Pondok Putri Tazkiya, Jakarta.
Seperti biasanya Aiswa Fajri, gadis pendiam yang berparas ayu, berkulit putih, dan penyuka warna ungu bila waktu ashar telah menjelang ia pasti bersiap untuk menuju halaman belakang rumah yang letaknya masih berada didalam komplek pesantren untuk menghafal imrithi.
" Sulitnya, aku teringat metode dari Ka Amir bahwa menghafal imrithi itu harus sedikit demi sedikit namun di ulang-ulang. Ah, Buya saja mengatakan bahwa aku lemah di bidang ini... Tapi kenapa dia begitu yakin padaku yaa? dan nyatanya aku bisa menghafal cepat waktu itu... Bagaimana kabarnya dia disana?.... Eh astagfirullah, aku memikirkan pria yang belum mahram... " Aiswa bermonolog mengingat saat Amir sowan kerumah Ayah nya untuk bertemu dengan Ahmad, sang kakak yang satu pondokan saat Tsanawiyah di Tegal dulu sebelum akhirnya Amir masuk di pondok Tazkiya Putra untuk melanjutkan pendidikannya ke Aliyah.
Aiswa menaruh rasa suka pada sahabat kakaknya itu saat pandangan keduanya bertemu satu tahun silam. Saat Ahmad sakit dan Amir menjenguknya dengan Hasbi, keduanya adalah kawan baik sang kakak.
Dia mengingat dan terkesan dengan Amir kala pemuda itu menghampiri nya di halaman belakang yang sedang menangis berputus asa seorang diri karena tak kunjung hafal sedangkan waktu untuk setor hafalan hanya tersisa beberapa jam lagi. Amir lalu membantunya dan ajaib, Aiswa mampu menghafal lebih dari 100 nadzom dalam waktu satu setengah jam.
Semenjak saat itulah, Amir perlahan masuk kedalam relung hatinya yang belum berpenghuni.
" Aiswa, Buya memanggil...., " Suara lembut umma membuyarkan lamunan Aiswa tentang Amir.
" Beik, Umma... Ana masuk. " Jawabnya sembari merapikan kitab yang ia baca tadi.
Beranjak dari duduk nyaman nya, Aiswa melangkah masuk kedalam rumah menuju tempat Buya nya berada. Jika tak salah, bila kamis sore Buya ada didalam ruang baca karena malam nanti akan ada kajian kitab Al-Hikam di Masjid Pondok untuk jama'ah umum.
" Assalamu'alaikum Buya.... Perlu sama Aish?, " Tanya nya lirih.
" Duduk Nak... Buya mau sampaikan sesuatu padamu, " Suara pria yang masih terdengar tegas diusianya yang sudah separuh abad itu membawa Aiswa duduk di hadapannya.
" Aish, sudah siap menikah?, " Tanyanya hati-hati.
" Hmmmm Aish mau lanjut ke King Saud boleh? mau ambil bisnis... Aish punya cita-cita punya butik abaya nanti, " Pinta nya takut sembari menundukkan pandangan.
" Izin sama suamimu nanti bila ingin meneruskan kuliah... Ada yang ingin mengkhitbahmu, nasabnya baik... Inisial namanya AH, seorang dosen di Tazkiya Putra. "
" Siapa Buya?, " Tanya Aiswa penasaran.
" Aish bersedia tidak, kalau iya... Nanti kita ada pertemuan kenalan dulu. " Buyanya tersenyum melihat anak bungsu nya penasaran.
" Aish punya pilihan tidak? kalau punya, jangan sekarang... Aish belum lulus sekolah, juga masih ingin sendiri satu atau dua tahun lagi, " Sekali lagi, Aiswa berkata tanpa menatap Buyanya dan hanya memandangi lantai dibawah kakinya.
" Punya... Aish boleh menolak setelah istikharah nanti... Tapi bila dia ingin bertemu, aish mau yaa? " Buya nya hanya menggoda anak gadisnya ini. Ia hanya ingin tahu, apakah anak gadisnya ini telah mempunyai tambatan hati atau belum mengingat Aiswa seorang yang pendiam dan amat irit bicara.
