NovelToon NovelToon

The Story Of "A"

Keluarga Absurd

Seorang anak kecil berusia sepuluh tahun nampak menatap sendu ke arah depan. Menatap iri pada teman-temannya yang datang bersama orang tuanya. Hari ini ada perayaan di sekolahnya.

Perayaan yang juga mengundang orang tua dan wali murid untuk ikut menghadiri perayaan itu. Itu semua akan terjadi pada semua temannya. Tapi tidak dengan dirinya.

Dia menghela nafasnya. Papa dan mamanya tidak akan mungkin datang ke perayaan di sekolahnya. Tidak mungkin dan tidak akan pernah. Mata anak kecil itu mulai berkaca-kaca.

"Vi..." panggil sebuah suara.

Anak kecil itu menoleh. Ahh, siapa lagi yang akan peduli padanya selain kakeknya.

"Ya, Kek" jawab anak kecil itu.

"Ayo masuk Boy, acara sudah akan dimulai" ajak pria yang dipanggil kakek itu.

Dengan langkah malas ia mengikuti langkah sang kakek. Mengikuti acara yang akan sangat membosankan bagi anak itu.

***

Braakkkk,

Suara pintu yang ditutup begitu keras. Membuat Vera dan Bryan yang baru pulang kerja, langsung terlonjak kaget.

"Ada apa dengan dia?" tanya Bryan ketus. Dia lelah, ingin istirahat sampai di rumah. Tapi yang ia dapat malah gebrakan pintu dari putra tunggalnya.

"Akan aku lihat" ucap Vera lembut.

"Vian, boleh Mama masuk" ucap Vera lembut mengetuk pintu kamar sang putra.

Vian hanya diam. Tidak ingin menjawab. Tidak ingin membuka pintu. Dia bosan dengan jawaban yang akan dia dengar. Hanya janji tanpa bukti.

Siang tadi dia sudah meluapkan amarahnya pada sang kakek. Namun kali ini berbeda. Dia tidak akan dengan mudah luluh pada janji dan bujukan sang mama.

"Dia marah. Apa kalian tidak ingat kalau semalam kalian berjanji akan datang ke sekolah Vian" suara kakek David terdengar dari meja makan.

Vian sengaja makan lebih dulu. Agar dia tidak perlu makan malam dengan papa dan mamanya. Sebagai bentuk protesnya.

"Aku ada meeting penting dengan klien. Papa kan tahu perusahaan kita sedang menurun. Dan klien kita tadi mau menanamkan modal yang tidak sedikit" Bryan beralasan.

"Aku juga Pa, ada investor yang ingin menanamkan investasinya di perusahaanku" Vera juga menyampaikan alasannya.

"Tapi itu bukan alasan untuk tidak ke acaranya Vi kan? Kalian tahu, kalian tidak pernah sekalipun meluangkan waktu untuk bersama Vi" David menasehati.

"Tapi Pa yang kami lakukan juga demi masa depannya" Bryan kekeuh pada tindakannya.

"Lagipula dia sudah besar. Bisa mengurus dirinya sendiri" tambah Vera.

"Justru karena dia sudah besar. Dia semakin membutuhkan perhatian dari kalian. Dia itu masuk usia remaja. Usia di mana dia akan mencari jati diri. Mencari tempat yang nyaman baginya untuk meluapkan isi hatinya. Vi perlu perhatian dan dukungan dari kalian" jelas David.

"Alah, perhatian dan dukungan dari Papa sudah cukup bagi Vian" Bryan berucap.

"Tugas kami memastikan dia tidak kekurangan apapun di masa depan" tambah Vera.

"Bry, Ra... Vi tidak akan kekurangan materi di masa depan. Papa berani jamin itu. Tapi untuk saat ini tolong beri perhatian lebih pada Vi" mohon David.

"Nanti kami coba" jawab Bryan ambigu.

Meski David tahu, jawaban Bryan hanyalah jawaban semu tanpa bukti. Berulangkali janji itu keluar dari mulut putra dan menantunya. Tapi pada akhirnya hanya jadi omong kosong belaka.

"Aku sudah memperingatkan kalian. Tapi kalian tetap saja mengabaikan peringatanku. Jadi jangan salahkan aku jika putra kalian pada akhirnya akan menjauh dari kalian. Mencari tempat yang lebih nyaman untuknya" batin David penuh makna

Sementara itu di balik pintu kamarnya, Vi sudah menangis tertahan.

"Ma, tidak bisakah mama jemput Vi sekarang" batin Vi sambil mengusap gelang yang yang terus berada di pergelangan tangannya sejak ia baru lahir.

