Mamaku Hantu
Part 1
"Kan kemarin udah Kakak yang di depan. Sekarang giliran aku!"
"Anak kecil kayak kamu tuh, cocoknya di belakang! Sekalian noh duduknya pakai baby car seat!"
"Eleh! Lahir duluan dua tahun dari aku aja gayanya kayak tua bangka!"
Sena menarik kunciran rambut Senja dengan keras hingga membuat kakak perempuannya terjengkang ke belakang. Dengan begitu Sena lebih leluasa membuka pintu mobil untuk penumpang bagian depan.
Belum sempat Sena memasuki dalam mobil, Senja dengan gesit menarik kening adiknya dari belakang hingga menyebabkan kepala mendongak.
Sena segera berbalik hendak meraih apapun bagian tubuh Senja.
Senja berlari dengan cepat kemudian membuka pintu bagian kemudi dan berhasil duduk. Dalam hitungan sepersekian detik, tangannya segera menekan tombol kunci. Sena berulang kali menarik knop pintu, namun gagal.
Wajahnya merah menahan amarah. Kemudian menangis.
Selalu begitu.
Tiga bulan lalu, aku masih bersama mereka, kehidupan teratur anak-anakku. Kini, mereka dipaksa oleh kehidupan untuk mandiri dan tentu saja menyembuhkan luka dihati lembut mereka.
***
"Pa, anak-anak ngajakin liburan minggu depan." Ucapku kepada suami tercinta di tempat pembaringan. Tentu saja tercinta.
Bagi Nugraha adalah suamiku satu-satunya dan akan selamanya begitu. Pekerjaannya sebagai Aparat Sipil Negara telah menjabat sebagai orang tertinggi nomor tiga dalam perwakilan tiap provinsi. Walaupun masih memiliki dua atasan, tanggung jawab Bagi terbilang riskan, yaitu, sebagai pengendali teknis. Segala pekerjaan di lapangan yang bernaung di lembaga keuangan negara, harus melalui pengamatannya tanpa kecuali. Bagi lah yang memberikan penilaian kepada tim bawahannya, apakah pekerjaan mereka layak atau tidak.
Walaupun tanda tangan suamiku tidak terlalu diperlukan di sini, namun, dia termasuk orang penting di lembaga ini.
Tentu saja dengan tanggung jawabnya yang tinggi, wajarlah diberikan hak sampai dengan menyentuh angka tiga puluh juta setiap bulannya. Nominal itu sudah termasuk gaji pokok, tunjangan, dan uang jabatan. Terlebih lagi, aku merasa sangat beruntung karena memiliki suami sebagai Aparat Sipil Negara, karena dia mendapatkan gaji sebanyak empat belas kali selama satu tahun.
"Baiknya ajak mereka kemana, Ma?" Sahut suamiku dengan tangan yang terkunci memeluk pinggangku, bersiap untuk membuai mimpi.
"Kalau ke hutan tropis gimana, Pa? Nanti biar mereka tahu tentang alam. Ada kebun stroberi juga loh di sana. Bisa petik langsung terus dibikinkan jus. Pasti mereka akan senang sekali."
"Iya, nanti Mama atur saja baiknya gimana."
Percakapan kami terhenti karena Sena menerobos masuk ke kamar.
"Ma, Sena bobo di sini, boleh?"
Sena merangkak naik ke tempat tidur dan menggapaiku.
"Kenapa? Sena enggak bisa bobo? Mama temenin di kamar Sena, ya?"
Sena menggangguk seraya mengucek mata indah nan beningnya.
Sena Manggala Nugraha, putra tampanku yang baik dan tulus hatinya, akan selalu menjadi bayi dimataku walaupun sembilan tahun usianya kini.
"Ma, Sena sayang banget sama Mama. Sena enggak bisa membayangkan kalau Mama harus jauh dari Sena."
Aku terenyuh dengan perkataan bayi yang tingginya hampir setara dadaku.
"Mama juga mana bisa jauh dari anak Mama yang baik ini. Mama selalu memohon sama Tuhan untuk ngejaga anak-anak Mama. Terutama kalau Mama lagi enggak ada disekitar kalian. Sena janji sama Mama untuk sehat selalu ya." Kubelai rambutnya, pipinya, tangannya. Kebahagiaanku, semangatku, harapanku, dan juga ketakutanku.
Sena mengangguk lalu matanya terpejam.
Kusesali, belaian malam itu, menjadi belaian terakhir.
Bungsuku, sehatlah selalu, bahagialah selalu. Dulu aku menyayangimu setiap waktu. Kini, aku akan merindukanmu setiap waktu.
***
Agia Mentari memulai harinya sebagai ibu rumah tangga dengan mempersiapkan sarapan ringan untuk suami dan anak-anaknya.
Suaminya biasa menikmati nasi dan jus segar. Setiap harinya Agia akan mempersiapkan menu yang berbeda. Entah nasi goreng, atau nasi kuning yang dibelinya dekat rumah, bahkan jika memungkinkan, Agia akan memasak lauk lengkap untuk sarapan suaminya.