" Iya boleh Buya.... " Masih dengan wajah menunduk.
" Sekarang, lanjutkan hafalan mu... Yang rajin yaa, mau ujian kan. "
" Na'am Buya... Aish pamit... Assalamu'alaikum. " Aiswa menarik dirinya bangkit dan melangkah keluar dari ruang baca sang Ayah.
Bersamaan dengan Aiswa yang keluar dari sana, Umma mendekat menegur sang putri yang terlihat gamang berjalan setelah menemui Ayahnya itu.
" Sayang, kamu kenapa? Buya marah? cerita sama Umma. " Tarik lengannya menuju dapur.
" Gak apa-apa Umma... Buya cuma tanya Aish siap menikah belum? "
" Jawab apa sayang? "
" Gak jawab... Umma, memang kita harus ya menikah muda? apa tidak boleh kuliah dan berkarir dahulu? "
" Jika ada pria dengan agama yang baik, nasab yang baik, akhlaknya baik.. Mau cari apa lagi? kalau suami mu mengizinkan, kesempatan bagi mu terbuka... Tapi bila tidak, pengabdianmu sebagai seorang istri dengan tulus ikhlas adalah jalan tiket mu ke Jannah, pun apabila tercukupi semua kebutuhanmu dhohir maupun bathin. "
" Jadi memang tidak ada pilihan ya, buat anak seperti ku? "
" Maksudnya Aish? anak seperti apa? "
" Anaknya Buya... Harus ikut apa kata Buya.... "
" Engga ko, Aish punya pendapat sayang... Katakan pada Buya, in sya Allah Buya mendengar. "
" Mendengar tapi belum tentu mengabulkan kan Umma? "
" Aish..... Sebenarnya Aish sudah ada pria yang disuka ya? Siapa sayang, Umma boleh tahu? "
" Hmmmm.... Engga, " jawabnya malu sembari menundukkan kepalanya kembali.
".......... " Umma hanya tersenyum simpul melihat anak gadisnya tersipu.
" Ya sudah, lanjutkan hafalan mu sana. "
Aiswa bangkit dari hadapan ibunya dan melangkah menuju kamar nya yang nyaman. Ia mengurungkan niatnya untuk kembali ke halaman belakang rumah seperti rutinitasnya selama ini untuk menghafal.
" Aah, andai aku hanya gadis biasa... Mungkin aku bebas berkarir dan bertualang melihat dunia luar sebelum aku menikah. " Ia berkata lirih sembari menatap langit-langit kamarnya yang berwarna pink dengan lukisan awan.
***
Tegal. Beberapa hari lalu.
Hasbi sedang menatap foto yang baru saja dikirimkan oleh Ahmad sahabatnya sekaligus putra pemilik pondok tempatnya bernaung, bahwa ia baru saja kembali ke rumah setelah magangnya selesai di sebuah perusahaan travel umroh di Mekkah.
Lama ia memperhatikan sosok disebelah Ahmad Hariri sang sahabat yang duduk tersenyum manis sedang memandang kolam ikan, saat keluarga itu sedang berada di balong pembibitan ikan. Yang Hasbi ketahui merupakan salah satu bidang usaha yang Yai nya punya.
" Kamu Aiswa? adik bungsu Ahmad sudah gadis aja, cantik pula meski usianya masih dibawah Naya. "
" Aah, Naya.... Mungkin kamu sedang honeymoon sekarang.. Semoga kamu bahagia yaa cintaku yang tak sampai. " Hasbi masih merasa sesak dan sangat kehilangan harapan kala itu. Naya adalah cinta pertamanya yang baru tumbuh namun harus ia musnahkan karena Naya lebih memilih pria lain yang kehadirannya sangat dominan di hati wanita itu.