***

14 tahun kemudian,

Seorang pria dengan wajah tampan, rahang tegas dengan alis tebal menaungi sepasang netra tajam, yang dengan sekali tatap mampu meluluhkan hati lawan jenisnya. Pria bertubuh tinggi itu tampak berdiri menatap keluar jendela ruang kerjanya. Netra hitamnya terpejam. Surai rambut hitamnya tampak beriap-riap mengikuti arah angin yang menyapunya.

"Tuan, meeting sudah siap untuk dimulai" ucap sang asisten.

"Lima menit aku akan ke sana" jawab pria itu dengan suara baritone yang terdengar seksi di telinga kaum hawa.

Sang asisten undur diri. Vian membalikkan badannya. Membuat wajahnya yang sendu terlihat jelas. Ya, pria itu adalah Vian. Di usianya yang kedua puluh empat tahun. Dia sudah menjabat sebagai wakil CEO di perusahaan papanya.

Menjadi wakil sang papa. Sebuah pilihan yang tidak bisa ia tolak. Hanya karena permintaan sang kakek yang meninggal lima tahun yang lalu.

"Sementara ini tetaplah seperti ini. Ikuti saja kemauan papamu. Tetaplah di tempatmu sampai waktunya tiba. Mereka akan datang menjemputmu" pesan terakhir sang kakek untuknya kala itu.

"Aku tidak akan menunggu lagi, Kek. Aku muak dengan semua ini" batin Vian mengepalkan tangannya sendiri.

****

Sementara itu di belahan negara lain. Seorang gadis cantik dengan kacamata yang masih bertengger manis di hidung mancungnya, masih sibuk dengan kertas-kertas designnya.

Dialah Alana Aira Lee, putri sulung dari Tania dan Jayden Lee. Berusia 22 tahun. Di usianya kini, dia yang menuruni bakat design sang mama, sudah dipercaya untuk memegang usaha custom perhiasan join dengan Kai, sang Paman. Yang ia panggil Pakdhe.

Panggilan yang membuat pria paruh baya yang masih seksi dan tampan itu jadi sering darah tinggi dibuatnya.

Bibir Lana masih berguman, mendendangkan lagu yang tidak tahu apa. Sedang tangannya masih sibuk menari diatas kertas. Ketika pintu ruangannya dibuka. Rahma sang asisten masuk.

"Mbak waktunya makan siang" Rahma mengingatkan.

"Bentar lagi Ma, nanggung" jawab Lana.

"Tadi Bu Tania sudah menelepon berulangkali ke ponselnya Mbak. Katanya nggak diangkat. Jadi nelepon saya" jelas Rahma.

Lana langsung mengangkat kepalanya. Meraih ponselnya.

"Yah mokat" keluhnya sambil menepuk jidatnya.

Sedetik kemudian dia bergegas memberesi pekerjaannya. Meraih tasnya.

"Tolong dicas ya Ma. Oh ya mereka makan di restoran biasa kan?" tanya Lana.

Rahma mengangguk. Lana lantas melesat keluar dari ruangannya. Menuju ke restoran favorit keluarganya yang hanya berbeda blok. Karena kantor Lana berada di sebuah pusat perbelanjaan di pusat kota Surabaya.

"Maaf Pa, Ma, hape Lana mokat. Jadi tidak tahu Mama neleponin Lana" ucap Lana sambil mencium punggung tangan Tania dan Jayden.

"Aku tidak disalimi?" tanya Young Jae sang adik.

"Elu adik gue. Yang ada elu yang salim sama gue" ketus Lana.

"Hei..sudah, sudah. Masak berantem mulu tiap ketemu. Mbok yang akur gitu. Kayak mbak Lia sama Hyung-nya" nasihat Tania.

Dua anaknya langsung menirukan gerakan muntah.

"Huwek....Mama nggak salah ngomong? Akur? Akur darimananya?" tanya Young Jae.

"Mereka tu nggak akur, tapi Hyung yang ngalah sama mbak Lia" tambah Lana.

"Kan itu lebih baik. Kelihatan baik" Jayden sang papa mulai ikut bicara.

"Nggak mau ah. Itu muna, munafik. Lain di hati lain di mulut" jawab Lana.

"Lah kok jadi kemana-mana sih ngomongnya" Tania melerai. Kalau tidak mereka tidak akan jadi makan siang.

"Kak, kapan kakak mau punya pacar" tanya Tania. Sambil menikmati makan siang mereka.

Lana memutar matanya malas. Entah kenapa akhir-akhir ini sang mama jadi ribut soal dirinya yang belum punya gandengan cowok.

