Ya Allah ...
Aku tahu, bahwa Engkau tidak akan pernah menguji setiap hamba-Mu melebihi batas kemampuannya.
Aku pun percaya bahwa sesudah kesulitan Engkau pasti akan memberikan kemudahan.
Engkaulah pemilik tubuh ini, Engkaulah yang Maha Segalanya.
Berikanlah kesabaran, keikhlasan kepada hamba-Mu yang penuh akan dosa ini.
Engkaulah sebaik-baik perencana untuk hidup ini.
Aku percaya, bahwa Engkau telah merencanakan sesuatu yang jauh lebih indah untukku.
Akan aku tunggu sampai waktu itu tiba.
...***** ...
Prang!
Brak!
Bugh!
"HADI! DIMANA KAMU! CEPAT KELUAR!" teriak Rendi, seorang pemuda bertubuh kekar, badan tinggi, rahang kokoh, mata merah melotot dengan memakai kaos hitam polos dan celana jeans sobek-sobek di kanan kirinya.
"Iya Le, ada apa? Kalau datang itu ya ucapkan salam, jangan teriak-teriak begitu." ucap Hana dari dalam rumah menghampiri lelaki itu.
"ALAH JANGAN KEBANYAKAN BACOT LO! MANA TUH SI HADI. PENGEN GUE BUNUH TUH ORANG!" bentaknya lalu berjalan memasuki rumah.
"ASTAGHFIRULLAH!! Nyebut Le, istighfar jangan emosi. Kalau ada masalah bisa dibicarakan baik-baik." hardik Hana sambil menahan lengan kokoh Rendi.
PLAK.
PLAK.
Rendi melayangkan tangannya pada kedua pipi Hana.
"LOE JANGAN IKUT CAMPUR YA! INI URUSAN GUE SAMA SUAMI LO!"
Tak menghiraukan rasa perih di pipinya, Hana berusaha mengejar dan menahan lengan Rendi.
"ISTIGHFAR LE! JANGAN EMOSI!" Hana menangis dan menjerit merasakan perih di pipinya.
Wajah Hana memucat dan terlihat ketakutan menghadapi pria di depannya yang bertubuh dua kali lebih besar darinya.
Bruk.
Rendi mendorong Hana membuat wanita paruh baya tersebut terjatuh dan menabrak meja di dekatnya.
"HADI! KELUAR KAMU BRENGSEK!" teriak Rendi memasuki ruang tengah.
Hadi yang sedang makan siang di meja makan menoleh dan merasa bingung melihat kedatangan Rendi yang dipenuhi amarah.
"HADI! DIMANA LO! KELUAR KALAU NGGAK GUE BUNUH LO!"
"Ada apa Le? Kenapa kamu datang marah-marah tidak jelas." tegur Hadi.
Melihat keberadaan Hadi, Rendi mendekatinya tanpa aba-aba dia langsung melayangkan pukulan ke perut Hadi.
Bugh.
"Uhuuk... uhuuk... kamu kenapa Le, tiba-tiba main pukul? kalau ada masalah bicara baik-baik, bukan seperti ini caranya. Dimana sopan santun kamu?" Hadi memegangi perutnya yang terasa perih sampai ke ulu hati.
"PERSETAN! SOPAN SANTUN NGGAK BERLAKU BUAT LO!" Rendi mendorong tubuh ringkih Hadi hingga membentur kaki meja di belakangnya.
Melihat keadaannya yang tidak memungkinkan untuk melawan Rendi, Hadi mencoba bangkit dan berlari keluar rumah mencari pertolongan.
"Aargh! Ssstttt ...." desis Hadi ketika merasakan sakit pada kakinya.
Dengan tertatih Hadi keluar lewat pintu samping, dia berlari di sepanjang jalan sambil berteriak meminta tolong kepada tetangga rumahnya.
"TOLOOONG! TOLOONG!!" teriak Hadi berlari tertatih tak menghiraukan sakit di kakinya.
"TOOOLOONG! PAK AJI TOLONG SAYA! PAK AJI!" teriak Hadi di depan rumah Pak Aji, namun sang empu rumah tak sedikit pun merespon panggilan Hadi.
Hadi masih terus berlari, mencoba meminta bantuan tetangga lainnya.
"TOOOLOONGG! PAK JULI TOLONG SAYA PAK!!" teriak Hadi di depan rumah Pak Juli, namun nihil. Tidak seorang pun yang keluar dari rumah itu.
Rendi berjalan dengan langkah lebar dengan sebuah balok kayu di tangan kanannya. Entah dari mana balok tersebut dia dapatkan.
