Sebuah mobil terparkir mulus di halaman rumah minimalis dua lantai yang terlihat sejuk dan terawat. Sosok laki laki berusia 30 tahunan turun kemudian membuka bagasi sambil menurunkan beberapa koper dan segera membawanya untuk masuk ke dalam.
"Assalamualaikum." Ucapnya sembari membuka pintu. Riza membeli rumah ini sebulan yang lalu. Ia akan mulai tinggal disini sendiri dan bekerja sebagai dosen sekaligus ikut mengajar di pondok pesantren teman Ayahnya. Ia mendapat panggilan beberapa hari yang lalu dan Senin nanti Riza sudah akan mulai bekerja. Pikiran laki kali itu melayang memperhatikan amplop yang sedaritadi di pegang nya. Sebuah wasiat dari Sang Ayah sebelum tutup usia karena penyakit jantung yang diderita dari lama.
Rumah keluarga Al Rasyid.
Sebuah keluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Tiga orang duduk cemas sembari memperhatikan sang kepala keluarga yang modar mandir karena sedaritadi menelpon seseorang tidak di jawab. "Bagaimana Yah?" Tanya Jena yang merupakan putri keduanya. "Belum di angkat. Tidak ada kabar juga." Keluhnya sembari mendudukkan diri di sofa. "Jaafar sudah coba hubungi. Tapi tidak diangkat juga Yah. Kemana anak itu?" Gumamnya bertanya tanya. "Bunda kan sudah suruh dia pulang tapi tidak mau. Semenjak Neneknya meninggal dia semakin jauh dengan kita." Kata Bunda begitu cemas. "Ayah sudah suruh orang mengecek di sana Bun. Jihan baik baik saja. Memang dia tidak mau berkomunikasi dengan kita." keluh pria itu sembari menghela napasnya. "Semenjak kecil dia tidak mendapat kasih sayang dari kita. Hidup belasan tahun hanya dengan neneknya." Kata Bunda sembari menangis. "Maafkan Jena Bun." Ia memeluk Bundanya merasa sangat bersalah. Karena ingin fokus merawatnya yang sakit sakitan membuat Bunda menitipkan jihan pada Sang Nenek yang bermukim di Inggris.
Setelah beberapa puluh kali mencoba panggilan video akhirnya terhubung. Layar besar itu kini menampilkan sosok gadis cantik yang mereka nantikan sedaritadi. "Ada apa?" Tanyanya. "Kamu sedang dimana dek?" Bunda yang paling dulu menyahut. "Sedang di pantai. Mau surfing. Ada apa? Aku sibuk." Jaafar menghela napas mendengar jawaban adiknya yang terlihat kesal. "Bisakah bicara lebih sopan pada Bunda?" Tanya pemuda itu. "Aku disini tidak ada yang mendidik jadi tidak tau sopan santun." Jawab Jihan menohok. "Pulanglah Nak. Tidak ada yang menemanimu di rumah Nenek." Ayah yang sedaritadi diam kini angkat bicara. "Memang dari dulu juga begitu. Aku biasa sendiri. So, don't worry." Bunda menangis mendengar jawaban putrinya. "Kamu tidak kasihan sama Bunda?" Tanya Jena. "Apa Bunda kasihan padaku? Apa kalian peduli padaku saat aku sekarat di rumah sakit karna kecelakaan? tidak ada satupun dari kalian yang datang. So, jangan bertanya aku kasihan atau tidak. Aku mengasihani seseorang versiku sendiri. Ah sudah dulu. Aku tutup." Jawabnya. Bunda menangis pilu saat panggilan video itu berakhir. Semuanya hanya bisa diam. Tak mengelak apa yang dikatakan Jihan karena semua itu adalah kenyataan.
Malam hari.
"Assalamualaikum." Riza memasuki sebuah rumah mewah milik sahabat Ayahnya. "Waalaikumsalam. Riza. Lama tidak bertemu." Kata sosok pria kemudian memeluk tubuh Riza dengan hangat. "Perkenalkan. Ini Jaafar, Jena. Anak Om." Ayah memperkenalkan kedua putra putrinya. Riza segera menyalami Jaafar dan menangkupkan kedua tangannya untuk Jena.
"Ayo segera makan. Ngobrolnya di lanjut nanti saja." Bunda menyuruh mereka untuk segera pergi ke ruang makan.
