"Pak Haris, apa yang terjadi?" Tristan bertanya kepada pria yang sedang mengemudikan mobil karena kendaraan mereka yang tiba-tiba berhenti.
"Maaf Tuan Muda, sepertinya di depan kita ada tabrakan," jawab Haris sambil mencoba mencari celah agar kendaraan mereka bisa lewat.
"Oh ...," balas Tristan singkat, dia kembali bersandar di kursi sambil menatap kosong ke arah gedung-gedung yang menjulang tinggi.
Beberapa menit kemudian akhirnya kendaraan yang berada di depan mereka mulai bergerak.
Haris juga mulai menginjak pedal gas, perlahan kendaraan mereka mulai jalan diikuti beberapa mobil yang ikut terjebak di belakang mereka.
Akhirnya Tristan bisa melihat kendaraan yang terlibat tabrakan, sebuah Mobil Mercedes hitam dan sebuah motor matik.
Mobil Mercedes hitam itu terlihat mengalami kerusakan di bagian bumper kiri, dan terlihat goresan panjang dari pintu belakang sampai pintu depan, bumper depan mobil itu juga terlihat rusak karena menabrak pembatas jalan.
Di depan mobil Mercedes itu samar-samar terlihat dua orang yang sedang berdebat.
Ketika mobil mereka berada tepat di samping kedua orang yang terlibat kecelakaan, Tristan menurunkan sedikit kaca mobilnya.
Dia melihat seorang gadis berusia 24 tahun mengenakan celana berbahan jins dan jaket berwarna biru gelap sedang menangis, di depannya seorang pria berumur sekitar 45 tahun berdiri dengan ekspresi wajah marah, Tristan hanya melihat sekilas untuk menghilangkan rasa penasarannya.
Ketika Tristan hendak menutup kaca mobilnya, terdengar suara perempuan tadi dengan nada memelas.
"Tolong Pak beri aku waktu, aku pasti akan mengganti biaya perbaikan mobil Bapak."
Mendengar suara gadis itu, Tristan terlihat kaget.
"Pak Haris, tolong berhenti," seru Tristan sambil menoleh ke arah gadis tadi.
"Siap Tuan Muda," balas Haris, dia menyalakan lampu sein dan menepikan mobilnya.
Begitu mobilnya berhenti, Tristan bergegas membuka pintu, dia lalu turun dan berjalan ke tempat dua orang tadi.
"Aku tidak mau tahu pokoknya ganti sekarang!" bentak Yono dengan suara tinggi.
"Aku sedang terburu-buru Pak ayahku masuk rumah sakit dan ...."
Belum sempat Tiysa menyelesaikan kalimatnya, pria pemilik mobil Mercedes ini langsung memotong sambil berteriak kencang.
"Alasan! Kamu mau kabur, kan!" hardik Yono sambil menunjuk wajah Tiysa.
"Maaf, apa permasalahannya?" tanya Tristan kepada Pria pemilik mobil Mercedes hitam. Tristan saat ini sudah berdiri di samping Tiysa.
"Siapa kamu tidak usah ikut campur!"
Yono menjawab sambil menunjuk wajah Tristan dengan emosi meledak-ledak.
Sambil mengusap air matanya, Tiysa yang sedang menangis ikut menoleh ke arah Tristan, dia melihat sosok pemuda berusia 20 tahun berdiri di dekatnya sambil mengenakan setelan jas mewah berwarna hitam.
Walaupun Tristan sudah mencoba bersikap sopan, ternyata Yono membalas dengan cara yang kurang baik, hal itu membuat Tristan menjadi jengkel.
"Aku berhak ikut campur!" teriak Tristan dengan nada suara yang mulai naik.
Yono yang sedang marah terlihat terkejut, sama halnya dengan Tiysa, dia juga terkejut karena tidak mengenali pemuda yang berdiri di sampingnya.
"Hah ... memang kamu siapanya Tiysa?"
Dengan arogan Yono mempertanyakan status dari Tristan yang baru saja tiba.
"Aku Pacarnya!" tegas Tristan.
Tiysa yang berada di samping Tristan terlihat semakin terkejut, dia sama sekali tidak mengenali pemuda yang saat ini mengaku sebagai pacarnya.
Mendengar jawaban Tristan, Yono semakin marah. Dia lalu menoleh ke arah Tiysa.
"Oh jadi begitu, Tysa ..., ternyata kamu sudah punya pacar anak orang kaya ..., bagus! Aku mau lihat dari keluarga mana anak ini," kata Yono dengan sikap arogan.
Tysa menoleh ke arah Tristan, dia sekali lagi memastikan apakah dia mengenal Tristan, namun setelah melihatnya, Tiysa semakin yakin jika dia sama sekali tidak mengenali pemuda yang saat ini berdiri di sampingnya.
Tiysa langsung ingin menjelaskan kepada Yono jika dirinya tidak mengenal pemuda itu, Tisya tahu jika pemuda di sampingnya ini ingin membantunya, namun dia tidak ingin menyebabkan masalah kepada pemuda itu.
