Desember 2019
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore saat aku baru saja selesai menyusun laporan, dan mengumpulkan data untuk mengikuti tender di kementrian.
Aku memutuskan untuk melihat handphoneku, karena sedari tadi, aku pasang nada sunyi.
Ada sebuah pesan masuk dari instagram messanger milikku, aku pun membukanya.
"Apa kabar", bunyi pesan singkat tersebut.
Aku lalu membuka foto profilnya, dan langsung merasakan senyum tipis disudut bibirku.
Aku tidak bisa berbohong bahwa aku cukup terkejut dengan pesan tersebut, mungkin bukan pesannya, tapi siapa pengirimnya.
Aku memilih untuk mengabaikan pesan tersebut dan kembali ke pekerjaanku.
Setelah aku menyelesaikan pekerjaanku dan kembali memasang nada bunyi, aku mendengar kembali ada pesan masuk.
"Kok nggak di bales", tulisnya lagi.
Akupun meraih handphoneku, dan mulai mengetik balasan, tapi tak lama aku langsung menghapusnya.
***
September 2008
Aku di sibukkan dengan tumpukan baju yang ada di tempat tidurku.
Aku berusaha memilih baju yang cocok untuk hari spesialku di hari ini.
Aku kemudian memutuskan untuk memakai kemeja warna biru dan celana putih.
Perkenalkan namaku Maira, dan aku berusia 18 tahun.
Hari ini merupakan hari yang sudah aku tunggu semenjak dua bulan terakhir.
Hari pertama aku secara resmi menjadi Mahasiswi Fakultas Ekonomi di salah satu Universitas swasta di jogja.
Hari pertama aku menjadi anak kampus, aku di antar ke kampus, oleh kakakku satu-satunya, namanya Alan.
Kak alan sendiri merupakan Mahasiswa Ilmu komunikasi Universitas Gajahmada, atau dia biasa menyingkatnya fisikom UGM.
Tahun ini adalah tahun ketiga kak alan di UGM.
"Maira, buruan", teriak kak alan dari luar.
"Iya sebentar", jawabku dari dalam kamar.
Aku lalu bergegas sebelum kak alan menjadi tambah marah.
Aku singgah sebentar ke dapur begitu melihat wanita cantik, yang biasa ku sebut ibu sedang memotong sayuran.
Aku pun memeluknya, dan mencium tangannya lalu pamit untuk berangkat kuliah.
"Lama banget sih", ujar kak alan sambil menggerutu.
Aku tidak membalasnya, dan langsung duduk di belakang sepeda motor baru milikku, yang kak alan kendarai.
Aku masih belum mahir membawa motor ini, jadi untuk sementara kak alan yang akan mengantarku, dan menjemputku pergi ke kampus.
Begitu sampai di kampus, kampus sudah tampak ramai oleh lalu lalang mahasiswa yang kuliah di pagi hari.
"Maira", teriak suara perempuan dari kejauhan.
Ternyata adalah suara dita, teman satu groupku saat aku menjalani orientasi, aku lalu berlari ke arahnya.
"Kamu di kelas apa", tanya dita ketika aku sudah ada di dekatnya.
"Kelas D, kalau kamu", jawabku pada dita.
"Sama, aku juga kelas D", teriak dita kegirangan.
Aku lalu mengajak dita ke kelas pertama kami, yaitu kelas pengenalan ekonomi, yang letak kelasnya ada di lantai dua gedung tiga.
Begitu kita sampai di kelas, kelas sudah berisi kurang lebih dua puluh mahasiswa.
Aku dan dita kemudian mencari tempat duduk yang masih kosong.
"Hai, ini kursi kosong nggak ya", tanya perempuan yang baru datang, dan menyapa kami, tak lama setelah kami menemukan baris tempat duduk yang masih kosong.
"Kosong kok", jawabku, sambil mempersilahkan dia untuk duduk.
Gadis yang baru duduk tersebut langsung memperkenalkan diri, yang ternyata bernama ayu.
"Kenalin aku maira, ini temanku dita", ujarku, memperkenalkan diriku dan dita ke ayu.
kami lalu berjabat tangan sambil bertukar cerita tentang asal kami.
