Halo, selamat datang di karya Xie!
Ini adalah karya pertamaku. Berikan kritik dan saran terbaik kalian di sini dan jangan lupa dukung author dengan cara like, komen, rate, vote, share dan favoritkan novel ini sebagai novel favorit kalian. Terima kasih.
Happy reading!😊😘
*****
São Paulo, Brazil.
Sang mentari masih setia menemani bumi dengan sinar sayu nan bersahabat yang memancar dari ufuk barat. Sinarnya merambat malu-malu lewat celah pepohonan rimbun di sekitar lapangan terbesar di kota terbesar di negara Brazil. Negara penghasil atlet sepakbola terbaik di dunia.
Sāo Paulo, nama kota itu sekaligus menjadi ibukota negara bagian dan juga merupakan kota terbesar di belahan bumi selatan. Sāo Paulo juga merupakan kota metropolitan terbesar ke-7 di dunia.
Di sudut lapangan, seorang pria muda bermanik hijau zamrud sedang meneguk sebotol air mineral. Dia menghela napas lega ketika air di dalam botol berukuran 500 ml itu tandas. Tak lupa, dia juga menyeka keringat di wajahnya dengan wash cloth yang tersampir di bahu kokohnya.
Baju olahraganya yang telah da buka membuat otot perut sixpacknya terlihat. Tubuhnya yang atletis dengan kulit putih bercampur keringat setelah latihan seharian membuatnya terlihat gagah dengan pantulan sinar matahari sore menyilaukan mata.
Di seberang lapangan itu, rekan se-timnya sedang bersorak ria entah apa yang sedang mereka lakukan. Bibirnya mengulas senyum memperlihatkan deretan gigi putih yang tersusun rapi, menyaksikan aksi konyol mereka. Bibir yang berwarna pink menambah kesan seksi dalam senyumannya.
"Silver, Ayo, kesini!" teriak salah satu dari mereka.
Pria yang bernama lengkap Silvester Dominique Dario itu tersenyum. Dia kerap disapa Silver oleh rekan-rekanya. Bukan hanya alasan karena namanya yang seperti itu, tapi hampir keselurahan miliknya berwarna silver. Mulai dari warna rambut sampai pakaiannya juga mobil yang dikendarainya, semuanya berwarna silver.
"Tidak, aku mau pulang." Di menolak.
***
Sebuah mobil sport bermerk Mercedes Benz berwarna silver menyalip di jalanan membelah lautan mobil yang berlomba-lomba ingin sampai di garis finish ala mereka. Silver mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata sehingga seringkali mendahului kendaraan lain.
Dengan dua jari tangan kirinya menjepit sebatang rokok, dia memegang kemudi mobilnya dengan tangan kanan dan melajukannya menuju sebuah pondok lusuh yang tak pantas dihuni di pinggiran kota.
Setelah memarkirkan mobilnya di sebuah parkiran khusus, Silver membawa langkahnya mendekati pondok tersebut dengan tatapan tajam yang mengintimidasi siapa pun yang melihat.
Dengan postur tubuh dan tingginya yang terbilang di atas rata-rata tinggi pria di kota Sao Paulo, Silver melangkah lebar dan membuka pintu pondok itu.
Begitu dia menjajakkan kaki panjangnya di tempat itu, mata hijaunya langsung disuguhkan oleh para anak manusia yang meliuk-liukkan badannya mengikuti alunan musik-musik bertempo cepat yang memekakkan telinga.
Pondok yang terlihat lusuh tersebut adalah sebuah kelab malam tertutup yang hanya diketahui oleh orang-orang tertentu.
Tanpa menghiraukan usikan dan godaan dari para wanita yang bekerja dengan cara yang dibilang tidak wajar, Silver menaiki tangga yang menyambungkan lantai bawah dan lantai atas menuju sebuah ruangan tempat seseorang yang sedang menunggunya.
"Ada apa?" tanyanya to the point begitu dia membukakan pintu ruangan tersebut.
"Maaf mengganggu waktu Anda yang berharga, Tuan."
Seorang pria paruh baya yang menunggunya tadi bangkit dari sofa tempatnya duduk dan membungkukkan badannya ketika Silver memasuki ruangan itu. Ia menahan napasnya yang tak beraturan ketika ia menangkap aura tak bersahabat dari manik emerald itu.
"Katakan! Jangan bertele-tele. Kau membuang waktuku." Ia mengangkat tangannya menyuruh pria paruh baya itu duduk setelah pantatnya mengenai sofa yang empuk.
"Ah... ma... maaf, Tuan." Lelaki itu terbata-bata menjawab. "Saya rasa sudah waktunya untuk saya berhenti dari pekerjaan ini, Tuan." Dengan sekali tarikan napas Jerome menjawab.
