Di tepi hutan Vanaya, Vadya dan Sakya terlihat berjalan keluar dari hutan. Hari mulai menjelang siang. Tingginya pepohonan melindungi mereka dari terik sinar matahari. Mereka berjalan dengan santai di antara rumput dan alang-alang yang tumbuh setinggi lutut. Tidak terburu-buru karena mereka tahu sudah hampir tiba di desa Paraka.
Vadya adalah seorang pemburu. Umurnya sekitar 40 tahunan. Garis-garis wajahnya terlihat tegas lengkap dengan kumis dan janggut tipis menghias wajahnya. Badannya tinggi dan tegap. Terbalut pakaian berbahan kulit menutupi badan sampai pundaknya.
Sedangkan Sakya merupakan anak pertama Vadya yang berusia 16 tahun. Rambutnya hitam sebahu diikat rapi oleh sejenis tali dari kulit binatang. Parasnya cukup tampan dengan warna kulit sawo matang. Bahunya bidang dengan tinggi dan berat yang proporsional.
Di pundak kanan Sakya terlintang busur panah memanjang sampai ke paha kirinya. Terbuat dari kayu maple dengan tali busur dari rambut kuda yang sudah dipilin. Kuat, lentur dan halus. Busur panah yang merupakan kebanggaan ayahnya karena dibuat oleh tangannya sendiri. Busur panah ini sudah menemani ayahnya berburu selama dua puluh tahun.
Mereka berdua sudah dua hari pergi berburu di pinggiran hutan Vanaya dan memutuskan untuk pulang karena sudah mendapatkan hasil buruannya. Seekor rusa muda terpanggul di pundak Vadya. Hari ini mereka cukup beruntung.
Bagi Sakya ini bukan pertama kali dia berburu bersama ayahnya. Dalam satu bulan, ayahnya selalu membawanya berburu selama dua atau tiga hari. Dia mengajarkan bagaimana caranya berburu. Bagaimana mengenali binatang berdasarkan jejak kakinya, melacaknya, membuat jebakan, dan menguliti binatang buruannya. Sesekali, dia diijinkan untuk menyembelih binatang buruannya.
Karena Sakya baru 16 tahun, dia belum diizinkan untuk berburu sendiri. Saat ini, tugas utama Sakya hanyalah membawakan anak dan busur panah ayahnya. Setidaknya sampai dia berumur 17 tahun.
"Kira-kira apa masakan ibumu kali ini?" Vadya bertanya sambil tersenyum melihat Sakya yang hanya setinggi dadanya.
"Seperti biasa ayah, makanan kesukaan kita berdua." Sakya menjawab sambil balik tersenyum menatap Vadya. Dia sudah tidak sabar untuk segera tiba di rumahnya. Biasanya, saat dia tiba bersama ayahnya sehabis berburu, ibunya pasti memasakkan daging panggang madu yang sangat lezat.
"Ingat baik-baik kata kata ayah, saat kau mencari istri, carilah wanita yang pandai memasak," ucap Vadya menepuk bahu sebelah kiri Sakya.
"Kenapa tidak wanita yang cantik, Ayah?" tanya Sakya.
"Huh … Dengar, Nak! Kecantikan hanya bertahan satu dekade, sementara keahlian memasak akan bertahan selama beberapa generasi. Kau ingat seorang nenek bukan karena cantiknya, kau ingat dia karena masakannya. Ingatlah, Nak! Kecantikan hanyalah bonus." Vadya berkata sambil mengusap perutnya kemudian tertawa.
"Aku ingin mendapatkan istri yang bisa memasak, cantik dan kaya."
"Ha ha ha, wanita kaya yang bisa memasak? Sampai mati kau tidak akan mendapatkannya," tawa Vadya lepas. Di dunia ini wanita kaya pasti ada seseorang yang memasakkan makanan untuknya. Keinginan Sakya seperti mimpi di siang bolong.