"Belum ada yang pas ma" jawab Lana enteng.

"Ya iyalah nggak ada yang pas. La wong patokanmu Mas Rafamu sama Hyung-mu. Mau cari dimana coba kopian mereka berdua. La wong yang saudara kandung saja tidak ada yang sama" cerocos Jayden.

Lana nyengir mendengar omelan Papanya.

"Peace Pa, peace" jawab Lana menunjukkan jarinya yang membentuk huruf V.

"Kamu itu sudah umur berapa. Jangan santai-santai gitu" omel Jayden lagi.

Jayden hanya takut kalau putri tunggalnya itu akan jadi jomblo akut. Gegara saking memuja sepupunya sendiri. Rafa adalah putra sulung Kai dan Natasya. Wajah Rafa memang bisa bikin cewek manapun auto ngiler, sekali melihat wajah Rafa yang memang terkesan sensual.

Sedang yang dipanggil Hyung oleh Lana, tentu saja Hyun Ae. Putra sulung Lee Joon dan Nina. Hyun Ae yang paling tua umurnya diantara generasi kedua itu. Tapi justru itulah, diusianya yang menginjak 27 tahun. Hyun Ae terlihat begitu dewasa dan matang. Membuat Lana selalu termehek-mehek kala bertemu Hyung-nya itu.

Lana sendiri entah kenapa jadi begitu santai soal pacar bahkan pasangan hidup. Atau karena dia terbiasa dikelilingi oleh para cowok. Jadi dia tidak terlalu menghiraukan masalah pria. Karena setiap kali mau pergi ke acara yang membutuhkan pasangan.

Dia tinggal pilih mau bawa siapa. Yang lokal punya ada Riko, putra Rey dan Maura. Yang oriental ada Archie, putra Sean dan Nita. Jadi dia tidak ada masalah.

"Dinasehatin malah melamun. Jadi bagaimana?" tanya Jayden pada Lana. Sedang Young Jae langsung mengulum senyumnya. Melihat kakak perempuannya disidang.

"Ha? Apanya yang bagaimana, Pa?" tanya Lana gelagapan.

"Tu kan nggak nyambung. Papa heran deh. Kamu tu kalau diajak ngomong head to head suka blank, nggak nyambung. Tapi kok kamu pinter ya" ucap Jayden heran.

Lana langsung melebarkan senyumnya.

"Terima kasih atas pujian Papa. Lana jadi tersanjung" ucap Lana narsis.

Sedang Jayden langsung menepuk jidatnya.

"Tu kan Ma. Papa ngomong kemana. Dia nyambungnya kemana" keluh Jayden.

Tania mengusap pelan lengan sang suami.

"Lana, Kakak, mbok ya yang serius to diajak ngomong Papa" bujuk Tania.

"Gini deh. Sebenarnya kalian itu takut Lana jadi perawan tua kan? Jangan khawatir kalau Lana sudah mentok, Lana tinggal comot Riko atau Archie buat nikah sama Lana" ucap Lana enteng.

"What!!!" teriak ketiga orang itu bersamaan.

"Are you serious?" tanya Jayden memijat pelipisnya yang pusing gegara ucapan frontal putri sulungnya.

"Gue ogah ya punya ipar mereka. Kayak kagak ada yang lain. Gue tiap hari kelonan ma mereka. Masak iya besok gantian mereka yang ngelonin elu. Nggak...nggak!"

"Young Jae" teriak yang lain.

Membuat Young Jae langsung menutup telinganya.

"Duh kenapa keluarga jadi absurd begini ya" batin Lana sambil geleng-geleng kepala.

***

Novel baru sudah launching ya. Dikepoin ya...🤗🤗🤗

***

Rebellion Begin

"Aku akan ke Singapura akhir minggu ini" ucap Vian pada sang mama.

Vera sedikit mengerutkan alisnya.

"Untuk?" tanya Vera.

"Bertemu Thomas Anderson. Klien sekaligus investor di perusahaan" jawab Vian.

Vian pikir akan menggunakan kesempatan ini untuk lari. Kala sang ayah sedang tidak ada di rumah. Bryan Aditama, sang ayah sedang berada dalam perjalanan bisnisnya ke wilayah lain di Australia. Yang Vian tahu, sang ayah sedang ada di Wellington, New Zeland (Selandia Baru).

"Berapa lama?" selidik Vera.

"Oh come Ma, sejak kapan Mama peduli denganku?" ketus Vian.

Hubungan mereka memang boleh dikatakan tidak baik. Nampak harmonis di luar. Namun sebenarnya menyembunyikan bara api yang membara di dalamnya.

