadi dua tahun lalu. Satu musuh terlalu banyak, seratus teman terlalu sedikit.
Han berbisik khawatir akan terjadi perang besar seperti dua tahun lalu. Mengingatkannya bagaimana banyak mukjizat menyertai ketua hingga bisa menaklukan Murai Merah yang terkenal tak terkalahkan itu. Ia sangat menghormati ketua organisasi.
[Alfonsus Hansel, kelas tiga, ketua tim penyelidik organisasi.]
Ia salah satu dari tiga orang yang selamat dari tawuran besar yang terjadi dua tahun lalu. Beberapa orang tertangkap, luka parah dan memilih tidak kembali bersekolah. Pertempuran pecah sore itu terjadi di 'kandang' Murai Merah dikepung kira-kira seratus orang gabungan setiap tim Elang Emas. Berhasil meratakan sekolah itu hanya beberapa jam saja, pertama kalinya dalam sejarah perseteruan SMA. Yang akhirnya membuahkan hasil perjanjian damai bersyarat. Tidak ada yang tau pasti bagaimana kejadian di akhir tawuran itu dan syarat apa yang diajukan. Hanya tiga orang selamat yang bisa menceritakan dan menyaksikan pertempuran hingga akhir, yang kini beberapa menjadi petinggi Elang Emas.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!