" Aiswa... Semoga kita berjodoh... Aku akan mengunjungi Ahmad pekan depan, semoga kita dapat bertemu... Aku ingin melihat mu langsung. " Tatapnya pada foto sosok cantik dilayar handphonenya.
***
Tazkiya Putri, Jakarta. Malam hari.
Setelah makan malam, Buya langsung menuju majlis untuk kajian kitab seperti biasanya.
Kedua anaknya sudah ada didalam kamarnya masing-masing. Ahmad yang baru saja beberapa hari tiba dari Mekkah tengah disibukkan dengan program baru yang akan ia coba terapkan untuk travel agent umroh sang Ayah.
Sedangkan Aiswa, masih berkutat dengan mempelajari semua mata pelajaran untuk persiapan ujian akhir tahun.
Jam sepuluh malam.
Buya kembali masuk ke kediamannya setelah kajian dan bincang dengan sesama jamaah usai, ia mencari keberadaan sang istri untuk memintanya mengantarkan secangkir kopi ke dalam ruang baca.
" Umma, tolong buatkan kopi yaa, Buya di ruang baca ". Pintanya setelah menemukan istrinya sedang berada di dapur.
" Beik Buya. "
Tak berselang lama, umma mengetuk pintu ruang baca perlahan, membawa pesanan suaminya masuk dan meletakkannya di meja.
" Umma, Aish sudah punya pria yang dia suka ".
" Tahu darimana Buya? "
" Sikapnya tolong umma perhatikan... Buya khawatir anak itu keluar jalur. "
" Longgarkan aturan Buya, umma ga mau kehilangan Aiswa. "
" Bagaimana lagi... Dia anakku, anak gadis satu-satunya, aku ingin dia disayangi dan dimanjakan sebagaimana dia saat bersama kita. "
" Tapi Buya.... Urusan hati, kita harus hati-hati... Beda jaman dengan kita dahulu yang dijodohkan yaa akhirnya mau-mau saja... Bahkan punya anak banyak... Anak jaman sekarang, belum tentu... Jangan sampai, Aish berontak. "
" Aiswa tidak akan begitu... Aku yakin. "
" Anak pendiam, belum tentu tidak punya pendapat, anak pendiam justru harus kita beri perhatian extra... Karena kita tidak bisa melihat gejolak emosinya, Buya.... Tolong pertimbangkan lagi permintaannya. "
Umma bangkit berdiri meninggalkan sang suami diruang baca yang terpekur atas perkataannya barusan.
Hati umma mulai resah, ia memutuskan melihat anak gadisnya itu sebelum kembali ke kamarnya untuk beristirahat.
Ia pernah menjadi seorang gadis, wanita dan ibu yang dahulu juga merasakan betapa sulit dan beratnya berusaha berbakti kepada suami ketika cinta itu belum bersemi.
Terlebih bila memang benar, Aiswa telah mencintai seorang pria dalam hatinya, tentunya di usia yang masih sangat belia, anak itu akan mencari jati dirinya sendiri.
Aiswa anak pendiam, namun ia juga punya segudang mimpi yang ingin dia capai. Umma tahu itu.
" Aish, umma selalu berdoa... Kamu mendapatkan apa yang dimau, tanpa menderita terlebih untuk urusan cinta... Aamiin. "
Doa umma saat melihat anak gadisnya telah terlelap diatas tempat tidur, dengan kitab yang menutup wajahnya.
__________________________
Hmmmm..........
Stasiun Solo.
Dua orang gadis tampak berlari terburu-buru keluar dari peron stasiun. Pengumuman yang ditujukan untuk mereka lewat pengeras suara petugas informasi tak mampu meredam rasa bahagia keduanya, seketika menulikan indera pendengar kala mereka kembali bertemu setelah terpisah untuk waktu yang lumayan lama.
Dan, pada akhirnya mereka harus tergesa meninggalkan tempat itu yang menyebabkan ponsel salah satunya tertinggal.
*
Awalnya Amir merasa sangat terganggu dengan percakapan kedua orang gadis yang duduk membelakangi nya di ruang tunggu eksekutif.
