...July 18, 2019...
...New York, USA...
.........
Nick bersandar di punggung ranjang, menatap langit-langit kamar dan menghembuskan napas panjang.
Di sampingnya, Elle—istrinya, sudah tertidur pulas. Nick melirik ke arah perut Elle yang semakin membesar. Usia kehamilan istrinya sudah menginjak sembilan bulan. Sebentar lagi Nick junior akan lahir ke dunia. Ia benar-benar tidak sabar.
Pelan, Nick menarik selimut dan menutupi tubuh istrinya sembari mencium keningnya lembut. Wajah cantik Elle ketika tertidur membuat segala kepenatan yang dirasakan Nick memudar. Lelahnya bekerja tak membuat Nick berpikir untuk mengeluh. Ia menikmati segala prosesnya dengan senang hati.
Jarum jam menunjukan pukul satu dini hari. Meski lelah, Nick merasa kalau matanya tak ingin cepat-cepat beristirahat. Alih-alih menyusul istrinya tidur, Nick memilih untuk mengambil ponselnya dari atas nakas dan mencari hiburan barang sejenak.
Dari sekian banyak pemberitahuan yang muncul di panel notifikasi ponselnya, Nick hanya tertarik pada satu pengumuman penting yang diunggah dari akun resmi NASA (National Aeronautics and Space Administration).
Penasaran, Nick membuka pengumuman itu dengan antusias.
...Announcement...
“NASA sedang mencari warga AS yang bermotivasi tinggi, berusia 30-55 tahun, mahir dalam bahasa Rusia dan Inggris. Persyaratan adalah : M.S., PhD., M.D. atau penyelesaian pelatihan perwira militer. Peserta dengan gelar Sarjana dan kualifikasi tertentu lainnya (misalnya pendidikan tambahan yang relevan, militer, atau pengalaman profesional) dapat menjadi kandidat yang dapat diterima juga,” tulis NASA dalam pengumumannya.
... ...
Melihat pengumuman itu, Nick merasa terpanggil. Gelar Doctor of Medicine yang dimilikinya sejak dua tahun yang lalu, tak boleh disia-siakannya begitu saja.
Nick berencana untuk mendaftarkan dirinya dalam persiapan eksplorasi menuju Planet Mars 2020 mendatang.
Ia juga menuliskan nama istri dan anaknya—yang masih berada di perut itu, ke dalam daftar nama-nama yang mengikuti misi NASA menuju Mars.
Nama-nama para partisipan nantinya akan diukir menggunakan sinar elektron ke atas chip silicon dengan panjang teks lebih kecil dari seperseribu ukuran rambut manusia. Dengan ukuran itu, lebih dari satu juta nama dapat diukir di atas satu chip.
Chip-chip tersebut akan terbang bersama kendaraan jelajah NASA dengan dibalut penutup kaca.
Nick sangat berharap kalau dirinya bisa lolos dan masuk ke dalam tim. Bagaimanapun, ia adalah pecinta Astronomi. Ia tidak mungkin melewatkan kesempatan ini. Menjadi astronot adalah impiannya sejak kecil. Elle pasti akan mendukungnya.
...*...
...HEADLINE...
Misi bersejarah NASA benar-benar menggemparkan jagat maya.
Berbagai berita menampilkan headline mengenai rencana itu dan membuat netizen ramai memperbincangkannya.
Berita itu membuat Nick semakin bertekad untuk terbang ke Mars, meskipun artinya ia harus meninggalkan anak dan istrinya.
...*...
...TAKE OFF...
...November 20, 2019...
...Houston, Texas...
.........
Setelah melewati berbagai proses yang sangat sulit dan panjang, akhirnya Nick dapat bernapas lega karena ia terpilih menjadi salah satu dari enam orang yang akan terbang ke Mars.
Ia dan lima rekannya menjalani masa karantina, dikurung dalam pesawat ruang angkasa palsu selama berbulan-bulan untuk mempelajari efek yang ditimbulkan. Percobaan ini berlangsung di Moskow, Rusia, dan mengikuti percobaan serupa di mana tim—yang terdiri dari enam orang itu—telah menghabiskan empat bulan di tempat yang sama.
Pada tanggal 20 Juli 2020, NASA dan ULA resmi meluncurkan misi Mars 2020 Perseverance Rover dengan roket Atlas V dari Space Launch Complex-41 di Cape Canaveral Air Force Station di Florida, Amerika Serikat.
Tak ingin kalah, satu bulan setelah peluncuran Perseverance Rover, China ikut merealisasikan misi mereka. Sebagai penjelajahan pertamanya, China meluncurkan pesawat ruang angkasa Tianwen-1 yang dilepas landaskan dengan roket Long March 5 pada 23 Agustus 2020.
Menurut kepala Komite Sains dan Teknologi China Aerospace Science and Technology Corporation, pesawat ini mendarat di Mars pada 1 Maret 2021.
Misi penjelajahan Mars oleh China ini beroperasi selama 90 Sol—satuan waktu di Mars—atau sekitar 3 bulan di Bumi. Sedangkan misi NASA dengan Perseverance direncanakan akan bertahan selama satu tahun di Mars atau selama 687 hari waktu Bumi.
"Titik kunci pertama misi ini adalah memastikan pengorbitan dapat ditangkap medan gravitasi Mars. Dan yang berikutnya pendaratan itu memakan waktu tujuh hingga delapan menit," jelas Kepala Komite Sains dan Teknologi China.
Sementara robot penjelajah NASA, Perseverance Rover telah mencari tanda-tanda kehidupan di Mars dengan mengumpulkan sejumlah sampel permukaan planet merah itu untuk dibawa ke Bumi.
Jika misi keduanya berhasil dan pulang ke Bumi dengan selamat, maka mereka akan kembali merancang misi selanjutnya untuk melakukan peluncuran dengan membawa lebih dari dua roket sekaligus.
...*...
...STORM...
...Sol 67...
...Jezero Crater, Mars...
.........
Pergerakan Perseverance Rover di dataran Jezero Crater, Mars, tidak berjalan mulus. Badai besar yang terjadi mengakibatkan hilangnya kontak dengan para Astronot yang tengah menunggu di markas.
Mengetahui hal itu, Charles Stephard, sang Kepala Astronot memerintahkan Nick untuk pergi ke tempat di mana terakhir kali robot Rover memberikan sinyalnya.