Sementara anak-anak memilih sarapan roti dan susu sebelum sekolah. Sekolah pilihan orang tua mereka sudah menyiapkan makanan sesuai dengan anjuran ahli gizi. Jadi, Agia tidak perlu terlalu banyak menghabiskan waktu untuk berkutat di dapur pada pagi hari.
Seperti hari ini, Agia hanya memasak nasi goreng telur untuk dirinya dan suami. Sementara anak-anak hanya roti bakar cokelat dan susu vanila segar.
Agia juga tidak segera membersihkan sisa sarapan. Dirinya harus bergegas mengantarkan anak-anak ke sekolah yang menghabiskan waktu sekitar empat puluh menit dari rumah.
Dengan bantuan Bagi untuk memanaskan mesin mobil, Agia menyempatkan diri untuk mengganti pakaiannya.
“Pa, kenapa sih mobil itu harus dipanasi sebelum dipakai?” Sena yang sudah siap berangkat ke sekolah, lengkap dengan atribut seperti seragam dan sepatu, bertanya kepada Bagi. Sementara untuk tas sekolah sudah diletakkannya langsung di dalam mobil.
“Iya dong! Di dalam mobil itu kan ada oli. Kalau mesin mobil tidak dipanaskan, nanti sirkulasi oli tidak merata. Lalu komponen-komponen di dalam mesin yang tidak tersentuh oli akan cepat rusak.” Sahut Bagi menerangkan dengan bahasa sederhana untuk anak bungsunya itu, sambil tetap menyapukan kedua mobil agar tidak berdebu dengan kemoceng.
“Lagi pula, dari kemarin sore mobilnya kan tidak dipakai. Jadi keadaan mesin dingin. Sebelum digunakan, lebih bagus dipanaskan dulu. Sama kayak Sena. Memangnya kalau baru bangun langsung lari-lari? Kan enggak. Baru bangun biasanya Sena duduk dulu sambil manyun. Terus kedip-kedip mata yang belekan. Sudah gitu peregangan. Baru deh berdiri dan keluar kamar. Ya, enggak?” Bagi melanjutkan lagi penuturannya agar Sena mengerti.
Sena hanya menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti bahwa mobil sama seperti tubuhnya.
“Kamu mau tahu enggak cara manasin mobil biar cepat?” Senja tiba-tiba berada di samping Sena yang sedang berdiri menonton Papanya mempersiapkan kendaraan untuk keluarga.
Sena menunggu Senja menjelaskan cara praktis agar mobil cepat panas seperti sarannya barusan.
Bagi menghentikan kegiatannya dan melihat anak sulung yang kini terlihat semakin cantik.
“Nih, gini caranya!” Senja mendekat ke arah mobil Mamanya yang berwarna putih.
“Woi! Mobil jelek! Lo enggak lihat apa? Itu mobil tetangga udah pada keren-keren atapnya bisa kebuka dan ketutup. Lo sampai kapan mau jadi mobil buluk macam ini? Ah! Cemen lo mobil!” Ucap Senja ditutup dengan sodoran ibu jarinya menghadap bawah kepada kereta besi berroda empat itu.
Bagi lalu tertawa terbahak-bahak mendengar gurauan Senja. Tidak dengan Sena. Dia memicingkan mata ke arah kakak satu-satunya itu dengan bibir terkatup rapat.
“Kakak kira mobil kita bisa tersinggung gitu, kalau dikata-katain begitu?”
“Lah! Kan kali aja dia tersinggung, terus bisa panas sendiri gitu!” Senja membuka pintu penumpang bagian belakang lalu meletakkan tasnya di sana.
Bagi kemudian memundurkan mobil dinas, fasilitas yang diberikan oleh negara untuknya terlebih dahulu agar keluar dari garasi. Kemudian dia melanjutkan untuk memundurkan mobil keluarga yang akan dikendarai oleh Agia dengan tujuan ke sekolah.
“Ada yang tertinggal, enggak? Mama kunci ya pintunya.” Agia muncul di teras dengan penampilan santai. Celana kulot selutut berwarna cokelat dan blouse sederhana berwarna putih. Agia juga melengkapi penampilannya dengan tas selempang kecil dan sandal jepit gaya mengikuti zaman.
“Aman, Ma.” Senja menyahut dari dalam mobil yang kaca jendelanya terbuka lebar.
Dengan sigap Agia mengunci pintu rumah dan berjalan menuju gerbang.
Bagi telah menempati posisi di kursi kemudi mobil dinasnya dan berpamitan kepada istri juga anak-anaknya.
“Papa berangkat duluan, ya. Kalian hati-hati ke sekolah.”
“Iya, Pa. Hati-hati juga, ya.” Sahut Sena yang masih berada di luar mobil sambil melambaikan tangan kepada Papanya.
“Bye, Papa.” Senja pun turut melambaikan tangan dengan kepala melongok dari jendela mobil agar pandangannya dapat menjangkau Papanya di belakang.
“Hati-hati, Pa.” Agia tidak lupa mengingatkan, bersamaan dengan tangannya yang mendorong pintu gerbang agar tertutup, lalu menguncinya dengan baik.
Sena segera berjalan menuju sisi berlawanan dengan Senja. Dirinya duduk di kursi penumpang bagian depan.