Ingin rasanya menegur, apakah panggilan via pengeras suara yang berkali terdengar itu ditujukan untuk mereka, melihat dari busana syar'i yang dikenakan diantara belasan calon penumpang diruangan itu, namun rasanya enggan. Bukan urusanku, batin nya.
" Eh, Al... Kita udah dipanggil... Yuk yuk... Duh keasikan ngobrol. " Gadis dengan kerudung hijau tua lengkap dengan niqobnya terburu bangkit dari duduknya.
" Maaf ya, gara-gara aku jadinya teledor. "
Keduanya sibuk mengemasi barang bawaan yang tidak sedikit. Gadis berkerudung hijau tadi melambaikan tangan meminta bantuan Porter yang tengah melintas didepan ruang tunggu eksekutif untuk membantu membawakan barang mereka.
" Al, aku duluan yaa.. Kamu sisanya aja, bisa kan? " tanyanya lembut sambil menyentuh bahu.
" Bisa Ka... Sisa ransel aja kan? kita langsung ke parkiran yaa. " Jawabnya sembari mengangkat ransel dan menyampirkan di bahu kanannya.
Begitulah percakapan keduanya yang sempat Amir dengar, sebelum Amir kembali berkutat membalas pesan dari Abahnya.
Tak lama berselang, keriuhan sesaat yang lumayan menghebohkan tadi mereda. Merasa tenggorokannya mengering, Amir berniat mengambil sebotol air mineral di showcase sudut ruangan itu namun matanya menangkap sebuah benda tergeletak di kursi tempat kedua gadis tadi bercengkrama.
" Eh, ponsel nya tertinggal. " Gumamnya.
" Kemana ya tadi arahnya? Oh ya, parkiran. "
Amir keluar dari ruang tunggu dan setengah berlari ke arah parkiran stasiun. Dari kejauhan matanya menangkap gadis yang berkerudung hijab toska tengah berlari menuju sebuah mobil penjemputan.
" Mba.. eh Nona... Mbaaa, ponselnya. " Teriak Amir.
Amir yakin gadis yang ia panggil tadi sempat berhenti dan menoleh ke arahnya namun karena mobil jemputan mereka yang telah perlahan bergerak maju, gadis itu pun memutuskan langsung menaikinya. Sedetik kemudian, minibus dengan tulisan pondok pesantren putri itu melesat meninggalkan parkiran stasiun.
" Yaah, ga kekejar. " Amir terengah.
" Semoga dia merasa kehilangan sebelum jaraknya terlalu jauh jadi aku bisa mengantar nya. " Lirihnya masih sambil menata hembusan nafas yang tersenggal.
Amir memilih kembali ke ruang tunggu, duduk disana menikmati udara sejuk ruangan yang ber-AC. Tangan kanannya menyeka keringat yang muncul di dahi akibat berlari tadi sembari menanti pesan balasan dari ka Abyan.
Klung, klung. Bunyi notifikasi batre low.
" Yaah, low batt pula... Mana chargenya beda dengan punya ku.. Gimana nih, aku bawa saja kerumah atau aku tunggu di sini yaa mungkin dia akan kembali. " Amir bergumam lirih bimbang.
Ting. Notifikasi pesan masuk ke ponselnya.
" Mir, Ka Abyan masih di luar... Kalau mau ke pondok ada Mba mu... Ka Abyan rencana pulang besok pagi, tunggu saja yaa. " Pesan dari Ka Abyan. Merasa harus segera membalas pesan tadi, Amir memutuskan untuk melakukan panggilan.
" Ka... Aku batal ke Semarang hari ini, balik ke Uyut aja deh biar sekalian pulang bareng Naya dan Mas Panji nanti. "
" Maafin kakak yaa Mir, belum takdir kita ketemu nieh... Hati-hati, salam buat Uyut dan semua yang disana, " Balas suara diujung sana.