"Vian jaga ucapanmu!" Vera menaikkan oktaf suaranya. Dia tidak suka dengan ucapan Vian.

"Kenapa? Memang yang Vian katakan salah?" Vian pun tak kalah sengit.

"Vian, hormati Mama. Mama yang mengandung dan melahirkan kamu" suara Vera semakin meninggi.

"Lalu? Apa itu cukup? Setelah itu Mama mengabaikanku, sibuk dengan dunia Mama. Tahu begitu aku tidak minta dilahirkan Ma" ucap Vian tajam.

Jleb,

Ucapan Vian seolah pisau yang mengoyak hati Vera. Ya, kehadiran Vian adalah sebuah kesalahan pada awalnya. Tapi berakhir manis. Tapi kesalahan Vera adalah begitu Vian berumur tiga tahun. Vera yang kala itu mendapat izin bekerja dari Bryan. Menjadi tidak bisa membagi waktu antara Vian dan pekerjaannya.

Hingga anak itu tumbuh dengan kasih sayang yang kurang dari Vera. Membuat hubungan mereka terasa dingin. Tidak hangat layaknya hubungan ibu dan anak pada umumnya. Vian terus menjaga jarak dengan kedua orang tuanya.

Keadaan semakin memburuk dengan meninggalnya kakek David, lima tahun yang lalu. Satu-satunya tempat bernaung bagi Vian, juga tempat Vian mendapat kasih sayang yang melimpah. Tempat Vian meluahkan segala rasa yang ia punya.

"Vian..." ucap Vera dengan bibir bergetar.

Kesalahan Vera berdampak begitu besar pada Vian. Pria itu menolak semua cara yang Vera coba lakukan untuk memperbaiki hubungan mereka. Hatinya terlalu sakit untuk sekedar menerima permintaan maaf dari sang mama.

"Aku sudah selesai" ucap Vian.

Mengelap bibirnya dengan tisu. Lantas meninggalkan meja makan. Meninggalkan Vera bergeming dengan air mata yang mulai mengalir di pipi.

"Sesakit inikah rasanya? Tidak didengar sedikitpun penjelasan yang coba ingin diutarakan" batin Vera.

Sekelebat bayangan masa lalu terlintas di pikirannya.

..."Aku tidak melakukannya Ra, tolong dengarkan penjelasanku dulu" suara itu kembali terngiang di telinganya....

Air mata semakin deras mengalir di pipinya. Salahkah tindakannya selama ini? Vera teringat pesan terakhir sang papa mertua untuknya.

..."Perbaiki kesalahanmu. Sebelum kau kehilangan semuanya dan menyesalinya. Bijaklah dalam menyikapi masa lalu. Berpikirlah lebih jernih. Tidak semua yang terlihat baik di depanmu. Juga baik di belakangmu"...

Sampai sekarang, Vera tidak tahu maksud dari pesan mertuanya itu. Apa ini menyangkut Vian.Kalau iya, dia selama ini sudah berusaha memperbaiki hubungannya dengan putra tunggalnya itu. Tapi sampai sekarang hasilnya nihil. Bahkan Vian, semakin ke sini semakin dinģin pada dirinya juga ayahnya.

Vera menghela nafasnya dalam.

***

"Apa tidak sebaiknya saya ikut dengan tuan?" tawar sang asisten.

Mereka sudah berada di bandara.Sidney Kingsford Smith Airport. Siap melangit ke Singapura.

"Tidak perlu Jhon. Aku hanya beberapa hari. Lagipula tidak baik meninggalkan perusahaan kosong tanpa pengawasan. Kamu tahu, papaku belum tahu kapan dia kembali. Sedang kamu tahu sendiri. Tuan Anderson mendadak ingin bertemu" ucap Vian.

Jhon, sang asisten tampak berpikir. Sebenarnya tugas utamanya adalah mengawal seluruh pergerakan Vian. Semua tidak boleh terlepas dari pengawasannya.

Dan itulah yang membuat Vian curiga. Dia sejak kecil diawasi begitu ketat, oleh sang ayah. Seolah takut ada sesuatu yang akan menimpa Vian. Atau lebih tepatnya sesuatu yang bisa diketahui Vian.

Vian kecil bahkan tidak punya teman dekat. Saking ketatnya pengawasan yang dia terima. Bahkan sampai sekarang dia tidak punya teman dekat. Apalagi pacar. Teman wanita saja dia tidak punya. Namun dirinya juga tidak masalah. Karena di juga tidak menyukai makhluk yang bernama perempuan.

Bukan karena dirinya tidak normal. Tapi lebih kepada pengalamannya yang tidak baik dengan mamanya. Membuat Vian berpikir. Semua wanita itu sama. Sama menyebalkannya seperti mamanya.