Wajah Hadi semakin memucat ketika matanya mendapati keberadaan Rendi yang masih mengejarnya, keringat dingin membasahi dahinya.
Padahal di ujung jalan terlihat beberapa warga berdiri mematung seakan sedang menonton sebuah film action di layar TV, tanpa ada niatan untuk menghentikan aksi kejar-kejaran dua orang berbeda generasi tersebut.
Dengan penampilan yang berantakan, jilbab yang terlihat acak-acakan, Hana masih terlihat syok, terduduk lemas di teras rumah dengan tangisan yang terdengar begitu menyayat hati.
"Bapak ... Ya Allah tolong suami hamba, lindungi suami hamba Ya Allah ...." lirih Hana dengan suara serak yang hampir tak terdengar.
Bugh!
Satu tendangan berhasil mendarat di dada kanan Hadi, dengan usianya yang tidak lagi muda ditambah keadaan kakinya, baru seratus meter dia berlari mampu membuat Rendi dengan cepat mengejarnya.
Hadi tersungkur ke belakang, terjatuh menimpa semak-semak dipinggir jalan. Dengan napas tersengal-sengal dia berusaha untuk melawan Rendi dan melarikan diri.
"SADAR LE! JANGAN KAMU TEPERDAYA SETAN! ISTIGHFAR LE!" teriak Hadi berusaha menyadarkan Rendi.
"HYAAA!!" Tidak mendengarkan omongan Hadi, Rendi bersiap mengangkat balok kayu ke arah Hadi.
'Ya Allah, tolong hambamu, lindungilah hamba serta anak istri hamba. Engkaulah yang Maha Penolong dan Maha Segalanya. Aku pasrahkan jiwa dan raga ini hanya kepada-Mu.' Hadi menutup matanya dan berdoa di dalam hatinya.
GREEEP.
Dari arah belakang tampak seorang pemuda mendekap erat tubuh Rendi, satu orang lagi menarik paksa balok kayu dari genggaman tangannya dan membuangnya ke sembarang arah jauh dari jangkauan Rendi.
Dua orang lainnya berlari mendekati Hadi dan membantunya berdiri kemudian menuntunnya pulang ke rumah.
"Pak Hadi, Anda baik-baik saja?" tanya salah satu pemuda yang tampak khawatir.
"BRENGSEK KALIAN SEMUA! LEPASIN GUE! JANGAN IKUT CAMPUR URUSAN GUE!" teriak Rendi memberontak mencoba melepaskan diri dari dekapan orang di belakangnya.
"TENANG REN! JANGAN EMOSI! KALAU ADA MASALAH DIBICARAKAN BAIK-BAIK! ORANG YANG KAMU PUKUL ITU ORANG TUA REN! DIA PAKDHE KAMU! INGAT ITU!" bentak Akbar, orang yang mendekap tubuh Rendi.
Tak berselang lama beberapa Perangkat Desa berdatangan, setelah berhasil membuat Rendi sedikit tenang, mereka semua berjalan ke rumah Hadi.
Ternyata di antara orang-orang yang terdiam melihat keributan yang terjadi, ada seorang wanita paruh baya yang dengan cekatan berlari mencari pertolongan para pemuda dan bergegas mengayuh sepeda tuanya melaporkan adanya keributan kepada Perangkat Desa.
Wanita itu adalah Zaenab, tetangga sebelah yang rumahnya berdempetan dengan rumah Hadi.
Di ruang tamu rumah Hadi terlihat banyak orang sudah berkumpul. Terlihat Hana dengan wajah lusuhnya, bekas air mata terlihat di kedua pipinya, sedikit darah kering terlihat disudut kanan bibirnya. Mata yang terlihat sayu dengan pandangan menerawang ke depan. Terlihat jelas rasa lelah, ketakutan, kecemasan terpancar di wajahnya.
Di sebelah kanannya duduk Hadi dengan keadaan yang tak kalah memprihatinkan. Ada Ketua RT duduk di sebelah kananya. Hadir juga Kepala Desa yang memilih duduk di singgle sofa.
Terlihat Rendi duduk di sofa panjang diapit oleh Akbar dan Kemal salah satu perangkat desa yang duduk di kiri kanannya.
Terlihat beberapa Perangkat Desa dan beberapa warga yang tadi menolong Hadi.
Percakapan dan diskusi panjang terjadi, terlihat wajah tegang orang-orang di ruangan itu. Rendi dengan emosi dan amarah yang meluap-luap. Hadi dan Hana yang masih tampak terlihat syok dan bingung.