"Dia buk ...."
Belum selesai Tysa berbicara, Tristan sudah memberi kode dengan tangannya meminta Tysa untuk diam, entah mengapa Tiysa menuruti kata-kata dari pemuda yang dia tidak kenal ini.
Mendengar Yono menyebut nama Tysa, Tristan bisa mengambil kesimpulan jika ini bukan kecelakaan biasa. Tristan lalu kembali menatap pria tadi dengan tatapan dingin.
"Berapa?" Tristan bertanya kepada Yono biaya yang harus di bayar oleh Tisya.
"Berapa apanya! Ini tidak ada hubungannya dengan ...."
"Berapa?" Dengan tatapan dingin, Tristan memotong perkataan Yono.
Tristan terus bertanya kepada Yono berapa biaya perbaikan mobil yang harus diganti.
Ketika Yono ingin kembali menghardik Tristan, tiba-tiba Haris memundurkan mobil yang mereka kendarai dan berhenti tepat di samping Tristan.
Mata Yono yang sedang marah kini tertuju pada pelat nomor dari mobil itu, bukan kode B yang ada di situ namun kode CD 37 yang merupakan pelat mobil khusus untuk diplomat asal negara Rusia.
Tak lama kemudian, Haris juga ikut turun, semua orang yang melihat perawakan Haris tentunya akan paham jika dia bukan hanya sopir biasa, walaupun usianya sudah lebih dari 50 tahun, badan tegap seperti prajurit dan aura yang dikeluarkan oleh Haris tidak seperti sopir, malah lebih seperti bos-bos besar perusahaan.
"Ada apa tuan muda," tanya Haris dengan sedikit menunduk kepada Tristan. Tentu saja itu lagi-lagi tidak mencerminkan sikap sopir pada umumnya.
"Pak Haris, urus kerusakan mobil pria ini, motor yang tergeletak di sana juga tolong bereskan," perintah Tristan sambil menunjuk motor milik Tisya yang berada di samping mobil Mercedes Hitam milik Yono.
"Siap tuan muda," balas Haris.
Setelah menyampaikan hal tersebut Tristan lalu menoleh ke Tisya.
"Apakah kakimu terluka?" Tristan bertanya kepada Tisya dengan nada yang lembut dan disertai tatapan ramah kepada Tisya, sangat berbeda ketika dia sedang berbicara dengan Yono.
"Tidak apa-apa hanya tanganku yang sedikit terluka," jawab Tiysa dengan sedikit gugup sembari menatap wajah pemuda yang baru saha mengaku sebagai pacarnya.
"Tetap saja kita harus memeriksa keadaanmu di rumah sakit, ayo ikut aku."
Tristan lalu merangkul Tisya dan menuntunnya ke mobil yang tadi mereka kendarai, entah mengapa kali ini Tisya juga tidak menolak dan menuruti kata-kata Tristan.
Yono berniat menghentikan mereka berdua, namun Haris dengan sekejap berdiri tepat di hadapannya, badan tegap Haris menutupi pandangan Yono.
Yono sebenarnya ingin marah, namun begitu melihat Haris, dia mengurungkan niatnya, tentu saja Yono tidak bodoh, dia tahu bahwa tidak sembarang orang yang bisa mengendarai mobil dengan nomor pelat spesial tersebut.
Haris terus menatap pria itu dengan tatapan dingin.
Melihat tatapan dingin Haris Yono menjadi sadar, jika dia bertindak lebih jauh Haris tidak akan segan-segan untuk menghajarnya, dan instingnya juga mengatakan walaupun dia memiliki banyak uang, itu tidak akan sebanding dengan latar belakang keluarga pria yang sedang berdiri di hadapannya.
—
Tristan membuka pintu mobil di bagian kursi penumpang, dia lalu membantu Tisya untuk naik, begitu duduk Tisya menoleh ke belakang, dari kaca mobil belakang dia melihat Yono
sedang berbicara dengan Haris.
Dapat terlihat jelas dari gestur tubuhnya bahwa Yono tidak lagi menunjukkan sikap angkuh seperti yang tadi dia tunjukkan, Tiysa lalu menoleh ke Tristan.
"Maaf, aku tidak tahu bagaimana atau kapan aku akan membayar dan membalas kebaikanmu, tapi saat ini aku benar-benar sedang terburu-buru, saat ini ayahku pingsan dan sedang dirawat dirumah sakit."
Tiysa berusaha menjelaskan keadaannya kepada Tristan yang saat ini sudah duduk di sampingnya.
"Di rumah sakit mana ayahmu dirawat?" Tristan balik bertanya kepada Tiysa.
"Di Bogor tepatnya di Rumah Sakit Cipta, " jawab Tisya sambil memegang bahunya yang terasa sakit akibat tabrakan tadi.
