Malam yang sangat riuh dengan suara musik yang terdengar sangat indah dan merdu masuk ke dalam telinga. Anterior yang mewah berbalut dengan warna silver dan putih menghiasi semua penjuru ruangan. Makanan yang tersaji pun tak tanggung-tanggung besar dan jumlahnya. Sangat mewah dan menyilaukan mata.
Semua tampak sangat mengagumkan bagi setiap orang yang datang dalam perjamuan keluarga konglomerat Dirgantara ini. Suatu kehormatan bisa menjadi tamu undangan mereka.
Ting Ting Ting
Gelas kaca yang di dentingkan dengan garpu itu membuat suasana yang riuh menjadi senyap, menunggu seseorang yang akan memulai pengumuman,
"Selamat malam untuk kita semuanya. Saya banyak mengucapkan terimakasih atas kehadiran saudara dalam pada malam hari ini sebagai saksi dari kesuksesan perusahaan kami."
Semua orang bertepuk tangan saat lelaki paruh baya itu membahas mengenai kesuksesannya dalam perintisan perusahaannya.
"Tak lupa saya ucapkan terimakasih pada semua orang yang berperan dalam proses kesuksesan, terutama pada direktur utama dalam perusahaan ini, Alvaro Dirgantara. Anak kebanggaan saya." Devano Dirgantara menepuk pundak anaknya dengan sangat bangga. "Semua takkan bisa berjalan lancar tanpa jerih payahnya," sambung Devano yang hanya di balas senyuman tipis oleh anak bungsunya itu. Senyuman itu terkesan dingin dan angkuh bahkan membuat sang saudara kembar menatapnya muak.
Viandro Dirgantara sangat membenci kembarnya itu. Dia selalu merebut semuanya dari dirinya membuat Viandro sangat tak terima.
"Di malam ini pun saya mengumumkan bahwa perusahaan ini akan di pegang seluruhnya oleh Alvaro, saya yakin semuanya akan sukses dan akan menjadi sejarah nantinya." Semua orang sangat takjub pada Alvaro. Sosok yang sangat berdedikasi besar untuk perusahaan besar ini.
"Baiklah semuanya, mari lanjutkan pestanya." Semuanya bertepuk tangan meriah dan kembali pada pestanya.
Viandro merasa terasingkan di sini, lebih baik dia pergi dari pada terlalu lama si penjilat ini.
Viandro memutuskan untuk ke belakang setelah di rasa semua sudah sibuk dengan pesta. Viandro sangat muak dengan keputusan ini, kenapa harus Alvaro? Kenapa bukan dia?
Alvaro bukan orang yang tepat untuk perusahaan ini. Tapi dialah yang paling tepat!
Viandro mencampakkan gelas kaca yang di pegangnya hingga membentur lantai keras. Sangat tidak adil!
Viandro berjalan ke luar rumah, tepatnya di halaman belakang rumahnya. Lelaki itu bersender pada dinding dan menatap langit bertabur bintang singkat sambil menghembuskan nafas berat.
Dia kembali mengedarkan pandangannya ke sekitarnya dan terhenti pada seorang wanita yang tak asing.
Wanita itu kini tengah melihatnya dengan pandangan sinis, kemudian dia berjalan ke arah Viandro sambil melipat kedua tangannya di dada angkuh, "Dan kau kalah?" Hina wanita itu membuat Viandro mengeraskan rahangnya.
Viandro memalingkan wajahnya dari Riana, wanita yang selama ini terus menggodanya kini malah menjadi sombong dan menatap Viandro sebelah mata. "Dulu kau sangat penting bagiku, aku sangat menginginkan mu. Tapi... Ternyata kau tak ada apa apanya dengan Alvaro sayang, sangat memalukan."
Wanita itu membalikkan badannya angkuh membuat Viandro geram, lelaki itu menarik Riana dan mengurungnya, "Menggoda untuk mendapatkan kekuasaan. Kau pikir kau hebat *******?"