" Beik.... Assalamu'alaikum. "
" Wa'alaikumussalam. "
Ka Abyan akhir-akhir ini sangat sibuk, terkadang pesannya pun lambat dia baca. Amir memaklumi karena kakaknya itu tengah disiapkan oleh mertuanya untuk menggantikan memimpin dan mengelola pondok pesantren yang saat ini masih beliau pimpin.
Siang itu, setelah mendapatkan kabar kepastian keberadaan sang kakak, Amir langsung keluar dari ruang tunggu. Berjalan pelan menyusuri lorong peron yang tidak begitu ramai menuju depan stasiun kemudian menaiki taxi untuk kembali ke Joglo Ageng. Kondisi rumah uyutnya yang megah khas nuansa Jawa itu terlihat lengang saat ia tiba dua puluh menit kemudian.
Mban bilang, sepasang pengantin baru itu baru saja masuk kamar untuk istirahat. Kakek buyut mereka masih menerima tamu di ruang bacanya.
" Den Mas, mau makan? Mban siapkan. "
" Ga usah Mba, aku mau istirahat saja, panggilkan aku saat makan malam dengan Mas Panji yaa. " Pesannya kemudian.
" Baik Den Mas. "
Siang yang membosankan, ingin muroja'ah pun rasanya ia malas. Setelah sholat dzuhur, Amir merebahkan badannya yang terasa lelah di atas tempat tidur sembari memejamkan mata.
Wajahnya lumayan cantik tapi sebagai wanita yang tengah berada di keramaian seharusnya dia menjaga sikapnya. Eh tapi Naya juga begitu, degh. Amir membuka mata.
" Astaghfirullah.... Kenapa aku ini, ko malah membayangkan wanita tadi. " Mengusap wajah dan menyugar rambut.
Amir bangkit dari rebahannya dan melangkah keluar kamar mencari keberadaan Kusno, untuk meminjam charger yang sesuai dengan ponsel yang ia temukan di stasiun.
Pucuk dicinta, orang yang ia cari sedang melangkah menuju arahnya.
" Pak, punya charger ini? aku mau pinjam. " Sapa Amir saat Kusno telah di hadapannya.
" Ponsel siapa Den Mas? " Kusno izin masuk ke dalam kamar, dia nampak mencari di salah satu laci meja kerjanya, dan beberapa saat kemudian ia kembali keluar kamar untuk menyerahkan charger yang Amir minta.
" Ada deeh... Nemu Pak Kusno, ini mau aku balikin tapi batrenya low. "
" Ini mau diapakan? " tanya nya lagi.
" Mau aku cari tahu atau menunggu dia menelpon nanti... Aku pinjam dulu chargernya yaa Pak. "
" Silakan dipakai Den. "
Amir balik arah kembali ke kamarnya. Hatinya lega, akhirnya ada juga jalan untuk mengetahui siapa gadis itu. Ada kegundahan hati yang menyelimuti setiap kali netranya menatap layar handphone yang sedang ia pegang.
" Semoga di dalam sini, tidak ada hal penting yang sedang ia tunggu. "
Setelah memastikan ponsel gadis itu teraliri listrik sempurna, Amir pun kembali merebahkan tubuhnya dan tak berapa lama kemudian, ia terlelap.
Dirinya tak akan pernah menduga, bahwa berawal dari menemukan ponsel seorang gadis diruang tunggu stasiun Solo Balapan akan membawanya pada konflik hati yang sulit ia pilih.
***
Didalam minibus yang sedang melaju menuju kota Semarang, gadis berkerudung toska mulai menyadari bahwa ia telah kehilangan sesuatu.
" Ka, ponsel ku ada sama kakak tidak? " Cemasnya.
" Ga ada Al, kamu taruh dimana? "
" Apa jangan-jangan pria yang tadi, yang menemukan ponsel ku yaa? " lirihnya sambil berpikir.