Agia pun segera menaiki kursi kemudi dan memasang safety belt atau sabuk pengaman. Dirinya kemudian melaju perlahan membelah lalu lintas pagi yang tidak terlalu ramai.
“Ma, nanti sore sepulang sekolah, kita mampir ke toko buku sebentar, boleh?” Senja membuka pembicaraan dengan izin agar diantarkan ke toko buku.
“Boleh. Mau cari apa, Kakak?”
“Kakak mau beli kamus Bahasa Inggris digital, Ma. Kemarin Kakak lihat diinternet, katanya di toko buku dekat sekolah jual yang begitu.”
“Oh, Mama waktu sekolah dulu juga pakai kamus digital itu. Praktis, Kak. Tinggal tekan-tekan eh muncul deh terjemahannya.”
“Kok Mama enggak pernah cerita ke Kakak?”
“Iya lupa Mama.” Agia tertawa renyah mendengar pertanyaan anak sulungnya yang mengandung protes.
“Sena boleh beli buku juga enggak, Ma?” Ucap Sena mencoba keberuntungan.
“Buku komik?” Tanya Senja.
“Iya. Boleh ya, Ma.”
“Jangan dikasih, Ma. Nanti dia enggak mau belajar.”
“Kan membaca, Ma. Mama bilang boleh baca apa saja, kan. Buku komik kan pasti dibaca, Ma.” Sena berusaha merayu Mamanya agar disetujui untuk membelikan buku komik.
“Iya, iya. Nanti Mama belikan buku komik.”
“Yes!” Sena mengepalkan tangan menunjukkan gaya seperti sedang meraih kemenangan. Sena pun menoleh ke belakang dan menjulurkan lidahnya kepada Senja.
Kurang dari empat puluh menit mereka tiba di sekolah. Berbagai topik mereka bahas selama perjalanan, hingga waktu yang ditempuh tidak terasa.
Senja dan Sena bergegas membuka pintu mobil dan berhamburan memasuki gerbang sekolah seraya melambaikan tangan kepada Mamanya.
Sebenarnya sekolah Senja dan Sena memiliki fasilitas antar jemput yang diberikan oleh sekolah. Tetapi, Agia lebih memilih untuk mengantar dan menjemput langsung agar dirinya lebih yakin bahwa anak-anaknya sampai sekolah dan pulang ke rumah dengan selamat. Lagi pula Agia merasa tidak memiliki kesibukan yang terlalu menyita waktunya.
Agia melirik pergelangan tangannya untuk memastikan penunjuk waktu itu tengah memperlihatkan angka berapa.
“Masih jam delapan kurang sepuluh menit.” Gumamnya seorang diri.
Agia memutuskan untuk mengunjungi pasar tradisional yang terletak dekat dengan sekolah anak-anaknya. Dia akan membeli kebutuhan dapur yang telah menipis, juga beberapa keperluan untuk persembahyangan.
Tidak perlu menghabiskan banyak waktu karena Agia memiliki langganan untuk mempermudah aktifitas belanjanya.
Setelah memasukkan belanjaan ke dalam bagasi mobil, Agia keluar dari parkir pasar yang dikenakan biaya sebesar dua ribu rupiah.
***
Agia tiba di rumah pukul sembilan lebih empat puluh menit. Sebelum memulai kegiatan memasak, dia terlebih dahulu membersihkan sisa sarapan pagi tadi dan meletakkan piring kotor ditempat pencucian.
Agia lalu mengganti pakaiannya sebelum memasak. Dia memutuskan untuk memasak ayam goreng mentega untuk anak-anak. Sambil memasak, Agia pun menyempatkan diri untuk menyapi dan mengepel lantai seluruh rumah.
Tanpa terasa sudah waktunya untuk menyemput anak-anak pulang sekolah. Agia bergegas mempersiapkan diri untuk menuntaskan kewajibannya sebagai supir pribadi anak-anak.
Agia bergegas mengunci pintu rumah dan menuju mobil di garasi. Agia menghidupkan mesin mobil, juga segera membuka pintu gerbang. Agia bersiap untuk mengendarai mobil untuk menjemput anak-anaknya.
Sebelum sampai masuk ke dalam mobil, tiba-tiba Agia berhenti dan mengatur keseimbangan tubuhnya. Dia terlihat memejamkan mata dikarenakan arah pandangnya bergoyang tidak stabil. Agia menahan rasa mual yang datang sangat sulit untuk ditahan. Bibir, lidah, dan juga tenggorokannya terasa panas. Persendian dirasakan mengendur tanpa tenaga. Beberapa detik kemudian Agia lunglai dan terjatuh tidak sadarkan diri.
***
Agia membuka mata karena mendengar suara dari alat yang berfungsi untuk mengukur dan merekam aktivitas listrik jantung atau yang sering disebut sebagai elektrokardiogram (EKG).