Viandro menatap tajam Riana dan mendekatkan wajahnya, "Sangat murahan taktikmu. Tapi kau tak akan bisa melakukan apapun. Dia takkan dapat kau sentuh bahkan sehelai rambut pun tidak."
Riana menarik sudut bibirnya dan mengalungkan tangannya di leher Viandro dengan nakal, "Tentu aku bisa, aku bisa menaklukkan siapapun."
Viandro tersenyum meremehkan, "Kau, dapat menaklukkan siapapun?" Lelaki itu terkekeh dengan nada celaan, "Aku bahkan hanya meniduri mu untuk pemuasan. Cih,"
Kalimat itu membuat Riana tersinggung. Walaupun memang benar adanya tapi dia tak terima jika di hina seperti ini.
Riana mendorong Viandro dan meninggalkan lelaki itu dengan kesal bercampur emosi.
Viandro kembali ke dalam karena rasanya sangat tidak mungkin dia menghilang lama saat acara di mulai.
Saat masuk ke dalam kaki Viandro terhenti melihat Alvaro yang tersenyum miring padanya, lelaki itu berjalan perlahan dan menaikkan dagunya, "Dasar tak berguna." Kelakar Alvaro seketika membuat darahnya mendidih.
Alvaro memasukkan tangannya ke dalam saku dan tersenyum puas sambil menghela nafas, "Hah... Kau sama sekali bukan tandinganku Vi. Bahkan sekecil kehebatan ku pun tak bisa kau miliki."
Viandro menatap tajam Alvaro tanpa berkata apapun. Lebih baik bermain dalam diam sambil mengatur rencana yang akan di lakukannya terhadap Alvaro.
Alvaro membalikkan badannya dan menoleh tanpa melihat Viandro, "Cih," Alvaro berdecih mencela Viandro.
Sangat kurang ajar.
***
Viandro dalam ruangan kerjanya tampak serius dengan pekerjaannya. Namun kembali terbesit kejadian kemarin yang membuatnya gerah seketika.
Telpon Viandro berbunyi dan segera di angkat Viandro kala melihat nama yang tertera di layar hpnya adalah sang Ayah,
"Ada apa yah?" Tanya Viandro memulai.
"Viandro, setelah makan siang jumpai ayah di ruang rapat. Ada yang mau di bahas mengenai pengalihan seluruh perusahaan." Jelas lelaki itu membuat Viandro menyerngitkan dahinya,
"Pengalihan kekuasaan? Apakah ini tak terlalu cepat ayah?" Tanya Viandro tak yakin.
"Tak ada salahnya. Aku pun sudah tua, perusahaan butuh pengganti yang lebih mapan dan cekatan. Kau mesti tau itu nak," ucap lelaki paruh baya itu.
Victor menghela nafas, ntah kenapa dia merasa hal buruk akan terjadi setelah ini. Hal yang akan membuatnya membenci hari ini lebih dari pada apapun. "Baiklah ayah," Victor menurut.
Devano mematikan sambungan teleponnya dan kembali menyenderkan tubuhnya di kursinya. "Hari yang baik," ungkapnya.
***
Jam makan siang telah usai dan Viandro berangkat menuju perusahaan yang di maksudkan sang Ayah untuk mengadakan rapat.
Devano Dirgantara adalah konglomerat yang memiliki banyak perusahaan. Dia mulai berbisnis sejak kecil dan sekarang telah banyak mendirikan perusahaan besar dengan berbagai too brand yang mendunia.
Bakat pemimpin sepertinya di turunkan ke kedua anak kembarnya, Alvaro Dirgantara dan Viandro Dirgantara. Tak pernah akur bahkan sedetikpun walaupun mereka adalah kembar. Alvaro sang sulung dan Viandro sang bungsu tak mau mengalah dalam satu hal dan selalu mencari celah untuk saling menjatuhkan.
Namun di antara kedua orang itu terdapat satu yang lebih unggul, Alvaro.