Inilah keputusannya setelah berbulan-bulan bergelung dengan pikiran sendiri. Meskipun dia telah mengatakan berulang kali pada si Tuan, tapi kekeraskepalaan si Tuan yang memaksanya melakukannya sekali lagi, berharap kali ini ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan. Mencoba berkali-kali tidak masalah bukan? Itulah prinsip yang dipegangnya.
Jerome telah memantapkan keputusan dengan mengutarakannya lagi secara langsung pada sang Tuan. Ia berharap keputusannya ini membawa dampak yang positif bagi keluarganya kelak.
Pekerjaannya ini memang membahayakan siapapun, bukan hanya dirinya. Ia bekerja sebagai penembak jitu yang bekerja di bawah naungan Dario Company milik Silvester Dominique Dario, seorang atlet sepakbola yang juga merangkap menjadi seseorang yang lain di kehidupan malam. Dikenal dengan julukan Bunglon Hijau.
Senyuman manis Silver di depan kamera dan aksi luar biasanya di lapangan membius siapapun yang melihatnya tanpa ada yang penasaran dengan kehidupan malamnya karena memang ia menjaga ketat informasi-informasi pribadinya agar tidak mencuat ke luar.
"Kita sudah sering membahas ini, Jerome. Kalau memang itu yang kau inginkan, aku harus melakukannya. Aku akan memberikan upahmu selama bekerja di sini. Hubungi Greg untuk itu." Tatapan datarnya tetap terpampang jelas di wajah tampannya. Tak lama kemudian, senyuman maut terukir di bibir berwarna merah mudanya.
*****
Seorang gadis belia berjalan menyusuri jalanan sempit nan sepi menuju pantai Sete Fonte. Kaki jenjangnya yang mulus tak berhenti melangkah menapaki tanah datar di sekitar pantai itu.
Gulungan ombak kecil merupakan fenomena alam yang tidak akan bisa dilewatkan oleh siapapun yang menghabiskan waktunya di tepi pantai. Semilir lembut angin malam membelai surai panjang blonde milik gadis itu.
Manik kuningnya tak henti memancarkan rona kebahagiaan. Ia sangat menikmati waktu nya di atas pasir putih itu tanpa ada yang mengganggu tiap malamnya. Kelelahan akibat bekerja seharian menjadikan pantai yang sepi ini tempat melepaskan penatnya.
Purnama penuh menjadikan suasana pantai itu semakin indah. Kilauan air laut bagaikan mutiara yang berhamburan ketika dipantulkan oleh biasnya cahaya itu.
Mugkin malam ini bukan waktu yang tepat untuknya melepaskan dahaganya akan angin segar karena sebuah teriakan dari arah lain membuatnya kehilangan fokus. Teriakan itu menyita perhatiannya sehingga ia perlahan-lahan menuju ke arah datangnya suara.
Ia berjalan sambil berjinjit seakan pasir putih itu mengeluarkan suara keras ketika ia berjalan. Ketakutan seakan menggerogototi kalbunya. Ia bersembunyi di balik batang pohon besar yang ada di sekitar pantai.
Betapa terkejutnya ia ketika melihat seseorang yang berhasil mengganggu waktu senggangnya. Seseorang yang sangat ia puja, yang sering membiusnya dengan aksi menawan di lapangan sepakbola yang sering ia tonton langsung di siaran televisi.
Astaga. Dia bahkan lebih tampan berjuta kali lipat dibandingkan di tv.
Ia meneguk ludahnya kasar saat pandangan mata mereka bertemu.
"Bagaimana ini?" Ia membalikkan badanya berharap seseorang itu tidak terlalu menyadari kehadirannya meski itu adalah harapan sia-sia. Ia memegang dadanya yang bergemuruh seakan jantungnya akan copot dari tempatnya.
Di tempatnya melepaskan amarah, sang atlet menatap datar gadis itu. Seringai iblisnya muncul lagi. Otaknya memikirkan sesuatu yang menurutnya akan sangat-sangat menarik.
"Let's start the game, little girl."
Ia membawa langkahnya menyusuri pasir-pasir putih menuju pohon tempat gadis itu bersembunyi.
Merasa bahwa seseorang itu mendekat, gadis itu mendekap erat tubuhnya. Jantungnya saat ini tidak berdetak normal. Ia berharap seseorang itu tidak datang ke tempatnya dan mendapati dirinya yang sedang berantakan itu bersembunyi.
Sekali lagi, harapannya sia-sia. Orang itu sudah berdiri di hadapannya. Manik kuningnya tak berkedip menatap orang itu sampai ia tidak sadar bahwa jarak di antara mereka semakin menipis.
Orang itu mengulurkan tangan kanannya, mengajaknya bersalaman. Gadis itu terpaku pada pemandangan indah di depannya. Ia berpikir ini hanyalah mimpi yang membawanya menemui dewa-dewa tertampan di langit sehingga ia dengan cepat menyambar tangan yang terulur di depannya itu.