"Baiklah aku akan mengantarmu ke rumah sakit itu, kita juga harus memeriksa kondisimu," ucap Tristan.
Tisya kembali menolak dengan sopan tawaran dari Tristan, dia tidak ingin lagi merepotkan pemuda yang baru saja menolongnya.
Namun dengan senyum lembut Tristan mengatakan jika itu tidak merepotkan sama sekali dan kebetulan tujuan mereka juga di kota Bogor.
Tristan lalu mengeluarkan kotak P3K yang berada di mobil, dia mulai mengobati luka lecet yang berada di telapak tangan Tisya, Tristan juga memperhatikan tubuh Tisya karena takut ada luka di bagian tubuh yang lain.
Setelah beberapa saat mengamati, tidak ada luka lain selain dari luka lecet yang ada di telapak tangan Tisya.
Mungkin itu karena Tisya menggunakan pakaian dengan bahan yang cukup tebal, sehingga kondisi Tisya tidak terlalu parah.
Tristan juga meminta Tisya untuk melepaskan jaket yang dia kenakan, dia ingin memastikan jika tidak ada lagi luka di tempat lain.
Tisya membuka jaketnya dan meletakkannya di bagian kiri tempat duduk, Tristan juga ikut membantu Tisya yang terlihat masih kesakitan.
Setelah melihat dengan seksama, Tristan akhirnya benar-benar bisa memastikan jika hanya tangan Tisya yang terluka, dia lalu mengambil perban di kotak P3K dan membalut tangan Tisya, Tristan juga mengambil sebotol air mineral dari cup holder yang berada di depannya.
Tak lama kemudian Haris telah kembali ke mobil meninggalkan pria pemilik mobil mercedes itu.
"Pak Haris tolong antarkan kami ke rumah Sakit Cipta di Bogor terlebih dahulu," ucap Tristan sambil memberikan sebotol air mineral kepada Tisya.
"Siap tuan muda," balas Haris
Dan perlahan mobil yang mereka kendarai menjauh dari tempat itu.
Beberapa saat kemudian, mobil mereka sudah masuk ke dalam Tol Jagorawi, saat ini keadaan jalan tidak begitu ramai, sehingga mobil mereka bisa melaju dengan bebas.
Sejak meninggalkan lokasi kecelakaan tadi, Tristan tidak lagi berbicara, dalam diam matanya menatap keluar jendela dengan tatapan kosong seakan pikirannya jauh di tempat lain.
Keadaan hening ini membuat Tisya sedikit tidak enak, dia akhirnya berusaha membuka percakapan untuk memecah keheningan, di benaknya hanya itu yang bisa dia lakukan kepada pemuda yang telah menolongnya itu, dia setidaknya harus bersikap ramah dan bersahabat.
"umm ...." Tisya tampak ingin mengucapkan sesuatu, tapi belum sempat berbicara, dia langsung mengurungkan niatnya, kejadian itu terjadi beberapa kali.
Tentu saja Tristan menyadari hal tersebut, dia tahu saat ini Tisya sedang berusaha memulai pembicaraan untuk memecah keheningan.
"Apakah kamu mengenal pria tadi?" Tristan bertanya kepada Tisya untuk membuka pembicaraan.
"Iya aku mengenalnya, pria itu Yono, dia merupakan pemilik di perusahaan tempatku bekerja," jawab Tisya sambil memikirkan kejadian yang baru saja menimpanya.
Setelah itu Tisya menjelaskan kepada Tristan kejadian yang baru saja dia alami, sudah dua bulan Tisya bekerja di perusahaan Yono, awalnya tidak ada yang aneh, namun beberapa hari terakhir, pria beristri itu mulai sering menghubungi Tisya di luar jam kerja.
Dia juga mulai membahas hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan mereka, pria itu juga beberapa kali mengajak Tisya untuk nonton ataupun makan malam bersama, tentu saja Tisya selalu menolak dengan halus, namun hari ini Yono semakin nekat.
Ketika Tisya mendapat kabar jika ayahnya pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit, Tisya bermaksud meminta tolong kepada Yono.
Tisya yang baru lulus kuliah dan baru bekerja tahu jika gajinya tidak akan mampu untuk membayar biaya pengobatan ayahnya, untuk meminjam uang di Bank tentu saja akan sulit bagi dia yang baru bekerja, oleh karena itu dia mencoba peruntungannya dengan meminta bantuan kepada Yono dia berjanji akan melunasinya dengan cara pemotongan gaji setiap bulan.
Namun jawaban yang diberikan Yono membuat Tisya marah, bukan karena Yono tidak bisa membantu, Yono bersedia membantu tapi dengan syarat Tisya mau menjadi istri simpanan Yono, mendengar itu Tisya marah dan secara refleks menampar Yono, Tisya lalu pergi meninggalkan Yono.
Yono yang takut kelakuan mesumnya tersebar menjadi panik dan mengejar Tisya, hingga terjadilah insiden tabrakan tadi, setelah menceritakan itu tanpa sadar air mata Tisya mengalir keluar.