" Siapa Al? "
" Hmmm itu, di stasiun kayaknya ketinggalan, dibangku... Tapi ada pria yang memanggil sebelum aku naik tadi. "
" Coba kamu telpon Al, kalau masih menjadi rezeki mu, pasti akan kembali ke tangan mu, " gadis berkerudung hijau yang bernama Emilia memberikan ponselnya pada Almahyra.
Tut, Nomor yang Anda tuju sedang berada diluar jangkauan. Terdengar suara operator wanita.
" Ga aktif ka, atau batrenya habis, soalnya tadi subuh aku lupa charge. " Pandangnya pada ponsel sahabatnya itu.
" Semoga masih rezeki mu, dan dia pria baik yang menjaga isi didalam ponsel mu... Bila ponselmu isinya hal tak senonoh... Hahaha. "
" Iih, ka Emilia jahat... Cuma foto ku kak, banyak foto ku, dan beberapa naskah pidato yang akan kupakai saat presentasi magang pekan depan hiks. " Sesalnya.
" Bismillah aman, Al.... "
" Aamiin. " Lirih keduanya.
Meskipun bibirnya mengucapkan kata-kata menenangkan, tetap saja hatinya gamang. Belum ada seorang pria yang pernah melihat rambut indahnya tergerai tak tertutup hijab panjang yang menjulur, seperti yang ia kenakan saat ini.
Allah, jagalah aurat ku, jangan biarkan ia melihat satu foto ku tanpa hijab itu. Hatinya merapal doa yang sama, entah sudah yang keberapa ratus kali ia ulang.
.
__________________________
Ketauan ga yaaa foto nya Almahyra ga pake hijab? 😁
Badannya memang terasa sangat lelah, terlebih setelah rangkaian prosesi adat persiapan pernikahan adiknya kemarin.
Amir membuka mata tepat saat adzan maghrib berkumandang. Lelap sekali tidurnya hari ini, ia juga banyak melewatkan waktunya begitu saja hanya dengan tidur, sesalnya.
" Astaghfirullah, sudah Maghrib dan aku melewatkan waktu Ashar... Innalillahi. "
Amir segera beranjak turun dari tempat tidurnya, mengambil handuk bersih yang sudah disiapkan oleh Mban kediaman uyutnya lalu menuju kamar mandi untuk bersuci dan bersiap.
Tiga puluh menit berlalu, Amir terlihat lebih segar saat keluar dari Hammam. Tak membuang waktu lagi ia pun segera menunaikan sholat Maghrib sekaligus mengqodho sholatnya yang tertinggal tadi. Merasa bersalah karena lalai dengan waktu, akhirnya ia melanjutkan dengan double murajaah 2 juz akhir, 29 dan 30. Saat matanya melihat ke arah jam dinding, sudah hampir pukul 8 malam.
Suara Mban yang memanggilnya untuk makan malam, ia indahkan demi menebus rasa tidak nyaman yang masih bersemayam di hatinya.
" Payah, gimana mau bil ghoib, kalau hafalannya saja ga nambah-nambah... Ya Allah, berikanlah waktu untuk ku agar lebih pantas ketika datang memintanya, " bayang wajah Aiswa yang tersenyum kembali melintas dipelupuk mata.
Tok Tok.
Suara pintu kamarnya diketuk seseorang dari luar, membuyarkan lamunan Amir.
" Mas, Uyut boleh masuk? " Suara uyut.
" Bentar Uyut.... " Amir melangkah membuka pintu kamar.
" Kamu kenapa? kata Kusno tadi kamu gelisah, kata Mban murung ga mau makan? Kenapa Mas? " Tanya Danarhadi lembut seraya menyilakan salah satu Abdi dalem untuk meletakkan makan malam bagi Amir di meja dekat sofa kamar itu.
" Amir ga jadi ketemu ka Abyan.. Mau ketemu kakak sendiri aja susah, " Ia memang rindu dengan sosok kakaknya yang tegas. Amir sedang membutuhkan nasihat teduh yang terbiasa keluar dari bibir kakak sulungnya bila hatinya tengah gelisah.