Dirinya mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Mengapa dia berada di rumah sakit? Infus terlihat menggantung di atas dengan selang kecil yang terhubung pada pergelangan tangannya. Agia lalu menoleh ke sebelah kanan. Bagi duduk dan memandang telepon genggam dengan kepala tertunduk. Lalu Agia memalingkan pandangannya ke sebelah kiri karena mendengar isakan tangis dari Senja. Putri sulungnya terlihat masih mengenakan seragam sekolah sedang menghapus air mata dengan menggunakan tisu.
“Kakak, kenapa nangis?” Agia membuka suara. Namun senja tidak menyahutinya.
Sena yang duduk di sebelah kakaknya memasang wajah penuh duka.
“Sena sayang. Kenapa mukanya begitu?” Sena pun bergeming seperti tidak mendengarkan pertanyaannya.
Agia tersadar ada yang tidak beres di sini.
“Pa. Papa!” Agia memanggil suaminya. Bagi pun terdiam tanpa merespon panggilannya.
Agia mulai panik dan beranjak bangkit dari tempat tidurnya. Suami dan anak-anaknya tetap tidak merespon. Agia memutuskan untuk bangun dengan kaki mengarah ke sebelah kiri.
“Senja, Sena. Mama ngomong kenapa kalian enggak menyahut? Enggak sopan kalau begitu.” Agia mencoba protes kepada anak-anaknya. Masih sama. Kedua pelajar itu seperti tidak menyadari keberadaan Agia.
Agia membalikkan tubuhnya menghadap Bagi.
“Pa. Lihat itu an…” Agia berhenti dan tertegun memandang tubuhnya sedang berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam.
***
Mamaku Hantu 2
Ibu Ragil berjalan menyusuri lorong rumah sakit tempat Agia dirawat. Terlihat dari kejauhan Senja dan Sena sedang duduk di depan kamar perawatan Agia. Ibu Ragil kemudian bergegas mendekat ke arah anak-anak Agia dan Bagi.
“Senja, Sena, bagaimana keadaan Mama kalian?” Ucap Ibu Ragil ketika berhasil sampai di depan Senja dan Sena. Seketika Senja dan Sena mendongakkan kepala melihat kedatangan Ibu Ragil.
“Tante, baru datang? Mama masih seperti kemarin, Tante.” Sahut Senja bernada sendu.
Ibu Ragil lalu meletakkan tubuhnya di sebelah Senja.
“Kalau boleh tahu, Mama kalian sakit apa?”
Senja menggeleng lemah, sedangkan Sena tidak tertarik untuk ikut serta dalam perbincangan tetangga dan kakaknya. Dia memilih menatap sepatunya dan menyimak percakapan antara kakak juga Ibu Ragil.
“Senja juga kurang tahu, Tante. Selama ini Mama cuma bilang sering mual. Awalnya sih kita mengira Mama mengalami maag. Tapi barusan dokter bilang kalau Mama kemungkinan besar terkena racun, Tante.”
Ibu Ragil membelalakkan matanya terkejut karena mendengar penuturan polos anak perempuan tetangganya.
“Racun? Racun apaan, Ja?” Ibu Ragil menegakkan tubuhnya dan mencoba mendengarkan serius apapun yang akan disampaikan oleh Senja.
“Dokter bilang tubuh Mama ada kandungan tanin yang berlebihan, Tante.”
“Tanin? Apaan itu?” Baru pertama kalo Ibu Ragil mendengar kata itu, bahkan bisa menyebabkan seseorang menjadi sakit.
“Senja juga kurang paham, Tante. Dari penjelasan dokter sih, tanin itu menganggu penyerapan zat besi dan bikin mual. Senja juga enggak ngerti maksudnya apaan.”
Ibu Ragil tidak menyahuti ucapan Senja.
“Tante boleh nengok ke dalam, Ja?”
“Boleh. Masuk aja. Di dalam ada Papa kok, Tante.”
Ibu Ragil menganggukkan kepala dan beranjak menuju kamar perawatan Agia.
***
“Sebenarnya bagaimana kejadian kemarin, Bu?” Bagi membuka pembicaraan dengan Ibu Ragil yang kini telah duduk di seberang Bagi, dibatasi oleh ranjang Agia.
“Saya kebetulan mau buang sampah di depan. Eh, Mama Senja pingsan di dekat garasi. Saya panik kemudian berteriak meminta tolong sama tetangga-tetangga yang lain. Untung saja gerbang rumahnya Papa Senja terbuka, jadi Mama Senja ketahuan sedang tidak baik-baik saja.” Ibu Ragil yang rumahnya berada tepat di depan rumah Bagi dan Agia bercerita antusias tentang kejadian kemarin sore.
Bagi hanya menganggukkan kepala mendengar penuturan dari Ibu Ragil.
“Oh iya, Papa Senja. Tadi saya dengar dari Senja. Apa benar Mama Senja meminum racun?” Ibu Ragil tidak dapat menahan dirinya untuk mencari tahu tentang informasi yang didapatnya dari Senja.
Bagi tersenyum kecil mendengar pertanyaan Ibu Ragil.
“Bukan meminum racun, Bu. Tapi ada kandungan senyawa yang tidak bisa diterima oleh tubuh Mamanya Senja. Jangan salah sangka ya, Bu.” Jelas Bagi pelan-pelan agar berita yang akan menyebar tidak salah.