Tristan merangkul pundak Tisya, dia lalu menatap wajah Tisya yang sedang menangis, setelah memperhatikan wajah Tisya beberapa saat, Tristan akhirnya sadar bahwa gadis yang berada di sampingnya ini memang sangat cantik, Tisya juga memiliki bentuk tubuh yang indah, Tristan pun sedikit mengerti mengapa Yono sampai tergila-gila untuk menjadikan Tisya sebagai istri simpanannya.
Tristan juga kagum akan keteguhan hati Tisya, walaupun sangat membutuhkan uang untuk membantu keluarganya, dia tetap teguh dalam menjaga kehormatannya sebagai wanita.
Tisya terus tenggelam dalam kesedihan, air matanya tidak berhenti mengalir, hari ini menjadi hari yang sangat berat untuknya, tanpa sadar kepalanya kini ia sandarkan di dada Tristan, entah mengapa Tisya merasa nyaman dengan hal itu, dia merasakan kehangatan yang tidak pernah dia alami sebelumnya.
Pria yang jauh lebih muda darinya sangat terlihat dewasa, tutur kata dan sikapnya yang lembut sangat berbeda dengan pria seumuran Tristan yang pernah dia jumpai, jangankan yang seumuran Tristan, bahkan pria yang seumuran dirinya saja sangat jarang ditemui ada yang bisa bersikap seperti Tristan.
Tristan pun tidak terlalu mempermasalahkan ketika Tysa bersandar di dadanya.
Setelah menangis, mata Tisya terasa berat, rasa kantuk datang menghampirinya beberapa saat kemudian Tysa akhirnya tertidur.
"Tysa ... Tysa ...." Sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil namanya.
Ketika Tiysa membuka mata, dia langsung terkejut dan panik, karena saat ini wajah Tristan sangat dekat dengan wajahnya.
Sejak bertemu Tristan, Tisya tidak pernah memperhatikan wajah Tristan dengan baik, baru saat ini dia dapat melihat wajah pria yang sudah menolongnya dengan sangat jelas.
Pupil mata Tristan terlihat sangat indah, berwarna biru gelap bukan berwarna hitam atau coklat gelap seperti pria di Indonesia.
"Tampan sekali ...," puji Tiysa dengan suara berbisik. Tisya tanpa sadar memuji ketampanan Tristan.
"Terima kasih Nona Tisya, aku hanya ingin memberitahu jika kita sudah tiba di Rumah Sakit Cipta." Tristan membalas pujian dari Tisya sambil tersenyum.
Mendengar ucapan dari Tristan, Tisya menunduk malu tak berani menatap wajah Tristan lagi, dia juga baru sadar jika dirinya tadi tertidur dalam dekapan Tristan, Tisya mulai terlihat panik apalagi ketika menyadari ternyata tangan Tristan masih berada di pundaknya.
"Ah ... maaf ...," ucap Tiysa dengan gugup sembari memperbaiki cara duduknya.
Tristan tersenyum melihat tingkah Tisya, dia tidak menyangka jika gadis yang tadi menangis dan berani melawan bosnya ini , kini terlihat seperti anak kecil yang gelagapan karena ketahuan telah berbuat salah.
Tristan lalu membuka pintu dan turun dari mobil, dia juga membantu Tisya yang masih terlihat kesakitan karena insiden tadi.
Mereka berdua bergegas ke resepsionis Rumah Sakit Cipta, Tisya langsung menanyakan keadaan ayahnya kepada petugas yang berjaga.
Petugas menjelaskan jika Ayah Tiysa yang bernama Bimo Harsa saat ini berada di ruang ICU, Petugas tadi menambahkan jika keadaan ayahnya tidak dalam kondisi yang berbahaya.
Mendengar itu akhirnya Tiysa dapat bernafas lega, dia lalu meminta izin kepada Tristan untuk menemui ibunya.
Tristan tersenyum dan mengangguk mempersilahkan Tisya untuk bertemu keluarganya. Baru beberapa langkah berjalan Tisya tampak menyadari sesuatu yang penting.
Tisya langsung berbalik dan kembali ke Tristan, dia lalu mengulurkan tangannya kepada Tristan.
"Umm ... maaf aku belum mengetahui namamu, aku ... aku Tisya Utari Harsa." Tisya memperkenalkan dirinya dengan tersipu malu dan terbata-bata karena tersadar jika dia sama sekali belum mengetahui nama pria yang sudah menolongnya.
Mendengar hal itu Tristan tertawa. "Nona Tisya bukankah ini sedikit terlambat? Kamu bahkan sudah menjadikanku bantal tidur."
Tristan membalas Tisya sambil sedikit bercanda, tentu saja itu membuat Tisya semakin salah tingkah dan semakin tidak berani menatap mata Tristan.
