NovelToon NovelToon

Ketulusan Hati 2

Bab 1. Kecewa (Ara)

Seharusnya dari dulu aku sadar. Jika mengharapkan sesuatu dari manusia itu harus siap untuk menelan pahitnya kekecewaan.

~Ketulusan Hati 2~

Ku tatap wajahku di cermin. Lalu kupandang penampilanku dari ujung kepala hingga kaki. Sepertinya penampilanku sudah cukup bagus. Hari ini, aku menjatuhkan pilihan pada gamis berbahan jeans yang aku padukan dengan jilbab berwarna mauve. Sepertinya warna jilbab yang aku kenakan sangat masuk dengan kulitku. Aku tersenyum lebar.

"Perfect Ara. You are beautiful," ucapku sambil mengedipkan mata. Aku ingin menggoda diriku sendiri. Yah, harap dimaklumi. Wanita cantik mah bebas. Kusambar handbag kesukaanku dan langsung beranjak dari kamar.

Aku tersenyum saat melihat kedua orang tuaku dan si kecil Azka sudah menunggu di meja makan.

"Morning bun, morning pah." Sapaku mencium pipi bunda dan papah. Tak lupa aku juga mencium pipi adik kecilku yang sangat menggemaskan. Hari ini adalah hari ahad. Jadi sudah pasti mereka semua ada di rumah.

"Ayok makan." Ajak papah sambil menyesap kopi buatan bunda tercinta.

"Mau kemana?" kini adikku yang mulai membuka pembicaraan.

"Ada deh, anak kecil tidak perlu tahu," sergahku sambil tersenyum lebar. Adikku ini memang sangat kepo. Lalu tak sengaja mataku bertemu dengan mata teduh bunda. Hanya bunda yang selalu mengerti aku.

"Alan?" tanya Bunda. Benar kan? Bunda selalu tahu apa yang aku lakukan walaupun aku tak pernah mengatakan padanya. Alhasil semua mata tertuju padaku. Jika sudah menyangkut Alan. Papa dan adikku pasti akan sangat sensitif. Alan adalah sahabat ku dari kecil. Kami sudah sangat dekat, bisa dikatakan seperti surat dan pranko. Dimana ada aku, maka Alan juga ada disitu. Nama lengkap nya Arlan Digantara.

"Emmm, iya bun." ucapku mengangguk. Aku menatap papah yang juga sedang menatapku lekat.

"Ck, aku gak setuju kakak sama bang Alan. Ya, walaupun dia tampan dan baik. Tapi dia itu banyak diincar kaum wanita. Mending kakak cari yang lain deh." mulai deh adikku yang satu ini. Azka Mahesha Pratama. Si pangeran es, namun dia sangat perhatian dan begitu penyayang.

"Ck, anak kecil jangan sok tahu." ucapku menyenggol bahunya. Habis dia sok tahu banget sih jadi orang.

"Aku sudah SMA, jadi bukan anak kecil lagi." ucapnya sangat kesal. Aku tertawa saat melihat wajahnya yang sangat lucu. Ya ampun, dia sangat menggemaskan.

"Ada masalah apa?" kali ini papah yang bicara. Aku menatap papah dengan serius. Jika papah sudah bicara, aku tidak berani untuk bercanda.

"Gak tahu pah, Alan ngajak ketemu. Katanya ada hal penting yang mau disampaikan." ucapku berusaha untuk santai. Aku melihat papah dan bunda saling melempar pandangan. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Memang benar, tadi malam aku mendapat pesan dari Alan. Ia ingin bertemu denganku di Cafe tempat biasa kami nongkrong. Entah masalah penting apa yang akan ia sampaikan.

"Pokus dengan kuliah kamu Ara, jangan memikirkan hal lain." ucap papah begitu tegas. Aku bingung harus menjawab apa. Jadi aku hanya mengangguk dan tersenyum.

"Ya sudah, lanjut makan lagi." ucap bunda. Kami pun melanjutkan sarapan dengan senyap.

Setelah selesai makan, aku langsung berpamitan "Ara pamit pah, bun." ucapku mencium tangan papah dan bunda.

"Assalamualaikum." ucapku naik kedalam mobil kesayanganku. Mobil ini adalah hadiah dari papa karena aku bisa lulus SMA dalam waktu 2 tahun. Aku sangat bahagia memiliki papah dan bunda yang begitu menyayangiku. Jadi tidak ada alasan untukku bersedih.