"Halo, Nonaa. Apa kau mengenalku?" Suara bariton milik orang itu membuat lamunannya buyar. Senyuman yang terlukis di bibir orang itu membuatnya salah tingkah.
Ia balas tersenyum seakan itu adalah senyuman termanis dan terbaik yang dimilikinya dan berusaha mengatur detak jantungnya yang tak karuan sejak tadi.
Tentu saja aku mengenalmu. Aku pemujamu selama ini, Silvester Dominique Dario. Ia berteriak histeris dalam hati.
"Hei, kau mendengarku?" Orang itu -Silver- bertanya sekali lagi ketika ia tidak mendapat sahutan darinya.
Ia gelagapan. Secepat kilat ia mengangguk. "Maaf, Tuan. Ya, tentu saja saya mengenal Anda, Tuan. Anda adalah pesepakbola terkenal itu. Saya sangat mengidolakan Anda, jadi apapun tentang Anda saya mengetahuinya."
Ia menjelaskannya panjang lebar saking senangnya ia bertemu langsung dengan idola yang sering ia lihat hanya di tv. Ia tersenyum menampilkan deretan gigi putih susunya.
"Oh, begitu rupanya. Apapun?" Silver memastikan lagi.
"Ya, apapun." Ia mengangguk lagi seakan pertanyaan itu ialah seputar kehidupan para atlet seperti biasa.
Namun, dari balik mata hijau yang menajam itu terlukis dendam, terukir banyaknya tanda yang ingin melenyapkannya, darah daging Jerome. Sayang sekali, Sue tidak memahami. Dia melihat senyum itu seperti oase di padang pasir. Menyejukkan.
*****
Ig @xie_lu13
Happy reading!😊😘
*****
Cih, namanya aneh sekali. Silver bergumam.
Suelita Abraham.
Begitulah nama gadis yang tidak sengaja berjumpa dengannya di pantai tadi.
Ia sedang duduk bersandar di bangku panjang di balkon masionnya menatap langit malam yang penuh bintang disertai purnama yang menambah cerianya matahari kecil itu di angkasa sana.
"Dan apa katanya tadi? Apapun? Hahaha... Kau tidak mengenalku rupanya, tikus kecil. Kau masih bisa tersenyum seperti orang kesurupan. Coba kita lihat apa yang akan terjadi kalau kau mengetahui siapa diriku sebenarnya. Aku penasaran apa kau masih bisa tersenyum seperti itu atau tidak. Hanya pria tua itu yang tahu siapa aku, Suelita. Ayahmu!" Suaranya terdengar menusuk ketika kata terakhir terucapkan.
Pikirannya masih terbayang dengan senyuman ceria gadis itu, betapa beningnya manik kuningnya dan betapa bangganya ia ketika menerima uluran tangan Silver
Hah, gadis yang aneh. Begitula akhir dari pergolakan pikirannya sebelum dering dari benda pipih di saku jaketnya mengalihkan fokus. Sebuah panggilan video dari seorang wanita cantik.
"Mon amor. Aku merindukanmu." Wanita itu memonyongkan bibir membuat Silver yang di seberang sana terkekeh.
"Aku akan segera pulang, Sil. Jangan merindukanku."
"Ayolah, sayang. Jangan membuatku gila karena merindukanmu."
Wanita itu terkekeh lagi. "Aku tidak akan pulang."
"Hei, ayolah. Aku akan membunuh managermu kalau sampai ia tidak memulangkanmu."
Wanita itu tertawa terbahak-bahak. Sepertinya ia menikmati wajah kesal kekasihnya.
*****
Sue menyingkapkan tirai yang menjadi penutup jendela kecil toko bunganya. Ia menguap berkali-kali menandakan bahwa semalam ia kurang tidur.
Ya, memang semalam ia tidak bisa tidur karena teringat akan pertemuan singkatnya dengan sang atlet pujaan, Silvester Dominique Dario. Bahkan sampai jam dua pagi barulah ia bisa menutup kelopak matanya dengan tenang.
"Apa saja yang kau lakukan semalam? Sepertinya kau kelelahan." Seseorang datang dari arah belakangnya membuatnya terkejut. Ia membalikkan badannya dan mendapati seorang gadis seumurannya bersedekap.
"Kau mengejutkanku, Zamora."
Zamora Eleanor, seorang gadis berkulit putih dengan rambut dicat dengan warna putih dan bermanik biru safir keturunan Amerika yang kata Sue dia terdampar di negara ini. Dia satu-satunya teman dekat Sue dan satu-satunya orang paling mengerti dirinya.
Tidak ada satupun rahasia yang bisa disembunyikan Sue dari gadis itu, entah apapun yang terjadi Zamora pasti akan mengetahuinya. Termasuk cinta tak terbalas Sue pada seorang atlet muda.