"Aku Tristan Pratama, salam kenal Nona Tisya," ucap Tristan disertai senyuman di wajahnya.
Sambil bersalaman mereka memperkenalkan diri satu sama lain, Tristan juga mengingatkan Tisya untuk memeriksakan kondisinya ke dokter.
Setelah mengetahui nama dari pemuda yang telah menolongnya Tisya kembali izin pamit untuk bertemu dengan Ibunya, tak lupa Tisya juga mohon pamit kepada Haris yang juga ikut turun menemani mereka.
—
Tisya sudah sampai di depan ruang ICU Rumah Sakit Cipta, di sana Tisya melihat ibunya, Kirana Harsa yang menunggu dengan cemas, wajahnya tampak lelah sudah beberapa hari ini Kirana kurang tidur karena mengurus suaminya yang sakit.
"Ibu ...," ucapnya lirih. Dia mempercepat langkah menuju Ibunya.
Ibu Tisya langsung bangun dari duduknya ketika mendengar suara anak gadisnya memanggil. Tisya memeluk ibunya dan bertanya keadaan ayahnya.
Ibu Tiysa menjelaskan jika ayahnya masih tidak sadar, dan perlahan kondisinya sudah membaik, namun dokter menyarankan jika ayah Tisya secepatnya melakukan operasi cangkok ginjal (transplantasi ginjal), apalagi beberapa hari yang lalu pihak Rumah Sakit mendapat kabar jika ada seorang pendonor yang bersedia mendonorkan ginjalnya.
Keluarga Tisya saat ini berada dalam keadaan yang sulit, semenjak ayahnya sakit, bisnis keluarga mereka berantakan, ayahnya mengidap penyakit gagal ginjal akut dan itu membuat ayahnya harus melakukan cuci darah secara rutin.
Pagi ini, ayah Tisya tiba-tiba tidak sadarkan diri, yang membuatnya harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapat perawatan.
Walaupun sudah ada pendonor, itu tidak semata-mata menyelesaikan masalah, biaya untuk operasi cangkok ginjal mencapai 250 Juta sampai 400 Juta, dengan kondisi ekonomi keluarga Tisya yang sekarang tentu saja nominal biaya operasi itu sangat besar.
"Ibu tidak usah memikirkan itu, aku akan mencari cara agar ayah dapat dioperasi secepatnya."
Tisya berusaha meyakinkan ibunya yang terlihat lelah dan juga cemas. Walaupun Tisya sendiri bingung di mana dia akan mendapatkan uang sebanyak itu, setidaknya dengan bersikap tenang dia bisa membuat ibunya tidak semakin terbebani.
"Iya nak, aku percaya padamu." Tentu saja Ibu Tisya menyadari jika putrinya hanya berusaha bersikap tenang di hadapannya, Ibu Tisya juga tidak mau terlihat semakin menyedihkan dengan terus cemas dan panik di hadapan putri tercintanya ini.
Mata Ibu Tisya kini tertuju pada perban yang membalut tangan putrinya.
"Tisya kenapa tanganmu ...." Wajah Ibu Tisya terlihat panik setelah melihat perban putih yang membalut tangan putrinya.
"Tidak apa-apa Ibu ini hanya luka kecil." Tisya menjawab pertanyaan ibunya tanpa menyebut kecelakaan yang menimpanya, dia tidak mau menambah beban pikiran Ibunya.
"Kamu yakin? apakah perlu diperiksa ke dokter? bagaimana bisa kamu mengendarai motor dari Jakarta ke Bogor dengan tangan seperti itu?"
Ibu Tisya kembali bertanya, khawatir jika luka yang diderita anaknya lebih parah dari kelihatannya, apalagi ibunya tahu tidak mudah bagi seorang gadis menempuh perjalanan yang cukup jauh dengan menggunakan sepeda motor.
"Tidak usah ibu... ,tadi di kantor ada sedikit insiden kecil, lagian aku tidak menggunakan motor kesini, aku diantar oleh Tristan." Tanpa sadar Tisya menyebut nama Tristan di depan ibunya.
"Oh, Tristan..., siapa dia?" Dengan sedikit terkejut dan menggunakan nada menggoda, Ibunya bertanya tentang pemuda yang namanya baru saja disebut oleh anaknya.
Kirana sangat mengenal anaknya, dia tahu jika Tisya tidak pernah sama sekali dekat dengan pria, Tisya selalu memikirkan pendidikan dan karir jadi sangat mengejutkan saat Tisya menyebut nama seorang pria.
Tisya sontak kaget ketika ibunya bertanya tentang Tristan, dia tidak sadar sudah menyebut nama Tristan dengan santainya, wajahnya tersipu malu.
"Itu ... umm ... teman, Bu, iya teman ...." Dengan gugup Tisya menjawab pertanyaan ibunya, matanya menatap ke plafon rumah sakit seakan-akan di plafon rumah sakit itu ada jawaban yang tepat untuk menjawab pertanyaan ibunya.