Namun pembicaraan tersebut belum menemukan titik terangnya, dengan berbagai bujukan dan kesepakatan akhirnya Rendi bersedia memberikan waktu dua minggu untuk Hadi mengikuti kemauan Rendi. Dengan syarat yang diajukan Perangkat Desa bahwa Rendi tidak akan mengganggu dan mencelakai keluarga Hadi.
...*****...
Sebuah motor matic hitam bercorak merah memasuki pekarangan rumah, di atasnya duduk seorang gadis berseragam putih abu-abu dilengkapi jilbab segi empat ditali ke belakang menyembunyikan rambut indahnya.
Lathifa tampak memperhatikan sekitarnya, halaman rumah tampak kacau berantakan. Terlihat beberapa pot bunga hias berserakan kesana-kemari, penjemuran baju tergeletak tak tertata rapi seperti sebelumnya.
"Apakah baru saja terjadi badai?" tanya Lathifa dengan wajah kebingungan.
Lathifa memasuki rumah dengan begitu banyak pertanyaan yang melintas dipikirkannya, entah perasaannya tidak enak.
"Semoga semuanya baik-baik saja Ya Allah ...." lirih Lathifa.
...*****...
"Lathif, mulai besok kita akan tinggal di restoran. Rumah ini bukan milik kita lagi. Maafkan bapak ya." Hadi memandang putrinya yang duduk di depannya.
"Iya Pak. Bapak tidak salah, Bapak sudah mengambil keputusan yang tepat. Lathif bangga sama Bapak." ucap Lathifa lalu memeluk tubuh bapaknya.
"Ingat Thif, semua yang kita miliki sesungguhnya hanyalah titipan dari Allah. Maka lepaskanlah dengan ikhlas semoga kelak Allah akan mengganti dengan yang lebih baik." Hadi mengusap-usap kepala Lathifa yang berbalut jilbab biru muda.
...*****...
3 Tahun Kemudian
Seorang gadis berjongkok di antara dua gundukan tanah. Ia sibuk membersihkan beberapa daun kering dan membiarkan beberapa rumput liar yang tumbuh di atasnya.
KUSUMA HADI bin AHMAD, nama yang terukir di atas salah satu batu nisan tersebut. Sedangkan di sebelahnya terukir nama HAFIZ KUSUMA HADI bin KUSUMA HADI.
"Bapak, doakan Lathif agar menang dalam pertandingan nanti malam ya, supaya Lathif bisa cepat melunasi hutang kita. Lathif capek Pak, kasihan ibu selalu diganggu para rentenir brengsek itu."
"Oh iya, Lathif sudah mulai kuliah loh ... Mas Hafiz pasti senang deh. Andaikan kalian masih bersama kami ...." Lathifa menangis, mata indahnya bergantian memandangi kedua batu nisan di depannya.
Setelah mendoakan serta mencurahkan isi hatinya, Lathifa berdiri dan berlalu meninggalkan makam bapak dan kakaknya.
Dengan berpakaian serba hitam, jeans, hoodie besar serta jilbab yang kedua ujungnya ia lilitkan melingkar di lehernya, Lathifa memacu motor maticnya membelah keramaian jalanan kota.
Semenjak kepergian almarhum Hadi, kini Lathifa harus merasakan kerasnya kehidupan bersama Hana. Restoran peninggalan Hadi yang kini menjadi tempat tinggal mereka terancam akan disita.
Demi membayar hutang orang tuanya. Dengan bermodal motor pinjaman milik Zidan, sering kali Lathifa mengikuti balapan liar tanpa sepengetahuan ibunya.
Kak Zidan
Cil, di mana Lo? Buruan anak-anak udah pada ngumpul nih. Acara mulai jam 20.00
^^^Me^^^
^^^Bentar Kak. Otw, biasa bantu nyokap beres-beres dulu 😸^^^
Kak Zidan
Yasudah. Hati-hati Lo bawa motornya. Awas jangan ngebut! Entar jatoh Lo 😁
^^^Me^^^
^^^Serah Lo dah Kak 😏^^^
"Buk, Lathif pamit dulu ya."
"Mau ke mana lagi kamu?" tanya Hana berjalan mendekat ke arah putrinya.
"Ada tugas Buk, janji deh sebelum jam 12 sudah pulang," bujuk Lathifa.
"Pulangnya diantar sama Zidan?"
"Iya Buk. Lathif berangkat dulu ya Buk, sudah telat ini," ucap Lathifa mencium tangan ibunya dan bergegas pergi.
"Maafkan ibu ya, sayang. tak seharusnya kamu ikut menanggung beban berat ini. Seharusnya kamu hanya perlu fokus untuk belajar saja," ucap Hana memandang kepergian Lathifa.
...*****...