Lelaki itu selalu memenangkan apa yang tak bisa di raih Viandro hingga menimbulkan rasa dendam dan kegeraman yang semakin bertumbuh setiap harinya.
Sang ayah lebih mengasihi Alvaro karena di anggab lebih mampu dalam segala pengambilan keputusan dan tindakan. Sedangkan Viandro tak terlalu di pandang karena tak memiliki apapun untuk di banggakan.
Viandro telah sampai di depan kantor tenyata ada pula tamu yang merusak pandangan Viandro, Alvaro. Dia ada di sana.
Viandro pikir dia yang spesial di undang ke sini, ternyata tidak. Jika sudah ada Alvaro semuanya jadi sirna.
Viandro menatap geram Alvaro, sungguh memuakkan sekali bersama kembaran brengsek satu ini.
Ada satu hal terbesit dalam benaknya. Seperti suatu hal yang kemungkinan anak terjadi, sepertinya Alvaro akan mendapatkan bagian yang lebih besar darinya.
Itu mungkin akan terjadi. Tapi kemudian Viandro mengalihkan pikirannya, tidak, jika itu terjadi Viandro tak akan tinggal diam. Bagaimana pun Viandro juga ingin pembagian harta yang sama rata.
Mereka berdua masuk ke dalam ruangan meeting sang Ayah tanpa ada pembicaraan sama sekali.
"Wah.. Kalian sudah datang," salam Devano melihat kedua anaknya datang bersama. "Silahkan duduk."
Sebelum di mulai, Devano melipat kedua tangannya dan menatap Alvaro dan Viandro yang ada di hadapannya bergantian.
Devano memberikan map berisikan surat pengalihan kekuasaan dan kekayaan yang ada padanya.
"Alvaro," panggil Devano sambil menatap anaknya itu yang kini menatapnya serius.
"Ayah ingin kamu memegang 2/3 bagian dari perusahaan dan kamu Viandro memegang 1/3 lainnya."
Alvaro tersenyum miring sedangkan Viandro membolangkan matanya tak terima, "Ayah Vian tidak terima. Seharusnya ini di bagi rata dan adil yah!" Kata Viandro dengan menggebu-gebu.
Devano menutup matanya sambil menghela nafas, "Viandro, ini sudah kesepakatan bersama antar perusahaan yang kita pegang. Demi kemajuan perusahaan akan lebih baik jika Alvaro yang memegang lebih dari perusahaan yang ada."
Alvaro tersenyum miring dan menepuk pundak Viandro, "Bahkan perusahaan yang sedang kau pegang pun tak dapat di lihat perkembangannya dengan signifikan adikku. Jangan merasa mampu jika kau tak memiliki kemampuan. Kau akan menjadi penghambat." Simpul Alvaro dengan sombongnya.
Viandro menatap tajam Alvaro dan kemudian beralih ke Devano, "Jangan merendahkan ku Ayah. Aku bisa menangani semuanya! Aku akan buktikan! Jadi berikan aku tanggung jawab yang lebih besar atas perusahaan milikmu!" Desak Viandro. Dia bersikukuh bisa menang di bandingkan Alvaro tanpa menyadari ketidak mampuannya.
Alvaro terkekeh geli melihat Viandro yang segera di tatap sinis oleh Viandro, "Baiklah, begini saja buat perjanjiannya. Buat ayah terkesan dari 1/3 perusahaanmu itu dalam waktu setahun ini, maka seluruh perusahaan yang ayah punya akan menjadi milikmu." Alvaro menantang. "Tapi jika kau gagal bahkan 1/3 perusahaan yang seharusnya menjadi milikmu itu pun akan menjadi milikku, bagaimana?" Alvaro menaikkan salah satu alisnya menunggu jawaban bodoh dari mulut Viandro.
"Cukup Al, jangan membuat adikmu-"
"Aku setuju! Aku akan mengambil tantanganmu itu!" Viandro mengambil berkas pembagian harta sementara dan pergi meninggalkan Devano dan Alvaro.