Aku melambaikan tangan saat melihat bunda dan papah masih menatap kepergianku. Lihat, bahkan mereka begitu mengkhawatirkan aku. Aku mencintaimu pah, bun. I love you so much.

Aku menekan klakson mobilku dengan kesal. Kenapa jalan harus macet sih, padahal Cafe tempat biasa aku duduk bersama Alan hanya tinggal beberapa meter. Aku melihat jam yang melingkar di tanganku. Ya ampun, mati aku. Alan akan sangat marah jika aku terlambat satu detik saja.

Aku berlari sekuat tenaga agar tidak terlambat. Tapi sayang seperti nya aku memang terlambat. Di depan pintu aku sudah bisa melihat Alan yang sudah menungguku. Dia tersenyum sangat manis saat melihat keberadaanku. Aku langsung menghampiri dirinya.

"Terlambat 10 detik." ucapnya datar. Aku tersenyum dan duduk dihadapannya dengan nafas yang masih tersenggal.

"Maaf, tadi macet dikit didepan." ucapku meletakkan handbag milikku diatas meja. Alan berdecak kesal. Ya ampun, dia melihat penampilanku? Apa itu jelek. Kenapa ekspresi nya sangat aneh.

"Ada apa? Jelek ya?" tanya ku.

"Tidak, kamu tetap cantik." ucapnya yang berhasil membuatku sangat malu. Selama ini dia memang tidak pernah memuji penampilanku. Entah apa yang merasuki dirinya.

"Ah, iya ada apa? Katanya mau ngomongin hal penting." tanya ku dengan penuh semangat. Karena aku memang sudah sangat penasaran. Alan menatapku lekat. Jantung ku berdetak sangat cepat. Ya Allah, ada apa ini?

"Aku menyukai mu, maukah kau menikah denganku?"

Deg! Jantung ku seakan melompat keluar. Aku benar-benar tekejut dan tak percaya dengan apa yang aku dengar. Dia mengungkapkan perasaannya? Kenapa secepat ini?

"A... Alan apa maksud kamu?" mendadak aku sangat gugup.

"Sial!! Apa aku terlihat gugup?" ucapnya dengan ekspresi yang tak bisa diartikan. Apa maksudnya? Kenapa dia malah balik bertanya.

"Ma.. Maksud kamu?"

"Aku menyukai seorang gadis. Aku berencana untuk melamarnya hari ini."

Jleb! Bagaikan ribuan belati menembus jantungku. Dadaku terasa sesak.

Nafasku tercekat. Ternyata selama ini aku sudah salah sangka.

'Dasar bodoh. Mana mungkin dia menyukaimu. Sahabat, seharusnya aku menyadari itu sejak dulu. Dia hanya menganggap kamu sahabat, tidak lebih Ara.'

Aku berusaha untuk tetap tersenyum. Jangan sampai Alan tahu apa yang saat ini aku pikirkan. Aku membenarkan posisi dudukku agar lebih nyaman.

"Siapa?" tanya ku begitu penasaran. Aku juga tetap mempertahankan senyumanku, aku ingin terlihat seceria mungkin. Sakit sekali rasanya, jika bisa saat ini aku ingin sekali menangis. Tapi itu tidak mungkin aku lakukan. Aku tidak mau membuat persahabatan ini menjadi hancur.

"Kamu akan tahu, sebentar lagi dia sampai." ucap Alan begitu semangat. Aku terus tersenyum. Aku bingung harus bicara apa lagi. Kedua tanganku terpaut kuat, keringat mulai membasahi telapak tanganku. Kenapa aku sangat gugup?

"Apa dia akan menerimaku?" tanya Alan menatapku.

"Ya, dia pasti akan menerima kamu. Secara kamu kan tampan, baik dan juga sopan. Yah, walaupun sedikit cuek." ucapku jujur. Alan memang sangat tampan, tinggi, baik, anaknya juga sopan. Hanya saja tekadang ia sangat cuek. Wanita mana pun pasti akan sangat senang jika memiliki kekasih seperti Alan. Dia pintar. Yah walaupun kepintaranku dengannya tak beda jauh. Sejak dulu Alan memang selalu menjadi sainganku dikelas. Walaupun dia lebih baik diatas ku. Tapi aku juga tak kalah pintar kok darinya.

"Ahhh... Aku harap begitu," desahnya. Ia terlihat gugup. Aku tersenyum saat melihat wajahnya yang lucu.