Lathifa melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, karena terburu-buru ia tidak memperhatikan lampu merah yang sedang menyala di depannya. Tak bisa dihindari ia pun menabrak mobil Pajero hitam yang berhenti di depannya.
BRAAAK.
Lathifa terjatuh bersamaan dengan motornya. Beberapa pengendara lain menolong dan membawanya ke tepi jalan.
Seorang wanita berbalut gamis biru muda dengan hijab syar'i berwarna senada keluar dari mobil yang ditabrak Lathifa. Ia berjalan mendekat ke arah Lathifa.
"Kamu tidak apa-apa, Mbak?" tanya Anisa dengan wajah yang terlihat khawatir.
Lathifa mengangkat kepalanya, menatap wanita cantik di depannya. Betapa terkejutnya dia, ternyata pemilik mobil tersebut adalah salah satu dosen di kampusnya. terlihat raut bersalah dan ketakutan di wajahnya.
"Hai Mbak! Are You okay?" Melihat Lathifa diam mematung Anisa menepuk bahu Lathifa.
"Eh i-iya, saya tidak apa-apa kok. Maafkan saya Bu Putri, sumpah saya tidak sengaja tadi," lirih Lathifa sambil menundukkan kepalanya.
Lathifa takut, harus mencari uang dari mana untuk mengganti rugi kerusakan mobil tersebut.
"Sudah tidak apa-apa. Jangan diulangi lagi, beruntung tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan ini."
Anisa berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolong mereka, dan meminta maaf atas kejadian ini.
Ia akan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan tanpa melibatkan polisi. Karena akan rumit jadinya jika harus berurusan dengan polisi.
Setelah warga membubarkan diri, Anisa mengajak Lathifa masuk ke dalam mobilnya dan menghubungi seseorang untuk mengurus motor Lathifa yang rusak di beberapa bagian.
"Kita ke Rumah Sakit dulu ya," ajak Anisa
"Eh tidak perlu Bu, saya baik-baik saja kok." Lathifa menolaknya karena merasa tidak enak, biar bagaimanapun di sini dialah yang bersalah.
"Tidak baik menolak niat baik seseorang Mbak." ucap Anisa menatap siku lengan hoodie putih yang dipakai Lathifa terdapat noda darah.
Lathifa terdiam membisu, ia merasa canggung duduk bersebelahan bersama dosennya itu.
Hanya keheningan yang menemani perjalanan mereka menuju Rumah Sakit.
"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Anisa kepada Dokter yang menangani Lathifa.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Nyonya. Ada sedikit cedera pada kakinya. Anda tenang saja, tidak perlu adanya perawatan khusus. Cukup beristirahat dan minum obat secara teratur kondisinya akan pulih seperti semula," jelas Dokter.
"Pakaian yang dia gunakan cukup tebal sehingga mampu melindungi tubuhnya, siku kanannya sedikit tergores," lanjut Dokter.
"Alhamdulillah, syukurlah jika tidak terjadi apa-apa. Terima kasih, Dokter," ucap Anisa.
Anisa mengantarkan Lathifa pulang. Ia menghentikan mobilnya di depan sebuah bangunan bertuliskan "Hafa Resto" sebagai nama tempat tersebut.
"Apa benar kamu tinggal di sini?" tanya Anisa merasa sedikit ragu.
"Iya Bu, maafkan saya sudah merepotkan Anda. Maaf, karena menolong saya waktu Ibu terbuang sia-sia."
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, saya ikhlas menolong kamu. Bukankah sebagai saudara Kita harus saling menolong?"
"I-iya Bu, terima kasih atas kebaikan Ibu," ucap Lathifa dengan mata berkaca-kaca.
"Mari mampir dulu Bu, saya akan memperkenalkan ibu saya kepada Ibu," ajak Lathifa.
"Terima kasih Mbak, sudah malam, sudah jam 9 lebih saya harus pulang takut dicari oleh suami, hehe." Anisa menolak dengan sopan. "Mungkin lain waktu saya akan mampir bersama suami saya."
"Baiklah Bu, saya tunggu kedatangan Ibu dan suami Ibu."
"Saya pulang dulu ya, Mbak. Assalamu’alaikum," pamit Anisa.
"Wa’alaikummussalam ...." jawab Lathifa.
Setelah mobil Anisa tidak terlihat lagi, dengan langkah sedikit terpincang Lathifa memasuki restoran sekaligus rumah baginya.
Hanya lampu depan dan beberapa lampu samping yang masih menyala, mungkin ibu dan beberapa karyawati yang tinggal di sana sudah tertidur.
'Ya Allah terima kasih Engkau telah mempertemukan aku dengan orang sebaik Bu Putri. Semoga Bu Putri dan suami selalu dalam lindungan-Mu aamiin.'