Devano memijat pucuk hidungnya, pusing memikirkan anaknya itu, dia mudah sekali terpancing oleh Alvaro yang suka mencari kesempatan dalam kesempitan.
Alvaro tersenyum puas, lelaki itu akan kalah dalam tentang ini, kemampuan bodohnya itu sama sekali tak akan membantu apapun. Itu sangat mustahil di lakukan Viandro. Lelaki itu bahkan tak memiliki kemampuan yang cukup hebat untuk melakukan semuanya dengan matang.
Devano tau watak Viandro, anaknya yang satu itu sangat rakus ingin memiliki semuanya tanpa memperdulikan tanggung jawab dan juga efek kedepannya.
"Alvaro, ayah harap kau tak menganggap serius apa yang-"
"Tentu saja itu hal serius Yah. Dia sudah besar dan tau apa pilihan dari tindakannya. Jika dia gagal itu resikonya," potong Alvaro tak perduli. Tentu saja dia tak perduli, karena pasti itu akan menjadi keuntungannya.
Alvaro bangkit berdiri dan menundukkan kepalanya singkat, "Alvaro berangkat ayah. Terimakasih buat hari ini."
Sang ayah hanya menghembuskan nafasnya berat dan kemudian mengangguk, "Hati hati."
Alvaro mengangguk, "Baik yah."
Alvaro pun pergi dengan santai.
Baru saja dia sampai di lantai bawah Alvaro di tabrak oleh seorang wanita. Wanita itu mendongak dan senyumannya segera terbit kala melihat Alvaro, "Selamat sore Tuan." Kata wanita itu. Wanita itu segera merapikan rambut dan pakaiannya dan mengulurkan tangannya, perkenalkan nama saya Riana."
Alvaro menatap dingin Riana. Pasalnya dia membenci wanita, dan bahkan menjadi sangat alergi terhadap lawan jenis. Alvaro memiliki dendam pada wanita karena pernah mengalami pengalaman terburuk saat memiliki pasangan.
Sebenarnya dia tidak membenci kekasihnya itu, tapi dia membenci kenyataan pahit yang dia terima saat dia mengenal cinta.
Gladis, wanita yang dia cintai mati tragis karena kecelakaan pesawat saat terbang ke Hongkong. Alvaro memang dari awal tak menginginkan Gladis pergi jauh darinya saat itu, dia merasa melanjutkan pendidikan di Hongkong sebagai penerima beasiswa di sana. Namun wanita itu terus meyakinkan Alvaro bahwa dia akan baik baik saja dan tetap akan menempuh pendidikan di sana.
Dengan berat hati Alvaro melepaskan Gladis untuk pergi mengapai cita citanya itu. Tapi suatu kejadian naas terjadi setelahnya, terjadi kesalahan dalam sistem penerbangan yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan yang tak terelakkan.
Gladis meninggalkan Alvaro untuk selamanya. Semenjak itu Alvaro membenci apapun yang bersangkutan dengan cinta. Bahkan melihat wanita saja dia merasa malas dan ingin menjauh.
Alvaro tak menjawab dan hendak pergi.
Tep
Tangan lelaki itu kembali di tahan oleh Riana, "Maaf Tuan. Tuan belum menjawab salam saya." Riana sedikit kesal karena di acuhkan.
Alvaro menepis tangan Riana dan menatapnya lekat mengintimidasi, "Bukan urusanku. Dan jangan menggangguku."
Deg!
Tatapan elang itu sangat menakutkan hingga membuat Riana terdiam dan mematung.
Alvaro kembali melanjutkan langkahnya dan meninggalkan Riana sendiri.
Riana mendengus dan mencengkram roknya merasa emosi karena baru kali ini dia di tolak dengan cara tidak hormat seperti ini.