"Rover berada di Kilometer 7. Kau harus membawanya pulang sebelum petang, mengerti?" Steven menepuk pundak Nick yang terbalut baju Exploration Extrsvehicular Mobility Unit atau biasa disebut xEMU.
"Siap, mengerti!" balas Nick mantap.
Julia Adams, satu-satunya Astronot perempuan yang berada di tim itu pun bergerak mendekat. "Saya akan menemaninya."
Ucapan itu membuat Charles menaikkan kedua alisnya, sedikit terkejut dengan reaksi cepat itu. "Oh, kau yakin?"
"Yes, Sir," jawab Julia.
Nick dan Julia bersiap untuk menempuh perjalanan 7 kilometer dengan menggunakan kendaraan robot lipat yang disebut Miles-One. Robot itu hanya menampung satu orang awak, tak cukup untuk mereka.
"Kau yang kendalikan, saya menumpang di belakang," ujar Nick memutuskan untuk menyerahkan kemudi pada Julia. Sementara itu, Nick mengaitkan sebuah box besar di belakang robot itu untuk kemudian dinaikinya.
Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk bersiap. Setelah badai dirasa cukup reda, Julia dan Nick berangkat menjemput Rover.
Di dalam markas, Charles bersama Eugene, Vincent dan Ben juga sudah bersiap memantau pergerakan mereka berdua dari layar monitor. Charles meminta Ben untuk memastikan apakah badai berpotensi terjadi lagi atau tidak.
"Angin dari arah selatan sangat kencang, Capt." Kalimat itu sukses membuat Charles merasa skeptis dengan rencana gila ini.
"Saya rasa ini adalah sebuah peralihan. Di Bumi, kita menyebutnya sebagai pergantian musim. Badai ini akan berlangsung secara berkala, kontinu," sahut Eugene.
Charles terdiam sesaat, menatap sebuah titik koordinat di layar monitornya yang berkedip-kedip, menandakan pergerakan Nick dan Julia yang terus melaju ke arah selatan—di mana terakhir kali robot Rover meninggalkan jejaknya.
"Jangan beritahu Nick atau Julia. Saya tidak ingin membuat mereka cemas. Mereka harus tiba tepat waktu, sebelum badai itu datang," ujar Charles akhirnya.
Vincent, yang semula hanya menyimak, tiba-tiba menyahut, "Maaf, itu terdengar egois sekali, Capt. Seharusnya kita beritahu Nick agar mereka bisa mengantisipasi badai itu—atau kalau mereka sial, mereka harus kembali lagi untuk menghindari badai yang tidak bisa diprediksi kapan datangnya itu."
"Kita butuh chip dari Rover, Vin. Data yang sudah kita rekam ada di sana. Jangan membuat semua ini menjadi sia-sia."
"Maaf, Capt, tapi—"
"Jangan beritahu mereka. Itu adalah perintah, tidak ada penawaran apa pun." Final. Pria berusia kepala lima itu melengos dan pergi ke kabinnya.
Tak ada yang berani berkomentar lagi setelah itu.
Mereka fokus pada tugas masing-masing, memastikan bahwa semua berjalan sebagaimana mestinya.
Sesaat kemudian, Ben menekan tombol darurat, membuat yang lain datang ke kabinnya. "Apa yang terjadi?" tanya Vincent.
"Lihat, ada yang mendekat ke arah mereka." Vincent menunjukkan titik merah yang melaju ke arah titik hijau--titik di mana Nick dan Julia berada.
"Apa itu?" Ben mengerutkan dahi, kemudian menekan tombol zoom, menampilkan sebuah robot asing berwarna putih. "Tidak mungkin, siapa mereka?"
"Coba kau lihat dari arah jam sembilan," suruh Charles.
Ben melakukan perintah itu dan terlihatlah bendera China di sisi kanan robot tersebut. "Apa yang akan mereka lakukan?"
"Hubungi Julia," lagi, Charles hanya bisa memerintah.
Eugene bertindak. Ia menyalakan alat komunikasi di telinganya dan berusaha menghubungkannya dengan Julia. "Sistem terganggu," kata Eugene, sadar kalau Julia tak juga menyahut sambungannya.
"Bagaimana bisa?" Charles mulai gusar.
"Sepertinya robot itu menghalangi sinyal kita. Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" Vincent merasa kalau ini semakin tidak beres.
Charles tampak berpikir sejenak, menimbang apakah menyusul Nick dan Julia adalah keputusan yang tepat atau tidak.
"Maaf, Capt, angin semakin mendekat. Kita harus selamatkan mereka," ujar Ben panik. "Oh, sialan, markas dikepung, Capt!" lanjutnya setengah mengejang.
...*...
...WAR...
...Sol 68...
...Korolev, Mars...
.........
Tidak ada yang menduga kalau peperangan itu akan terjadi di antariksa, tepatnya di dekat Kawah Korolev, Mars.
Ini adalah bencana bagi Amerika Serikat, sekaligus China. Dua negara itu kehilangan seluruh Astronotnya.
Tidak ada yang tahu apa yang sudah terjadi di sana. Yang jelas, mereka tidak kembali lagi ke Bumi setelah peristiwa pengepungan itu.
Misi gagal.
Baik NASA maupun CNSA (China National Space Administration) sama-sama merasa berduka atas peristiwa tersebut dan memutuskan untuk memberi jeda pada misi mereka selanjutnya.
Pemerintah Amerika Serikat mengibarkan bendera perang. Mereka menyiapkan pasukan militernya untuk menyerang China, baik dari darat, laut atau pun udara. Presiden Amerika Serikat juga mengumpulkan banyak sekutu untuk menghancurkan negara itu.
Tidak ingin tinggal diam, China juga siap meluncurkan rudal dan beberapa jenis senjata biologis.
Puncak Perang Dunia Ketiga terjadi pada Agustus 2021. Di mana Amerika Serikat menyerang Beijing dengan nuklir dan berhasil melenyapkan ratusan ribu orang di sana.
Marah besar, berselang tiga hari setelah penyerangan itu, China balas dendam dengan mengirimkan seribu personil Angkatan Udara dan mengerahkan setidaknya lima puluh roket, serta menembakkan virus berbahaya ke Washington DC, New York, bahkan hingga ke Texas.