“Iya benar. Kata Senja senyawa apa tadi ya? Tanin ya?”
“Benar, Bu. Biasanya senyawa ini ada di dalam tumbuhan. Misalnya seperti daun teh. Kebetulan istri saya senang minum teh. Tapi saya kurang yakin kalau teh yang menjadi penyebab Mamanya Senja tidak sadarkan diri.”
Ibu Ragil nampak tidak puas dengan penjelasan dari Bagi.
“Saya tiap hari ngeteh kok, Papa Senja. Tapi baik-baik saja. Apa jangan-jangan, ada yang berniat jahat kepada Mamanya Senja?”
Bagi masih melemparkan senyum tipisnya.
“Semoga enggak ya , Bu. Istri saya itu orang baik.”
***
Bagi memikirkan perkataan tetangga depan rumahnya itu dengan sedikit rasa kurang nyaman.
“Apa benar ada orang yang berniat menyakiti keluargaku?” Bagi berbicara sendiri setelah Ibu Ragil meninggalkan ruang perawatan.
Bagi merasa ada sedikit gundah dalam hatinya karena penjelasan dokter pun mengungkap tentang kandungan senyawa tanin yang berlebihan didalam tubuh istrinya. Senyawa tanin sendiri memiliki efek kurang baik dalam tubuh jika dikonsumsi berlebihan. Senyawa ini mampu menghambat penyerapan zat besi dan mengganggu sistem pencernaan. Jika senyawa ini tidak cocok dengan tubuh, pemilik tubuh akan merasakan mual dan terbakar pada bagian tubuh tertentu seperti rongga mulut dan tenggorokan.
Bagi memiliki ide untuk mengecek minuman apa saja yang disimpan istrinya di rumah.
Pintu ruang perawatan terbuka. Nampak Sena mendorong pintu perlahan karena takut membuat suara berisik, hingga mengganggu Mamanya.
“Pa, enggak makan?” Sena menanyakan Papanya dengan nada halus nyaris berbisik setelah dia berhasil duduk di sebelah Bagi.
“Papa belum lapar, Sena. Sena sudah makan bareng Kakak?”
“Sena juga enggak lapar, Pa. Sena kangen Mama.”
Bagi tersenyum lalu merengkuh putra bungsunya ke dalam pelukan erat.
“Papa juga kangen sekali sama Mama.”
“Ma…” Sena kini mengalihkan perhatiannya kepada Agia yang terbujur tak sadarkan diri.
“Mama, bangun dong, Ma. Sena kangen Mama.” Tanpa perlu diberikan komando, Sena menangis tersedu-sedu dalam pelukan Papanya.
Belum habis tangisan Sena, pintu ruang perawatan terbuka. Senja masuk bersama Silvia.
“Sena, kenapa nangis, Sayang?” Silvia mendekati Bagi dan Sena. Sena justru semakin mengeratkan pelukannya kepada Bagi. Tak ingin rasanya saat ini jika orang lain harus melihat Sena dalam keadaan terpuruk.
“Kangen sama Mama katanya.” Bagi berusaha tersenyum walau suaranya berubah lirih karena menahan tangisan melihat keadaan istrinya.
“Sena, mau ikut pulang bareng Tante Silvi, enggak?” Senja mengalihkan keadaan agar kembali stabil.
Sena kemudian keluar dari dekapan Papanya.
“Aku di sini aja, Kak. Siapa tahu Mama bangun.” Jawab Sena tanpa menoleh ke arah Kakak dan pegawai Mamanya itu.
“Sena Sayang, pulang dulu yuk. Istirahat dulu di rumah. Sekalian mandi dan ganti pakaian. Nanti Tante Silvi ajak kamu beli makan yang enak. Yuk?”
“Enggak usah, Tante. Sena di sini aja sama Papa. Tante sama Kakak aja.” Sena masih enggan menoleh ke arah Silvia.
“Kamu yakin?” Senja memastikan keinginan adiknya.
Sena lalu menganggukkan kepala.
“Kamu mau dibawain apa?” Senja berusaha mengorek sedikit keperluan yang diinginkan adiknya.
“Enggak usah bawa apa-apa, Kak.” Sahut Sena muram.
Senja tak kuasa menahan pedih hatinya melihat adik yang biasa sangat enerjik, kini tak berdaya bagaikan anak ayam tanpa induknya. Ringkih dengan tubuh tanpa otot.
“Ayo, Tante.” Ajak Senja dan bergegas membalikkan badan agar tidak ada yang melihat kesedihan yang dia rasakan.
“Tante pergi dulu ya, Sena, Kak Bagi.” Silvia berpamitan kepada Sena dan Bagi.
***
“Gimana keadaan toko, Tante?” Senja membuka pembicaraan di dalam mobil milik Silvia.
“Aman terkendali, Ja.” Sahut Silvia sambil tetap memegang kemudi dan mengarahkan mobilnya menuju rumah Bagi dan Agia.
“Senja minta tolong ya, Tante. Titip tokonya sebentar. Selama Mama belum sadar, Tante yang harus mengawasi.” Senja yang kini berusia sebelas tahun memohon bantuan kepada rekan kerja sekaligus sahabat Mamanya itu.