"Tarik nafas, tenang. Jangan terlalu gugup. Kamu pasti berhasil." ucapku untuk menyemangati Alan. Sebagai sahabat, aku akan mendukung apapun keputusan Alan. Walaupun aku harus mengubur perasaanku sedalam mungkin.

"Terimakasih Ra, kamu udah mau jadi sahabat terbaik aku." ucap Alan menggenggam tangan ku. Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum lebar. Padahal, hatiku sangat sakit. Bagaimana jika aku tidak bisa menahan air mataku lagi?

"Ah itu dia." tunjuknya dengan semangat. Alan mulai membenarkan posisi duduknya. Ia juga merapikan pakaiannya. Aku menoleh karena sangat penasaran. Aku sangat terkejut saat melihat orang yang Alan maksud.

"Jihan?" sapaku. Ada rasa tak percaya dalam diriku. Jihan adalah salah satu model cantik yang juga mahasiswi dijurusan yang sama dengan ku. Setahuku, dia begitu banyak di incar oleh para lelaki. Ternyata Alan juga salah satunya.

"Ara? Lo juga disini?" ucap Jihan menatap ku dan Alan bergantian.

"Ah enggak kok, aku cuma sebentar. Tadi gak sengaja ketemu Alan disini. Aku balik dulu ya Lan. Assalamualaikum." ucapku yang langsung beranjak pergi. Aku sengaja memberikan waktu untuk Alan dan Jihan. Biarkan Alan mendapatkan masa depannya. Aku akan ikut bahagia jika Alan bahagia.

***

Aku menyadarkan tubuhku di kepala kursi mobil. Ku sentuh dadaku yang terasa sangat sesak.

"Apa yang aku pikirkan? Aku sudah terlalu jauh berharap." aku menatap lurus kedepan. Aku memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Namun butiran bening itu tetap saja lolos dari pertahanan. Aku tidak bisa lagi menahannya. Dadaku benar-benar sesak.

Tangisanku pecah, aku menangis sendirian di dalam mobil. Perih di hatiku semakin menjadi saat wajah Alan melintas dalam pikiranku .

"Ingat sayang, jangan terlalu berharap pada manusia. Itu hanya akan membuat kita sakit. Tujukan semua cinta kita pada-NYA. Insha allah hati kita akan selalu tenang dan kebahagiaan akan selalu ada dalam diri kita. Jangan mencintai manusia lebih dari cinta-NYA. Ingat pesan bunda sayang." perkataan bunda pun kembali terngiang di ingatanku.

"Ara mengerti sekarang bunda. Ara minta maaf sudah melupakan perkataan bunda. Ara minta maaf ya Allah." ucapku sesegukan. Aku merasa diriku benar-benar sangat bodoh. Aku sudah mencintai manusia melebihi cintaku pada sang Rabb.

'Maafkan Ara ya Allah. Ara tidak akan mengulanginya lagi. Ara minta ampun.' ucapku dalam hati.

Aku berusaha untuk menangkan hatiku. Aku meminta ampun atas semua kesalahanku. Setelah beristigfar. Aku merasa hatiku sedikit tenang. Aku melajukan mobilku untuk pulang. Aku ingin istirahat untuk menenangkan pikiranku.

Bab 2. Mungkin Bukan Jodoh (Ara)

Sesampainya dirumah. Aku melihat bunda sudah menyambutku didepan pintu. Aku mencoba tersenyum seperti biasa untuk menutupi mataku yang sembab. Aku harap bunda tak menyadari aku habis menangis.

Ah, seperti nya bunda sudah tahu. Aku bisa melihat dari raut wajahnya saat menatapku.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya bunda lembut. Aku menggeleng.

"Ara capek bun, Ara mau istirahat."

"Tidak mau cerita dengan bunda?" Bunda menyentuh pundakku dan menatapku penuh dengan kasih sayang.

"Bunda ikut Ara sebentar." ucapku menarik tangan bunda ke kamar. Aku tidak mau Azka dan Papah tahu apa yang terjadi.

"Ada apa? Masalah Alan?" Aku mengangguk, dan menunduk karena mataku kembali memanas.

"Alan akan melamar seseorang bun. Wanita itu teman sekelas Ara, dia seorang model." ucapku mulai sesegukan. Saat mengatakan itu, hatiku semakin sakit. Aku mendengar bunda menghela nafas. Lalu bunda memeluk ku begitu lembut. Hatiku sangat tenang, kehangatan bunda membuat hatiku lebih tenang.