"Wo sini", teriak ayu begitu melihat cowok berambut keriting, dan lumayan cakep, terlihat masuk ke dalam kelas.
"Wo kenalin ini maira sama dita", ujar ayu memperkenalkan kami saat cowok tersebut sudah duduk disamping ayu.
"Bowo", ujarnya, kemudian dia menjabat tanganku dan dita.
"Kita dulu satu group saat ospek", ujar ayu.
Tak lama, dosen masuk ke kelas dan memulai membuka kuliah kelas pertama kami.
Kami dengan seksama mendengarkan penjelasan dari dosen, dan mencatat arahannya.
Begitu kelas usai, ayu menawarkan aku dan dita bergabung dengannya dan bowo, untuk pergi ke kantin kampus.
Aku dan dita setuju, kami lalu mengikuti ayu ke arah kantin.
Sejak itu, kami menjadi sangat dekat, hanya mereka bertigalah orang yang cukup dekat denganku selama aku di kampus.
*
Hari-hari di kampus berjalan dengan sangat cepat, tanpa terasa sudah memasuki akhir semester satu.
Kami baru saja menyelesaikan ujian pertengahan semester.
"Liburan mau kemana", tanya dita.
"Nggak tau nih, kamu mau kemana dit", jawabku, sambil kembali bertanya pada dita.
"Aku mau pulang ke semarang, mau ikut nggak", ajak dita.
"Boleh", teriakku antusias.
"Aku sama bowo ikut juga", ujar ayu.
Kami langsung membuat rencana perjalanan, dan persiapan.
Kami sepakat untuk berangkat dua hari lagi, transportasi kita adalah motor mio dita, dan honda beat milik bowo.
"Ra kalau kamu minjem mobil kakak kamu bisa nggak", tanya dita, saat kita baru keluar dari gedung, dan menuju ke arah parkiran.
"Capek tau naik motor jauh", ujar dita lagi.
"Siapa yang nyetir", tanyaku.
"Kak alan", jawab dita dengan senyum lebarnya.
"Mana mau dia", ujarku pada dita.
"Ayolah coba di omongin dulu", pinta dita.
"Iya deh", jawabku pasrah.
Kita pun berpisah arah setelah percakapan tersebut, karena aku langsung pulang ke rumah, dengan motor vario milikku, yang sudah mahir aku kendarai.
Jarak rumahku, dua puluh menit dari kampus, tidak jauh, tapi juga tidak dekat.
Dita, ayu dan bowo pulang ke kosan mereka, yang letaknya ada di belakang kampus.
*
Begitu sampai di rumah, aku langsung mencari kakak kesayanganku, yang aku temuin kalau ada butuhnya saja.
Aku mengetuk pintu kamarnya, tapi tidak ada jawaban.
Saat kubuka pintunya, sosok wanita yang biasa kupanggil ibu menepuk bahuku dari belakang.
"Lagi ke warnet orangnya, lagi online sama pacarnya yang di surabaya itu", ujar ibu padaku.
Aku langsung berjalan gontai ke arah dapur, kemudian mencari minuman favoritku di kulkas.
Senyum langsung menghiasi wajahku, saat aku menemukan stock teh pucuk harum yang cukup banyak di kulkas.
"Sampai jam berapa bu katanya", tanyaku sambil berjalan ke arah ibu yang sudah duduk di meja makan.
"Paling bentar lagi pulang", jawab ibu.
Tak lama, aku mendengar bunyi pagar dibuka, dan aku langsung berlari ke arah pintu keluar.
Aku melihat kak alan sedang berusaha membuka pintu pagar, aku lalu mendekat untuk membantunya.
"Mau apa", tanya kak alan dengan sedikit ketus padaku.
"Dih sama adiknya kok jahat", jawabku protes.
"Iya deh maaf, soalnya kalau kamu berbuat baik pasti ada udang dibaliknya", ujar kak alan.
Aku mengikuti kak alan yang berjalan masuk ke dalam rumah, kemudian dia mengucap salam, menghampiri ibu, dan mencium tangan ibu.