"Baik, akan ku ingat pesan ayah," jawab Sakya sambil menggaruk kepalanya. Dia tidak mengerti mengapa ayahnya membicarakan hal ini. Apakah ayahnya sedang membesarkan hatinya sendiri bahwa istrinya tidak cantik dan kaya? Sakya menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba, Vadya menghentikan langkahnya. Dari arah desa terlihat asap hitam membumbung. Bunyi kentongan mulai terdengar disusul dengan jeritan-jeritan wanita dan anak-anak. Samar-samar terdengar teriakan, "Lari... Rakshasa datang!"
Sakya langsung berlari ke sisi ayahnya, Vadya dengan sigap menurunkan tubuh rusa dari pundaknya dan mengambil busur dan anak panahnya dari Sakya.
"Larilah Sakya!" perintah Vadya, sambil berlutut kemudian dia menyelipkan anak panah dibusurnya.
"Tidak ayah, aku ikut." Sakya menatap ayahnya. Sakya takut karena dia tahu rakshasa seperti apa. Jantungnya berdetak kencang. Tapi dibanding rakshasa, dia lebih takut apabila dia hanya tinggal seorang diri karena sesuatu terjadi pada ayahnya dan keluarganya di desa. Dia mengepalkan tangannya agar keberaniannya muncul.
"Sakya," ucap Vadya lirih, kemudian dia meletakkan tangan kirinya di pundak Sakya.
"Dengar nak! Ayah ingin kamu lari ke hutan langsung ke tempat singgah. Tunggu ayah datang menjemputmu. Ayah akan menyelamatkan penduduk desa terlebih dulu. Kita bertemu lagi di sana. Larilah cepat!" Vadya mulai panik, karena suara langkah kaki mulai terdengar di balik bukit.
Tidak lama muncullah seorang rakshasa di balik bukit. Tingginya sekitar 5 meter. Hanya mengenakan cawat sebagai pelindung dan gada di tangan kanannya.
Si rakshasa menyeringai saat dia melihat Vadya dan Sakya. Kemudian berlari ke arah mereka dan berteriak, seperti senang karena mendapatkan buruan baru. Dia berlari sambil mengacung-acungkan gadanya ke atas.
Vadya dengan cepat menarik anak panahnya, menarik napas panjang untuk menenangkan diri dan memperlambat detak jantungnya. Setelah tenang dan jarak rakshasa mulai merapat sekitar 20 meter, Vadya melepas anak panah dari busurnya.
‘Seet’ Anak panah melesat dengan cepat dan langsung menancap di kening si rakshasa. Dengan panah di keningnya, si rakshasa hanya mampu berlari tiga langkah sebelum akhirnya jatuh tersungkur.
"Larilah Sakya, tunggu kami di tempat singgah... SEKARANG!" Vadya menatap Sakya sambil memasukkan anak panah kedua ke busurnya, kemudian berbalik dan berlari ke arah puncak bukit meninggalkan Sakya.
Sakya melihat ayahnya pergi, tidak lama kemudian Sakya berbalik dan mulai berlari ke arah hutan Vanaya sambil terisak-isak. Dia mengerti kalau tetap memaksakan ikut bersama ayahnya, dia hanya akan menjadi beban. Walaupun berat, dia memutuskan untuk pergi.
Di puncak bukit, Vadya menoleh ke belakang dan melihat Sakya mulai berlari. Vadya menarik napas panjang dan melihat kembali ke arah desa. Dihembuskan nafasnya dengan kencang dan dia menggigit bibir bawahnya. Kebiasaan lama yang terjadi saat dia gugup. Kemudian dia berlari menuruni bukit ke arah desa.
Pemandangan di puncak bukit memperlihatkan situasi yang terjadi desa Paraka dengan jelas. Tiga rumah kayu beratap jerami terbakar, empat rumah roboh, sementara sisanya empat puluh rumah masih menunggu giliran api merambat dan membakarnya.