“Senja tenang saja ya. Tante pasti akan selalu ada untuk keluarga kalian. Tante sudah anggap Mamamu seperti kakak sendiri. Apapun yang terjadi, Tante pasti akan bantu kalian semaksimal mungkin.”
“Makasih banyak ya, Tante.”
“Sebelum ke rumah, kita mampir sebentar ke toko ya, Ja. Ada yang tante mau ambil sebentar.”
“Oke, Tante.”
Mobil Silvia kini berhenti di depan toko bunga berlantai dua. Agia menyewa sebuah ruko berlantai dua yang lumayan besar untuk usaha kecil dengan penghasilan mencapai sekitar sembilan puluh juta perbulan. Dengan bantuan empat orang pegawai, Agia berhasil mengembangkan toko bunganya yang diberi nama G Florist.
Agia memulai usaha ini saat teman-teman kuliahnya menghubungi agar bisa dibuatkan buket bunga, seperti yang dia berikan kepada beberapa kakak senior di kampus. Dengan bermaksud memberikan selamat atas kelulusan yang dilakukan oleh kakak senior, Agia membuat sendiri buket bunga sesuai kreatifitasnya.
Ternyata buket bunga cantik itu menjadi daya tarik bagi orang yang melihatnya. Agia mengeluarkan modal awal sebesar lima ratus ribu rupiah untuk membeli kain pembungkus dan beberapa bunga hias. Juga beberapa pita sebagai pelengkap desain cantik itu, agar genap menjadi delapan buket bunga sesuai pesanan.
Agia pun tidak menarifkan pesanan buket bunga segar dengan harga yang tinggi. Jika tempat lain memberikan harga dua ratus ribu hingga tiga ratus ribu rupiah, dia hanya meminta seratus ribu saja kepada teman-temannya.
Dengan harga yang terjangkau dan hasil yang bagus, buket bunga Agia mulai dikenal banyak orang.
Walaupun harus mengerjakan pesanan dibarengi dengan kuliah, Agia tidak merasa keberatan. Justru Agia sangat menikmati kegiatan yang mengasikkan itu.
Selepas masa perkuliahan, Agia memohon izin kepada orang tuanya untuk menyewa sebuah toko kecil agar tempat tinggal keluarganya tidak terus-menerus berantakan ulah kegiatan positif itu.
Tidak ada keraguan dalam diri Agia saat memutuskan untuk menekuni kegiatan yang menyenangkan ini. Bunga-bunga yang segar dan warna yang memikat, mampu memberikan rasa tenang dan nyaman pada diri Agia.
Kadang Bagi ikut serta dalam survey pemilihan pemasok bunga hias didaerah dataran tinggi dalam pulau juga luar pulau.
Berbagai jenis bunga dan tumbuhan lainnya mulai memenuhi relung hati dan pikiran Agia untuk dipelajari.
Lalu, kehidupan Agia berangsur berubah karena hadirnya Senja Titania Nugraha. Dia memutuskan untuk mengurangi kesibukan di G Florist agar bisa fokus dengan tumbuh kembang putri sulungnya. Bagi dan Agia tidak menyangka akan dianugrahi bayi mungil yang sangat cantik beberapa bulan setelah upacara pernikahannya. Kemudian Agia mengangkat salah satu pegawai terbaik untuk mengelola tempat usahanya.
Kemampuan Silvia Dalayanti dalam mengelola G Florist patut diapresiasi. Selama kepemimpinannya tiga bulan pertama, pemasukan meningkat sebanyak tiga puluh persen. Hingga kini, omset toko bunga sederhana milik Agia selalu stabil pada angka sembilan puluh juta rupiah. Walaupun beberapa kali mengalami penurunan, tidak menutup kemungkinan untuk meraih pemasukan melebihi seratus empat puluh juta rupiah dalam sebulan.
Hal-hal seperti ini biasa terjadi saat momen hari ibu, atau juga hari kasih sayang. Penghasilan G florist bisa mencapai pada angka dua puluh lima juta rupiah dalam satu hari.
Tentu saja mereka akan bekerja lima kali lipat lebih berat dari hari-hari biasanya. Agia pun tidak segan untuk memberikan bonus berlipat-lipat kepada semua pegawai atas kerja keras yang mereka lakukan.
Mamaku Hantu
Part 3
***
“Selamat pagi pejuang masa depan gemilang.” Silvia menyapa pegawai-pegawai yang sedang sibuk menyiapkan pesanan dari pelanggan.
“Pagi juga Ibu Bos baik hati yang seharusnya membawa jajanan pasar untuk makhluk mengerikan di dalam perut gue.” Rania menjawab sapaan Silvia dengan candaan.
Silvia menyerahkan bungkusan berisi jajanan pasar dan juga sarana sembahyang kepada Rania, lalu berjalan menuju tangga mengarah ke lantai dua.
“Ibu Bos kita ini emang yang terbaik.” Rania lalu mengalihkan pandangannya kepada Senja yang berjalan di belakang Silvia.
“Eh ada Senja. Bagaimana keadaan Mama?” Rania langsung menembak Senja dengan pertanyaan tentang Mamanya.