Korban berjatuhan. Dunia kacau. Negara-negara lain tersulut dan mengikuti peperangan.
Gedung-gedung bertingkat runtuh, mayat berserakan seperti sampah, hutan gundul, laut tercemar.
Ekonomi, politik, dan seluruh tatanan kehidupan telah hancur.
Senjata biologis yang dikeluarkan oleh China merambat ke seluruh dunia. Manusia mati karena virus berbahaya itu, lenyap dalam sekejap. Tidak ada yang tahu apa penawarnya. Bahkan, bangsa China pun telah dilumpuhkan oleh senjatanya sendiri.
Bertahun-tahun, manusia hidup dalam kesengsaraan. Bencana alam melanda dunia. Gunung meletus, tsunami, bahkan badai kencang membuat Bumi porak-poranda.
Tidak ada yang menang dalam peperangan. Amerika Serikat, China, begitupun dengan negara-negara lain. Tak ada yang luput dari peristiwa mengerikan ini. Ratusan juta—bahkan miliyaran manusia mati dalam tragedi mahadahsyat.
Tidak ada yang selamat.
Kecuali, mereka yang benar-benar beruntung dan mendapatkan keajaiban.[]
...July 12, 2080...
...Bradford, UK...
.........
Bradford telah mati. Seisi kota lenyap. Bahkan, seluruh dunia.
Bencana-bencana terlahir dari egoisme dan keserakahan manusia. Sumber daya alam dikeruk habis tanpa pertimbangan jangka panjang. Manusia menjadi monster di tempat tinggalnya sendiri. Segala kompetisi dilakukan demi mendapatkan pencapaian tertinggi.
Ekonomi, politik, hingga kesehatan menjadi ladang bisnis bagi para petinggi pemerintahan di berbagai negara. Mereka para penganut paham otoriterisme akan menutup telinga dan tak peduli akan derajat kebebasan individu. Kekuasaan menjadi faktor utamanya. Bagi mereka, yang terkuat adalah yang menang.
Lembaga, badan hukum, bahkan individu itu sendiri terkena imbasnya.
Peperangan terjadi di mana-mana. Mulai dari perang asimetris, perang hibrida, hingga perang proxy. Semua itu yang menyebabkan hancurnya Bumi secara perlahan.
Manusia menjadi pelaku, sekaligus korbannya.
Kini, semua itu telah berakhir. Yang tersisa hanyalah penderitaan dan darah-darah yang mulai mengering.
Tidak ada lagi kompetisi, semua kalah, alam mengambil alih perannya.
Napas-napas pupus di udara. Menjadikannya sebagai pengisi ruang yang dipenuhi polusi dan kefakiran.
Bumi mati.
Tapi tidak dengan pemuda itu.
"Hidup ialah titipan. Kita hanya perlu menggunakan waktu yang kita miliki dengan sebaik-baiknya."
Josh mengejang. Ia terbangun dari tidurnya dengan bola mata membelalak dan napas terengah. Peluh bercucuran dari dahinya.
Suara berat Samuel Hall masih begitu segar di telinganya.
Sayangnya, suara itu sudah tidak bisa ia dengar lagi. Pemiliknya telah tiada. Samuel Hall mati diterkam singa jantan, seminggu silam.
Peristiwa mengerikan itu terjadi di depan mata kepalanya sendiri. Dan, bodohnya, Josh tak bisa menyelamatkan nyawa Samuel―yang mana mungkin adalah manusia terakhir di Bumi ini selain dirinya.
Kini, Josh tak dapat menemukan makna dalam setiap hembusan napasnya. Ini seperti sebuah kesia-siaan. Tak ada artinya lagi ia hidup.
Kematian Samuel membuat Josh hilang harapan. Keberadaan manusia lain di dunia ini terasa semakin mustahil baginya.
Bagaimana kalau ternyata ia adalah manusia terakhir yang hidup di dunia ini?
Bagaimana kalau ternyata tidak ada manusia lagi di belahan dunia mana pun?
...*...
Bandara Leeds Bradford yang terletak di Yeadon―Distrik Kota Leeds Metropolitan―tampak mengenaskan.
Dengan mengenakan pakaian serba hitam, topi, dan ransel besar yang tersampir di bahunya, Josh berjalan melewati puing-puing bangunan tanpa kesulitan. Ini memang sudah menjadi kegiatannya sehari-hari. Menjarah makanan―kadaluwarsa―di Supermarket, mengambil kendaraan milik orang lain, bahkan mencuri beberapa berkas penting di kantor pemerintahan Bradford.
Tidak ada yang peduli dengan semua itu. Pemiliknya sudah mati, berpuluh-puluh tahun silam.
Keadaan Bumi selepas Perang Dunia Ketiga memang sudah tidak bisa diandalkan lagi. Lebih dari sembilan puluh persen bangunan hancur. Bahkan, kini, perkotaan telah menjadi hutan. Pepohonan tumbuh di tengah jalan. Hewan-hewan yang masih hidup pun berkeliaran di mana-mana.
Josh harus ekstra waspada kalau tak ingin menjadi korban singa hutan berikutnya.
Meski sebagian dari dirinya telah berputus asa, tapi Josh masih memiliki setidaknya secuil harapan untuk melanjutkan hidupnya. Jika ia tidak bisa menemukan manusia lain, itu tak masalah. Seperti apa yang selalu Samuel katakan, ia harus menggunakan waktu yang ia miliki dengan sebaik-baiknya.
Menarik napas panjang, Josh membuka topinya dan menjadikannya sebagai kipas.
Matahari bersinar cukup terik siang ini. Smart-watch Polar RS600CX―hasil jarahannya dari rumah seorang saudagar kaya―yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukkan suhu 30°C. Itu artinya, berlama-lama di ruang terbuka akan membuat kulitnya terbakar.
Tak ingin hal itu terjadi, Josh cepat-cepat berjalan menuju runway―landasan pacu yang digunakan pesawat terbang untuk lepas landas. Ia mencari pesawat apa saja yang masih berfungsi dan akan terbang lintas negara.
Rencana itu terdengar gila, memang. Josh tak pernah sekolah pilot. Tapi, beruntung, Josh adalah lelaki berusia 25 tahun yang menyukai kegilaan.