Dia lalu duduk di sofa di ruang tengah, dan menyalakan televisi.
Aku kemudian duduk disamping kak alan, dan menawarkan sebotol teh manis dingin yang sudah aku pegang sejak tadi.
"Kak rabu setirin ke semarang ya", pintaku ke kak alan, dengan berusaha terdengar semanis mungkin.
"Semarang", jawabnya sedikit kencang dengan tanda tanya di wajahnya, sambil melihat ke arahku.
"Dalam rangka apa", tanyanya lagi.
"Main ke rumah dita, liburan semester", jawabku, sambil tersenyum manis.
"Bukannya kamu udah janji untuk ke rumah uti ya liburan semester ini", ujar kak alan.
Aku kemudian teringat janji yang aku berikan ke uti minggu lalu.
"Ya ampun lupa kak", ujarku terkejut.
"Aduh gimana dong", ujarku lagi.
"Kalau janji harus di tepatin loh ra", ujar ibu.
"Tapi aku janji sama dita juga bu", jawabku pada ibu.
"Tapi kamu janji sama uti duluan", jawab kak alan.
Aku lalu menelvon dita untuk meminta maaf karena harus membatalkan janji kami.
***
***
Ini adalah minggu keduaku di rumah nenek dari pihak ayah, atau biasa kami menyebutnya uti.
Kegiatanku di pagi hari setelah bersih-bersih rumah adalah bersantai di sofa, menyalakan televisi, dan bermain dengan Blackberryku.
Membalas BBM atau bermain twitter dan Facebook.
BBM itu singkatan dari blackberry messanger.
Aku melihat foto-foto terbaru teman kuliahku di liburan mereka, termasuk foto dita yang sedang menjemput adiknya sekolah.
Umumnya foto-foto tersebut mereka bagikan di facebook.
Tentu saja aku langsung meminta maaf pada dita, ayu dan bowo karena harus membatalkan janji dengan mereka.
Meski aku langsung meminta maaf, setelah percakapanku dengan kak alan dan ibu, tapi dita masih sedih karena aku tidak ikut pergi bersama ayu dan bowo ke rumah dia di semarang.
Aku deskripsikan sekilas mengenai suasana rumah liburanku, atau rumah uti yang merupakan ibu dari ayah.
Rumah uti itu hampir seluruh bangunan konstruksinya terbuat dari kayu.
Meski rumah uti sudah berusia sangat tua, tapi penghuninya merawat rumah ini dengan baik.
Halaman depan rumah uti sangat luas, begitupun dengan halaman belakangnya.
Halaman belakang atau kebun belakang, penuh dengan pepohonan, dan tidak ketinggalan kandang kambing dan sapi yang berjejer di samping halaman belakang.
Aku tidak sendiri pergi ke rumah uti, kak alan yang merupakan mahasiswa tingkat tiga ikut menemaniku.
Pergi ke rumah uti saat libur kuliah, atau libur sekolah dulu, sudah menjadi rutinitas wajib yang kujalani bersama kak alan.
Rumah uti ada di kulonprogo, atau biasa kita sebut westprog.
Meski rumah uti sangat jauh dari rumah kami, ayah dan ibu selalu menjenguk uti hampir setiap akhir pekan.
Sementara aku dan kak alan, seringnya berkunjung hanya saat libura panjang.
Hal seru lainnya dari rumah uti ialah, jarak pantai dari rumah uti hanya sekitar sepuluh menit berkendara dengan motor, dan hal itu membuat aku sangat betah di rumah uti.
Pantainya pun masih alami, dan masih sepi, jadi aku yang anak senja, tentu sangat menikmati merenung dipinggir pantai, sambil melihat matahari terbenam.
Saat kami kecil, orang tua kami masih tinggal dengan uti dan akung, biasanya sore-sore ayah selalu mengajak aku dan kak alan ke pantai.
Kak alan bermain layangan dengan teman sebayanya, aku dan ayah memilih untuk mencari kerang.
Aku dibesarkan dilingkungan keluarga yang sangat harmonis dan sederhana. Ayahku merupakan pegawai negeri sipil, sementara ibu dulunya adalah penulis surat kabar, tapi sekarang ibu lebih memilih untuk menjadi full time ibu rumah tangga.