“Masih sama seperti kemarin, Tante.” Sahutnya singkat, tidak lupa menambahkan senyuman manis untuk pegawai Mamanya itu.
“Duduk sini, Senja.” Rania menepuk sofa nyaman yang memang sengaja diletakkan di tengah-tengah toko, untuk mempermudah pelanggan saat memilih model pesanan yang mereka inginkan.
Senja menuruti tawaran Rania.
“Gimana keadaan toko, Tante?” Senja mencoba membuka topik pembicaraan.
“Ada saja yang pesan bunga, Ja. Sudahlah, kamu jangan ikut pusing-pusing dengan urusan toko. Kamu harus jaga kondisi ya supaya tidak sakit.”
“Terima kasih, Tante. Minta bantuan doa untuk Mama supaya cepat sadar ya, Tante.”
Silvia kemudian muncul membawa pot berisikan bunga cantik berwarna ungu dengan daun hijau seperti semak belukar.
“Yuk, kita pulang, Ja.”
Senja lalu beranjak mengikuti Silvia.
“Mau ke rumah ya, Silvi?” Tanya Rania.
“Iya, ke rumah Mbak Agia. Antar Senja untuk mengambil beberapa keperluan untuk di rumah sakit.” Silvia menyahut dengan tangan tetap bergerak membuka bagasi mobil dan meletakkan pot bunga di dalam sana.
“Bunganya mau di bawa kemana, Sil?”
“Nanti mau gue antar ke pelanggan. Mau dipelihara di rumahnya sih katanya. Berhubung kita punya banyak, yang ini gue berikan saja.
***
Agia berdiri menatap suami dan anak bungsunya yang sedang berpelukan penuh kesedihan. Tak menyangka, bahwa suami dan anak-anak begitu mencintai dan menantikan kehadirannya.
Kemudian Senja dan Silvia masuk ke dalam ruang perawatan. Agia merasa sangat tersentuh melihat perhatian yang diberikan orang kepercayaannya itu kepada anak-anak dan suaminya.
Agia berharap semoga Silvia bisa mendampingi mereka sampai dirinya tersadar kembali. Mungkinkah Agia akan kembali seperti sedia kala? Ataukah dirinya akan meninggalkan suami dan anak-anak untuk selamanya?
Agia berjalan mengikuti Senja dan Silvia saat mereka meninggalkan ruang perawatan. Tapi sayang, Agia tidak bisa keluar dari ruang perawatan.
Agia merasa sangat tidak berguna.
“Pa, Sena enggak suka sama Tante Silvi.” Agia mendengar anak bungsunya menyampaikan keluhan kepada Bagi.
“Kenapa?” Bagi pun terlihat tertarik dengan keluhan yang disampaikan Sena.
“Enggak suka aja, Pa. Kayaknya Tante itu pura-pura baik.”
Bagi menatap lurus dua manik yang mengerjap sendu. Bagi tidak mau menyepelekan keluhan orang-orang terdekatnya. Bagi mengajarkan istri juga anak-anaknya untuk selalu menyampaikan apapun yang mereka rasakan. Bagi tidak mau menjadi orang tua seperti Kakeknya yang terlalu mengekang psikis keluarganya.
Akibatnya apa? Hingga akhir hayatnya Om Deni, adik laki-laki Papanya tidak pernah menemukan kebahagiaan. Sejak kecil segala urusan telah disusun rapi sesuai dengan keinginan Kakek dan Neneknya.
Dirinya juga meyakini Nenek sangat bosan dengan kediktaktoran Kakek sehingga membuat Nenek mangkir dari janji suci pernikahan.
“Memangnya Sena pernah punya pengalaman kayak gitu sama Tante Silvi?” Bagi berusaha menempatkan diri sebagai anak dengan usia sembilan tahun.
Sena mengganggukkan kepala. “Pernah, Pa. Waktu Mama ke bandara jemput Tante Stevina, Sena dan Kakak kan dijemput sama Tante Silvi. Beberapa kali mobilnya lewat depan sekolah, Pa. Tapi Tante Silvi enggak berhenti. Sampai semua teman Sena dan Kakak sudah pada pulang.” Agia dan Bagi terkejut mendengar penuturan anaknya itu.
“Mungkin Sena salah mengira mobil Tante Silvi.”
“Enggak, Pa. Sena ingat nomor plat kendaraannya Tante Silvi.”
“Terus, alasan Tante Silvi terlambat jemput karena apa?”
“Ada pelanggan yang datang ke toko. Padahal Sena sudah lapar sekali, Pa.”
“Sena cerita ke Mama?”
“Enggak. Kata Tante Silvi jangan cerita ke Mama. Dia jadi ngerasa enggak enak katanya.”
Bagi terdiam memikirkan penyampaian Sena.
Begitupun Agia. Tiba-tiba prasangka buruk tentang Silvia Dalayanti menguar dari dalam pikirannya.
“Pa, boleh Sena minta uang?” Agia mengalihkan lagi konsentrasinya kepada Sena.
“Untuk apa, Nak?”
“Mau beli camilan di kantin rumah sakit, Pa.”