...*****...
Sedangkan di tempat lain, terlihat seorang pemuda tampan dengan kaos putih polos press body berlogo Nike dipadukan sebuah jaket kulit berwarna hitam dengan celana jeans sobek-sobek di kanan kirinya.
"Ke mana sih bocil satu ini? Susah banget dihubungi," gerutu Zidan, pandangan matanya fokus ke arah depan menunggu kedatangan seseorang.
"Mana si bocil, Dan? Belum datang juga dia?" ucap seorang pemuda tak kalah tampan yang berdiri di sampingnya.
"Kita udah nunggu 20 menit, Bro. Pertandingan nggak bisa ditunda lagi!" ucap pria yang baru saja menghampiri mereka.
"Tunggulah sebentar lagi, Bro. Bocil lagi di jalan, sebentar lagi pasti nyampe kok," bujuk Zidan
"Nggak bisa, Bro. Keburu malam ini."
"Ayolah ... 5 menit ya."
Pria tersebut melirik jam di tangannya. "Baiklah. Hanya 5 menit, jika dalam 5 menit dia nggak datang terpaksa dia harus kami diskualifikasi.”
Namun, hingga pertandingan selesai Zidan tidak menemukan keberadaan Lathifa. Lathifa pun tidak menjawab panggilan darinya maupun membuka pesan darinya.
Keesokan harinya Zidan mendatangi Hafa Resto. Terlihat beberapa karyawan sibuk melayani pengunjung.
Zidan melihat ke seluruh ruangan namun tak kunjung menemukan sosok orang yang dicarinya. Zidan menghampiri meja kasir tempat yang biasanya menampakkan sosok Lathifa, namun pagi ini orang lain yang berdiri di belakangnya.
"Pagi Mbak, bos lo mana? Tumben nggak kelihatan tuh anak."
"Eh ada Mas Zidan, memangnya Mas tidak tahu ya?" tanya Maya, karyawan lama kepercayaan almarhum Hadi.
"Tahu apaan? Emang tuh bocil kenapa? Semalam tiba-tiba ngilang kaya mantan kagak bisa dihubungi."
"Kata bu Hana, tadi malam mbak Lathif kecelakaan, Mas. Sejak pagi belum terlihat keluar dari kamarnya."
"APAA! KECELAKAAN! GILA! TERUS SEKARANG GIMANA KONDISINYA?" Zidan refleks berteriak membuat seisi ruangan menatap ke arahnya.
"Astaghfirullah Mas! Jangan teriak-teriak napa! Tuh dilihatin banyak orang." Maya menunjuk ke arah kursi pengunjung dengan dagunya.
"Hehe sorry, refleks gue. Yasudah Mbak, gue mau lihat bocil dulu ya, bye ... semangat kerjanya." Zidan berlalu meninggalkan Maya yang hanya menggelengkan kepalanya.
Zidan berdiri di depan pintu kamar Lathifa, ia pandangi kamar bernuansa serba biru itu. ruangan berukuran 3x4 meter itu dipenuhi dengan berbagai macam bentuk tokoh kartun asal Negeri Sakura yang dikenal dengan sebutan Doraemon.
"WOI BANGUN UDAH SIANG! ANAK PERAWAN JAM SEGINI MASIH NGEBO. MALU SAMA KUCING PIARAAN LO!" teriak Zidan menjulurkan tangan berniat menarik selimut yang membungkus tubuh Lathifa.
BUG.
Belum sempat tangannya menyentuh selimut, sebuah kepala kucing asal Negara Jepang melayang tepat mengenai wajah tampan Zidan.
"Kak Zidan ngapain masuk kamar cewek kagak ketuk pintu hah?"
"Emang lo cewek?"
"Ihh ... Kak Zidan mah nyebelin, gini-gini aku tuh tetep cewek kali." Lathifa duduk ditepi kasur.
"Oh ... jadi lo cewek beneran?" Zidan berjalan mendekati Lathifa dan duduk di sampingnya.
Lathifa menggeser duduknya. "Kakak mau apa?"
Zidan mendekatkan wajahnya ke wajah Lathifa mengikis jarak di antara mereka.
"Gue mau mastiin aja apakah lo cewek beneran atau cuma cewek jadi-jadian," ucap Zidan tepat didekat telinga Lathifa.
Deg.
"A-apa yang Kakak lakukan?" Lathifa mendorong tubuh Zidan namun tidak sedikit pun mempengaruhi pemuda itu.
"Yakin lo mau dengar apa yang akan Gue lakukan?"
"A-pa? Jangan macam-macam!" peringat lalu menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
"Nggak macam-macam Cil, cukup satu macam saja." Zidan menyeringai.