Ayahku cukup tegas padaku dan kak alan, terutama soal moral dan etika.
Meski ayah tegas dengan kami, tapi ayah selalu mendukung apapun keputusan positif yang kami buat.
Ayah sering menceritakan pertemuan dia dengan ibu saat mereka masih mahasiswa.
Aku dan kak alan sampai hafal cerita tersebut, karena selalu diulang setiap ada kesempatan.
Ayah merupakan anak dari seorang nelayan, dan ibu adalah putri tunggal dari dekan di salah satu kampus favorit di jogja.
Mereka mulai menjalin kasih, saat Ibu sudah menjadi mahasiswa tingkat tiga, sementara ayah, ayah merupakan mahasiswa baru.
Menurut ayah, dia sendiri kurang percaya diri untuk mendekati ibu saat itu.
Ayah kemudian menawarkan diri untuk menjadi teman ibu terlebih dahulu, dan secara perlahan, ayah mencuri hati ibu tanpa ibu sadari.
Mereka langsung menikah begitu ayah menyelesaikan kuliahnya dan wisuda.
Menurut ayah, mereka menikah secara nekat, karena saat itu ayah belum punya pekerjaan, dan hal itu yang ayah garis bawahi untuk tidak diikuti oleh aku dan juga kak alan.
Ayah selalu berharap bahwa anak-anaknya tetap mandiri secara finansial, meski suatu saat nanti kami sudah memilih untuk berkeluarga.
Terutama kak alan, ayah selalu menasehati kak alan, bahwa kelak nanti dia akan memiliki tanggung jawab yang cukup berat sebagai kepala keluarga, jadi memiliki penghasilan adalah hal yang wajib.
Ayah juga selalu bilang padaku, menjadi independent itu adalah anugerah yang tidak boleh kita lewatkan.
Setelah menikah, ayah memutuskan untuk membawa ibu tinggal bersama akung dan uti di kulonprogo.
Ayah menghidupi ibu dengan membantu akung melaut, sambil menunggu panggilan kerja, sementara ibu bekerja di surat kabar lokal.
Ibu sendiri tidak masalah kalau keuangan mereka dulu tidak stabil.
Ayah dan ibu juga baru memutuskan untuk menambah anggota keluarga, setelah ayah diterima sebagai pegawai negeri sipil, dan kak alan lahir tepat satu tahun, setelah ayah berhasil menjadi pegawai negeri.
Ayah dan ibu tinggal di kulonprogo selama lima tahun.
Ayah kemudian di pindah tugaskan di kodya, dan menetaplah ayah di jalan kaliurang sampai sekarang.
Akung meninggal tiga tahun lalu, jadi uti tinggal sendiri, tapi ayah tidak terlalu khawatir, karena tante wulan dan keluarganya tinggal disebelah rumah uti.
Tante wulan adalah adik bungsu ayah.
Ayah merupakan anak kedua dari lima bersaudara, ayah memiliki kakak yang bernama tante hesti, tapi tante hesti memilih untuk mengikuti suaminya yang bekerja di batam.
Sementara om raka, tante ninik, dan tante wulan masih tinggal di satu desa yang sama dengan uti sampai sekarang.
Kegiatanku di rumah uti tidak banyak, seringnya hanya bersantai, atau memetik buah yang sudah matang di kebun belakang, kemudian pergi ke pantai sorenya.
Perempuan sebayaku di desa ini, pada umumnya merantau, atau menikah dini, jadi aku tidak memiliki teman sebaya sama sekali di desa ini untuk berbagi cerita.
Satu-satunya teman yang biasa ku ajak curhat disini, hanya wina, sepupuku yang masih SMP.
"Ra bantuin tante masak yuk", ajak tante wulan padaku, yang membuat lamunanku jadi buyar.
"Mau masak apa tante", tanyaku, sambil melihat pesan yang masuk di Blackberryku.
"Alan minta di masakin ikan balado", jawab tante wulan.
Akupun meletakan Blackberryku di meja, lalu mengikuti tante wulan ke dapur.