Di ujung desa, penduduk dikumpulkan di tengah. Dilingkari delapan orang rakshasa lengkap dengan gada di tangannya. Wanita hanya bisa menangis terduduk. Anak-anak menjerit memanggil ayah dan ibu mereka, sementara para lelaki hanya bisa diam.
Vadya dengan cepat menuruni bukit dan berlari diantara pepohonan agar tidak terlihat oleh para rakshasa. Dia mendekati batu besar yang ada di pinggiran desa, kemudian menaikinya. Batu tersebut cukup tinggi sehingga Vadya bisa melihat langsung ke lapangan yang ada diujung desa tempat penduduk dikumpulkan.
Vadya menarik tali busur dan anak panahnya, menahan nafas dan membidik salah satu rakshasa yang melingkari penduduk desa. Setelah sasarannya sudah jelas Vadya melepas anak panahnya yang langsung melesat dan menancap di salah satu kepala seorang rakshasa yang langsung jatuh tersungkur.
Melihat temannya jatuh, raksasa lain terkejut, mereka menunjuk ke arah Vadya. Tanpa komando, mereka berlari ke arah Vadya berada. Vadya diam sejenak menyaksikan raksasa yang berlarian kearahnya seolah sengaja menunggu. Tidak lama, Vadya langsung turun melompat dari batu dan lari dengan cepat diantara sela-sela rumah penduduk.
Untungnya suara langkah kaki para Rakshasa terdengar oleh Vadya. Suara itu menjadi panduan bagi Vadya untuk menghindar agar tidak berpasasan dengan para Rakshasa yang mengejarnya. Sementara Rakshasa berlari kearah batu tempat Vadya berdiri sebelumnya, Vadya berlari ke arah lapangan tempat penduduk dikumpulkan.
Pancingan Vadya berhasil karena dilapangan sudah tidak ada lagi Rakshasa. Dengan cepat dia mendatangi penduduk dan memutuskan tali yang mengikat para penduduk desa.
"Bantu bebaskan yang lainnya! Kemudian larilah ke hutan Vanaya! Cepat!" Vadya memastikan perintahnya didengar oleh penduduk lainnya. Kemudian dia mendatangi istrinya Laksmi dan Shrie anaknya yang masih terikat.
"Ayah pulang…" Shrie menjerit dan merangkul ayahnya.
Bagi Shrie yang berumur sepuluh tahun, Vadya adalah pahlawannya. Dimatanya, ayahnya adalah seseorang yang bisa menyelesaikan semua masalah. Dengan kedatangan ayahnya, semua rakshasa disini pasti mati dan kehidupan mereka akan kembali normal seperti sediakala.
Laksmi menangis bahagia melihat suaminya datang. "Dimana Sakya?" tanya Laksmi penasaran karena dia tidak melihat Sakya bersama Vadya.
"Di tempat aman, Ssssttt cepat lari sebelum para rakshasa kembali lagi!"
Setelah memutuskan tali pengikat Laksmi dan Shrie, Vadya menuntun mereka agar bisa cepat pergi dari tempat tersebut.
"Vajra…Awas!..."
Teriakan istrinya adalah suara terakhir yang Vadya dengar di dunia ini. Ketika dia merasakan sakit karena benturan di kepala belakangnya semuanya menjadi gelap.
Salah satu raksasa memutuskan untuk kembali ke lapangan desa. Dia terkejut melihat penduduk desa mulai membebaskan diri. Tidak lama baginya untuk mengetahui siapa yang bertanggung jawab. Sang rakshasa melemparkan gadanya ke arah Vadya dan tepat mengenai kepala belakangnya.
Laksmi menjerit melihat Vadya terpental dan roboh dengan kepala yang hancur. Darah mengucur menggenangi tanah tempat dia terbaring. Laksmi berlari mendekati Vadya namun rakshasa yang sudah mendekat dengan cepat mencengkram tubuh Laksmi dan melemparkannya.