Apa gadis ini yang di jodohkan dengan ku? Namun namanya berbeda dengan yang ada di wasiat. Riza mulai hanyut dalam pemikirannya. "Sebenarnya kami masih ada satu putri. Dia sedang berada di Inggris. Namanya Jihan." Kata Ayah. Riza mengangguk paham. Naman itu yang tertulis di wasiat Ayahnya. Namun gadis yang dimaksud tidak berada disini. "Mungkin akan pulang dalam waktu dekat." Lanjut Bunda tampak bahagia akan kabar kepulangan anak bungsunya.
Selesai makan malam mereka mengobrol di ruang keluarga. "Om. Sebenarnya...." Riza tampak bingung bagaimana menyampaikannya. "Tentang surat perjodohan itu?" Tanya Ayah membuat Riza dan kedua anaknya terkejut. "Ya. Ayah kamu telah menjodohkan kamu dengan putri bungsu kami Jihan." Kata pria itu. "Yah." Jena dan Jaafar meminta penjelasan. "Ini sudah kesepakatan kami untuk mempererat silaturahmi." Jena menggeleng. Ia takut adiknya nanti akan marah jika mengetahui semua ini. "Jadi Ayah suruh Jihan pulang untuk perjodohan ini?" Tanya Jaafar. "Bukan. Ayah sudah menyuruhnya pulang sejak lama. Namun adik kalian tidak mau." Jawabnya. "Riza. Jihan itu sedikit berbeda dengan kedua kakaknya. Hidup tanpa kasih sayang kami membuatnya bebas di luar sana. Namun dia anak baik sebenarnya." Buda memberikan pengertian pada Riza tentang anak bungsunya.
"Jihan benar akan pulang kan Yah?" Tanya Bunda memastikan. "Iya. Dia akan pulang." Jawab pria itu sembari tersenyum. "Memangnya Ayah mengatakan apa sehingga adik mau pulang?" Tanya Jena heran. "Tidak mengatakan apapun. Katanya dia mau liburan ke Bali. Sekaligus Ayah bilang kalau kamu mau menikah." Gadis itu mengangguk dengan jawaban sang Ayah. Ia senang Jihan akan hadir dalam pernikahannya nanti.
Malam Hari.
Seorang gadis cantik baru saja turun dari pesawat. Ia melangkahkan kaki jenjangnya sembari menyeret koper memasuki taksi yang sedang berjejer. "Tujuan mana Mbak?" Tanya pria paruh baya itu sembari mengamati wajah Jihan dari spion tengah mobil. "Apartemen A." Jawabnya langsung mendapat anggukan.
Jihan merebahkan tubuh di ranjang king sizenya setelah membersihkan diri. Gadis itu sudah mengenakan piyama hendak tidur karena begitu lelah. "Huft..." Hembusan nafas kasar keluar dari mulut mungilnya. Kehilangan sosok Nenek membuat Ia larut dalam kesedihan. Butuh waktu yang tidak sebentar untuknya menerima keadaan.
Pagi hari.
Sebuah keluarga sedang melangsungkan sarapan bersama. Seorang pemuda menyampaikan laporan pada Ayahnya jika sang adik kini sudah berada di kota yang sama setelah berada di Bali beberapa hari. "Kamu tau darimana? Ayah belum dapat laporan." Tanya pria itu kemudian mengangguk setelah mendapat penjelasan. Bunda sangat gembira mendengar kepulangan anak bungsunya. "Alamatnya dimana? Ayo jemput Jihan." Kata wanita itu semangat membuat mereka tersenyum. "Nanti siang setelah pulang dari kantor kita kesana Bun." Jawab Jaafar sembari tersenyum.
Bunda merasa kesepian di rumah sendiri. Suami dan putranya pergi bekerja sementara Jena sedang sibuk mengurusi pernikahannya. Anak tengahnya dilamar mantan gurunya dulu saat masih SMA. Seorang anak dari pemilik pondok pesantren di luar kota. Wanita berjilbab itu meraih ponselnya. Ia mencoba menghubungi Jihan namun hasilnya selalu sama. Tidak diangkat. "Bunda merindukanmu Sayang." Ucapnya sembari meneteskan mata.
Di sisi lain seorang gadis tengah duduk sembari menikmati kopinya setelah cukup lama berlari mengelilingi taman. Keringat yang mengalir di dahinya membuat Jihan semakin cantik. Rambut coklat dan kulit putih gadis itu menjadi daya tarik tersendiri bagi orang orang.
"Om. Dompetnya jatuh." Jihan berdiri. "Om." Panggilnya yang kesekian kali membuat laki laki itu akhirnya berhenti. "Cantik." Gumamnya menatap gadis di depannya dengan lekat. "Eh... astaghfirullah." Ia beristigfar beberapa kali dalam hati kemudian mengalihkan pandangannya. "Terimakasih Nona." Jawab Laki laki itu sembari tersenyum menerima dompetnya. "Hm.." Jihan membalikkan tubuh hendak beranjak. "Nama Nona siapa?" Tanyanya namun Jihan tidak menjawab dan bergegas pergi.