"Kak alan kemana ya tante", tanyaku ke tante wulan, sambil mengupas bawang.
"Lagi kerumah dek bintang", jawab tante wulan.
Dek bintang itu anak om raka yang baru berusia satu tahun.
"Kalau wina pulang sekolah jam berapa biasanya", tanyaku lagi pada tante wulan.
"Wina jam lima nanti baru pulang", jawab tante wulan.
"Sore amat tante", tanyaku.
"Iya mau main dulu katanya ke rumah indah", jawab tante wulan.
Aku kemudian mulai mendengar keluh kesah tante wulan soal wina anak semata wayangnya.
Menurut tante wulan, wina mulai meminta barang-barang yang mahal, terus cepat emosi, serta kerjanya hanya main terus.
"Maklum tante namanya remaja", jawabku pada tante wulan.
Tante wulan pun hanya menghelai nafas, kemudian memberiku instruksi untuk mulai membereskan cabe.
Kak alan pulang tepat waktu makan siang, dan persis saat kami baru selesai masak.
Kak alan masuk ke dapur dengan muka cengegesan, melihat semuanya siap santap.
Tante wulan kemudian menyuruh kak alan untuk menata meja, dan memanggil uti untuk makan bersama.
"Makan yang banyak le", ujar uti, sambil mengambilkan nasi untuk kak alan.
'Le' adalah sebutan untuk anak lanang, atau anak laki dalam bahasa jawa.
"Nggeh uti", jawab kak alan sopan.
'Nggeh' adalah iya dalam bahasa jawa.
kami pun mulai melahap satu persatu lauk yang ada di depan kami.
Selain ikan balado, ada juga menu wajib di meja makan, seperti tahu goreng dan tempe goreng, serta sayur kangkung yang tidak pernah ketinggalan.
Masakan tante wulan masih jadi favoritku dan kak alan sejauh ini.
Klaim tersebut tentu saja tanpa mendeskritkan kelihaian ibu memasak, tapi lidah tidak bisa bohong, apapun yang tante wulan masak pasti ludes.
Hal itu yang membuat tante wulan selalu menjadi bagian konsumsi, di setiap acara keluarga yang di selenggarakan.
"Uti, alan sama rara minggu depan pulang ya", ujar kak alan pada uti disela-sela makan.
"Kok cepat, baru juga kemaren dateng", ujar uti.
"Udah dua minggu uti, itu bukan kemaren", ujarku.
"Itulah uti kalau dijenguk cucunya, waktu jadi cepat berlalu ya uti", ujar tante wulan ke uti.
"Kalau kerumah uti itu dua bulan, atau tiga bulan, masa cuma sebentar aja", ujar uti sambil menggerutu.
"Liburan semester berapa lama kalian", tanya tante wulan ke kami.
"Sebulan tante tapi tugas belum ada yang di kerjakan", jawabku.
"kalau dua bulan disini ya nanti anak-anak nggak lulus uti", ujar tante wulan ke uti.
"Iya, nanti jadi mahasiswa abadi kalau libur terus", sautku, kemudian disambut oleh tawa tante wulan.
"Kamu nggak nemuin pacarmu lan", tanya tante wulan ke kak alan.
"Minggu depan tante", jawab kak alan.
Kami kemudian melanjutkan makan sambil mendengar tante wulan bergurau, dan menggoda kak alan, soal uti yang menanyakan kapan kak alan akan menikahi pacarnya.
Percakapan kami saat di rumah uti, sepenuhnya selalu menggunakan bahasa jawa.
Selesai makan, aku memilih untuk duduk di ayunan yang terbuat dari jala, yang terpasang dilangit-langit teras rumah.
Biasanya ayunan ini di gunakan oleh bintang saat main ke rumah uti, tapi semoga saja kuat dan tidak jebol saat aku duduk disini.
Rumah uti itu selalu nyaman dan sunyi, seperti tempat yang tepat untuk refleksi diri.
*
Tiga minggu berlalu tanpa jeda, aku dan kak alan akhirnya pamit untuk pulang ke rumah.