Riana kembali teringat apa yang di katakan Viandro mengenai Alvaro, lelaki itu tak dapat tersentuh. Namun kemudian Riana tersenyum miring dan berkacak pinggang, "Oh ya, kau menolakku Al? Ha ha. Aku akan membuat mu menyesal karena menolakku."
Riana kembali masuk ke dalam perusahaan ini. Wanita ini memang sudah lama bekerja di sini, oleh sebab itu dia dapat mengenal keluarga Devano dengan sangat baik. Walaupun seperti itu Riana tak kunjung mendapatkan kemenangan untuk merebut hati anak Devano itu.
Padahal sudah melakukan segala cara.
Namun itu akan menjadi sebuah sejarah. Dia sangat yakin dapat menguasai anak pemilik perusahaan ini dengan tangannya dan akan mendapatkan kekayaan dari keluarga konglomerat ini. Masa depannya pasti akan bersinar.
***
Alvaro menengadah ke langit-langit kamarnya sambil memegang tengkuknya yang kaku sehabis berkutat dengan laptop seharian. Semakin hari semakin dia rasakan tubuhnya semakin tak dapat di ajak bekerja sama.
"Seperti sudah jompo saja," gumam Alvaro memaki dirinya sendiri.
Alvaro bangkit berdiri dan mengambil air putih di atas nakas yang berada di sebelah cermin besar. Mata elang lelaki itu menangkap sosok yang tengah membidiknya dari jarak jauh.
Dor!
Alvaro mengelak dari timah panas itu. Dan segera berguling ke bawah meja kerjanya.
Lelaki yang menembak itu berdecak geram. Bagaimana Alvaro dapat mengetahui keberadaannya di malam gelap ini? Dia harus melakukan rencana lainnya.
Lelaki berkulit hitam itu menunduk di balik balkon tempat persembunyiannya. Padahal dia sudah cukup yakin diri dirinya akan berkamuflase dengan baik di kegelapan malam, namun dia salah besar.
Lelaki itu menurunkan kaca mata hitamnya dan kembali mengeten Alvaro. Tapi lelaki itu tak ada di tempat di mana dia menebakkan timah panas pertama tadi.
Kemana dia?
Lelaki berkulit hitam itu mencari cari keberadaan Alvaro tapi tak nampak,
Saat lelaki hitam itu berbalik,
Dan suatu pistol telah di acungkan di kepala lelaki berkulit hitam itu. "Kau berani sekali dengan bos kami," ucap lelaki yang mengacungkan pistol pada lelaki bertubuh gelap itu.
Lelaki kulit hitam itu sudah di kepung oleh 10 orang bawahan Alvaro yang sekarang menodongkan pistol.
Lelaki kulit hitam itu menyerah dan melipat kedua tangannya di atas kepala. Lelaki itu di tarik dan di bawa menghadap Alvaro.
Sesampainya di hadapan Alvaro,
"Katakan siapa yang menyuruhmu," tanya Alvaro dengan tatapan mengintimidasi.
Lelaki itu hanya diam,
Alvaro mengangguk dan tersenyum miring, "Baiklah."
Buk!
Satu pukulan tepat mendarat mulus di rahang lelaki itu. Alvaro si pelaku tersenyum sinis, "Katakan saja."
Dia masih diam.
Alvaro melipat lengan panjang kemejanya dan,
Buk!
Buk!
Buk!
Buk!
"Ampun Tuan! Saya minta ampun! Saya tak tau siapa nama orang yang menyuruh saya! Lelaki itu menggunakan masker dan kemudian memberikan saya uang sebesar 5 M. Saya tak dapat menolak uang itu karena saya membutuhkannya!" Ucap lelaki bertubuh besar itu dengan memohon.
Alvaro menunduk dan menyamakan wajahnya dengan lelaki itu dengan mencengkram erat rahangnya, "Aku tak perduli tentang kehidupanmu. Yang ku ingin tau adalah siapa atasanmu."
Lelaki itu menggeleng dengan mata berkaca-kaca, "S-saya sungguh tak tau Tuan."