"Itu artinya dia sudah menemukan wanita yang cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Kamu tidak perlu menagis. Allah akan menggantikan laki-laki yang jauh lebih baik dari Alan. Mungkin kalian belum berjodoh." ucap bunda mengelus kepalaku.

"Bunda tahu kan, dari kecil kita selalu bersama. Ara suka Alan dari dulu bun, Ara kira Alan juga sama. Tapi Ara salah, Alan cuma anggap Ara sahabat. Tidak lebih."

"Apa Ara tidak cantik ya bun? Apa Alan tidak suka Ara karena Ara gak pinter make up?" ucapku saat menyadari penampilanku selama ini, sangat jauh berbeda dengan Jihan. Aku melihat bunda tersenyum. Apa aku salah?

"Ada-ada saja kamu ini. Siapa bilang anak bunda tidak cantik?Cantik itu tidak dilihat dari pintar Make up atau tidak. Ikut bunda deh." bunda menarik tanganku menuju meja rias. Bunda menyuruh aku berdiri dan menatap diriku sendiri.

"Kamu lihat. Mata kamu cantik, hidung mancung, bibir merah alami, alis tebal, pipi merah menggemaskan yang paling bunda suka. Apa lagi yang kamu keluh kan?" ucap bunda menunjuk semua bagian wajahku. Aku menatap diriku dengan seksama. Bunda benar, aku cantik.

"Cantik itu bukan hanya dari fisik. Tapi disini juga harus cantik." ucap bunda kembali menunjuk dadaku. Aku membalikan tubuhku dan menatap mata teduh bunda.

"Inner beauty seorang wanita itu lebih penting dari pada penampilan fisik." bunda mencubit pipi ku dengan gemas. Aku mengerti sekarang, kecantikan itu tidak harus dari fisik atau wajah. Tapi hati ini juga harus cantik. Bunda juga selalu cantik. Aku juga tidak pernah melihat bunda memoles wajahnya. Bunda cantik alami, dan kelembutan bunda membuat kami jatuh cinta. Apa papah juga jatuh cinta karena kelembutan bunda? Ah, sungguh manis jika di bayangkan.

"Ara faham sekarang bunda. Terima kasih." ucap ku memeluk bunda. Kesedihan pun lenyap seketika. Mulai sekarang, aku akan tetap jadi diriku sendiri.

"Ya sudah, jangan sedih lagi. Sekarang ganti baju, setelah itu bantu bunda buat kue. Malam ini kita akan kerumah nenek." ucap bunda.

"Beneran bun? Ok, Ara ganti baju dulu. Cuma dua menit." ucapku dengan semangat. Aku sudah sangat merindukan nenek, nenek yang paling aku sayang.

***

Sepertinya matahari semakin terik. Aku melihat keatas, benar saja. Matahari sudah berada di atas kepalaku. Pantas saja suhunya semakin panas. Tapi aku harus tetap semangat. Aku harus membantu kakek menghabiskan jualannya.

"Ayok - ayok, dibeli sayurannya. Murah meriah, dibantu kakek nya. Mari buk, sayurnya seger banget loh." teriakku dengan semangat. Sudah menjadi kebiasaan bagiku untuk membantu sang kakek yang berjualan di depan kampus. Rasanya sangat bahagia bisa membantu orang lain.

"Mas, mbak ini pisangnya. Masih seger, gak pake pengawet. Murah lagi, manis lagi kayak saya Hehe.. Becanda mbak." tawarku sambil menggoda beberapa orang yang lewat. Sepertinya apa yang aku lakukan sangat lucu. Sampai-sampai kakek ikut tertawa. Senang deh melihat kakek tertawa.

"Sudah cukup nak, ini sudah panas. Lagian jualan kakek sudah mau habis. Terima kasih nak Ara selalu membantu kakek setiap hari." ucap kakek melihat penampilanku yang sudah cukup berantakan. Keringat pun kini sudah membanjiri tubuhku. Lihat, bahkan jilbab yang aku kenakan sudah sangat basah.

"Ahhh.. Capek juga ya kek cari uang? Kakek hebat banget bisa jualan ini tiap hari. Ara mah cuma taunya minta uang sama papa." ucapku duduk disebelah kakek. Kakek sudah cukup tua, tapi beliau tetap semangat untuk mencari nafkah. Aku salut padanya.