Melihat tingkah lucu anaknya Ibu Tisya tertawa. "Ya sudah ... nanti kamu harus mengenalkan Bbu ke temanmu yang bernama Tristan, dia sudah sangat baik mengantar kamu sampai disini."
"Iya Ibu sayang...." Jawab Tisya dengan manja kepada ibunya.
Tisya dan ibunya kembali melanjutkan pembicaraan mereka dengan suasana hati yang sedikit lebih baik.
—
"Pak Haris." Tristan memanggil Haris yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.
"Iya tuan muda," balas Haris sambil berjalan mendekat ke arah Tristan.
"Coba cari tahu keadaan ayah Tisya ke pihak Rumah Sakit, sekalian titip pesan ke Tisya melalui petugas jaga jika besok malam kita akan kembali ke sini."
"Siap tuan muda," jawab Haris yang langsung melaksanakan perintah dari Tristan.
Setelah menyampaikan itu kepada Haris, Tristan menuju halaman depan rumah sakit, beberapa saat kemudian Haris sudah menyelesaikan tugasnya, Haris segera mengambil mobil yang berada di parkiran dan menjemput Tristan yang menunggu di depan pintu masuk lobi Rumah Sakit, setelah Tristan naik tak berselang lama mobil mereka meninggalkan Rumah Sakit Cipta.
"Jadi informasi apa yang kamu dapat dari Rumah Sakit." Tristan bertanya kepada Haris sambil menatap langit yang sudah terlihat mendung.
"Ayah Nona Tisya menderita gagal ginjal yang sudah cukup parah, dokter mengatakan jika Ayah Nona Tisya harus segera melakukan operasi, kebetulan beberapa hari yang lalu Rumah Sakit Cipta mendapat kabar ada pendonor yang bersedia. Namun sepertinya kondisi ekonomi keluarga Nona Tisya sedang tidak baik, hal itu yang membuat operasi belum dilakukan, jadi apa perintah tuan muda?"
Haris sudah mengerti setelah menyampaikan informasi, Tristan pasti akan langsung meminta Haris untuk bertindak, oleh karena itu dia langsung menanyakan kepada Tristan instruksi selanjutnya.
"Kalau begitu urus semua biaya rumah sakit dan minta dokter untuk segera melakukan operasi, dan untuk masalah Yono tadi, buat dia agar menghormati Tiysa, aku tidak mau kejadian serupa kembali terjadi," balas Tristan.
"Siap Tuan Muda," jawab Haris singkat.
Ketika menoleh ke tempat di mana Tisya tadi duduk, Tristan melihat Jaket biru gelap yang tadi dikenakan Tisya.
Karena tadi terburu-buru dan cemas Tisya lupa mengambil jaketnya, Tristan lalu meraih jaket yang berada di sampingnya.
Tak sengaja tangannya menyentuh saku bagian dalam jaket milik Tisya, dia menyadari ada sesuatu di dalamnya, Tristan mengeluarkan benda yang berada di saku jaket Tiysa, yang ternyata dompet milik Tisya.
"Gadis ceroboh ...." gumam Tristan dalam hati.
Tristan membuka dompet Tisya, di dalamnya ada beberapa lembar pecahan uang seratus ribu, kartu ATM, dan beberapa kartu identitas. Tristan menarik kartu tanda pengenal milik Tisya, dia lalu melihat data yang tertera disitu. j
"2 Februari? bukannya itu besok?" gumam Tristan dalam hati.
Ketika melihat tanggal lahir Tisya terbesit sebuah ide di benak Tristan.
"Pak Haris, besok tolong buka rekening di Bank Dana Cempaka menggunakan identitas ini." Tristan menyerahkan kartu yang berada di tangannya kepada Haris.
"Siap Tuan Muda," balas Haris sambil menerima kartu yang diserahkan Tristan, Haris melihat identitas yang tertera di kartu, lalu memasukkannya ke dalam saku jas yang dia kenakan.
Tristan kembali bersandar dan menatap keluar jendela.
"Pak Haris, bukankah suara Tisya sangat mirip dengan Alyona?"
"Iya Tuan Muda, aku juga terkejut sewaktu pertama kali mendengar suara nona Tisya, dan yang lebih mengejutkan bahkan tanggal lahir mereka juga sama," balas Haris sambil melihat Tristan dari spion tengah mobil.
"Sebuah kebetulan satu berbanding sejuta," ucap Tristan sambil tersenyum dan kembali menatap keluar jendela.
"Tidak ada luka serius, mungkin nanti akan sedikit terasa nyeri di bagian tubuh yang terkena benturan," kata dokter memberikan penjelasan kepada Tiysa yang sedang memeriksakan kondisinya.
"Terima kasih Dokter, kalau begitu aku izin pamit," ucap Tiysa dengan nada sopan, setelah itu dia keluar dari ruangan dokter yang sudah memeriksanya.