Sue tidak menceritakan itu, tapi tetap saja Zamora mengetahuinya, Sue bingung entah sihir apa yang dipakai Zamora untuk membaca pikirannya.
"Kau kenapa?"
"Ah...tidak. Tidak ada apa-apa." Ia menjawab dengan sedikit rona merah terpancar dari pipinya. "Ada sesuatu yang terjadi semalam yang sangat mengejutkan jantungku." Ia mengedipkan matanya dan memegang dada kirinya.
"Come on, Sue. Ceritakanlah padaku. Apa itu?" Ia memegang lengan Sue karena saking penasarannya.
"Bukan sesuatu yang besar." Ia tersenyum lebar sengaja menggoda gadis itu.
"Hei, ayolah. Itu pasti sesuatu yang sangat besar." Ia mulai kesal karena tahu bahwa Sue sengaja memancing kekesalannya.
"Semalam aku tidak sengaja bertemu pria idamanku."
"Astaga, Suelita. Jangan berbelit-belit. Pria seperti apa? Tinggi? Putih? Rambut cokelat? Ayolah, siapa pria yang akan mau dengan gadis kurus sepertimu itu? Bahkan pria yang kau kategorikan itu tidak akan melirikpun padamu."
"Cih, kau sangat pandai mencibir. Bagaimana kalau kenyataannya seperti itu?"
"Dalam mimpimu, Sue."
"Tidak, kenyataannya aku bertemu langsung dan berbincang dengannya. Kau tidak penasaran siapa pria itu?" Ia mencolek dagu Zamora, membuat gadis itu menjauh.
"Menjijikkan. Aku tidak penasaran lagi karena sepertinya kau masih tertidur biarpun ragamu sekarang berdiri di hadapanku."
Sue terkekeh, ia berhasil membuat Zamora kesal. "Aku bertemu Silvester Dario. Kau tidak percaya 'kan?" Ia mengedipkan sebelah matanya.
"What?" Zamora terbelalak.
*****
Sudah dua jam Silver berlari mengelilingi taman besar di mansionnya. Butir-butir kristal bening sudah menumpuk di sekitar anak rambut di dahinya. Tanpa bantuan wash cloth atau apapun, ia menyeka keringat itu dengan lengan kekarnya.
Sejenak ia berhenti karena benda pipih di sakunya bergetar mengalihkan perhatiannya. Ia menyeringai tatkala melihat nama yang tertera di layar pipih itu dan tak urung ia menekan tombol hijau.
"Ya?"
"Cepatlah. Sebentar lagi kita akan berangkat." Terdengar suara serak seorang pria dari seberang sana.
"Hm."
Kemudian ia memutuskan sambungannya sepihak. Begitulah seorang Silvester Dominique Dario. Bersikap manis dan penuh senyuman di depan publik sebagai seorang atlet yang profesional sehingga banyak kaum hawa yang berteriak histeris ketika senyuman maut itu terukir.
Akan tetapi, ketika keberadaannya jauh dari sorotan dan hiruk pikuk pers, sikapnya berbanding terbalik dengan itu. Cuek, datar, dan bersikap semaunya saja.
Perputaran waktu tak terasa begitu cepat sehingga saat yang dinantikan sepertinya telah tiba. Silver sudah di perjalanan menuju ke bandara.
Ia yang biasanya mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi harus menahan kekesalannya karena sopir yang mengemudikan mobil itu patuh pada peraturan lalu lintas.
"Lain waktu, biarkan aku sendiri yang mengendarai mobilku. Kau berjalan lambat seperti kura-kura."
Sopir di depannya hanya mengangguk mengiyakan, membantah atasan pasti akan langsung drop out bukan? Tentunya ia tidak menginginkan hal itu.
Setengah jam kemudian, mobil itu berhenti di sebuah bandara internasional negara Brazil.
Congonhas Airport.
Silver langsung turun dari mobilnya dan bergegas menuju tempat check-in tiket karena sebentar lagi pesawat akan lepas landas menuju sebuah kota besar di benua Eropa.
Sebuah perjalanan yang harus ditempuh oleh atlet sepertinya. Pertandingan-pertandingan seperti ini menjadi kubu pertahanan dirinya agar ia tidak dicurigai oleh pihak kepolisian sebagai pemimpin Bunglon Hijau.
Friendly Match kali ini klub dari negaranya akan berhadapan dengan klub terbesar di negara Spanyol.
Brazillía vs El Madrid.
*****
Bahkan sampai siang hari, Zamora masih kukuh bertanya apa saja hal yang diperbincangkan Sue dan idolanya. Ia sengaja mengorek informasi tentang perasaan Sue, tetapi Sue tetap acuh. Karena terlalu menahan kesal, akhirnya Zamora meninggalkan Sue sendirian di toko itu.
Beberapa costumer berlalu lalang meminta bunga yang mereka inginkan. Dengan cekatan, Sue mengikat tangkai-tangkai bunga itu dan memberikannya pada mereka serta menjelaskan arti dari masing-masing bunga yang mereka pilih.