Jantung Laksmi terasa berhenti berdetak saat tubuhnya melayang ke belakang dan menabrak dinding rumah kayu sampai hancur. Ketika dia mencoba untuk bangkit, rasa sakit menyerang punggungnya. Dia melihat darahnya mengalir ke lantai rumah.
Sepotong kayu patah menancap dipunggungnya. Laksmi berusaha memanggil Shrie namun tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Akhirnya rasa sakit yang tidak tertahankan membuat pandangannya kabur dan diapun terkulai.
Melihat ayah dan ibunya terkulai diatas genangan darah mereka sendiri, Shrie hanya terdiam tak bersuara. Tidak ada jeritan maupun air mata.
Apakah ini mimpi? Mimpi terburuk diantara mimpi-mimpi paling buruk yang pernah Shrie alami. Dia ingin terbangun tapi tidak bisa. Shrie hanya bisa diam dan mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ini bukanlah kenyataan. "Ini hanya mimpi... Hanya mimpi." Suatu hari dia akan terbangun dari mimpi ini.
"Terkutuk kau, kau bunuh anakku." Kemarahan Abi memuncak melihat kematian anaknya Vadya dan menantunya Laksmi. Abi sekuat tenaga berlari dan mengambil gada yang tergeletak dalam genangan darah Vadya.
Gadanya cukup besar sehingga membutuhkan dua tangan Abi untuk memegangnya. Dengan sekuat tenaga Abi mengayunkannya ke dada rakshasa. Rakshasa dengan tenang menangkap ayunan gada dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya langsung mencengkram kepala Abi. Si raksasa tertawa kemudian dengan ringan dia meremas kepala Abi. "krak" bunyi kepala yang retak terdengar. Satu lagi tubuh dengan kepala rengkah terkulai dalam genangan darahnya sendiri.
"Ini hanya mimpi... Hanyalah mimpi buruk." Shrie mendesah ketika sekarang dia melihat kakeknya mati menggenaskan.
Raksasa berkata sesuatu sambil menunjuk ke lapangan. Meskipun penduduk tidak mengerti apa yang dikatakan oleh si rakshasa namun mereka memahami maksud si raksasa. mereka berkumpul kembali di tengah lapangan. Para rakshasa membariskan mereka dan mengikatnya satu persatu. Setelah mereka terikat semua, satu raksasa mulai menarik mereka untuk mulai berjalan.
Kebanyakan penduduk desa yang dibawa adalah perempuan dan remaja, sedangkan sisanya seperti Vadya dan Abi, mereka mati menggenaskan. Bagi rakshasa, ras manusia tidak berbeda seperti sapi di mata manusia. Manusia adalah sumber makanan dan budak yang mudah didapat.
Para rakshasa akan merasa beruntung bisa menemukan perkampungan manusia. Hanya 10 orang raksasa mereka bisa menangkap puluhan manusia. Beberapa dijadikan budak untuk mengurusi pekerjaan pekerjaan sehari-hari seperti menguliti hewan, atau memasak di perkampungan raksasa. Hal ini, dikarenakan manusia dirasakan lebih pintar daripada binatang lain. Sementara, beberapa lainnya hanyalah menu pencuci mulut para raksasa.
Sementara itu, setelah Sakya meninggalkan ayahnya, dia berlari berlari memasuki hutan Vanaya menuju rumah singgah sesuai dengan petunjuk ayahnya.
Hutan Vanaya terletak disebelah selatan Benua Pangea. Merupakan tempat yang membatasi antara benua Pangea dan samudra Phantalasa.
Hutan Vanaya merupakan hutan terluas di benua Pangea. Luasnya hampir seperlima bagian daratan Pangea. Dari Timur ke Barat membutuhkan waktu sekitar 90 hari perjalanan sementara dari utara ke selatan membutuhkan sekitar 65 hari perjalanan.