Dia yang diawasi begitu ketat, membuat Vian penasaran. Dia tahu dirinya tidak terlahir di Sidney. Melainkan di Surabaya. Sebuah kota di negara Indonesia. Karena itu dirinya fasih berbicara bahasa Indonesia. Karena sejak kecil sang kakek menggunakan bahasa itu jika sedang berdua.

Namun anehnya sang papa justru melarang keras Vian pergi ke kota itu. Surabaya sudah diblack list dari daftar kota yang boleh Vian kunjungi.

"Kau bisa pergi ke mana saja. Tapi tidak dengan kota itu. Kota itu terlarang untukmu" ucap Bryan, sang Papa.

Yang membuat Vian justru semakin penasaran. Ada apa di Surabaya. Padahal setelah Vian telusuri. Root perusahaan mereka ada di Surabaya. Sidney hanyalah sebuah cabang yang dibuka di luar negeri. Bukan kantor pusatnya.

Kantor pusat Surabaya di kelola oleh seorang asisten yang bernama Dika. Bertanggung jawab langsung pada kakeknya semasa masih hidup. Dengan pengawasan dari Bryan. Namun sekarang semua berada dalam kendali penuh Bryan sejak sang kakek tidak ada.

Akhirnya waktu keberangkatan Vian. Seringai tipis terukir di bibir seksinya. Dia melangkah masuk ke area check in. Meninggalkan Jhon begitu saja. Yang langsung menghubungi tuannya.

"Tuan muda berangkat, tuan besar" lapor Jhon.

^^^"Biarkan saja" jawab Bryan"^^^

Hampir delapan jam, burung besi itu mengarungi angkasa membawa para penumpangnya ke satu tujuan. Changi Imternational Airport, tujuan dari burung besi itu.

Vian melangkah keluar dari bandara itu setelah menyelesaikan semua urusannya. Mencari taksi untuk mengantarkannya ke Mandarin Oriental Hotel tempatnya menginap.

Kredit Google.com

Sebenarnya dia tidak lama berada di Singapura. Setelah bertemu dengan Thomas. Vian berencana untuk langsung terbang ke Surabaya. Sampai di hotel, Vian langsung naik ke kamarnya. Vi sejenak menikmati pemandangan kota Singapura dari jendela kamarnya.

Kredit Google.com

Dari kamarnya dia bisa melihat bangunan megah Marina Bay Sands yang berada di area Marina Bay.

Menarik nafasnya pelan. Ini adalah perjalanan pertama kalinya untuk Vian. Merasakan dunia di luar Sidney yang selama ini mengurung dirinya. Jelas sebuah rasa yang menimbulkan euphoria tersendiri di dadanya.

Ada banyak hal di luar sana yang sangat menarik untuk dijelajahi. Untuk di pelajari. Dan Vian ingin merasakan itu semua. Penjara yang dibuat papanya, membuat Vian penasaran dengan dunia luar. Apalagi setelah mengecap rasa manis dari sebuah kebebasan. Membuat Vian enggan kembali ke sangkar emasnya di Sidney.

Sesaat kemudian ponselnya bergetar.

"Ya?"

"...."

"Saya akan tiba di sana dalam lima belas menit"

"..."

"Baik"

Vian melempar ponselnya. Melesat masuk ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian dia sudah siap. Seorang pria berpakaian serba hitam. Sudah menunggunya di depan pintu kamarnya.

Membawa Vian menuju sebuah private meeting room yang ada di hotel itu. Tak berapa lama Vian sudah duduk di hadapan seorang pria bule yang meski sudah cukup berumur. Namun masih terlihat bugar dan tampan tentunya.

"Good night, Mr Anderson" sapa Vian.

"Good night, it's okay bila kita bicara dalam bahasa Indonesia. Saya biasa menggunakannya dengan bos saya" jawab Thomas.

Ingat Thomas? Asisten Kai yang menjadi wakil di Liu Corp.

Vian mengerutkan dahinya. Dia pikir Thomas adalah bosnya, ternyata dia juga seorang bawahan. Sejurus Vian mengangguk. Dan selanjutnya kedua orang itu sudah terlibat dalam pembicaraan bisnis yang memuyengkan bagi mereka yang tidak paham.

Termasuk author 🤣🤣🤣

**

"Aku rasa kemampuannya lumayan" ucap seorang pria.

"Aku pikir juga begitu" sahut yang lain.

Kedua pria itu bisa mendengarkan pembicaraan Vian dan Thomas karena ruang mereka hanya disekat dengan dinding tipis. Tak berapa lama Thomas ikut bergabung.