Inilah kehidupan sehari-hari Sue. Menjual bunga-bunga segar hasil taman di belakang tokonya dan beberapa bunga impor yang berhasil ia dapatkan dari negara lain. Ia menyibukkan dirinya dengan hal itu sepanjang hari.
Semenjak kepergian ibunya ke pangkuan Yang Maha Kuasa, ia lebih memilih merawat bunga hias hasil taman yang ia dan ibunya rawat sewaktu masih hidup dan memperdagangkannya. Semenjak itu pula, ayahnya pergi bekerja tanpa pernah pulang. Yang ia tahu, ada kabar tentang ayahnya bahwa ia bekerja pada seorang billionaire.
Bel kecil di pintu masuk membuat Sue tersadar dan segera melangkah ke sana. Orang itu akan menjadi orang yang kesekian menjadi pelanggannya.
Ia menegang. Seseorang yang masuk itu adalah seseorang yang sangat ia rindukan selama ini, bukan pelanggan biasa.
"Kemana saja papa selama ini? Sue rindu."
Sudah berulang kali kalimat itu meluncur dari bibir tebalnya. Tangis haru menyambut kedatangan Jerome, ayahnya. Orang yang dimilikinya dan sangat berharga baginya selain almarhum ibunya.
"Maafkan papa, sayang. Pekerjaan papa tidak bisa ditinggalkan begitu saja."
"Kenapa papa di sini kalau pekerjaan papa penting?" Ia mengerucutkan bibirnya.
"Papa merindukanmu." Jerome mengelus lembut rambut blonde milik putrinya.
Jangan tanya alasannya, sayang. Papa tidak bisa memberitahumu alasan kepulangan papa, pekerjaan papa berbahaya. Hanya kau yang papa miliki sekarang, papa tidak ingin kehilanganmu seperti kita kehilangan mamamu. Papa akan melindungimu, sayang. Ia membatin.
Setelah mempersilahkan ayahnya mandi dan beristirahat sebentar, Sue bergegas ke dapur dan memasak makanan kesukaan ayahnya. Toko kecilnya ia biarkan setelah memasang potongan kertas bertuliskan "CLOSE".
Ia ingin menghabiskan waktu bersama ayahnya setelah sekian lama tak bersua sehingga ia melupakan sebuah siaran televisi yang tidak pernah ia lewatkan.
*****
Stadion Santiago Bernabéu, Madrid, Spanyol
Suara gemuruh di stadion terbesar di Spanyol menandakan bahwa pertandingan persahabatan antar Brazillía dan El Madrid sedang berlangsung. Silver menjadi starter yang berposisi sebagai left winger.
Kemampuan berlarinya yang sangat cepat, penggiringan bolanya yang tak tertandingi dan keakuratan assistnya yang tidak pernah meleset membuatnya menjadi andalan di timnya.
Teriakan-teriakan histeris para penggemar terdengar riuh memekakkan telinga. Biarpun pertandingan ini berlangsung di kandang lawan, tetap saja supporter Brazillía ada dimana-mana.
"Dario ...."
"Dario ...."
"Dario ...."
"Brazillía ...."
"Brazillía ..."
Nyanyian sahut-sahutan penonton mulai terdengar untuk menyemangati para pemain idola mereka. Silver meliuk-liuk mencari celah sambil mendrible bola ke arah gawang lawan.
Central defender lawan menghalangi lari kencangnya sehingga ia nyaris terjatuh. Untungnya, sebelum itu terjadi ia melihat rekannya berada tidak jauh dari sana sehingga ia dengan mudah memberikan assistnya.
Namun sayang, tendangan kaki kiri rekannya itu meleset dan bola keluar menyamping dari mistar gawang.
"Huuuaaaww ...." Spontan seluruh penonton yang menyaksikan adegan tegang tadi langsung lemas karena kekecewaan.
Tak lama kemudian, suara sahut-sahutan terdengar lagi menyemangati tim Brazil.
"Vamos Brazillía."
Hingga first half berakhir, keadaan di papan skor masih imbang. Head coach masing-masing tim mengumpulkan anak asuhnya di pinggir lapangan dan memberi arahan lagi tentang bagaimana menyikapi lawan yang sedikit tangguh itu.
*****
São Paulo, Brazil
Setelah hampir setengah jam berkutat di dapur, akhirnya makanan rumahan ala Suelita tersaji dengan anggun di atas meja makan di dapur kecilnya. Kemudian ia beranjak le lantai atas untuk membersihkan diri dan memberitahu ayahnya bahwa makanan telah tersaji.
Beberapa menit kemudian, Sue turun dan mendapati ayahnya sedang duduk menunggunya di meja makan.
"Sorry, papa."