Begitu sampai rumah, aku dengan sigap, langsung menyelesaikan tugasku selama lima hari.
Sisa liburan semester yang tersisa dua hari, aku memilih untuk menghabiskan waktu berkumpul dengan sahabat-sahabatku.
Mia, kiki, nia, dan rani, mereka satu sekolah denganku di SMA.
Aku langsung dekat dengan mereka begitu kami mulai orientasi di hari ketiga.
Aku mengenal mereka semua dari SMA, kecuali kiki.
Kiki merupakan sahabatku dari sekolah dasar, dan kita juga tinggal di satu lingkungan.
Rumah kiki lokasinya di depan rumah nenek dan kakekku.
Kiki hanya tinggal dengan kakeknya, sementara orang tua kiki tinggal di kalimantan.
Rumah kiki merupakan basecamp kami, kami selalu kumpul di rumah kiki sepulang sekolah dulu.
Bahkan sampai sekarang, kami juga masih kumpul di rumah kiki, meski kita semua sudah kuliah di universitas yang berbeda.
Kakek kiki hampir setiap hari di rumah, kami memang terbiasa keluar masuk rumahnya, seolah-olah seperti rumah kami sendiri.
Kakek memaklumi hal tersebut, dan tidak keberatan, asal kami menjaga sopan santun kami.
Kakek juga sering mengutarakan, kalau dia senang saat kami berkumpul, karena rumah jadi ramai oleh tawa kami.
***
***
Aku sudah menyelesaikan semua tugas semesterku, dan rencananya, aku akan meminta ijin pada ibu untuk pergi ke rumah kiki, untuk kumpul dengan para sahabatku, lalu pergi ke mall.
"Ibu, rara main sama kiki ya", ijinku pada ibu yang sedang menonton televisi.
"Bawa kue yang ada di meja, kasih ke kakek, sama pulangnya mampir kerumah nenek ambil titipan ibu", jawab ibu, sambil memberiku tugas.
"Tapi rara pulang sore bu", ujarku pada ibu.
"Yaudah nanti ibu ambil sendiri", jawab ibu yang masih belum mengalihkan tatapannya dari televisi.
Aku mengambil satu box kue yang ada di atas meja makan, lalu berjalan keluar, seusai mencium pipi ibu.
Setelah berjalan kurang dari satu menit, sampailah aku di rumah kiki.
Terlihat beberapa sandal yang sangat familiar di mataku, sudah berjejer di pintu masuk.
Aku masuk ke dalam rumah, dan mengucap salam, lalu memberikan kue ditanganku ke kakek yang sedang duduk di meja makan.
Setelah berbincang sebentar dengan kakek, aku langsung bergegas masuk ke kamar kiki.
Sesuai dugaanku, semua sahabatku sudah berkumpul.
Belum semua sih, masih ada satu yang telat seperti biasa.
"Nggak bawa jajan", tanya mia padaku saat aku membuka pintu kamar kiki, dan mia melihat tanganku yang kosong.
"Bawa kue kok, aku taruh di meja makan", jawabku, sambil menunjuk arah dapur.
Mia hanya memutar bola matanya, lalu pergi ke dapur, dan kembali dengan beberapa kue di tangannya.
Aku memutuskan untuk duduk di tempat tidur kiki, yang hanya ada nia dengan komik di tangannya.
Mia dan kiki duduk di karpet dengan kesibukan mereka masing-masing.
Kamar kiki cukup luas, begitu kita masuk ke dalam kamar, kita bisa melihat kasur dengan size queen yang ada di ujung tembok di bawah jendela.
Kemudian ada lemari baju kiki yang terletak persis di samping pintu masuk kamar, dan ada meja belajar di sebelah tempat tidur, serta karpet dengan ukuran yang cukup lebar untuk kami berlima duduk, atau tergeletak.
"Komik baru", tanyaku pada nia yang terlihat serius membaca komik ditangannya.
"Iya, ini komik diva, aku sewa lima volume", jawab nia.
"Udah selesai semua", tanyaku lagi.
"Baru sampe volume tiga", jawab nia dengan malas.
Kulihat mia sedang membaca komik diva volume pertama, dan kiki memilih untuk membaca majalah.