" Besok kan bisa ketemu, nanti kalau Naya resepsi di Jakarta "
" Masih lama, Yut. "
" Sudah, makan dulu.. Besok syukuran open house, jangan begadang.. Jangan ganggu Mas Panji, dia juga lelah... Uyut lihat dia seharian sibuk minta nak Rey kesana kesini dan sibuk telponin siapa gitu, kayaknya mau kasih kejutan lagi ke Naya... Eman e dia itu ke adikmu... Kamu juga Mas, semoga dapat istri yang sayang, lembut dan eman welas asih sama kamu, keluarga kita... Kayak Mas Panji itu. "
" Aamiin.... Do'ain yaa Uyut, aku bisa segera tuntas hafalannya sempurna biar bisa Mahar bil ghoib nanti... Itu cita-cita aku. "
" Aamiin, pasti bisa Mas... "
Wisesa berhasil mendidik anak-anaknya tumbuh dengan baik meski Meela pergi lebih dulu... Alhamdulillah. Uyut menitikkan airmata haru, ia yang begitu membenci cucu nya itu, perlahan mata hati nya terbuka dan menyesali semuanya, terlebih semua cicit nya menyayangi dirinya sangat tulus meski baru pertama kali jumpa setelah terpisah berpuluh tahun lamanya, juga meski ia pun kerap bersitegang terlebih dengan Naya.
" Uyut... Malam ini aku boleh tidur sama Uyut ga?, " Tanya Amir ragu.
" Udah gede, udah mau punya istri Mas, masa mau tidur bareng Uyut sih... Kamu kenapa jadi manja. "
" Naya boleh, masa aku engga. "
" Yowes, boleh.... Cepat habiskan makan mu lalu istirahat.. "
Amir bersorak riang, entah kenapa malam ini dirinya hanya ingin diperhatikan. Ia rindu belaian Umminya.
Meski telah beranjak remaja kala itu, apabila ia pulang kerumah saat libur dari pondok. Ummi kerap menemaninya tidur dikamar, membelai kepalanya sayang hingga ia terlelap.
" Kamu ga lagi galau kan Mas? " tanya uyut lagi saat keduanya telah ada dikamar Danarhadi.
" Hmmmm, engga. " Amir teringat ponsel gadis itu, tapi ia terlalu malas beranjak kembali setelah nyaman berbaring disisi Uyut yang kini tengah membelai lembut kepalanya.
" Anak-anak Wisesa, ga laki ga perempuan, sama manja nya. Meela ummi mu, pasti memperlakukan kalian dengan sangat lembut dan penyayang hingga kalian merindukan sosoknya akhir-akhir ini, iya kan Mas? " Danarhadi melihat Amir bagai cucu kesayangannya Meela dalam bentuk fisik laki-laki. Ia menggelengkan kepala saat mendapati cicitnya itu telah terpejam dengan nafas teratur tanda ia telah terlelap.
" Sehat selalu ya Mas, berikan mahkota untuk kedua orang tua mu kelak... Jangan lupakan Uyut saat kamu hendak masuk surga nanti, Raden Mas Amirzain, Uyut sayang kalian semua. " Danarhadi mencium kening Amir lembut, perlahan ia pun berbaring merebahkan tubuh rentanya di samping sang cicit tampan seorang hafiz Qur'an.
*
Keesokan pagi.
Amir bangun pagi ini dengan kondisi lebih segar, ponsel wanita yang ia temukan telah ia nyalakan. Banyak panggilan masuk dan beberapa notifikasi pesan. Namun saat Amir akan membukanya, ponsel itu ternyata memiliki pass code.
" Ya ampun, pake dikunci pin number segala, apa isinya sangat penting? " pikirnya.
" Kaaaaa, kemana aja sih, sarapan yuk... Rey sama Uyut udah nunggu tuh dimeja, " suara Naya sang adik bungsu.
" Iya bentar lagi otewe sarapan. "
Akibat Naya menegurnya tadi, Amir langsung teringat bahwa Mahen adik iparnya adalah seorang programmer.