"Bagaimana?"

"Dia luar biasa. Dia lebih hebat dari bapaknya. Lebih teliti, lebih cermat. Dia punya future sens yang bagus" puji Thomas.

"Wah benarkah itu"

Thomas mengangguk.

"Dan satu lagi. Dia tampan" kerling Thomas.

"Ogah aku kalau lihat kopian Bryan"

"Kau tidak lihat wajahnya?" tanya Thomas.

Kedua pria itu kompak menggeleng.

"Kami hanya mendengar suaranya. Ya memang terdengar seksi sih"

Pria satunya langsung tersedak.

"Are ýou serious?" tanyanya tidak percaya. Dia masih terbatuk-batuk.

"Mau coba dengarkan saranku?" Thomas menaikkan satu alisnya.

"Apa?"

"Coba pertemukan Lana dengan Vian. Siapa tahu dia akan beralih dari sepupu favoritnya itu" usul Thomas.

"Ogah aku besanan sama Bryan!" tolak Jayden mentah-mentah.

"Eits lihat dulu. Tidak ada potongan Bryan sama sekali di wajah anak itu. Sejauh yang aku tangkap. Sifatnya juga jauh berbeda dari bapaknya" Thomas menganalisa.

"Tetap saja darah si gila itu mengalir dalam tubuh Vi" maki Jayden.

"Yang itu aku tidak menampiknya. Tapi lihat dulu. Dia berbeda. Dia seperti bukan anaknya Bryan. Lembut tapi tegas dan mematikan" ucap Thomas sambil membalik layar laptopnya.

"Wah, dia anak siapa sebenarnya?" seloroh Kai. Melihat takjub wajah Vian dari layar laptop milik Thomas. Sedang Jayden nampak tergugu.

"Ini sih bisa bikin Lana oleng" batin Jayden.

Tahu selera putrinya seperti apa.

Sementara itu di kamarnya, Vian sudah berganti baju. Melepas setelan resminya. Menggantinya dengan kaos oblong dan celana kargo. Dia cukup puas dengan negosiasinya dengan Thomas.

"Okay let's the rebellion begin"

****

Unforgetable First Meet

"Kenapa muka elu?" tanya Archie yang melihat Lana datang, langsung bersandar manja di lengan Riko. Dengan muka ditekuk sepuluh.

Si adik, Young Jae langsung terkekeh melihat tingkah kakaknya itu. Iyalah sang kakak pasti bad mood, dari kemarin didoktrin suruh melupakan Rafa dan Hyung tercintanya.

Yang ditanya bukannya menjawab, malah semakin melesakkan kepalanya masuk ke dada bidang Riko. Membuat Riko langsung membulatkan matanya.

"Eits, lu kira-kira dong kalau mau bermanja-manja ria. Gue normal neng" protes Riko.

"Bodo!" jawab Lana asal.

"Lu kenapa sih?" tanya Archie.

"Papa suruh gue cari pacar. Suruh ngelupain mas Rafa sama hyung" jawab Lana asal.

Semua pria di sana langsung mengulum senyumnya.

"Nggak disuruh kewong sekalian" ucap Archie asal nyablak.

"Disuruh" jawab Young Jae.

"Diem lu" ketus Lana.

"Huwaaaa, Riko gue harus gimana?" tanya Lana pada Riko. Karena biasanya hanya Riko yang pikirannya masih jalan. Sedang yang lain mangkrak di jalan.

"Kewong ya tinggal kewong. Masalahnya elu punya calon kagak?" jawab Riko enteng.

"Bukan itu masalahnya, pak kyai" protes Lana. Dia suka memanggil Riko, pak kyai karena sifatnya kalem bin menenangkan. Mirip pak kyai yang lagi ceramah. Apalagi kalau pak kyai-nya ganteng. Pasti lebih adem jadinya.

"Terus masalahnya dimana nona besar" tanya Archie.

Sedang Young Jae, dari tadi hanya jadi pendengar setia sambil memainkan ponselnya. Cari gebetan baru.

"Masalahnya gue gak bisa nyari kopiannya mereka. Gue nggak bisa meleng dari mereka" curhat Lana dramatis.

"Alah itu karena elu belum ketemu yang pas di hati elu" jawab Riko.

"Masak sih" ucap Lana tidak percaya.

"Iya, coba deh misal ni, diantara kita ada yang klik di hati elu. Kagak bakalan deh elu termehek-mehek sama sepupu elu sendiri" lagi Riko yang menjawab.

"Tapi...."