Jihan tidak berada di apartemennya. Padahal mereka sudah menunggu lama namun Gadis itu tak kunjung kembali. Dalam perjalanan pulang Bunda selalu menghubungi anak bungsunya. "Diangkat." Wanita itu tampak senang setelah berusaha berulang kali. "Assalamualaikum Dek." Sapa Bunda. "Ada apa?" Tanya gadis di sebrang sana seperti biasa dan tidak menjawab salam. Bunda menanyakan kabar dan berbicara panjang lebar karena tidak dikabari tentang kepulangan Jihan. "Pulanglah ke rumah nak." Ayah yang berada di depan menyahuti. Jihan langsung menolak dengan cepat dari sebrang sana. "Datanglah untuk makan malam Dek." Kata Jena yang sedaritadi diam. "Akan aku pikirkan." Jawabnya lalu panggilan terputus begitu saja.
Malam hari.
Sebuah motor sport hitam memasuki rumah mewah. Seorang gadis cantik turun sembari membuka helmnya. "Silahkan masuk Nona." Kata seorang penjaga mempersilahkan. Jihan tersenyum kemudian masuk ke dalam. "Dek." Mereka langsung berhambur memeluk gadis itu. Riza menatap gadis yang sekarang sedang di kerubungi keluarganya. Wajah cantiknya begitu familiar. Ya. Gadis itu yang menemukan dompetnya tadi pagi. Namun sepertinya tidak lagi mengenali Riza. Penampilan gadis itu membuat Riza beristighfar. Ia baru menyadari memang yang dikatakan Bunda benar. Ia berbeda dengan kedua kakaknya. Yang ini sedikit....urakan bisa dibilang. Bagaimana tidak. Anak dari keluarga pemilik pondok pesantren tercermin dari anak pertama dan keduanya yang selalu berpakaian selayaknya muslim yang menutup aurat. Sementara Jihan. Gadis itu memakai sepatu sport, celana jeans robek robek, kaos dan jaket.
Jihan hanya diam menatap makanannya. Ia begitu malas mendengarkan Ayahnya yang sedaritadi membahas Riza. Laki laki alim yang duduk tepat di depannya. "Ayo dimakan sayang. Bunda yang buat khusus untuk kamu." Kata Wanita itu menaruh tumis udang ke piring anaknya. "Aku alergi udang." Jawab Jihan membuat Bunda terdiam. Hal sepele seperti ini saja Ia tidak tau. Tanpa harus di jelaskan pun orang akan mengerti bagaimana hubungan mereka. "Sudah. Aku pergi dulu." Katanya berdiri dari duduk dan melangkah pergi. "Tidak bisakah kamu tinggal disini dek? Setidaknya agar Bunda tidak selalu menangis karena merindukanmu." Ucap Jena membuat gadis itu menghentikan langkah. "Apakah ini adil untukku? Kalian yang membuangku dan kini memintaku bertanggung jawab untuk tangis yang tidak aku perbuat." Ucapnya tanpa menoleh kemudian melanjutkan langkah. Ayah menghela napas. Setiap pertemuan dengan putrinya tidak pernah berlangsung dengan baik. Pria itu menatap Riza yang sedaritadi diam dengan pikirannya. "Riza. Kamu sudah melihat bagaimana Jihan. Kamu bisa mundur dari perjodohan ini jika keberatan." Kata Ayah namun dengan cepat Riza menggeleng. "Perjodohan itu akan tetap berlangsung Om. Riza tidak keberatan." Katanya bersungguh sungguh.
Jihan menatap bangunan di depannya. Ini adalah tempat yang Ia beli dengan susah payah untuk membuka cafe dan restoran. Letaknya yang strategis dekat dengan kampus dan perkantoran membuat Ia harus bernegosiasi tantang harga yang berlangsung cukup lama. Gadis cantik itu masuk ke dalam setelah memarkirkan motornya. Semua barang keperluan masih terbungkus rapi dan dia harus mengerjakannya sendiri untuk menatanya.
Jihan dengan cekatan menyapu dan mengepel seluruh bagian hingga bersih. Bukan waktu yang singkat. Ia membutuhkan sekitar dua jam untuk melakukan dua kegiatan itu. Selesai dengan urusan lantai, Gadis itu beralih membuka bungkusan meja dan kursi lalu menatanya hingga rapi. Hal yang sama juga Ia lakukan pada ruangan VIP di lantai atas yang Ia sediakan untuk ruang privat jika pengunjungnya inginkan.