Tiba di runway, Josh melihat ada pesawat Boeing 737 Next Generation terparkir anggun di sana. Cepat, Josh berlari mendekati pesawat itu dan memeriksa tiap bagiannya.
Dari luar, pesawat itu tampak mulus. Fulselage (badan pesawat) aman, sayapnya tak mengalami kerusakan berat meski sedikit lecet, juga landing gear (roda pesawat) yang masih utuh. Pada permukaan pesawat terdapat lumut dan beberapa retakan kecil. Mungkin beberapa bagiannya ada yang rapuh. Tapi Josh berharap benda itu masih bisa membawanya pergi dari sini.
Ketika Josh menaiki tangga untuk membuka pintu, tahu-tahu saja sebuah seruan membuatnya mengejang, "Oi! Stay away from my plane!"
Josh terdiam di tempat. Ia takut kalau suara itu hanya berasal dari kepalanya sendiri. Dan mungkin ini hanya fantasinya saja karena ia terlalu banyak memikirkan Samuel.
Maka, Josh kembali bergerak. Berjalan memasuki pesawat itu dan tiba-tiba saja sebuah suara kembali menggema. "Kau tunawisma atau tak mengerti Bahasa Inggris?"
Satu-satunya hal yang bisa Josh lakukan adalah menoleh ke sumber suara.
Beberapa meter di balik punggungnya, Josh menemukan seorang gadis dengan pakaian Royal Air Force (RAF)―Angkatan Udara di United Kingdom―menodongkan Revolver ke arahnya.
Menelisik, Josh mulai berpikir, apakah gadis itu benar-benar manusia? Apakah yang dilihatnya ini bukan fatamorgana semata?
Josh ingin memastikan kalau penglihatannya tidak salah, tapi ia juga tidak bisa melakukan apa pun selain mengangkat kedua tangannya ke udara. "Tunggu, aku tidak bermaksud jahat."
Gadis itu menatapnya tajam. Manik matanya sebiru safir, kulitnya putih, rambutnya berwarna cokelat terang. Dia terlalu bagus untuk ukuran manusia. Apakah dia bukan robot?
"Cih! Lagu lama," balasnya sinis. "Menyingkirlah!"
Patuh, Josh menuruni tangga dan memandangi gadis itu dengan penuh waspada. Meski pistolnya ada di balik jaket, Josh tidak mungkin mengeluarkannya dan menembak gadis itu. Bagaimanapun, mungkin mereka berdua adalah manusia terakhir di muka Bumi ini. Josh harus bisa mempertahankan gadis itu.
"Kau, Angkatan Udara?" tanya Josh masih dengan mengangkat kedua tangannya.
Dengan alis menukik, gadis itu membalas, "Bukan urusanmu." Ia menurunkan Revolvernya dan berjalan masuk ke dalam pesawat tanpa memedulikan Josh.
Meski tahu kalau gadis itu akan mengusirnya, Josh tetap bengal dan ikut masuk ke dalam pesawat. "Apa benar ini milikmu?"
"Beraninya kau mengikutiku!"
"Jangan galak-galak, mungkin kita adalah manusia terakhir di dunia ini."
Gadis itu menaikkan ujung bibirnya, tersenyum miring. "Kau yakin kalau aku ini manusia?"
Spontan, Josh bergerak cepat mengeluarkan pistolnya dan menodong gadis itu. Di saat yang bersamaan, gadis itu kembali menodongkan Revolvernya yang masih mulus.
Sepasang mata mereka bertatapan. Josh mengamati apakah ada sambungan di wajah gadis itu, apakah ada bunyi sensor di balik punggungnya, dan apakah ada kabel yang terhubung di lehernya. Ia tak menemukan itu. Yang ia lihat hanyalah sebentuk wajah sempurna dan tubuh yang proporsional.
Josh akhirnya yakin kalau gadis itu adalah manusia. Ia menurunkan postolnya dan memasukannya kembali ke dalam jaket. "Kau mau terbang ke mana?" tanya Josh akhirnya.
Tanpa merubah posisinya, gadis itu membalas, "Turun dari pesawatku atau akan kutembak jantungmu sekarang juga?"
Josh menyeringai kecil. "Silakan, memang sudah sejak lama aku ingin mati."
Gadis itu terdiam, menatapnya lekat. Hidung mancung dan bibir ranumnya mengingatkan Josh pada seorang penyanyi yang disukainya saat kecil, Rebecca Watson. Pandangan Josh akhirnya turun ke bagian dada, bukan untuk mengukur seberapa besar payudara gadis itu, tapi untuk membaca name tag yang tertera di sana.
Daniel S. Pachara
Itu adalah nama laki-laki. Mungkin gadis itu mengambil salah satu baju milik Tentara Angkatan Udara dan mengenakannya agar terlihat keren.
"Kenapa diam? Apakah kau mulai ragu untuk menembakku?" tantang Josh.
Melengos adalah hal pertama yang dilakukan gadis itu, sebelum akhirnya masuk ke ruang cockpit dan membersihkan beberapa debu yang menempel di kursinya.
"Aku Joshua Miller," katanya. "Aku baru saja kehilangan teman seperjuanganku seminggu yang lalu. Dia mati diterkam singa. Dan kau adalah manusia kedua yang aku lihat setelahnya."
Gadis itu diam sesaat, memandang Josh dengan sebelah alis terangkat. "Apakah aku terlihat peduli?" sahutnya sarkastis.
Untuk ukuran manusia berjenis kelamin perempuan, gadis itu ternyata cukup menyebalkan bagi Josh. Mungkin ia harus menggunakan kesabarannya untuk menghadapi gadis itu.
Josh tak berani menyahut lagi. Ia memperhatikan gadis itu yang mulai sibuk mengotak-atik tombol-tombol kontrol pesawat. Setiap gerakannya tampak luwes, tak dibuat-buat. Seperti seseorang yang sudah ahli dan terbiasa menyentuh benda-benda yang bagi Josh terasa amat asing.
"Apa rencanamu?" tanya gadis itu, setelah sekian lama fokus pada kegiatannya.
Josh tak menduga kalau gadis itu akan bertanya demikian. Sejujurnya, ia juga tidak benar-benar tahu apa rencana ke depannya. Ia hanya ingin pergi dari sini, mencari manusia lain dan berjuang bersama-sama. Apakah itu terdengar muluk?