"Ini mata pencaharian kakek nak. Lagian kakek jualannya cuma duduk aja. Ada yang beli alhamdulillah, gak ada yang tetap alhamdulillah." Aku tersenyum mendengar pemaparan kakek.

"Tenang aja kek, selagi Ara ada waktu. Ara akan bantu kakek jualan. Semangat kek." ucapku dengan semangat. Aku tidak pernah bohong, aku akan terus membantu kakek jika aku punya waktu kosong. Lalu aku melihat jam yang melingkar indah di tanganku. Ternyata waktu zuhur sudah hampir tiba. Aku harus pulang. Lagian barang jualan kakek tinggal sedikit. Sepertinya aku sudah bisa meninggalkan kakek sendiri.

"Ah iya kek, Ara harus pulang dulu. Nanti sore ada jadwal kuliah. Semangat ya kek, semoga mudah rezekinya. Assalamualaikum kek." ucapku berpamitan untuk pulang. Aku mencium tangan kakek dan langsung beranjak pergi.

***

Setelah mata kuliah yang ku ambil usai. Aku berniat untuk langsung pulang. Lagian tidak ada hal penting yang harus aku kerjakan di kampus. Aku membuka pintu mobil. Namun tiba-tiba seseorang menarik tanganku. Aku sangat terkejut.

"Alan? Apaan sih main tarik-tarik. Kalau Ara jatuh, terus lecet gimana?" omelku. Ya, siapa lagi yang menarik tanganku kalau bukan Alan. Si pengganggu hidupku.

"Aku yang obatin. Cerewet." ucap Alan menyentil hidungku. Lihat, betapa jahil nya dia.

"Huaaaaaaa... Idung ara merah Alan." teriakku tak terima. Hidungku pasti akan sangat merah.

"Shhuut, jangan teriak. Nanti orang kira aku apa-apain kamu lagi." ucap Alan kesal. Aku mengerucutkan bibir ku. Kenapa dia yang kesal. Seharusnya aku yang kesal.

"Ada apa?" tanya ku ketus. Aku masih sangat kesal padanya. Grep! Ya ampun apa ini? Kenapa dia memelukku. Apa maksudnya? Aku kembali tersadar, ku dorong tubuhnya cukup keras. Ini salah, dia tidak berhak untuk memelukku.

"Ih Alan, jangan peluk-peluk Ara. Kasian tahu calon suami Ara, masak iya jatahnya kamu ambil. Alan jahat." omelku sedikit mundur untuk menjauh darinya.

"Ck, siapa juga cowok yang mau sama anak kecil kayak kamu. Dasar."

Apa itu benar? Tidak ada yang mau denganku? Kenapa hatiku sangat sakit mendengar Alan mengatakan hal itu. Apa aku terlalu kekanak-kanakan? Mataku juga mulai memanas. Tidak Ara, kamu tidak boleh cengeng.

"Ra, aku minat maaf. Aku gak ada maksud... "

"Enggak kok Lan, kamu benar. Mana ada cowok yang mau sama aku, aku ini kekanak-kanakan, cerewet dan kupel. Jauh banget sama cewek diluar sana." ucapku menghapus air mataku yang berhasil lolos dari pertahanan. Aku melihat Alan terdiam. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Maaf aku cengeng ya?" imbuh ku sambil tersenyum. Aku tidak mau terlihat lemah di depannya. Walaupun kenyataannya aku memang sangat lemah.

"Ck, aku juga minta maaf." ucapnya hendak memelukku. Aku sangat terkejut dan langsung menghindar. Mungkin dulu aku tidak akan menolak Alan memelukku. Karena dalam pikiranku, Alan adalah calon imam masa depanku. Tapi itu salah, ternyata Alan hanya lah sahabat. Sahabat terbaik yang pernah aku kenal. Sedikit demi sedikit aku juga mulai belajar dari bunda tentang hubungan dan batasan antara laki-laki dengan wanita yang bukan mahram. Aku harus menjauh darinya. Jangan sampai perasaan ini semakin dalam. Sehingga sulit untuk keluar dari sana.

Alan menatapku cukup lama. Aku sangat gugup.

"Kamu berubah Ra, aku perhatikan sekarang kamu banyak menghindar dari aku. Apa aku menyakiti hati kamu Ra?" pertanyaan darinya membuat ku tersentak. Jadi dia menyadari itu. Aku memang berusaha untuk menghindarinya. Tapi aku tidak mau Alan kecewa. Dengan cepat Aku menggeleng.