"ZIDAN!" teriak Lathifa panik.
"Bwa.. ha.. ha.. ha." Tawa Zidan menggelegar memenuhi ruang kamar tersebut.
"Hah ... Sumpah wajah Lo lucu banget Cil. Hah.. Hah.. Aduh perut gue." Zidan memegangi perutnya, "Aduh, sumpah gue enggak bisa berhenti ketawa Cil."
Lathifa yang dibuat jengkel dengan kelakuan Zidan berdiri dan menarik paksa tangan Zidan.
"Keluar lo! Nggak lucu tau."
"Sorry Cil, lagian udah jam 11.00 lo masih enak-enakan ngebo. Mana masih pake mukena lagi."
"Tadi habis sholat ketiduran aku, Kak. Udah sana cepetan keluar! Aku mau siap-siap ada jam kuliah nanti siang." Lathifa mendorong tubuh kekar Zidan keluar kamarnya.
"Mbak Maya bilang semalam lo kecelakaan? Mana yang sakit? Yakin, lo mau ke kampus?" tanya Zidan.
"Aku baik-baik saja kok, Kak. Cuma sedikit tergores entar juga sembuh."
"Tapi lo harus istirahat, Cil! Hari ini bolos aja ya!"
"Mana bisa, Kak! Mahal-mahal aku bayar, susah tahu nyari uang," tolak Lathifa.
"Seha-"
Brak.
Lathifa menutup pintu kamarnya tanpa menunggu Zidan menyelesaikan kalimatnya.
"Woi! Dasar bocil nggak tau sopan satun lo ya!" teriak Zidan.
"Sorry Kak! Sengaja!" teriak Lathifa dari balik pintu kamarnya.
"Yasudah gue tunggu di bawah. Gue antar lo ke kampus, jangan lama-lama dandannya!"
30 menit kemudian Lathifa ke luar dari kamarnya. Setelah berpamitan dengan ibunya, ia berangkat ke kampus diantar oleh Zidan dengan dibonceng motor sport merah milik Zidan.
Zidan menghentikan motornya tepat di depan gerbang kampus.
"Kakak nggak kerja?" tanya Lathifa setelah turun dari motor.
"Libur gue, males kerja mulu," jawab Zidan santai.
"Males dipelihara. Mau dikasih makan apa anak dan istri Kakak nanti."
"Tenang aja, gue udah siapin banyak cinta untuk mereka." Zidan mengedipkan sebelah matanya.
"Makan tuh cinta. Emang cinta bisa bikin perut kenyang apa?" jawab Lathifa dengan mata melotot menatap Zidan, namun hanya dibalas dengan cengiran dari pemuda itu.
"Masih marahan sama bokap Kakak?"
"Hmm."
"Kakak kabur dari rumah lagi?"
"Udahlah nggak penting, nggak usah dibahas."
"Nggak baik loh kak kelamaan marahan sama papa Kakak. Harusnya Kakak lebih sabar mengha-" Zidan meletakkan telunjuknya di depan bibir Lathifa.
"Sssttt! Udah ceramahnya? Bosen gue dengar ceramah lo, gue cabut dulu ya ... bye," pamit Zidan.
"Jangan sentuh, Kak!" Lathifa menepis tangan Zidan yang hampir menyentuh ujung kepalanya.
"Iya-iya sorry, lupa gue. Ntar lo pulangnya naik taxi aja ya! Gue nggak bisa jemput ada acara sama anak-anak."
"Iya nggak apa-apa, Kak. Makasih udah dianterin. Hati-hati dijalan jangan kebut-kebutan."
"Siap Bos. Bye." Zidan melajukan motornya menjauhi bangunan tersebut.
‘Bye kak, semoga hubungan kakak dengan papa kakak segera membaik,’ ucap Lathifa dalam hati.
...*****...
Di dalam sebuah Cafe di seberang gedung universitas tempat Lathifa kuliah, terlihat dua perempuan dengan gamis modern lengkap dengan jilbab syar'i panjang menutup tubuh keduanya. Mereka duduk saling berhadapan.
"Kamu beneran sudah yakin sama pilihanmu Nis?" tanya Sabrina, sahabat Anisa sejak SMP.
"Hmm." Anisa menyeruput cafe latte di depannya.
"Ya sudah, aku dukung apa pun keputusanmu, semoga ini pilihan yang terbaik untuk kalian."
"Insya Allah, aku sudah mendengar cerita tentangnya dari beberapa Dosen, dan aku juga sudah memastikannya sendiri," terang Anisa.