Tapi, kemudian, ia ingat ucapan Samuel beberapa tahun yang lalu. Tentang agenda yang sudah sejak lama ingin Samuel lakukan bersamanya. Tapi, ia juga tak yakin apakah ini merupakan sebuah keputusan yang benar atau tidak. Maka, dengan sedikit keraguan, Josh membalas, "Samuel pernah memberitahuku tentang kemungkinan orang-orang Asia bisa bertahan hidup lebih lama dari orang-orang Eropa. Jadi aku ingin pergi ke sana."
"Apa alasannya?"
"Sederhana. Karena mereka memiliki banyak lahan pertanian yang tidak hancur saat World War III. Mereka yang bertahan pasti akan memanfaatkan lahan itu sebagai sumber makanan mereka. Umbi-umbian adalah salah satu tanaman yang bisa hidup tanpa dilakukan perawatan secara berkala. Mereka bisa bertahan lebih lama dibandingkan orang-orang Eropa yang hanya mengandalkan makanan kaleng kadaluwarsa," jelas Josh panjang lebar.
Gadis itu membelalak sejenak, tampak terkejut karena Josh ternyata banyak bicara. Tapi kemudian, ia tak acuh, sibuk dengan aktivitasnya dan tak lagi menoleh pada Josh meski hanya sesaat.
Selama beberapa menit, hanya keheningan yang lebih mendominasi. Gadis itu bergerak seperti mesin. Cepat dan begitu ahli. Seperti menemukan barang mainannya yang telah lama hilang.
Josh duduk di samping gadis itu tanpa permisi. Ia tak sempat membersihkan debu sehingga menempel di celananya tanpa ia pedulikan.
"Kemana tujuanmu?" tanya Josh, yakin kalau gadis itu tak akan membalasnya.
Dan seperti yang ia duga, si pemilik mata biru itu tetap sibuk, seakan suara Josh barusan tak cukup membuatnya terganggu.
Tapi rupanya setelah merasa pekerjaannya selesai, gadis itu menoleh dan berkata, "Pergilah sebelum aku membunuhmu."
Ancaman sekaligus perintah itu membuat Josh mendesah kecil. Baginya, kalimat itu kedengaran seperti, "Tetaplah di sini, aku membutuhkanmu." Jadi, Josh tak melakukan apa pun. Ia diam. Seolah ancaman itu tak pernah diucapkan.
Kesal tak mendapatkan respons, gadis itu menatapnya dan sudah bersiap dengan Revolvernya. "Kau lebih baik mati?"
"Jika kematianku menguntungkan bagimu, lakukanlah. Itu akan mengakhiri penderitaanku," balas Josh sarkas. Ia tahu, gadis itu hanya suka menggertak, tipikal manusia otoriter dan berkuasa. Josh tak menyalahkan gadis itu kalau ia bersikap lebih antisipasi dan waspada. Mungkin Josh adalah manusia pertama yang ia temukan setelah sekian lama. Josh memaklumi itu.
"Justru karena keberadaanmu tak menguntungkanku, lebih baik aku membunuhmu."
Josh mendengus. Ia benar-benar siap untuk dibunuh, tapi itu artinya ia tak menggunakan waktu yang ia miliki dengan sebaik-baiknya. "Dengarkan aku, sekalipun ada 100 orang tak berguna, akan lebih baik jika tetap membiarkannya hidup. Karena manusia tak pernah sungguh-sungguh diizinkan untuk mencabut nyawa seseorang."
"Tak perlu berceramah, aku tidak akan peduli."
"Lantas, apa lagi yang kau tunggu?" tantang Josh. "Tarik pelatuknya."
Gadis itu memicing dengan kedua mata sejajar dengan Revolvernya. Di bawah kantung matanya tampak hitam, menandakan ia tak memiliki waktu tidur yang cukup-atau mungkin juga memang terlahir seperti itu.
Ketika gadis itu hendak menggerakan jemari untuk menekan pelatuknya, Josh terkesiap. Ia mengangkat tangannya dan berkata, "Baiklah jika itu yang kau mau. Aku akan pergi."
Pada hakikatnya, sifat dasar manusia adalah akan melakukan apa pun untuk mempertahankan hidupnya. Josh masih ingin hidup, setidaknya untuk beberapa saat, demi merealisasikan keinginan Samuel untuk menjelajahi Asia.
Bergerak turun, Josh sedikit kecewa karena manusia yang ia temukan ternyata memiliki konsepsi individualis yang tinggi. Tapi ia juga tak heran akan hal itu, karena seorang gadis yang masih hidup dan harus mempertahankan diri di tengah kekacauan dunia, pasti dia memiliki kemampuan yang tak dimiliki oleh gadis lain seusianya.
Dia pasti gadis yang tangguh dan pemberani. Sikapnya yang keras membuat Josh yakin kalau gadis itu memang bisa bertahan sendirian.
Baru saja menginjakkan kaki di atas tanah, tiba-tiba sebuah suara kembali menginteripsi pergerakannya. "Jika aku bertemu singa jantan dalam perjalanan, kurasa ia tak menyukai daging perempuan."
Josh menoleh dengan sedikit kernyit di dahinya. "Maksudmu?"
"Bukankah kau ingin segera menyusul Samuel?" Gadis itu menaikkan sebelah bibirnya, sebuah senyum sinis yang begitu khas terpatri di wajahnya yang classy. "Selagi kau bisa kujadikan umpan singa jantan, kau boleh ikut."
Mendengus kecil, Josh masih tak habis pikir mengapa gadis itu memiliki kosakata sesarkastis itu. Ia menggeleng terkekeh dan menatapnya skeptis.
Sembari berjalan ke cockpit, gadis itu kembali berkata, "Aku tak suka pemuda lamban. Cepat bergerak, sebelum aku berubah pikiran."
[...]
...July 13, 2080...
...New Delhi, India...
.........
Seumur hidup, ini adalah pertama kalinya Josh duduk di dalam cockpit bersama seorang pilot perempuan—yang tak mengajaknya bicara sejak melakukan take off dari Yeadon.