Di luar, Ibu Tiysa menunggu anaknya dengan cemas, dia tahu bahwa putrinya menyembunyikan sesuatu, namun Ibu Tiysa tidak ingin mendesak anaknya.
Ibu Tiysa mengerti jika Tiysa menutupi kejadian yang menimpanya karena tidak ingin membuatnya cemas.
Begitu Tiysa keluar dari ruangan dokter dia segera menghampiri anaknya.
"Bagaimana hasilnya, Nak? apa kata dokter? apa kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja Ibu," balas Tiysa disertai senyuman lembut kepada ibunya.
"Hah ... syukurlah kalau begitu," ibu Tiysa kini dapat bernafas lega, dia tidak bisa membayangkan jika sesuatu terjadi kepada putrinya.
"Ayo Ibu, aku akan memperkenalkan Ibu kepada Tristan." Dengan bersemangat, Tiysa meraih tangan Kirana dan menuntunnya ke arah lobi Rumah Sakit Cipta.
Kirana mengangguk dan mengikuti permintaan anaknya.
Setibanya di lobi rumah sakit, Tiysa tampak mencari keberadaan Tristan, matanya mengarah ke tempat di mana tadi mereka berpisah, namun dia tidak bisa menemukan keberadaan Tristan dan juga Haris.
Wajahnya mulai terlihat panik, Tiysa lalu melepaskan tangan Ibunya.
"Tunggu sebentar, Bu." Tisya mempercepat langkahnya menuju parkiran rumah sakit, begitu keluar dari pintu, matanya langsung mengarah ke tempat di mana tadi Haris memarkirkan mobilnya. Ekspresi wajahnya menjadi sedih, mobil yang mereka tadi kendarai juga sudah tidak ada di tempat itu.
Tiysa lalu mengambil telepon genggam yang berada di sakunya dan membuka kontak mencari nama Tristan, namun dia baru sadar jika dia belum mendapatkan nomor Tristan. Tisya pun semakin larut dalam kesedihan.
Dari belakang Ibu Tiysa sudah menyusul anaknya, dia bisa melihat ekspresi kekecewaan dalam raut wajah anaknya, dia lalu memegang pundak Tisya.
"Mungkin dia ada keperluan mendesak, Nak," ucap ibunya untuk menghibur Tiysa yang terlihat kecewa.
Ketika mereka hendak kembali ke tempat ayahnya dirawat, seorang perawat muda menghampiri mereka.
"Apakah anda Nona Tiysa?" tanya perawat muda tersebut.
"Iya benar, aku Tiysa," balas Tiysa yang merasa heran karena perawat muda itu mengetahui namanya.
"Orang yang bersama pemuda tampan tadi menitipkan pesan untuk disampaikan kepada anda." ucap perawat muda tersebut.
"Pemuda tampan? ohh ... maksudnya Tristan?" Ekspresi wajah Tiysa kembali ceria mendengar kata-kata dari perawat yang menghampirinya itu .
"Ohh ... nama pemuda tampan itu Tristan," gumam perawat itu sambil mengangguk.
Tiysa dan ibunya langsung tersenyum melihat tingkah dari perawat mda yang berdiri di depannya.
"Ahh maaf ... bukan itu maksud saya." Perawat itu terlihat salah tingkah karena sadar bukan itu tujuannya menemui Tiysa.
"Orang yang tadi bersama pemuda itu mengatakan jika besok malam mereka akan kembali menemui anda," ucap perawat itu menyampaikan pesan yang ditinggalkan Haris.
Mendengar pesan yang disampaikan perawat tadi kini hati Tiysa kembali berbunga-bunga, jika saat ini tidak ada orang di sekitarnya mungkin dia sudah lompat-lompat kegirangan.
Sesudah menyampaikan pesan, perawat muda itu izin pamit untuk kembali ke meja resepsionis rumah sakit, tak lupa Tiysa mengucapkan rasa terima kasihnya, setelah itu Tiysa dan ibunya kembali menuju ruangan tempat ayahnya dirawat.
"Ibu jadi penasaran, setampan apa pria bernama Tristan itu sampai membuat perawat tadi salah tingkah," Ibu Tisya kembali menggoda putrinya yang terlihat sangat senang.
"Trstan sangat tampan Ibu, matanya sangat indah, dia juga sangat baik, dia pasti menjadi menantu yang baik untuk Ibu," balas Tisya menjawab pertanyaan Ibunya.
"Menantu?" Ibu Tisya terkejut mendengar jawaban dari anaknya, ini benar-benar pertama kali bagi dirinya mendengar Tisya memuji dan menyukai pria.
Secara refleks Tisya langsung menoleh ke ibunya sambil menutup mulut dengan kedua tangannya, ekspresinya sangat terkejut, wajahnya kemerahan, dia sadar lagi-lagi ibunya berhasil menggodanya.
"Ibuu ...." Dengan wajah cemberut Tisya mempercepat langkah dan meninggalkan ibunya, Ibu Tisya kembali tertawa melihat tingkah anak gadisnya itu.