"Tidak apa-apa, sayang. Papa tidak tahan mencium aroma Feijoada buatanmu makanya papa berakhir di sini," terang Jerome sambil terkekeh.
Di meja makan itu telah tersaji kuliner asli negara Brazil yang diberi nama Feijoada. Feijoada ini merupakan sop kacang hitam yang direbus dengan berbagai macam daging dan sosis.
Tidak hanya itu, ada juga beberapa makanan pencuci mulut khas Brazil seperti Quindim, Salpicao, Coksinhas, Brigadeiro dan yang lainnya. Sejak kecil, Sue diajari ibunya memasak dan sekarang ia pandai memasak apapun makanan khas Brazil.
*****
Stadion Santiago Bernabéu, Madrid, Spanyol
Second half sedang berlangsung. Di babak ini, tampaknya semua pemain terobsesi memasukkan bola ke gawang lawan sebanyak-banyaknya sehingga kerap kali terjadi fouls.
Wasit tidak terlihat jengah, ia bahkan masih gesit berlari kesana-kemari kemanapun arah gerak bola.
"Golll ...." Kembali teriakan histeris memekakkan telinga para penonton untuk tim kesayangan mereka.
*****
Ig @xie_lu13
Happy reading!😊😘
*****
"Laksanakan bagianmu!" perintah pria bermanik emerald itu pada seorang pria bermanik abu-abu yang bermarga Di Vaio lewat telepon. Kakak sepupu bernama lengkap Gregor Di Vaio.
"Kau yakin dengan keputusanmu, Dom?"
"Tentu saja aku yakin, Greg. Sangat yakin." Silver menekankan perkataan di kalimat terakhir.
"Baiklah, akan kulakukan sekarang."
Silver mengakhiri telepon itu kemudian menghela napas gusar.
Seusai pertandingan tadi, timnya langsung take-off kembali ke negaranya. Tidak ada yang menarik dari hal itu, karena baginya menjadi seorang atlet hanyalah figuran agar ia bisa menghirup udara segar dari kelamnya kehidupan malamnya.
Tentang pertandingan tadi, tentu saja hasilnya adalah timnya yang menang. Hanya skor tipis 1-0. Tim negara Spanyol sangat kuat, bahkan untuk mendapatkan kemenangan itu tim Brazillía harus bekerja sama yang ekstra. Bukannya tim Brazillía tidak kuat, hanya saja untuk menghadapi tipuan lawan sekelas El Madrid membuat mereka seringkali kewalahan.
Silver tidak ambil pusing, menghadapi lawan sekuat apapun itu sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Ia sudah terbiasa dengan hal itu.
"Oh, sial."
Ia mengumpat ketika menggerakkan kakinya. Sakit di tulang keringnya tidak dapat ia tahan. Pada saat menggiring bola tadi, seseorang menendang tepat di tulang keringnya. Entah disengaja atau tidak, Silver sudah tidak peduli. Yang ia pedulikan hanyalah sakit yang teramat sangat di tulang itu sehingga ia harus digantikan. Ia digantikan oleh seorang pemain yang tak kalah gesit dengan dirinya.
Rodrigo Delore.
Rodrigo adalah salah satu teman dan yang paling penting ialah dia juga ikut andil dalam kehidupan malam yang dijalani Silver.
Bukan sebagai striker sesuai posisi aslinya dalam tim, tapi ia menggantikan posisi left winger karena keadaan di lapangan sangat genting dan tidak ada pemaim yang memiliki kemampuan yang sepertinya.
Tidak mengecewakan, hal yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Rodrigo menyumbang sebuah gol bagi kemenangan Brazillía dan sebagai penutup pertandingan itu.
Semuanya kembali riuh. Bahkan stadion Santiago Bernabéu hampir gempar akibat gemuruhnya sorakan penonton dan pendukung tim Brazil.
Silver masih diam di tempat duduknya dengan beberapa balok es untuk mengompres tulang keringnya yang sakit. Sakit ini bahkan lebih sakit daripada terkena peluru seperti yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia merasa bahwa orang itu sengaja melakukannya mengingat bahwa ia juga sering melampiaskan kekesalannya ke sembarangan orang. Mungkin saja orang itu membalasnya dengan cara yang sama ataukah mungkin dia juga termasuk dalam jajaran musuh yang sering dibantainya dalam kehidupan pribadinya.
Cih...Dendam? Aku bahkan punya dendam yang lebih luas dari pada samudera.
Ketika mengingat sesuatu, ia menekan beberapa digit angka dan menelepon seseorang.
"Kau tidak perlu datang malam ini, Rod."
Orang yang di seberang itu terdengar menghela napas. Beberapa detik kemudian, ia menyahut. "Baiklah. Bagaimana cederamu?"
"Aku baik-baik saja."
"Gregor?"
"Dia kuberikan tugas penting."
"Seperti?" Suara orang itu terdengar curiga.
"Memasukkan lalat ke dalam botol perangkap."