"Bukan begitu Lan, bunda bilang kita sudah dewasa. Jadi kita harus menjaga jarak, aku gak mau ada kesalah fahaman jika kita terlalu dekat. Aku harap kamu ngerti." ucapku tersenyum. Aku mencoba memberi penjelasan.

"Aku harus pulang sudah sore. Selamat atas keberhasilan kamu. Semoga selalu bahagia. Assalamualaikum." aku langsung pergi meninggalkannya. Aku takut perasaan ku semakin kacau.

Menjauh adalah caraku untuk bisa melupakanmu. Jarak kita sudah tidak bisa sedekat dulu. Jalan kita berbeda. Maaf sudah lancang memiliki perasaan lebih untuk mu.

Huh, aku menarik nafas dalam-dalam. Aku mencoba menetral kan perasaanku yang bergejolak. Ku sandarkan kepalaku di kursi. Rasanya sangat aneh. Ada sesuatu yang hilang, suatu yang tak tahu wujudnya.

Bab 3. Aku Mencintainya (Alan)

Hari demi hari hidupku semakin hampa. Dia, yang biasanya selalu ada disampingku. Kini mulai menjauh. Aku tidak tahu alasan kenapa ia menjauh dariku. Aku rasa hidupku benar-benar berantakan. Ada sesuatu yang hilang, tapi aku tidak tahu apa itu.

Bayangan kejadian beberapa hari lalu kembali bermain di pikiranku. Kejadian dimana aku harus menelan rasa kecewa karena sudah teralalu berharap begitu besar. Hingga akhirnya aku terjatuh dalam lubang yang aku gali sendiri.

Flashback on

Aku menatap kepergiannya, hingga ia tak lagi terlihat dibalik pintu.

"Alan!!" panggil seseorang yang kini sudah duduk di depan ku. Ya tuhan, aku melupakan tujuanku. Aku tersenyum pada gadis cantik yang tengah menatap ku.

"Emm.. Jihan. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan." ucapku berusaha untuk terlihat tenang. Ku tarik tangannya kedalam genggamanku. Aku bisa melihat dia sangat terkejut.

Jihan Almira. Dia adalah gadis cantik yang berhasil membuat ku jatuh hati. Pria manapun pasti akan luluh dengan kecantikan yang ia miliki. Termasuk aku, aku sudah jatuh hati padanya. Aku semakin tertarik padanya saat begitu banyak pria yang ingin memiliki gadis ini. Aku juga ingin berada diantara pria itu. Karena aku yakin, aku akan selalu menjadi pemenang diantara semua pria yang mengejarnya.

"Alan, kamu mau bicara apa?" lagi-lagi dia membuyarkan lamunanku.

"Emm... Jihan, aku sangat menyukaimu. Aku ingin kau selalu ada di sampingku. Mau kah kau menjadi istriku?" ucapku dengan lantang. Jantung ku berpacu hebat. Aku juga bisa melihat keterkejutan dimatanya.

"Emm.. Alan, apa kamu bercanda?" ucapnya menarik tanganya dari genggamanku. Aku tersenyum dan kembali menarik tangannya. Kali ini aku menggenggamnya dengan erat.

"Aku tidak bercanda Jihan. Aku sangat menyukaimu. Jadi kau mau menjadi istriku?" ucapku menatap matanya. Sungguh indah ciptaanmu ya Allah.

"Maaf Alan, aku tidak bisa menerima itu." aku sangat terkejut mendengar ucapannya.

"Kita masih muda Alan, aku masih ingin menikmati masa mudaku. Mungkin aku akan menerima jika kau ingin menjadi pacarku. Tapi untuk menjadi istri. Aku tidak bisa. Kau tahu kan? Aku seorang model. Aku masih ingin menikmati karirku. Jadi maaf lan, aku tidak bisa." perkataan itu bagaikan tombak yang menhunus dadaku. Jadi aku di tolak? Rasa kecewa mulai menyeruak masuk di hatiku.

"Emmm... Mungkin kita bisa pacaran dulu?" sambungnya. Bukan itu yang aku mau, aku tidak pernah memikirkan untuk berpacaran. Aku ingin serius.