"Sebelumnya kamu sudah pernah ketemu langsung sama dia? Atau hanya sekedar mengobrol gitu?" Sabrina mengaduk-aduk gelas berisi lemon tea di depannya dan menyeruputnya.
"Kebetulan kemarin sempat terjadi kecelakaan kecil antara kita," ucap Anisa membuat Sabrina tersedak.
"Pelan-pelan kalau minum, Sa."
"Terus kamu enggak apa-apa kan?" tanya Sabrina khawatir.
"Alhamdulillah, cuma sedikit cedera tidak ada yang serius kok."
"Alhamdulillah kalau begitu. Apakah dia masih lama sampainya?" tanya Sabrina tidak sabar.
Anisa menatap layar ponselnya yang menampilkan foto pernikahannya dengan suaminya. Dilihatnya jam disudut kanan layar ponselnya, pukul 16.15.
"Mungkin sebentar lagi, kelasnya sudah selesai 15 menit lalu." jelas Anisa.
Ting ... ting ....
Suara lonceng berbunyi tanda seseorang membuka pintu cafe.
Seorang gadis dengan jilbab hitam yang ujungnya ditalikan ke belakang lehernya, kemeja coklat hitam kotak-kotak sebagai outer dengan kaos hitam di dalamnya, dipadukan dengan celana kulot putih serta sneakers hitam melengkapi penampilannya.
Gadis itu adalah Lathifa, ia mengedarkan pandangannya mencari seseorang. Setelah menemukan orang yang dicarinya duduk di meja ujung dekat taman, dengan sedikit terpincang Lathifa berjalan mendekatinya.
"Selamat sore, Bu Putri ...." sapa Lathifa.
"Eh kamu sudah datang? Assalamu’alaikum, Fa!" peringat Anisa.
"Eh maaf, Assalamu’alaikum, Bu." Lathifa mengucap salam dan tersenyum menatap kedua wanita di depannya.
"Wa’alaikummussalam ...." jawab Anisa dan Sabrina bersamaan.
"Silakan duduk, Fa." Anisa menyuruh Lathifa duduk di sebelahnya. "Oh ya, perkenalkan Fa ini sahabat saya Sabrina, Sabrina ini Lathifa anak yang aku ceritakan itu."
"Bagaimana keadaan kamu?" tanya Anisa membuka percakapan.
"Sudah mendingan, Bu."
Setelah berkenalan dan bertukar kabar, mereka bertiga berbincang dan terlihat sangat akrab seperti sudah lama saling mengenal.
"Oh ya Fa, ada yang mau saya sampaikan," ucap Anisa.
"Apa yang ingin Bu Putri sampaikan kepada saya? Kalau masalah ganti rugi atas kerusakan mobil Ibu, saya minta maaf, Bu. Saya janji akan menggantinya tapi bolehkan saya mencicilnya, Bu?" Lathifa menggenggam kedua tangannya di bawah meja.
Anisa melirik ke arah Sabrina yang hanya diam menyimak percakapan dua orang tersebut.
"Huuft ...." Anisa menghembuskan napasnya kasar. "Pertama, jika kita berada di luar area kampus panggil saja nama saya Anisa bisa, kan?"
"I-iya Bu eh Mbak Nisa. Tapi apa tidak masalah saya memanggil Bu Putri dengan panggilan Mbak Nisa?" tanya Lathifa ragu.
"Enggak masalah, kan saya yang memintamu memanggil demikian. Oh ya mulai sekarang anggap saja kalau saya ini kakak kamu. Paham!"
"Tapi apa itu sopan, Bu? Eh Mbak Nisa." Lathifa menutup mulut dengan tangannya. Ia merasa canggung harus memanggil Dosennya itu dengan sebutan Mbak.
Anisa dan Sabrina tersenyum melihat tingkah Lathifa yang terlihat lucu saat merasa salah tingkah.
"No problem. Mari kita serius, dengar baik-baik, Fa. Saya tidak akan menuntut kamu dan tidak akan meminta ganti rugi kepada kamu." Anisa menjeda ucapannya menunggu reaksi dari Lathifa.
"Serius Bu, eh maaf maksudnya Mbak Nisa?" tanya Lathifa memastikan kalau dia tidak salah mendengar.
"Iya saya serius. Bahkan saya bersedia untuk membiayai kuliah kamu dan membantu melunasi hutang keluargamu."
Deg.
Lathifa terpaku, dari mana Dosennya itu mengetahui tentang masalahnya? Bahkan bersedia untuk membantunya. Jelas! Akan dengan mudah bagi Anisa Putri Akbar mencari informasi tentangnya, mengingat Dosennya itu adalah anak tunggal dari donatur utama Universitasnya. Apakah Lathifa sedang bermimpi?