Lima jam, mereka hanya duduk terdiam dan menikmati pemandangan dari atas awan. Menyelami pikiran masing-masing tentang ketidakberdayaan mereka terhadap alam yang semakin liar. Bumi telah berubah. Daratan bukan lagi menjadi tempat tinggal manusia. Bahkan laut pun tak ada bedanya. Banyak laut yang teracuni oleh zat kimia dan menimbulkan punahnya ekosistem air.
"Kemana kita akan pergi?"
Itu adalah pertanyaan pertama yang berani Josh lontarkan setelah sekian lama memilih diam.
Gadis itu tampak tidak tertarik dengan pertanyaannya. Ia sibuk dengan tombol-tombol tanpa memedulikan seseorang di sampingnya.
Ada begitu banyak hal misterius dalam diri gadis itu. Josh tak tahu apakah ia berada di pihak yang sama atau tidak. Yang Josh lihat, gadis itu tak butuh perlindungan. Dia benar-benar memiliki kemampuan yang tak semua perempuan bisa lakukan. Dia sangat terlatih.
Mata safirnya benar-benar memabukkan. Josh bisa saja terperdaya oleh wajah ayu itu dan lupa kalau gadis itu dapat membunuhnya kapan saja ia mau.
"Kau pernah ke India?" Gadis itu balik bertanya.
Josh menggeleng. "Tidak, kenapa?"
Tidak ada jawaban sampai mereka benar-benar tiba di negara yang terkenal dengan Taj Mahal itu.
...*...
Landing pertama dilakukan di Bandara Internasional Delhi Indira Gandhi, India.
Setelah melakukan perjalanan lebih dari 18 jam, Josh merasa seluruh tubuhnya kaku dan pegal. Ia menoleh ke samping, mendapati seorang gadis dingin yang tak mengajaknya mengobrol selama perjalanan berlangsung. Josh tahu, mereka memang tidak saling mengenal, tapi apa salahnya kalau ia mencoba untuk membaur? Lagipula, dunia ini sudah kiamat, seharusnya tidak ada alasan lagi bagi siapa pun untuk menutup diri. Tak ada gunanya mempertahankan ego dan gengsi.
Josh berharap kalau ia bisa dengan mudah mengajak gadis itu berkomunikasi, tapi hasilnya nihil. Tiap kali ia mencoba bertanya dan bercerita, gadis itu tak menganggapnya ada.
"Apakah kau akan tetap diam saat kutanya mengapa kita berhenti di sini?" Josh lagi-lagi mencoba peruntungan untuk mencari tahu mengenai tujuan utama gadis itu. Terlalu muluk baginya untuk mengharapkan sesuatu yang mustahil. Padahal, seandainya mereka adalah manusia terakhir di dunia ini, harusnya mereka dapat bekerja sama dengan baik untuk bergenerasi.
Tak segera menjawab, gadis itu memilih menyiapkan ransel dan seisinya.
"Aku tidak pernah memaksamu untuk membawaku pergi. Seandainya kehadiranku hanya dianggap angin lalu, untuk apa sekarang aku ada di sini?" Josh tak tahu dari mana kalimat melankolis itu berasal, yang jelas, ia benci diacuhkan.
Mendelik, gadis itu hanya menukikkan sebelah alisnya.
"Aku bahkan tidak tahu siapa nam—"
"Freya. Sekarang kau boleh memanggilku dengan nama itu."
Untuk kesekian kali, Josh menatap kedua manik mata safir itu, mendalaminya sejenak dan memikirkan ada berapa banyak nama Freya yang pernah ia dengar. Nama itu jelas bukan sebuah nama asing di telinganya. Josh yakin, ia pernah mendengarnya. Tapi ia tidak tahu kapan, di mana, dan siapa yang memiliki nama itu.
Di luar kebingungannya, Josh tetap merasa sedikit lega akan kemanusiawian gadis itu. Setidaknya sekarang ia tahu harus memanggil gadis itu dengan sebutan apa.
"Aku, Joshua Mill—"
"Aku tidak pikun. Kau sudah mengatakan itu tadi pagi," potong Freya ketus.
"Kau bisa memanggilku Josh."
"Aku akan memanggilmu dengan apa pun yang kusuka."
"Up to you, woman always right."
Josh yakin sekali kalau Freya sangat suka pernyataan itu. Terlihat dari lengkungan di sudut bibirnya yang diam-diam bergerak naik.
Merasa dirinya begitu diperhatikan, Freya melengos. Ia merapikan isi ranselnya dan mengambil sebuah topi berwarna blue Wedgwood yang senada dengan seragamnya. "Bergegas, kita harus isi bahan bakar."
Penjelasan singkat itu cukup membuat Josh mengerti mengapa Freya tiba-tiba mendarat di negara ini.
Setelah mempersiapkan diri, Josh bergerak mengikuti Freya yang sudah lebih dulu beranjak. Ia berdiri di belakang gadis itu dan menunggunya mengatakan sesuatu.
Cukup lama berdiri di depan pintu sembari melihat keluar melalui kaca, Freya tak kunjung mengucapkan sepatah kata pun. Ia masih mematung dan menyampirkan ransel di bahu kirinya. Di sebelah tangannya, Freya memegang sebuah Respirator Gas Mask berwarna perak, sementara di sebelah yang lain masih menjadi tempat favorit Revolvernya. Ia menatap keluar dengan pandangan penuh selidik. Gelap menjadi satu-satunya hal yang bisa Josh definisikan di kota itu. Jadi, seharusnya Freya tak perlu waktu lama untuk meneliti, karena mereka memang tak bisa melihat apa pun.
"Pakai pelindungmu," ujar Freya tiba-tiba.
Di belakangnya, Josh mengernyit. "Kenapa? Ada masalah?"
"Negara ini mendapatkan serangan Phosgene pada tahun 2070."
Phosgene (Fosgen) adalah senyawa kimia berbahaya dalam wujud gas yang digunakan sebagai senjata kimia sejak Perang Dunia I. Gas ini sangat mematikan. Seseorang yang menghirupnya akan mengalami sesak napas dan meninggal dunia jika tidak cepat-cepat ditangani dalam hitungan jam.
Mendengar itu, Josh skeptis. Ia tak bicara apa-apa sampai akhirnya Freya menendang tulang keringnya.