"Pacaran? Sepertinya tidak bisa. Aku tidak pernah memikirkan untuk berpacaran. Aku tidak mau kita terjerumus kejalan yang salah. Aku serius dengan cintaku Jihan. Masalah karirmu. Aku tidak akan menghalangi itu. Setelah kita menikah, kau masih bisa menikmati karir mu." ucapku untuk meyakinkannya.

"Tidak bisa Alan, bahkan saat ini kamu belum bekerja. Dan... Dan... " aku menunggu ia melanjutkan ucapannya.

"Dan apa?" tanya ku.

"Dan aku dengar kamu bukan anak kandung keluarga Digantara. Itu pasti akan mempengaruhi reputasiku."

Aku terdiam saat mendengar kejujurannya. Dia benar, aku hanya anak angkat dari keluargaku. Anak dari wanita masa lalu papa. Ah, dia kembali membuka luka ku yang sudah hampir kering.

"Aku mengerti. Sepertinya kita memang tidak cocok. Tidak jadi masalah, kamu tidak perlu merasa bersalah. Aku menerima keputusanmu." ucapku tersenyum. Dia terlihat gelisah. Mungkin dia merasa tidak enak padaku.

"Alan, aku minta maaf." ucap Jihan menggenggam tanganku. Aku mengangguk dan menepuk tangannya.

"Aku baik-baik saja. It's ok, enjoy." ucapku. Jihan tersenyum. Sepertinya ia merasa lega. Bisa aku lihat wajahnya yang tegang kini sudah kembali seperti biasa.

Flashback off

Huh. Aku membuang napas cukup dalam. Kegagalan itu akan menjadi sejarah dalam hidupku. Aku menatap langit-langit kamar dengan seksama.

Tunggu dulu. Kenapa aku sama sekali tidak sedih?Bukan kah semua orang akan sedih saat cinta nya ditolak. Kenapa aku sama sekali tak meraskan itu. Aku hanya merasa kecewa karena ini adalah kali pertama kegagalan dalam hidupku.

"Jihan... " Aku mencoba menyebut namanya dan ku pegang dadaku. Tidak ada getaran sama sekali.

"Jihan." sekali lagi aku mencoba. Sama, masih belum ada getaran didada ku.

"Ara." ucapku. Aku sangat terkejut, dadaku bergetar dan ada rasa hangat yang menyelimuti hatiku. Tunggu! Kenapa aku menyebut nama nya. Tidak-tidak. Ini tidak mungkin. Aku tidak mungkin mencintai gadis cengeng itu. Tapi....

"Ara.. Ara..Ara... " Aku sangat senang saat menyebut namanya. Jantung ku juga berdebar tak karuan. Apa aku benar-benar mencintainya. Lalu bagaimana dengan Jihan? Perasaan seperti apa yang sebenarnya aku rasakan padanya? Aku semakin bingung dengan diriku sendiri. Ini benar benar gila.

"Ara... Ara... Ara... " lagi-lagi bibir mu menyebut namanya. Aku bangun dari tidurku. Aku mengambil foto yang menghiasi kamar ku selama bertahun-tahun. Fotoku dengan Ara beberapa tahun lalu. Foto itu diambil saat kami berlibur di puncak. Aku meneliti wajah gadis difoto dengan seksama. Cantik. Aku baru menyadari itu, dia sangat cantik saat sedang tersenyum.

Bayangan Ara tersenyum, marah, menangis dan cemberut pun aku putar di kepalaku. Dia sangat lucu dan menggemaskan. Matanya yang teduh, bibir tipis yang selalu mengeluarkan kata-kata lucu. Pipi yang selalu merona saat ia sedang malu, marah ataupun saat ia kepanasan. Semua itu tak luput dari ingatanku.

Akhhh... Aku sudah gila. Wajahnya terus berputar di kepalaku.

"Ternyata sejak lama aku mencintaimu Ara. Betapa bodohnya aku tak menyadari itu semua." aku kembali mejatuhkan tubuhku dikasur. Kupejamkan mataku. Yang pertama aku lihat adalah wajahnya. Dia tersenyum padaku.

"Ara... Aku mencintaimu.. Aku mencintaimu ARAAA... " teriakku. Aku sangat senang. Hatiku kembali menghangat. Aku tidak akan membohongi diriku sendiri. Aku akui, aku mencintai gadis itu. Aku mencintainya. Perasaanku pada Jihan mungkin hanya sebuah obsesiku semata. Aku hanya ingin orang lain tahu, jika aku selalu jauh diatas mereka. Betapa bodohnya diriku.

"Ara aku mencintaimu..."