“Boleh dong. Sekalian beli maem ya, Sena. Kamu dua hari ini maemnya berantakan. Nanti Mama marah lo.” Bagi menyodorkan selembar uang berwarna biru untuk Sena.
Sena lalu mengalihkan pandangannya ke arah tubuh Agia yang masih enggan membuka matanya.
“Ma… Sena mau belanja camilan. Antar Sena yuk, Ma. Sena takut kesasar nanti.” Sena meminta izin kepada Agia seperti kebiasaan yang selalu dia lakukan. Mendapati tidak ada sahutan dari Mamanya, Sena beranjak menuju pintu ruang perawatan.
Agia memutuskan untuk menemani Sena sesuai dengan permintaannya. Ajaibnya, Agia bisa keluar dari ruang perawatan.
Agia mengerling ceria karena bisa mengikuti dan menjaga Sena.
***
“Senja, berani kan masuk ke rumah sendirian?” Silvia membuka pintu gerbang rumah Agia dan Bagi.
“Berani, Tante.” Senja bergegas membuka pintu rumah dan berlari ke dalam.
Silvia pun bergegas mengambil pot berisi bunga yang sama seperti sebelumnya di toko.
“Temannya Mama Senja, ya?” Ibu Ragil mendekati rumah Agia dan Bagi.
Silvia mempercepat aktivitasnya memasukkan pot bunga ke dalam bagasi mobil.
“Iya, Bu. Antar Senja ambil perlengkapan untuk di rumah sakit.”
“Kenapa pot bunga itu dibawa, Bu?”
“Ada pelanggan yang mau membeli bunga jenis ini, Bu. Tapi di toko kekurangan stok. Jadi ambil di rumah Mbak Agia dulu. Pasti beliau tidak keberatan kok kalau untuk pelanggan.”
Ibu Ragil menganggukkan kepala tanda mengerti.
“Tadi siang saya sudah ke rumah sakit. Kasihan ya Mama Senja jadi begitu. Masak sih minum teh bisa jadi enggak sadarkan diri sampai dua hari begini?” Ibu Ragil membuka perbincangan dengan Silvia.
Silvia tercengang mendengar penuturan tetangga bosnya itu.
“Minum teh?”
“Iya, kata Papanya Senja tubuh Mama Senja ada senyawa apa gitu namanya saya lupa. Jadi tubuhnya melemah dan enggak sadarkan diri. Saya juga enggak ngerti deh, Bu.”
Silvia enggan menanggapi informasi yang diberikan oleh Ibu Ragil.
“Maaf, Bu. Bukan bermaksud untuk tidak sopan, saya ke dalam dulu ya. Barangkali Senja perlu bantuan. Saya permisi dulu ya.” Silvia tidak menunggu respon dari Ibu Ragil. Dia bergegas meninggalkan Ibu Ragil.
***
“Hei, hei, hei. Jangan bertengkar terus. Masih pagi kok sudah ribut begitu.” Bagi muncul menenangkan pertengkaran antara Senja dan Sena.
Sena menangis semakin keras, parahnya lagi Senja dengan sengaja membuka kaca jendela mobil dan tertawa sekencang-kencangnya.
“Senja, sudah jangan menggoda Sena terus.” Bagi membuka pintu gerbang sebelum mengeluarkan mobilnya dari garasi.
Senja lalu menekan tombol membuka kunci dari dalam, segera dalam satu gerakan dia pindah ke sebelah kursi kemudi.
Masih dengan sisa tangisan, Sena membuka pintu penumpang bagian belakang sebelah kanan, dan mendudukinya.
Bagi kemudian mengambil alih kursi kemudi.
“Masih mau lanjut berantem atau berangkat sekolah?” Bagi membuka pembicaraan di dalam mobil dengan Senja dan Sena.
Tidak ada yang menyahut. Hanya terdengar sisa tangis dari Sena yang telah mereda. Sementara Senja berpura-pura asik melihat ke arah luar.
Bagi mulai memundurkan mobil agar keluar dari garasi rumah. Mereka kemudian bergerak pelan menuju sekolah.
“Nanti siang kalian dijemput Tante Silvia. Papa nanti ada audit jadi enggak bisa jemput.”
“Oke, Pa.” Sahut Senja. Tidak dengan Sena. Dia hanya diam tanpa mau menanggapi ucapan Papanya.
“Ma.. Sena maunya Mama aja yang antar dan jemput sekolah. Sena enggak mau Tante Silvi terus yang jemput kalau Papa sibuk.” Ujar Sena didalam hatinya dengan mata mengarah ke luar mobil. Tanpa terasa tiga bulan sudah mereka hidup tanpa Agia.
Sangat sulit. Bagi harus pintar membagi waktu antara anak-anak dan pekerjaan. Tidak ada lagi yang menyiapkan segala kebutuhan rumah tangga. Bagi kewalahan. Beberapa kali mertuanya datang membantu dan meringankan sedikit beban Bagi, namun semua tidak lagi sama.
Mereka memerlukan sosok ibu. Hanya Agia saja yang mampu melengkapi kekosongan relung kalbu Bagi, Senja dan Sena.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!