Didalamnya terdapat berbagai jenis hutan dan vegetasi tanaman.
Di sebalah bagian barat Vanaya terhampar hutan sabana dengan rumput tinggi yang hijau kekuningan sejauh mata memandang dilengkapi dengan beberapa pohon jati dan perdu yang menjulang tinggi.
Di sebelah Utara gurun berbukit dengan vegetasi pohon kaktus. Kemudian Timur merupakan hutan tropis dengan ratusan jenis tumbuhan berdaun lebar dan tinggi. Hampir tidak Ada sinar matahari yang masuk kedalam hutan.
Sementara disebelah selatan merupakan hutan pegunungan dengan vegetasi hutan tropis. Pepohonan setinggi 50 meter menjulang tinggi dengan kabut yang selalu menyelimutinya sepanjang hari.
Sakya tiba di tempat singgah yang biasa digunakan bersama ayahnya. Tempat singgah berupa pohon besar yang memiliki akar yang sudah naik di atas tanah membentuk rongga-rongga besar yang bisa dimasuki oleh manusia. Ditengahnya terdapat rongga yang cukup luas untuk tidur 4 orang manusia.
Rongga ini aman dari gangguan hewan besar yang ada di hutan Vanaya karena selain akarnya kuat, rongga-rongga di sekelilingnya cukup rapat hanya sebesar ukuran tubuh manusia. Hanya ular atau binatang kecil lainnya yang bisa masuk. Namun, binatang-binatang tersebut bukanlah ancaman bagi para pemburu.
Di tengah ruangan Sakya duduk sambil menangis. Kepalanya dibenamkan ke sela lututnya, menunggu keluarganya tiba di tempat singgah.
Malam mulai tiba, binatang malam mulai bersuara. Saat Sakya bersama ayahnya, dia tidak merasa takut, akan tetapi malam ini dia sendirian untuk pertama kalinya. Sakya bahkan takut untuk menyalakan api unggun. Dia tahu api dapat mengusir sebagian binatang-binatang yang berburu di makan hari. Api merupakan keharusan bagi seorang pemburu saat mereka menghabiskan malam di hutan.
Air mata Sakya sudah habis mengering. Karena sudah terlalu lelah, diapun tertidur.
Sinar matahari pagi menyeruak diantara rongga-rongga akar, membangunkan Sakya dari tidurnya. Matanya merah dan bengkak karena menangis.
Pagi sudah tiba namun ayah dan ibunya belum datang. Sakya masih percaya mungkin pagi ini mereka akan tiba. Jadi dia menunggu dan terus menunggu sampai bunyi perutnya menyadarkannya bahwa kemarin pagi adalah makan terakhir yang dia dapatkan bersama ayahnya.
Sakya ingin menunggu, akan tetapi perutnya tidak mau bekerjasama. Akhirnya dia memutuskan untuk berburu.
Berbekal pisau batu yang terselip di sabuk pinggangnya, dia melangkah keluar tempat singgah. Rencananya, Sakya akan kembali ke desanya sekaligus mencari buruan dalam perjalanan pulang.
Di sepanjang perjalanan dia melihat kelinci, **** dan binatang buruan lainnya. Akan tetapi, tanpa busur panah, berburu terasa sangat sulit. Dia tidak bisa mengejar bintang tersebut dan membutuhkan waktu apabila dia membuat jebakan. Akhirnya Sakya memutuskan untuk memetik buah.
Saat Sakya sedang memanjat pohon, dia mendengar suara-suara dan kaki berjalan. Dia mengenal suara itu.
"Rakshasa."
Dengan cepat Sakya turun dari pohon dan langsung berlari menjauh. Sayangnya, suara gemerisik saat dia turun dan berlari terdengar oleh para rakshasa. Sakya mendengar langkah kaki para raksasa semakin cepat menuju ke arahnya.
Sakya mempercepat larinya menuju jalur yang rimbun dengan pepohonan dan semak belukar. Dia berharap rimbunnya jalur setapak dapat menghalangi pandangan para raksasa.