"Lelah." Gadis itu membanting tubuhnya di sofa setelah menyelesaikan semua pekerjaan. Ia sudah terbiasa seperti ini. Dulu saat tinggal dengan neneknya Ia bekerja part time sembari kuliah dan membantu sang Nenek mengurus beberapa bisnis termasuk bisnis kayu di perkebunan. Memang keluarganya mengirimi uang. Namun sang Jihan dan Neneknya selalu mengembalikan. Mungkin wanita tua itu juga sepemikiran dengan cucunya.
"Nona." Panggil tiga orang gadis membuat Jihan mendongak. "Ya." Jawabnya sembari menegapkan duduk. "Kami melihat brosur dan ingin melamar bekerja disini." Jihan tersenyum kemudian mempersilahkan mereka untuk duduk. Ia mengecek profil ketiganya dan mengangguk ketika membaca identitas mereka. "Baiklah. Kalian di terima." Putusnya tanpa berpikir panjang. Mereka tampak senang dan tak berhenti berterimakasih. "Jika ada teman kalian yang laki laki. Bisa bergabung. Aku masih membutuhkan beberapa." Kata Jihan dan mereka mengangguk.
Jihan menajamkan penglihatannya ketika selesai mengunci pintu. Ia curiga dengan mobil yang sedaritadi parkir di depan tempatnya. Gadis itu berjalan mendekat membuat seorang yang berada di dalam panik. Belum sempat menyalakan mesin. Tiba tiba sebuah ketukan kencang di kaca mobilnya mau tak mau membuatnya turun.
Rumah keluarga Al Rasyid.
Jena sedang menjelaskan pada keluarganya jika persiapan pernikahan sudah hampir selesai. Gadis itu tampak senang setiap kali membahas tentang hari bahagianya yang sebentar lagi akan tiba. Namun Ia berhenti sejenak. Senyuman luntur seketika tatkala mengingat adik perempuannya. Jena tak yakin nanti Jihan akan hadir. "Jangan khawatir. Nanti Bunda akan bicara dengannya." Kata wanita itu sembari menggenggam tangan anaknya. Jena memaksakan senyum meskipun tak yakin. Bukan bermaksud untuk berburuk sangka. Namun semua yang membujuk Jihan akan sia sia kecuali Nenek mereka yang kini telah berpulang. "Jihan membuka restoran." Kata Ayah mengalihkan topik pembicaraan. Bunda tidak berekspresi. Wanita itu hanyut dalam pemikirannya sendiri karena Jihan tak mau menerima sepeserpun uang dari keluarga. Air matanya menetes ketika mengingat gadis itu harus bekerja keras di sela kegiatan kuliahnya. "Sudah Bun." Kata Ayah mencoba menenangkan Sang Istri.
Pintu ruang keluarga tempat mereka berbincang terbuka lebar. Sosok gadis tengah memaksa seorang laki laki masuk ke dalam. "Adek. Ada apa?" Tanya Bunda melihat kedatangan putrinya. "Berhentilah memata mataiku." Katanya dengan dingin lalu mendorong tubuh laki laki itu mendekat pada tuannya. "Pak. Saya....." Katanya terbatas bata. "Sudah. Kau boleh pergi." Sahut Ayah membuat laki laki itu langsung keluar. Ini bukan pertama kalinya bagi Jihan memergoki orang suruhan keluarganya. Ia sudah memperingati beberapa kali dan diabaikan membuatnya marah. "Dek. Ini bukan seperti yang kamu pikirkan. Kami hanya ingin tau kegiatan kamu dan agar kamu aman saja." Pria itu mencoba menjelaskan. "Apapun alasannya aku tidak suka. Biarlah hidup kita masing masing seperti biasa." Jawab Jihan membuat hati mereka tertohok. "Kita kelurga Dek. Tidak mungkin itu terjadi. Kita harus bersama sama." Jaafar berkata sangat lembut untuk menuturi si bungsu. "Keluarga mana yang membuang satu anggotanya untuk kepentingan anggota yang lain? Aku tidak pernah mendengar itu. Kecuali...." Ia menjeda kalimatnya lalu berbalik menatap mereka satu persatu. "Keluarga ini." Lanjutnya lalu melangkah pergi.
Di sisi lain seorang pemuda baru saja selesai sholat. Ia mendudukkan diri di kursi sembari membaca kembali surat wasiat dari sang Ayah. "Riza telah bertemu dengannya Yah." Gumamnya sembari menyandarkan punggung dengan nyaman.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!