Majalah yang kiki baca, adalah majalah gadis sudah menjadi langganan kiki sejak kiki duduk di bangku kelas dua SMP.
Majalah gadis juga merupakan salah satu majalah favorit gadis-gadis di SMA kami.
Setiap kali kiki ke sekolah dengan membawa majalah gadis, teman-teman selalu antre untuk meminjam.
Tumpukan majalah gadis dari berbagai edisi, juga ada di kamar kiki, tertumpuk rapi di bawah meja belajar.
"Mau aku ramalin pakai tarot nggak", tanya kiki sambil melihat ke arahku.
Aku pun langsung turun dari tempat tidur dan duduk disamping kiki.
Ternyata majalah gadis edisi minggu ini, dilengkapi dengan bonus kartu tarot.
Kikipun langsung mengikuti arahan dari majalah gadis saat berusaha meramalku.
Cara kerjanya cukup sederhana, aku tinggal memilih kartu secara acak, setelahnya, kiki akan membacakan hasil dari kartu yang kupilih, sesuai dengan jawaban yang ada di lembar majalah gadis.
"Wah kamu masih terjebak di masa lalu nih", ujar kiki padaku, setelah dia melihat jawaban dari kartu ketiga yang kupilih.
Mia dan nia yang terlihat penasaran, langsung bergeser ke arah kami.
"Sama siapa, reyhan yang anak rohis itu", tanya mia.
Aku langsung melihat ke arah mia dengan mengerutkan dahiku.
"Bukan", tanya mia dengan matanya yang terbuka lebar.
"Aku sama reyhan cuma temen", jawabku tegas.
"Tapi dia suka sama kamu", ujar mia padaku dengan senyum lebarnya.
"Enggak tuh kata reyhan, kan aku pernah nanya", jawabku.
"Masa sih, orang reyhan waktu kita tanya bilangnya iya kok, ya kan ki", ujar mia sambil melihat ke arah kiki untuk mencari dukungan.
"Ngomong-ngomong reyhan kuliah dimana ra", tanya nia.
"Di fakultas ilmu komputer", jawabku.
"Satu kampus sama kamu ra", tanya mia.
"Iya tapi beda lokasi kampusnya", jawabku.
Reyhan memang salah satu teman dekatku, dia satu kelas dengan kami saat SMA.
Semua teman-teman mengira kami pacaran, karena kami sering bersama, tapi aku dan reyhan selalu menyangkal, setiap pertanyaan itu muncul.
Aku sendiri punya pacar saat aku duduk di kelas dua sekolah menengah atas, atau biasa kita singkat SMA.
Kami beda sekolah, dia di SMA enam, dan aku di SMA sebelas.
Sigit namanya, hubungan kita kandas setelah tiga bulan.
Mungkin karena perasaanku untuknya adalah perasaan yang didasari karena faktor wajahnya yang tampan, sementara perasaan dia untuk aku, hanyalah sekedar perasaan suka yang umumnya terjadi saat remaja.
Aku memutuskan hubunganku dengan sigit, setelah aku mengetahui kalau dia pergi ke mall dengan perempuan lain.
"Atau kamu masih belum ngelupain sigit ra", tanya mia menggodaku.
"Sigit yang sok ke gantengan itu", tanya nia ke mia.
"Sigit mah udah lewat", jawabku santai.
"Sigit mah tiap bulan pacarnya baru", ujar nia menambahi.
Memang tidak ada satupun dari sahabatku yang menyukai sigit, karena bagi mereka sigit itu suka tebar pesona, tapi setelah kupikir-pikir, mereka ada benarnya juga.
Meski kami tidak begitu percaya dengan ramalan, tapi kadang kami percaya, kalau ada hal-hal yang familiar, atau hasil ramalannya bagus.
Kalau hasilnya jelek, kita selalu beranggapan bahwa itu musrik, tidak perlu dipercaya.
Kiki kemudian meramal nia dan mia setelahku.
Tidak ada hal yang menarik dari jawaban kartu yang nia pilih, mungkin karena nia belum pernah pacaran saat SMA, jadi tidak ada banyak hal yang bisa dibahas.