" Mas Panji pasti bisa ngakalin nih... Aku minta tolong dia aja deh. "
Amir pun bergegas menuju ruang makan namun saat ia tiba di sana, hanya ada Rey yang tersisa.
" Lho, Bang Rey, Mas Panji dan Naya mana?. "
" Dikamar... Lagi siap-siap, kalau Nona tadi ke depan. " Rey menjawab dengan mulut penuh makanan.
" Bang, makan apa? salad doank?. "
" Salad buatan Nona enak Den Mas, cobain deh. "
" Aku makan di kamar Mas Panji aja deh.. " Amir membawa satu mangkuk penuh salad buatan adiknya. Naya memang sering memasak bila ia pulang ke rumah. Meski tumbuh dewasa tanpa ummi dan tanpa menyentuh dapur selama ibunya masih hidup, kemampuan memasaknya mumpuni. Amir menduga karena adiknya itu kerap mendapat job event di hotel memungkinkan ia untuk belajar memasak dari para ahlinya.
Amir berpapasan dengan Uyutnya saat akan masuk ke kamar Mahen.
" Raden Mas Amirzain !! Kamu ko belum bersiap tho Maass, makan melulu, ga denger apa yaa itu tetabuhan udah mulai... Ayo buru ". Danarhadi menggeram melihat Amir masih membawa makanan masuk ke kamar Mahen.
Dia hanya menanggapi santai omelan sang Buyut, dan setelah beliau pergi, Amir menyampaikan maksudnya secara diam-diam pada Mahen yang duduk di hadapannya bahwa ia ingin mengetahui siapa pemilik ponsel itu.
" Jangan bilang Naya yaa... ". Amir mengeluarkan sebuah handphone dari saku celananya.
" Cara buka kuncinya gimana? aku mau balikin ponselnya tapi kemarin batre low dan ternyata di lock. " Amir menyerahkan ponsel itu pada Mahen.
" Nanti aku pindai ya kak... Atau ke Rey kalau mau cepat. "
" Ga mau, ini kan rahasia kita... Yo Mas, bantuin aku. " Amir memohon.
" Haha.. Ok, kayaknya ni punya cewek yaa ka? nemu dimana? ". Mahen melihat fisik ponsel nya, ada foto gadis berhijab dibingkai ponsel berwarna hijau tua itu.
Amir menceritakan awal mula ia menemukan ponsel itu pada adik iparnya. Sementara Mahen mendengarkan cerita ka Amir sembari tersenyum simpul, kakak iparnya ini seperti sedang gelisah mencari tahu tentang seorang wanita yang mungkin sudah mencuri perhatiannya.
" Maaasss!! Ya ampun, Ini dua orang... Masih aja begini daritadi, " teriak Uyut lagi pada keduanya saat ia kembali melintas kamar cicit mantunya itu.
" Ayo bersiap, Raden Panji Mahendra, mana istri mu? bentar lagi Sinuhun datang lho nanti kamu telat Mas. "
" Iya Uyut, ini aku mau bersiap dibantu Ka Amir. "
Keduanya pun bangkit dari duduk, lalu Amir membantu Mahen bersiap karena sebelum open house dimulai, adik iparnya itu akan mengikuti sebuah prosesi acara untuk menerima gelar kehormatan terlebih dahulu dari Kesultanan.
Semoga setelah acara selesai, Mas Panji bisa segera membuka handphone nya, kasihan gadis itu bila harus menunggu terlalu lama. Cemasnya dalam hati.
.
.
Notes :
Mahar bil ghoib : Mahar dengan membaca Al-Quran tanpa melihat mushaf.
Mban : Panggilan terhadap ART khas orang Jawa.
Sinuhun : Sulthan atau seseorang dengan kedudukan yang sangat tinggi.
Tetabuhan : Suara gending gamelan Jawa.
Eman : Sayang, dalam bahasa Jawa.
______________________
Mama ko jadi kangen sama Abang Mahen, hiks.. (lho)
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!