"Hei...Apa kau gila?" Orang itu setengah berteriak mendengar jawaban aneh darinya.
"Kau tahu tujuan hidupku, Rod. Untuk tujuan mulia itulah aku masih ada sampai sekarang agar lalat-lalat menjijikkan itu masuk ke dalam neraka yang mereka buat sendiri." Seketika tatapannya menjadi datar tanpa ekspresi dan penuh intimidasi. Pikirannya menerawang jauh ke masa terkelam dalam hidupnya.
"Setidaknya, berusahalah berdamai dengan masa lalumu."
Ia mendengus tidak suka. "Sebenarnya kau teman atau musuhku, Rodrigo?"
Seseorang yang disebut Rodrigo olehnya itu terkekeh, kemudian berucap. "Tergantung pemilihan waktunya."
"Sialaann."
*****
Saat matanya hendak tertutup dan menuju alam mimpi, lagi-lagi getaran ponsel mengganggunya. Matanya menyipit, nomor yang tidak dikenal. Ia membiarkannya dan melanjutkan aktifitasnya yang baru saja tertanggu oleh benda itu hingga suara dari benda itu berhenti sendiri. Lagi. Ponsel itu berbunyi, reaksinya masih sama. Ia berpikir kalau itu hanyalah telepon iseng sehingga sampai ketiga kalinya benda itu berbunyi barulah ia menekan tombol hijau dan mengumpat kasar.
"Sialan, kau mengganggu tidurku."
"Ini aku, Dom."
"Hn?"
"Ponselku kehabisan daya dan aku menggunakan ponsel Demian."
"Ya, ya, tak perlu kau jelaskan lagi. Apa tujuanmu menelponku?" Silver sudah merasa kesal karena saudaranya itu mengganggu waktu tidurnya.
"Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku."
Silver hampir saja lupa, karena itulah ia merasa kesal mendapat telepon tengah malam tetapi mendengar alasan seseorang yang meneleponnya itu membuat nyawanya kembali lagi ke tubuhnya. Ia tersenyum tipis.
"Bagus. Akan kuselesaikan besok. Pergilah bersenang-senang dengan anggotamu."
Ia mematikan sambungan itu.
Seringai mematikan langsung tercetak di bibirnya yang seksi itu dengan tatapan manik hijaunya kembali menajam seiring dengan lipatan bibirnya yang ditarik ke atas.
Drama kita dimulai sekarang, tikus kecil.
Ia akan menjadi pahlawan kesiangan bagi seseorang besok.
*****
Sinar mentari pagi di awal musim panas yang cerah ini tidak memiliki pengaruh pada seorang gadis belia yang sedang meratapi nasibnya. Ia duduk bersandar pada pinggir jalan trotoar dan memandangi bangunan kecil yang berada di hadapannya itu.
Sue tidak memiliki harapan lagi sekarang. Harapan satu-satunya telah direnggut paksa hanya dalam hitungan menit. Ia menangis sesegukan dengan mata yang bengkak dan air mata terus membanjiri pipinya yang mulus. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang, bagaimana ia menjalani kehidupan selanjutnya, dan apa yang akan terjadi pada ayahnya kalau ia pergi sekarang padahal baru saja mereka bertemu, saling melepaskan dahaga akan rindu yang membelenggu beberapa tahun terakhir.
Semalam ada orang yang datang dan menggebrak toko bunganya. Orang itu juga mengatakan bahwa toko itu telah dijual dan dibeli oleh seseorang dengan harga yang fantastis.
Memberikan bukti kepemilikan toko dan tanah di tempat itu tidak membuat pria bermanik abu itu mempercayainya. Ia mengatakan bahwa kertas-kertas seperti itu hanyalah rekayasa saja bahkan dengan beraninya pria itu merobek kertas-kertas itu, membuat dada Sue sesak seakan orang itu sedang merobek jantungnya.
Hanya itu miliknya, satu-satunya penunjang hidupnya selama ini. Dan sekarang, semuanya telah tiada. Meminta tolong pada Zamora, ia rasa tidak perlu. Ia terlalu banyak merepotkan gadis berambut putih itu.
Ia harus menghadapi masalahnya sendiri. Jangan melibatkan orang lain. Ia sudah dewasa sekarang, bukan anak kecil lagi yang sering menangis saat kakinya terkilir karena terjatuh.
Diumurnya yang baru menginjak tujuh belas tahun, ia harus bekerja ekstra keras demi hidupnya. Ia memulai pekerjaan menjual bunga sejak umur sepuluh tahun saat ia memutuskan berhenti sekolah.
Bunga-bunga yang ditanam almarhum ibunya ia petik dan menjualnya di jalanan. Awalnya terasa sulit baginya. Melihat anak-anak sebayanya memakai seragam sekokah membuatnya iri. Karena tekad yang kuat, akhirnya ia bisa mematahkan rasa iri itu.