Sementara mia, mia masih memiliki hubungan yang sangat baik dengan seto, pacarnya dari sekolah menengah pertama, sekaligus tetangganya.
Jawaban ramalan kartu yang di pilih mia dan nia hanya hal-hal general.
Kiki sendiri, entahlah, mungkin belum ada pria yang menurutnya cukup baik untuk dia miliki.
"Rani kemana ya kok lama banget", ujar mia, mulai protes.
"Coba aku bbm", ujar nia.
kami memang janjian untuk pergi ke Ambarukmo Plaza hari ini.
Selain ingin menonton film terbaru, kita juga sekalian mau makan siang disana.
Mia dan nia sudah di rumah kiki dari jam sembilan pagi, sementar aku, baru dateng tiga puluh menit setelahnya.
Tak lama, rani terlihat memasuki kamar kiki, dengan hanya separuh tubuhnya.
"Ayo cao guys", ajak rani, ketika membuka pintu kamar kiki, dengan helm motor miliknya yang masih menempel dikepala.
"Kamu telat satu jam rani", ujar mia komplain.
Mia memang paling cerewet di antara kami, dan tentu saja yang paling tepat waktu, kiki yang paling berani di antara kami, dan nia adalah yang paling pendiam, sementara aku dan rani merupakan tipe rata-rata.
Setelah pamit dengan kakek, kami langsung berangkat ke Ambarukmo dengan mobil nia.
Nia memang salah satu yang paling kaya di antara kami.
Rumahnya nia di salah satu perumahan paling mewah di jogja.
Dia hanya tinggal dengan ibunya di jogja, sementara ayahnya tinggal di jakarta.
Ayah nia merupakan direktur di salah satu perusahaan BUMN di jakarta.
Entah kenapa nia dan ibunya memutuskan untuk tinggal di jogja, tanpa ayah nia.
Kita juga tidak ingin mengganggu nia dengan banyak pertanyaan, jadi kita hanya berfikir kalau nia dan ibunya, lebih nyaman tinggal di jogja.
Karaoke masih menjadi kegiatan favorit kami, saat kami di perjalanan, atau kegiatan favorit kami kedua adalah, bercanda sambil mencela hal-hal remeh satu sama lain.
Rani duduk disamping nia, sementara aku, kiki dan mia di belakang.
"Ada yang mau ikutan masuk organisasiku nggak", tanya kiki tiba-tiba, setelah dia membaca pesannya.
"Organisasi apa", tanya rani penasaran.
"Organisasi sesat ya", tanya mia dengan muka datar.
"Bukan mia, ini tuh perkumpulan mahasiswa biasa", jawab kiki di depan muka mia.
"Namanya apa ki", tanyaku pada kiki.
Kiki kemudian menjelaskan organisasi yang kiki maksud, yang ternyata merupakan perkumpulan anak-anak pemilik motor vario.
Kiki mendapatkan undangan untuk bergabung dari broadcast BBM yang dikirim oleh teman kampus kiki, yang bernama susi.
Nia, mia dan rani langsung tereliminasi karena tidak memenuhi syarat.
Hanya aku yang memenuhi syarat, karena kebetulan motorku memang vario.
Aku mendapat motor itu dari kakek, kakek belikan untukku sebagai hadiah karena aku berhasil lulus dari SMA.
Saat kami tanya soal jumlah anggotanya, kiki tidak tahu, karena susi tidak menjelaskan secara rinci.
Kegiatan umum dari organisasi tersebut adalah berkumpul di graha saba pramana atau GSP, setiap hari sabtu jam delapan malam.
Kegiatan pokoknya adalah touring keluar kota setiap libur semester.
"kamu ikut ya ra", pinta kiki.
"Nemenin aku", ujar kiki lagi.
"Tapi aku males ah kalau harus kumpul setiap sabtu", jawabku.
"Nggak aktif juga gak papa kok, ikut ya ra, biar kalau touring aku ada temennya", ujar kiki berusaha membujukku.
Aku mengiyakan dengan berat hati, dan kiki langsung kembali sibuk dengan Blackberry miliknya.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!