Sayangnya, daun dan ranting yang bergoyang memberi petunjuk keberadaannya. Langkah kaki Sakya yang lebih kecil dibandingkan langkah raksasa yang panjang semakin memperpendek jarak antara dia dan para raksasa. Setelah hampir berlari cukup lama. Suara langkah raksasa tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar lagi.
"Mereka berhenti mengejarku," pikir Sakya berhenti untuk mengambil nafas. Sakya mendesah mensyukuri bahwa para raksasa menyerah mengejarnya. Dia menarik nafas panjang dan mulai mengatur nafasnya. Namun, siapa sangka kalau dia mendengar suara selain dari nafasnya sendiri.
"Grmmm."
"Sialan," umpat Sakya. Ternyata raksasa itu berhenti mengejarnya bukan karena menyerah. Mereka berhenti karena ada yang lebih menakutkan dari mereka sendiri. Seekor harimau sebesar 4 meter berjalan dengan tenang ke arah Sakya. Dikeningnya terdapat sebuah tanduk hitam legam berkilat sepanjang satu siku. Sakya tahu bahwa itu bukan harimau biasa tapi vaghra sattva.
Semua orang tahu bahwa hutan Vanaya bukan hanya tempat bagi binatang liar saja, hutan Vanaya juga terkenal sebagai tempat berkumpulnya ras sattva yang merupakan salah satu ras yang hidup di benua Pangea.
Ras sattva mempunyai bentuk tubuh binatang, perbedaannya adalah sattva memiliki tubuh dua kali lebih besar dan lebih kuat dibanding binatang biasa. Dikeningnya memiliki ksidra menyerupai tanduk yang berwarna hitam mengkilat seperti kristal.
Menurut mitos, mereka mampu berkomunikasi dan berpikir seperti manusia. Namun belum pernah ada yang membuktikannya karena tidak ada yang masih hidup setelah bertemu dengan ras sattva.
Melihat vaghra sattva yang semakin mendekatinya Sakya mengerti mengapa rakshasa memilih mundur.
Dalam pertarungan satu lawan satu antara raksasa dan vaghra sattva, dapat dipastikan bahwa vaghra akan jadi pemenangnya. Hasil berbeda apabila main keroyokan, meskipun kemungkinan besar rakshasa menang sudah pasti akan ada banyak korban.
Sakya ingin menangis saat ini, sayangnya dia tidak punya waktu untuk itu. Dengan cepat dia mengamati sekelilingnya dan mencari area pepohonan yang cukup rapat. Tidak terlalu besar supaya bisa cepat untuk dilewati dan tidak terlalu kecil sehingga tidak mudah dipatahkan oleh vaghra. Tempat rimbun untuk sembunyi bukanlah pilihan yang tepat saat ini.
Setelah menemukan jalur yang sesuai, Sakya berlari sekuat tenaga. Vaghra tidak terlihat namun Sakya masih mendengar auman vaghra. Kadang terdengar ada di belakang, terkadang di samping kiri dan kanannya.
Tangan dan kakinya sudah mulai terasa pedih karena goresan ranting dan duri pepohonan, paru-parunya sudah terasa panas terbakar tapi dia terus berlari, dia harus terus berlari kalau dia ingin bertemu keluarganya lagi. Selama jalannya masih terlindung oleh lebatnya pepohonan, Sakya masih aman.
Tiba-tiba kakinya tidak merasakan apa-apa. Sakya merasa melayang. Ketika dia melihat kesekelilingnya tidak ada pepohonan di kanan dan kirinya. Ketika Sakya melihat kebawah, yang ada hanyalah aliran sungai setinggi 20 meter kaki di bawah kakinya.
"Aaaaaa!" jeritan Sakya menggema di sekitar jurang dan langsung menghilang saat tubuhnya masuk ke dalam aliran sungai.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!