"Nggak usah protes. Mending kakak jalan sana. Siapa tahu nemu satu yang bisa jadi ganti bias elu" usir Young Jae.

"Ini lagi malah ngusir"

"Aduh, sakit Kak" keluh Young Jae karena Lana menendang kakinya menggunakan sneakersnya.

"Tampilan boleh feminim. Tapi tenaga macho" ledek Young Jae.

"Awas kamu ya" ancam Lana.

"Eeh jangan bertengkar" lerai Riko.

Sementara Archie malah terdiam mengamati Lana. Mereka sudah akrab dari mereka kecil. Dari mereka masih pakai pampers. Sampai mereka bisa pakai dalaman sendiri. Mulai dari bayi imut-imut. Sampai mereka mengenal apa itu datang bulan dan mimpi basah untuk pertama kali. Bahkan sampai sekarang. Ditambah dengan Young Jae yang ikutan nimbrung. Kadang ditambah Anis, adik Riko juga Hana, adik Archie.

Apa yang tidak mereka ketahui soal mereka. Bahkan ukuran dalaman masing-masing, semuanya tahu.

Saking akrabnya ya itu tadi kadang keduanya harus rela jadi korban keribetan seorang Lana. Misal, ke wisuda nggak ada pasangan. Dia bawa kedua sohibnya ke acara wisuda dia. Terus ngaku kalau keduanya pacar Lana. Ajib nggak tu.

Belum lagi keribetan-keribetan lain khas perempuan. Meski begitu entah kenapa keduanya rela menjabaninya. Demi seorang Lana.

Cinta? Tidak. Keduanya mengakui hanya menyayangi Lana seperti adik mereka sendiri.

"Lana boleh gue kasih saran" tanya Archie.

"Nggak, saran elu pasti sama seperti mama papa gue" kesal Lana.

"Lah memang kudu begitu. Kamu boleh sayang sama sepupumu tapi tidak boleh mangkrak, berhenti, stuck di mereka saja. Kamu harus cari ganti bias"

"Nggak mau!" pekik Lana.

"Hu... hu ...Mas Rafa.."

Sementara para pria memutar matanya jengah. Susah sekali di bilangin.

"Eh mau kemana?" tanya Young Jae. Yang melihat kakaknya berdiri lantas berlalu.

"Mau cari angin siapa tahu ada Xu Zhi Bin lewat. Biar bisa bikin gue meleng dari Mas Rafa atau hyung" jawab Lana asal.

"Iyalah tu" jawab Riko.

Memperhatikan Lana keluar dari kafe. Berjalan gontai menyusuri trotoar tanpa arah. Bersamaan dengan Vian yang keluar dari hotelnya untuk berjalan-jalan menikmati udara Surabaya.

Pria itu baru saja mendarat dari Singapura. Langsung menuju hotel. Sebelum menghubungi Dika.Asisten kepercayaan kakeknya.

"Kamu bisa mengandalkan Dika, jika kamu memerlukan bantuan" pesan kakek.

"Aduuuuhh. Jalan pakai mata dong" suara seorang gadis terdengar di belakang Vian.

Pria itu menoleh. Melihat Lana tengah beradu mulut dengan seorang pria.

"Hei di mana-mana jalan itu pakai kaki, Mbak?"

"Mbak, Mbak... aku bukan mbakmu!" pekik Lana.

"Wuih galak bener"

"Minta maaf gak? Situ yang salah jalur" teriak Lana.

"Iya deh. Saya minta maaf" ucap orang itu.

"Gitu dong"

Lana berlalu begitu saja melewati Vian.

"Gadis aneh. Judes. Jutek. Ampun deh" umpat Vian.

Baru kali ini dia melihat gadis tipe Lana. Lana melewati Vian begitu saja. Hingga dia berhenti. Tersadar akan sesuatu.

"Xu Kai" pekik Lana.

Lantas berbalik. Melihat Vian yang sedang membenahi kacamatanya.

"Xu Kai" teriak Lana.

Vian yang tidak tahu menahu. Cuek saja. Lana langsung bergegas mendekati Vian. Membuat pria itu heran. Mengerutkan dahinya.

"Ngapain nih cewek galak?" batin Vian.

"Xu Kai" panggil Lana.

"Excuse me, kamu panggil aku?" tanya Vian menunjuk wajahnya sendiri.

Lana mengangguk antusias.

"Kak Xu Kai ngapain di sini" tanya Lana ceria. Senang sekali bisa bertemu idolanya.

"Siapa itu...Xu.." tanya Vian dingin.

"Xu Kai Kak, Xu Kai" jawab Lana sabar.