"Pakai masker-mu!" titah Freya sembari dirinya mengenakan benda perak itu untuk menutupi kepala dan wajahnya.
"Kalau boleh jujur, aku tak memilikinya."
"Sudah kuduga."
Josh mengeluarkan sebuah sapu tangan dari saku ranselnya dan mencoba untuk menutup hidungnya dengan benda itu, saat tahu-tahu Freya menahannya. "Diam di sini."
"Siapa? Aku?"
"Kau pikir aku sedang bicara dengan siapa? Kursi?"
"Tidak, maksudku, kenapa aku yang diam di sini? Kenapa bukan kau saja yang diam di sini dan aku yang pergi untuk mengisi bahan bakar?"
Freya mendengus kecil, lalu membalas, "Karena kau adalah laki-laki. Kau lebih banyak bicara daripada bertindak."
Sejak kapan laki-laki memiliki label semenyedihkan itu? Josh tidak terima. Ia adalah pejantan yang tak boleh diremehkan, bahkan oleh seorang gadis tangguh seperti Freya sekalipun.
"Aku yang pergi," putus Josh akhirnya.
Freya melepas masker-nya dan berkata, "Kau bisa mengisi bahan bakar?"
Josh diam. Ia tahu, ia tidak pernah melakukannya, tapi bukan berarti ia tidak bisa. "Aku akan mencobanya."
"Sempurna. Pemuda asing tiba-tiba ada di dalam pesawatku dan dia tidak bisa apa-apa selain protes. Ya, ciri khas laki-laki."
Saat mengatakannya, Freya tak menunjukan apa-apa di wajahnya. Dan hal itu sukses membuat Josh menahan kesal. Sebagai laki-laki, sepertinya ia tak memiliki harga diri sama sekali di hadapan gadis itu.
Meski begitu, Josh akan berusaha agar mereka berdua bisa berteman baik, bagaimanapun caranya.
"Biarkan aku pergi." Josh kekeh akan keputusannya. Ia mengambil alih Respirator Gas Mask dalam genggaman Freya dan mengenakannya tanpa permisi.
Melihat itu, Freya hanya bisa menghambuskan napas panjang. "Lakukan dengan benar. Aku—"
"Kau tak suka kesalahan sekecil apa pun," potong Josh, tahu apa yang akan Freya katakan.
"Good boy," balas Freya sambil mengetuk kepala Josh dengan moncong Revolvernya.
Alih-alih merasa semangat, hal itu justru terasa aneh bagi Josh. Ia tak pernah menemukan spesies perempuan seperti gadis di hadapannya ini. Pasti ada banyak cerita di balik sorot mata tajamnya, ada banyak kisah di balik sikap tangguhnya, dan pasti tak akan terhitung berapa banyak tragedi yang dialami gadis itu. Josh merasakan hal yang sama. Hampir semua hal mengerikan pernah terlihat oleh mata kepalanya sendiri. Dan itu terkadang menganggu pikirannya menjelang tidur.
Meski demikian, Josh tak ingin terus-terusan berduka atas kepergian Samuel Hall. Ia harus bisa bergerak maju. Merealisasikan keinginan Samuel adalah tujuan utamanya saat ini, tak peduli berapa banyak rintangan yang sudah menunggunya di depan sana. Ia harus bisa mempertahankan hidupnya lebih lama dan melakukan sesuatu yang berguna. Begitulah pesan terakhir dari Samuel Hall.
"Berapa banyak waktu yang kau butuhkan untuk bersiap-siap?" tanya Freya, memecah lamunannya.
Spontan, Josh terkesiap. Ia mengencangkan ranselnya di punggung dan membuka pintunya. "Kalau aku tak kembali dalam satu jam, kau boleh meninggalkanku."
"Tidak perlu bertingkah sok pahlawan. Kalau bahan bakarnya masih banyak, aku tidak mungkin memilih tempat ini untuk mendarat."
Yang artinya adalah; Freya tidak akan meninggalkan Josh karena ia memang tidak bisa kemana-mana. Pesawatnya tak memiliki bahan bakar yang cukup. Josh tahu. Dan itu bukan kabar bagus.
"Aku berjanji akan kembali secepatnya dan mengisi bahan bakar malam ini juga."
"Terakhir kali seseorang berjanji padaku, dia mati sebelum menepatinya."
Bahkan hingga akhir dialog, Freya tetap sinis kepadanya.
...*...
Berbekal sebuah senter, permen karet kadaluwarsa rasa mint, serta lagu kesukaannya berjudul Over, Josh berjalan menyusuri tepian runway Delhi Indira Gandhi yang memiliki luas melebihi perkiraannya.
Josh tak takut gelap. Ia juga sudah terbiasa dengan udara dingin. Tapi tempat ini benar-benar membuat keberaniannya terganggu. Apalagi ketika ia tak sengaja menginjak tulang belulang manusia yang berserakan di sepanjang jalan. Pastilah tragedi serangan Phosgene itu sangat dahsyat hingga membuat tempat ini benar-benar bersih dari manusia.
Jujur, Josh tak pernah mendengar apa pun tentang negara ini dari Samuel. Pria itu mungkin melewatkannya, atau mungkin ia yang terlalu cepat melupakannya. Yang jelas, India adalah negara asing yang kabarnya tak pernah ia ketahui. Hanya ada beberapa berita yang tak sengaja ia lihat di internet dan televisi dulu.
Tapi, bukan berarti Josh tak memiliki kesempatan untuk memenangkan petualangan di negara ini.
Dua puluh lima tahun ia hidup dalam kesengsaraan. Harusnya ada banyak pengalaman yang bisa dijadikan landasan sebagai kekuatannya menghadapi rintangan. Tapi, tak begitu cara kerja otaknya. Josh mungkin memiliki banyak akal, tapi seandainya ia menghirup gas fosgen, semua usahanya akan sia-sia.
Josh masih berjalan dengan tempo yang sama, tidak ingin terburu-buru, juga tidak terlalu lamban. Ia menyenteri tiap sudut tempat itu, mengikuti jalan yang terjal akibat bebatuan dan runtuhan bangunan yang berserakan.
Jam canggihnya menunjukkan pukul 11 malam. Suara burung hantu dan sahutan jangkrik setia menemani perjalananya. Samar-samar, Josh mencium bau alkohol. Semakin ia berjalan menuju koridor bandara, aroma itu semakin menusuk hidungnya.