—
"Selamat datang Tuan Tristan." Beberapa wanita menyambut Tristan yang baru saja tiba di depan rumah mewah di salah satu komplek elit di Kota Bogor. Dia lalu diantar masuk ke dalam rumah mewah itu, di ruang tamu seorang pria tua sedang menunggunya.
Pria itu hendak berdiri untuk menyambut Tristan, namun Tristan mempercepat langkahnya dan langsung memegang kedua bahu pria tua itu dengan lembut.
"Kakek Subroto tidak perlu berdiri," ucap Tristan sambil membantu Kakek Subroto untuk kembali duduk di kursi.
"Ah ... usia tua menjadikanku kakek-kakek yang tidak berguna, bahkan hanya untuk berdiri menyapamu sangat sulit aku lakukan sekarang," keluh Subroto kepada Tristan.
"Kakek Subroto jangan terlalu merendah, malah jika aku membiarkan Kakek Subroto berdiri menyapaku, aku yang akan menjadi anak muda tidak berguna," balas Tristan menghibur subroto, dia lalu duduk di samping Subroto.
"Haha ... Tristan kamu memang anak yang baik dan juga sopan, sama seperti informasi yang diberikan kakekmu." Tawa lepas kakek Subroto terdengar menggema di ruang tamu.
"Kakek mau minta maaf sebelumnya karena kemarin tidak dapat menghadiri acara pertunanganmu dengan cucuku, kondisiku sekarang tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan," keluh Subroto sambil memegang pundak Tristan.
"Tidak apa-apa kakek, doa dan restu darimu sudah cukup mewakili kehadiranmu," balas Tristan dengan sopan.
Kakek Subroto kembali tersenyum mendengar jawaban dari tunangan cucunya itu.
"Jadi bagaimana tanggapanmu terhadap cucuku?" Kakek Subroto bertanya dengan nada yang cukup serius kali ini.
"Gea gadis yang cantik dan ramah, ayah dan ibunya juga orang yang sangat baik," balas Tristan sambil tersenyum kepada Subroto.
"Baguslah kalau kamu menyukainya," ucap Subroto yang terlihat puas dengan jawaban yang diberikan Tristan.
Setelah itu mereka berdua terus melanjutkan pembicaraan dengan topik beragam.
Setelah makan malam bersama, Tristan mohon pamit kepada Kakek Subroto untuk beristirahat di kamar yang sudah di siapkan oleh Kakek Subroto, hari ini Tristan menginap di rumah ini.
Tristan sebenarnya sudah meminta Haris untuk memesan kamar di salah satu Hotel Bintang 5 di kota itu, namun Kakek Subroto terus meminta agar Tristan mau menginap di rumah ini, karena merasa tidak enak menolak tawaran dari Kakek Subroto dia pun mengiyakan permintaan itu.
Di kamar, pelayan sudah meletakkan baju ganti untuk Tristan, dia lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sudah sejak tadi Tristan merasa gerah karena terus-terusan menggunakan setelan jas.
Setelah mandi Tristan mengenakan pakaian yang sudah disiapkan, Tristan sedikit terkejut karena pakaian yang disiapkan benar-benar pas di badannya, Kakek Subroto benar-benar mempersiapkan semuanya dengan baik. Setelah itu dia mengistirahatkan badannya di tempat tidur.
Sambil menatap langit-langit, Tristan kembali mengingat kejadian sebelum bertemu Tisya. Dua hari lalu Tristan baru saja bertunangan dengan cucu Kakek Subroto yang bernama Gea Kuncoro, ini merupakan hal yang disepakati kedua keluarga mereka, jadi acara itu merupakan kali pertama dia bertemu dengan tunangannya .
Gea memilik paras yang cantik, gadis yang berumur satu tahun lebih muda darinya itu memiliki sikap yang ramah, seperti yang tadi Tristan sampaikan kepada Kakek Subroto, jadi dia benar-benar jujur ketika menyampaikan hal tersebut.
Pada acara itu juga disepakati, jika Tristan akan menduduki posisi CEO dari salah satu perusahaan yang berada di bawah naungan Tirta Baskara Grup, saat itu terjadi mungkin Tristan akan menjadi salah satu CEO termuda di Indonesia yang memimpin perusahaan.
Keluarga Kuncoro milik Subroto sendiri merupakan pemilik saham kedua terbesar di Tirta Baskara Grup, setelah mengajukan permohonan kepada para pemegang saham, mereka menyepakati usulan jika calon menantu keluarga Kuncoro diberikan Posisi CEO di salah satu perusahaan di bawah naungan grup itu.
Untuk pernikahan sendiri belum diputuskan mengingat Tristan yang baru berumur 20 tahun dan Gea yang baru berumur 19 tahun, oleh karena itu mereka berdua akan tinggal secara terpisah sampai tanggal pernikahan mereka ditentukan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!