"Hei, cewek aneh. Aku bukan siapa itu...aah..aku juga tidak kenal kamu. Jadi menjauh dariku. Jangan halangi jalanku. Minggir!" bentak Vian.

Membuat Lana terlonjak saking kagetnya.Detik berikutnya Vian melangkah melewati Lana, sedikit menyenggol bahu Lana, yang masih terbengong karena bentakan Vian.

"Dasar cewek aneh" maki Vian.

"Dasar cowok aneh!" teriak Lana.

Vian berlalu menjauh. Sedang Lana langsung mencak-mencak. Mengeluarkan semua sumpah serapah yang dia punya. Dia baru mau masuk ronde kedua, ingin melanjutkan makiannya. Ketika ponselnya berbunyi.

Mata Lana berbinar cerah, melihat siapa yang menghubunginya. Hilang sudah rasa marahnya pada Xu Kai KW 1. Berganti rasa bahagia yang teramat sangat, gegara mas Rafanya menelepon.

"Ya, mas Rafa" ucap Lana lembut.

Membuat Vian yang berjalan belum terlalu jauh. Hampir tersandung kaki sendiri. Mendengar suara gadis yang baru saja memakinya habis-habisan. Langsung berubah lembut gegara seseorang yang dia panggil Rafa.

Vian berbalik untuk memastikan bahwa suara itu adalah suara gadis yang baru saja memakinya. Mata Vian menyipit, menatap Lana yang tengah menelepon, sambil senyum-senyum sendiri. Persis orang gila. Gadis itu berjalan kiri, kanan, persis orang mabuk.

Vian membalikkan badannya. Enggan berurusan dengan Lana. Namun baru berbalik. Dia terhenyak. Melihat kemana Lana berjalan. Secepat kilat Vian berbalik. Melangkah cepat ke arah Lana. Yang sesuai dugaannya sudah masuk ke jalan raya tanpa dia sadari.

"Kau ini gila atau apa?" umpat Vian. Menarik tangan Lana agar menepi. Karena sejurus kemudian sebuah mobil melaju kencang. Tepat di mana Lana tadi berdiri.

Lana terkejut kala tersadar dirinya berada dalam dekapan Vian. Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Bisa keduanya rasakan, jantung masing-masing yang berdebar teramat kencang.

"Halo, Lana...are you still there" suara Rafa mengembalikan kesadaran Lana.

Secepat kilat Vian mendorong jauh tubuh Lana. Meski tetap memegang pergelangan tangan Lana.

"Kalau mau mati setidaknya usahakan jangan ada orang yang melihat. Membuat serba salah saja" maki Vian tajam plus dingin.

"Aku..." Lana tergagap.

"Halo... Lana...kamu masih disana?" suara Rafa masih terdengar di ponselnya.

"Maaf Kak.Nanti aku hubungi lagi" Lana memutus sambungan ponselnya.

Vian sudah berbalik. Berniat meninggalkan Lana yang masih dalam mode terkejut.

"Maaf dan juga terima kasih" ucap Lana cepat. Tidak ingin memiliki hutang terima kasih.

"Pikirkan lagi sebelum kau bertindak" lagi ucapan dingin itu begitu menusuk di hati.

"Ampun deh dinginnya melebihi es kutub utara" maki Lana dalam hati.

Vian kembali akan melanjutkan jalan-jalannya. Ketika dia melihat beberapa orang berseragam hitam. Berjalan ke arahnya.

"Itu tuan muda dan pacarnya. Cepat tangkap" teriak seorang diantara mereka.

Vian jelas membulatkan matanya. Bagaimana bisa dia menemukannya secepat ini. Mendengar mereka menyebut gadis didepannya itu sebagai pacarnya. Mau tidak mau Vian harus membawa gadis itu dari sana juga.

Hingga sejurus kemudian, Vian langsung menarik tangan Tania. Membawa gadis itu ikut lari bersamanya.

"Hei, apa-apaan ini. Kenapa kau menarikku?" protes Tania di tengah pelarian mereka.

"Diamlah!" bentak Vian.

"Siapa mereka? Kenapa mereka mengejarmu?" kepo Lana dengan nafas mulai tersengal.

"Aku bilang diam. Gunakan tenagamu untuk berlari" kembali Vian membentaknya.

Membuat Lana langsung mengumpat pria yang kini menggenggam erat tangannya. Membawanya berlari. Menghindari kejaran serombongan orang dengan seragam hitam. Membuat pertemuan keduanya bak drama di TV yang sering Lana tonton.

"*What an unforgetable first mee*t"

Tanpa sadar keduanya tersenyum di tengah pelarian mereka. Dengan nafas yang mulai tersengal.

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!