Josh melihat patung-patung besar berwarna emas yang berjajar di ruangan itu. Beberapa di antaranya sudah runtuh, hanya tersisa bagian setengah badannya saja. Ia juga menemukan jadwal penerbangan menuju beberapa negara di Asia, contohnya Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Bandara ini terakhir beroperasi 9 tahun yang lalu. Hal itu ia simpulkan dari salah satu penerbangan menuju Indonesia pada tanggal 27 Agustus 2071, setahun setelah serangan Phosgene terjadi.
Dari sekian banyak negara di Asia, mengapa India memilih Indonesia sebagai penerbangan utama mereka?
Apa pun alasannya, Josh tahu kalau negara itu memiliki sesuatu yang penting hingga India memilih untuk bermigrasi ke sana.
Josh menghela napas. Semakin ia berjalan, semakin banyak hal yang ia temukan dan kepalanya mulai pusing menebak-nebak apa saja yang sudah terjadi di tempat ini.
Kemudian, ketika Josh hendak memilih jalan ke arah kiri di sebuah persimpangan, tiba-tiba saja suara tembakan terdengar bersamaan dengan pecahnya kaca jendela di belakangnya.
JDOR! Josh mengejang, kedua bola matanya membeliak. Ia spontan mengarahkan senternya ke lantai atas, menemukan sebuah cahaya kecil dan sosok yang kini berlari menghindarinya.
"WAIT!" teriak Josh sembari bergerak mengejar orang itu melalui tangga dengan sekuat tenaga, sekuat yang ia bisa.
Suara seseorang berlari terdengar dengan jelas di ruangan yang semula hening. Gerakan sosok itu cukup gesit. Tiba di lantai dua, Josh kehilangan jejak. Ia tak melihat ada siapa-siapa. Cahaya kecil yang berasal dari senter orang itu sudah tak terlihat di mana pun. Josh diam sejenak, mengatur napasnya yang memburu dan semakin sesak akibat mengenakan masker sialan itu.
"Tak apa, keluarlah. Aku manusia. Kalau kau juga manusia, mungkin kita bisa berteman," ucap Josh mencoba membujuk sosok itu untuk menunjukkan dirinya.
Berjalan lagi, Josh mengarahkan senternya ke setiap ruangan yang pintunya terbuka. Ia tak menemukan apa pun selain udara hampa.
Dan saat Josh tengah mengamati sebuah ruangan administrasi, tahu-tahu suara gaduh terdengar dari lantai satu beserta cahaya senter itu lagi.
"Oh, ****!" Josh hanya bisa mengumpat ketika sosok itu berhasil kabur darinya. Dengan setengah kesal, ia kembali berlari menuruni tangga dan berharap bisa menangkap sosok itu meskipun nantinya yang ia temukan bukan manusia.
Jujur saja, Josh tak pernah suka adegan kejar-kejaran. Di mana pada akhirnya dialah yang selalu kalah dan gagal. Josh selalu terlambat. Ia sudah berusaha semampunya, tapi pada kenyataannya, ia tak pernah berhasil untuk mencegah hal-hal buruk itu terjadi. Momen ini mengingatkannya pada Samuel Hall. Ketika Josh gagal menyelamatkan pria itu dan berakhir dengan penyesalan.
Josh sukses mendarat di lantai dasar, tapi lagi-lagi, ia tidak menemukan apa pun. Cahaya itu kembali hilang. Ia memaku di tempatnya. Berdiri dengan napas terengah. Sampai akhirnya, seseorang menepuk bahunya dari belakang.
Spontan, Josh mengambil pistol dari sakunya dan berbalik.
"Wow, antisipasi yang cukup bagus."
Itu Freya. Dia mengenakan sebuah kain biru untuk menutupi setengah wajahnya.
Josh menurunkan pistolnya dan mengernyit bingung. "Apa yang kau lakukan di sini?"
"Aku mendengar suara tembakan. Kupikir kau sudah mati," balas Freya, masih dengan mata sinisnya.
"Apa kau mencemaskanku?"
"Tidak. Aku hanya ingin memastikan seperti apa kondisi jasadmu."
"Sayang sekali, aku masih hidup."
Josh mendengar Freya mendengus kecil. Gadis itu mengarahkan senter ke sekeliling ruangan.
"Tembakannya meleset. Orang itu hanya berhasil memecahkan kaca jendela," jelas Josh sembari mengarahkan pandangannya ke jendela paling timur, tepat di belakang mereka.
Freya mengamati jendela itu sejenak, lalu berkata, "Aku tak yakin dia manusia. Tidak akan ada manusia yang hidup setelah tragedi Phosgene itu, kecuali..." Kalimatnya menggantung. Freya menatap Josh sekilas, sebelum akhirnya melepaskan kain di wajahnya dan hal itu sontak membuat Josh panik.
"Hei, kau sudah gila?" Josh memaksa Freya untuk mengenakannya kembali, tapi gadis itu justru membuang kainnya ke lantai.
"Kau mencium sesuatu?" Freya balik bertanya.
"Alkohol?"
"Selain itu." Freya sedikit berjinjit untuk melepas Respirator Gas Mask dari kepala Josh.
Meski sedikit paranoid, Josh tetap menghirup udara dengan bebas dan mengedikkan bahu setelah yakin tak menemukan aroma apa pun. "Aku tak mencium apa pun."
"Ya, itu artinya gasnya sudah tidak ada," simpul Freya akhirnya.
Untuk saat ini, mereka bisa bernapas lega. Tapi ketika keduanya baru menyadari kebebasan itu beberapa detik yang lalu, tiba-tiba kesulitan lain datang. Mereka mendengar ada deru mobil dari arah selatan.
Cepat, Freya berlari keluar ruangan, disusul Josh yang sama paniknya.
Tiba di luar, mereka menemukan sebuah mobil truk berbentuk tabung mulai bergerak dan berbelok ke arah barat. Truk itu adalah benda yang mereka cari.
Menyadari kalau mereka tengah dijebak, Freya mengumpat kesal, "****!"
Tak ingin berlama-lama, Freya dan Josh berlari kencang menyusul truk itu sebelum sosok di balik kemudi berhasil membajak pesawatnya.
[...]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!