"Are You okay?" Anisa menepuk pelan pundak Lathifa. Menyadarkan Lathifa dari keterkejutannya.
"Eh i-iya, Mbak. Maaf tadi Mbak Nisa bilang apa ya?"
"Jika kamu mau, saya bersedia untuk membiayai kuliah kamu dan membantu melunasi hutang keluargamu." ulang Anisa.
"Mbak Nisa enggak bercanda, kan?" tanya Lathifa masih meragukan pendengarannya.
"Tidak ada alasan bagi saya untuk menjadikan pembicaraan kita ini sebagai lelucon, Fa."
"Tapi apa alasan Mbak Nisa mau menolong saya?"
"Karena saya ingin!" jawab Anisa singkat.
Lathifa menatap lekat wajah cantik Anisa, meneliti dengan sedetail mungkin untuk mencari kebohongan dalam raut wajahnya.
"Terima kasih atas niat Mbak Nisa mau membantu saya, tapi menurut saya ini berlebihan. Mbak tidak tahu seberapa besar hutang keluarga saya. Mungkin Mbak Nisa hanya merasa kasihan dan simpati saja kepada saya," ucap Lathifa merasa tidak enak dengan tawaran dari Anisa.
Siapa dia? Baru kemarin Lathifa bertemu dengan Anisa, bahkan pertemuan mereka dalam keadaan yang tidak baik. Kenapa sekarang tiba-tiba wanita di depannya ini ingin menolongnya?
"Saya serius, Fa!" Anisa menarik tangan Lathifa yang berada di atas meja dan menggenggamnya.
"Saya ingin minta tolong sama kamu, Fa. Kamu mau membantu saya, kan?" pinta Anisa.
"Kalau saya mampu tanpa diminta pun akan saya lakukan, Mbak."
"Saya ingin kamu menikah dengan suami saya, Fa."
"IBU GILA YA!" teriak Lathifa sembari menarik tangannya yang berada dalam genggaman tangan Anisa.
Beberapa pengunjung menatap ke arah mereka, ada yang berbisik-bisik ada pula yang cuek kembali fokus pada makanannya masing-masing.
Lathifa berdiri dari duduknya hendak meninggalkan meja itu, namun dengan cepat Anisa menariknya untuk duduk kembali.
"Dengar penjelasan saya dulu, Fa! Saya mohon!" ucap Anisa dengan mata berkaca-kaca.
"Apa yang harus dijelaskan, Mbak? Maaf saya tidak bisa membantu. Saya permisi."
"Aku hanya ingin suamiku bahagia, Fa. Tolong saya, Fa! Apa pun akan saya lakukan untuk kebahagiaannya," ucap Anisa di tengah isak tangisnya.
"Apa pun itu?" tanya Lathifa dibalas anggukan kepala dari Anisa.
"Bahkan jika harus berbagi cinta dengan perempuan lain?" Sekali lagi Anisa menganggukkan kepalanya.
"Jika perempuan itu meminta Mbak Nisa untuk pergi meninggalkan suami Mbak, apa yang akan Mbak Nisa lakukan?"
Anisa terdiam, merasakan sesuatu yang terasa menyayat hatinya, sakit, sesak, perih bercampur menjadi satu.
"I-iya saya akan melakukannya!" ucap Anisa lantang namun ada sedikit keraguan di dalam suaranya.
"Kenapa? Apa alasannya? Apakah Mbak Nisa tidak mencintai suami Mbak?"
Anisa menggelengkan kepalanya, air mata terus mengalir membasahi pipinya.
"Karena saya cacat sebagai seorang wanita. Saya tidak bisa memberikan keturunan kepada suami saya," terang Anisa sambil menundukkan kepalanya.
"Tapi bukan seperti ini caranya, Mbak. Mbak akan tersakiti dengan keinginan Mbak ini," ucap Lathifa menatap Anisa dengan perasaan sedih.
"Tapi maaf saya tidak bisa menuruti permintaan Mbak. Saya permisi, Assalamu’alaikum." Lathifa berdiri dan berjalan menjauhi meja yang mereka tempati.
"Fa, tunggu! Jangan pergi, Fa!" cegah Anisa.
Tanpa mendengarkan panggilan dari Anisa, dengan langkah lebar tanpa memedulikan kakinya yang terasa nyeri Lathifa membuka pintu cafe melangkahkan kakinya ke luar dari tempat itu.
Sabrina memeluk tubuh Anisa, berharap dapat membuat sahabatnya itu merasa sedikit lebih tenang.
"Baiklah saya mau membantu Mbak."
Kedua wanita yang sedang berpelukan itu menoleh ke arah sumber suara.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!