Alvaro menaikkan salah satu sudut bibirnya atasnya geram, "Tak berguna." Alvaro mencampakkan wajah lelaki itu.
Segera Alvaro mengulurkan tangannya pada bawahannya, "Pemukul."
Orang bawahannya itu mengambil tongkat pemukul kayu Alvaro dan segera ayunkan Alvaro ke arah lelaki yang ada di hadapannya itu.
Buk!
Buk!
Buk!
Kemudian Alvaro mengambil pistol melontarkan tembakan tepat di kepala, jantung dan hatinya.
Dor!
Dor!
Dor!
Lelaki itu tewas mengenaskan.
Alvaro menjentikkan jarinya memberi kode untuk bawahannya mengurus mayat lelaki berkulit hitam ini. Segera bawahannya mengambil bangkai lelaki itu dan merapikan tempat TKP.
Alvaro menyuruh para algojonya itu keluar,
"Pelayan! Bersihkan darah amis ini!" Perintah Alvaro membuat para pelayan di rumah Alvaro dengan cepat bergerak untuk membersihkan semuanya.
Alvaro berjalan dengan santai ke kamarnya. Membersihkan dirinya dan kemudian duduk di meja kerjanya dengan aura yang menyeramkan khas Alvaro, "Siapa pun kau, tampaknya kau begitu berani membangunkan singa."
***
Viandro menatap seorang wanita yang ada di hadapannya. Berkacamata dengan rambut di ikat ekor kuda dan tanpa menggunakan make up. Terlihat sangat membosankan.
Wanita yang menjabat menjadi pacarnya ini menjadi semakin tak menarik jika terus di perhatikan. Tak ada yang membuat Viandro terpukau lagi padanya.
Dulu Viandro pernah menyukai Clara, tapi itu karena hanya sekedar penasaran saja. Dia ingin mencoba bagaimana berpacaran dengan wanita culun dan penurut seperti Clara. Dan nyatanya malah semakin membosankan.
Pernah Viandro tersentuh karena sikap wanita ini yang tak pernah memandang apapun dan mencintainya dengan tulus, namun rasanya seperti Viandro merasa kurang kalau hanya cinta, dia juga membutuhkan wanita cantik dan juga yang modis, bukan seperti Clara yang terlihat kuno dan kampung.
Lelaki itu pun akhirnya tak pernah mensyukuri apa yang gadisnya ini miliki dan akan segera ingin memutuskannya. Tapi sebelum itu dia ingin melakukan suatu hal pada Clara, suatu yang mungkin akan membuat dirinya masih menerima Clara.
Viandro bangkit dari tempat duduknya dan duduk di sebelah Clara yang masih sibuk dengan pekerjaannya,
Viandro merangkul pinggang gadis itu membuat seketika Clara menghentikan aktivitasnya dengan jantung yang terkena sengatan listrik hingga berpacu dengan kencang.
"Clara, aku mau ngomong sesuatu," kata Viandro sambil menatap leher wanita itu lekat,
Clara sedikit menjauhkan dirinya namun kembali Viandro mengeratkan pelukannya hingga wanita itu sungguh menempel pada dirinya.
"Cla, jangan gitu. Aku suka posisi ini,"
Bisik Viandro dengan suara beratnya seketika membuat Clara merinding.
"Vi, aku-"
"Cla please... Jangan pernah tolak lagi. Aku menginginkanmu Cla, kali ini saja," desak Viandro. Dia ingin sekali mencicipi wanita ini. Sudah berpacaran 2 bulan dan hanya sekedar bergandengan tangan itu tak cukup bagi Viandro.
Clara melihat Viandro yang sudah tampak sangat lapar membuat dia merasa jadi semakin takut.
"Vi ini tidak benar-"
Viandro sudah cukup dengan tingkah laku Clara. Begitu banyak wanita yang bisa dia tiduri kenapa dia harus menyembah pada wanita kucel sepertinya. Cih.