***

Ah itu dia. Aku berlari untuk mengejarnya. Dia sudah membuka pintu mobil dan hendak masuk. Namun dengan cepat aku menahannya.

"Alan? Apaan sih main tarik-tarik. Kalau Ara jatuh, terus lecet gimana?" omelnya saat mengetahui aku yang menarik tangannya. Dia sangat menggemaskan.

"Aku yang obatin. Cerewet." ucapku menyentil hidungya. Lihat, betapa lucu nya saat hidungnya memerah karena ulahku.

"Huaaaaaaa... Idung ara merah Alan." dia berteriak cukup kencang. Aku sangat panik, jika orang lain mendengar pasti akan berfikir yang bukan-bukan.

"Shhuut, jangan teriak. Nanti orang kira aku apa-apain kamu lagi." ucapku kesal. Dia terlihat mengerucutkan bibirnya. Ya tuhan, itu sangat menggemaskan. Ingin sekali aku menerkamnya saat ini juga. Ck, aku masih waras. Jadi aku tidak mungkin melakukan itu.

"Ada apa?" tanya nya ketus sambil mengelus hidungnya. Aku menariknya kedalam dekapanku. Aku bisa merasakan tubuhnya menegang. Dia pasti sangat terkejut. Aku tidak perduli dia akan marah, saat ini aku hanya ingin memeluknya.

"Ih Alan, jangan peluk-peluk Ara. Kasian tahu calon suami Ara, masak iya jatahnya kamu ambil. Alan jahat." dia mendorongku dan sedikit menjauh. Aku sangat bingung dengan sikapnya yang benar-benar sudah berubah.

"Ck, siapa juga cowok yang mau sama anak kecil kayak kamu. Dasar." ucapku.

Eh, apa aku salah bicara? Dia menunduk. Apa dia menangis? Rasa bersalah mulai menyelimuti hatiku.

"Ra, aku minat maaf. Aku gak ada maksud... "

"Enggak kok Lan, kamu benar. Mana ada cowok yang mau sama aku, aku ini kekanak-kanakan, cerewet dan kupel. Jauh banget sama cewek diluar sana." ucapnya. Dia benar menangis. Aku melihat air matanya jatuh. Dan apa yang dia katakan. Dasar bodoh. Siapa bilang tidak ada yang menyukai mu? Aku menyukai mu, aku menyukai semua yang ada pada dirimu.

"Maaf aku cengeng ya?" ucapnya sambil tersenyum manis.

"Ck, aku juga minta maaf." ucapku hendak memeluknya lagi. Namun dia langsung menghindar. Ini bukan Ara yang aku kenal. Ara tak pernah menolak jika aku peluk.

Aku menatapnya cukup lama. Aku sangat kecewa dengan sikapnya yang mulai berubah.

"Kamu berubah Ra, aku perhatikan sekarang kamu banyak menghindar dari aku. Apa aku menyakiti hati kamu Ra?" tanya ku. Aku ingin meyakinkan jika ia tidak sedang marah padaku.

"Bukan begitu Lan, bunda bilang kita sudah dewasa. Jadi kita harus menjaga jarak, aku gak mau ada kesalah fahaman jika kita terlalu dekat. Aku harap kamu ngerti." dia tersenyum lagi. Tapi apa yang dia katakan? Aku sama sekali tidak mengerti. Bukan kah kita memang dari dulu sangat dekat. Bahkan jika bisa, aku ingin hubungan kita semakin dekat.

"Aku harus pulang sudah sore. Selamat atas keberhasilan kamu. Semoga selalu bahagia. Assalamualaikum."

Apa yang dia katakan? Keberhasilan? Apa maksudnya? Ah, aku ingat. Ini pasti masalah Jihan. Apa dia berubah karena masalah ini? Jangan-jangan dia juga memiliki perasaan padaku. Ya tuhan, jika itu benar. Aku sangat bahagia.

"Kamu salah Ra, aku gagal. Aku gagal Ra.. Kamu berubah... Kamu semakin menjauh Ra." ucapku menatap kepergiannya.

"Tapi aku tidak akan menyerah. Aku akan mendapatkan kamu Ara, kau akan menjadi milikku selamanya. Itu janjiku." ku ukir senyuman dibibirku. Aku meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang berkecamuk. Semangat ku kembali membara. Aku pasti akan memiliki gadis cengeng itu. Dan mengikat nya dalam kehidupanku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!