Disaat semuanya lancar, sebuah badai mengguncangkannya sehingga apa yang sudah ia bangun dari awal hancur tak tersisa. Ia menangis, menangisi semuanya.
Ia bangkit berdiri, mengusap wajahnya kasar. Kakinya terasa lemas, mungkin kehilangan tenaga karena kejadian semalam. Ia terisak lagi, air mata itu seakan tak pernah ada habis-habisnya.
Sebuah mobil bermerk Mercedses Benz berwarna silver berhenti tepat di belakangnya. Karena sebagian jiwanya melayang, Sue tidak menyadarinya. Hingga sebuah tepukan di bahunya membuatnya buru-buru menghapus air mata yang masih menetap di pipinya. Setelah ia merasa bahwa tidak ada lagi air mata yang tersisa, ia menoleh.
Oh my God. He again??
Matanya melotot karena terkejut, hatinya berteriak histeris karena tidak menyangka adanya peristiwa seperti ini sepagi ini.
Hati yang tadinya patah menjadi sembuh hanya karena sebuah senyuman yang tercetak jelas di bibir orang bermanik emerald di hadapannya itu.
"Are you ok?"
Sue tergagap. Ingin sekali ia mengatakan bahwa ia tidak baik-baik saja, namun ia urungkan karena ia merasa bahwa orang yang di hadapannya itu tidak pantas mendengar keluh kesahnya. Sejurus kemudian ia menganggukkan kepalanya pertanda bahwa ia baik-baik saja.
"Saya baik-baik saja, Tuan."
Orang itu terkekeh. "Lalu, kenapa kau menangis? Ada air mata di sana dan matamu bengkak." Tangan kekarnya menunjuk pada pipi Sue.
"Hah?!"
Secepat kilat, Sue menghapus air matanya. Benar, butiran bening itu masih ada, tidak terhapus penuh karena ia terburu-buru tadi. "Saya tidak menangis." Ia memalingkan pandangannya agar mata mereka tidak bertemu.
"Benarkah? Apa yang membuat matamu bengkak?"
"Saya hanya kurang tidur, Tuan." Ia menundukkan kepalanya, ia takut orang itu melihat kebohongannya.
Orang itu terkekeh lagi. "Kau tidak pandai berbohong, little girl. Kalau kau kurang tidur, di matamu pasti ada lingkaran hitam bukannya bengkak seperti itu."
Sue makin terpojok. Niatnya tidak ingin orang itu tahu, tapi tanpa diberitahupun ia sudah tahu.
"Quoi de neuf? (Ada apa?)." Ia masih berusaha membuat Sue mengangkat kepalanya, namun Sue masih setia dalam posisinya seperti itu.
Merasa tidak ada jawaban, pria itu tersenyum miris. Dalam hati ia memuji kinerja Greg yang sangat memuaskannya.
"Apa ini milikmu?" Tangannya menunjuk pada bangunan kecil di hadapannya. Terdapat tulisan kecil dan indah yang menempel di sana.
Sue's Flower.
Sue mengangkat kepalanya melihat apa yang ditanyakan pria itu, kemudian mengangguk ketika ia menyadari bahwa yang dimaksud orang itu adalah toko bunganya. Namun, mengingat kejadian semalam ia buru-buru menggelengkan kepalanya lagi.
"Apa artinya itu?"
Pria itu pura-pura tidak mengerti dengan isyarat Sue.
"Ini bukan milik saya lagi, Tuan."
"Hn?"
"Ada seorang pria yang datang ke sini semalam dan mengatakan bahwa toko ini telah dibeli oleh seseorang. Dan dia mengusir saya."
Senyum puas tercetak di bibir pria itu. Ia bersorak di dalam hatinya. Dialah pelakunya, yang telah merampas kebahagiaan gadis ini.
"Apa kau masih menginginkannya?"
"Hah?!"
Sue terkejut dengan pertanyaan pria itu. Ia berpikir bahwa pria itu bisa membaca apa yang ada dalam pikirannya sehingga ia mengangguk mengiyakan.
"Aku bisa membantumu."
"Hah?!"
Lagi-lagi ia terkejut oleh pria ini. Pria ini mau membantunya? Ia mengangkat pandangannya sehingga mata mereka saling beradu. Buru-buru ia memutuskan pandangan itu sebelum ia terlalu gugup.
"Saya akan sangat bersyukur kalau Anda berkenan membantu, Tuan."
Sue membungkuk berkali-kali sebagai tanda terima kasih padanya. Ia merasa sangat bahagia. Bagaiman tidak, nasib mujur sedang berpihak kepadanya. Mungkin Tuhan melihat air matanya semalam.
Pria itu menunjukkan smirknya kali ini. "Tapi, dengan satu syarat."
"Apapun syaratnya akan saya lakukan, Tuan."
*****
Ig @xie_lu13
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!