Viandro melepaskan pelukannya, "Kita putus." Ucapan Viandro membuat Clara membolangkan matanya tak percaya.
"Kenapa Vi? Cuma karena hal ini kita putus?" Clara menahan tangisnya.
Viandro memutar bola matanya malas, "Kamu sama sekali tak pernah mengerti aku. Kamu tak pernah membuktikan cintamu. Dan itu yang kamu katakan cinta? Cinta kamu itu palsu Cla." Viandro bangkit berdiri dan di susul Clara.
Clara menggeleng, "Tidak, aku mencintaimu dengan sepenuh hati. Aku sungguh sungguh mencintaimu Vi... Ku mohon jangan putuskan aku."
Viandro membuang wajahnya, "Diamlah. Aku tak mau mendengar apapun darimu. Intinya jangan pernah berhubungan lagi denganku."
Viandro pergi meninggalkan Clara yang kini menangis pilu. Bagaimana Viandro tak menyadari bahwa dia sangat mencintainya? Clara bahkan selalu ada untuk Viandro. Di saat lelaki itu kesepian, mengalami banyak tekanan dan juga di saat sedih Clara selalu hadir menjadi penghibur dan penguat lelaki itu. Dan sekarang Viandro malah mengatakan putus hanya karena satu keinginannya tak di penuhi olehnya?
Kenapa Viandro begitu kejam mencampakkannya?
Clara terduduk di lantai sembari menangisi keadaannya.
***
Alvaro tengah mengendarai mobilnya menuju rumahnya. Jalanan tampak lebih sepi karena ini pukul setengah satu pagi, lelaki itu baru pulang karena memiliki banyak hal yang perlu di urus di kantornya.
Alvaro melihat seseorang ada di seberang jalan dengan berpakaian rapi tengah berada di depan mobil dengan bak depannya terbuka. Lelaki itu tampak sedang memperbaiki mobilnya.
Lelaki itu sangat tak asing di mata Alvaro.
Alvaro sengaja memperlambat laju mobilnya dan terlihatlah Viandro di sana.
Tampaknya mobil Viandro tak dapat di kendarai karena mogok sepertinya. Alvaro tak memperdulikannya dan tetap saja melanjutkan perjalanan. Sekalipun mereka bersaudara belum tentu mereka bersatu bukan? Mereka saling membenci ingat.
Jerejek
Mobil Alvaro tiba-tiba timpang sebelah dan goyang, hal itu membuat Alvaro mengehentikan mobilnya dan melihat apa yang terjadi.
Alvaro mendesis geram sambil keluar mobilnya. Alvaro mendengus saat melihat ban belakangnya kempes. Sial.
Di saat itu pula mobil Viandro melewatinya dan berhenti di depan mobil Alvaro. Viandro keluar mobil dan bersender di pintunya, "Butuh bantuan?" Tanya lelaki itu.
Alvaro tak menjawab. Dia tak suka meminta bantuan oleh seseorang seperti Viandro. Bukan levelnya juga.
Viandro tersenyum miring. Kakaknya ini sungguh sombong dan angkuh, menjijikan sekali.
"Akan sangat jauh dari bengkel jika kau mau ke bengkel sekarang. Dan aku yakin tak ada yang bisa kau perbuat semalam ini."
Alvaro menghembuskan nafasnya. Memang ini tempat yang sangat sepi dan terlihat sangat sepi. Tapi dia bukan bodoh. Dia punya banyak bawahan bukan? Tinggal suruh mereka datang.
Alvaro tak memperdulikan omongan kembarnya itu dan menelpon bawahannya.
Tak tersambung?
Alvaro kembali melihat ke arah hpnya. Damn. Hpnya lowbat. Malam ini serasa sangat sial baginya.
Alvaro melihat ke arah Viandro yang masih setia menunggu di sana. "Bagaimana?" Tanya Viandro lagi.
Alvaro melipat kedua tangannya dan memutar bola matanya, "Baiklah aku akan ikut."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!