NovelToon NovelToon

Perjanjian Hitam

Desas-desus

...#######...

Suara saling beradu dari satu persatu mesin pemotong kayu disalah satu tempat usaha pembuatan meubel. Berbagai ukiran kayu yang dijadikan perabotan rumah tangga dari bermacam-macam kursi, almari, dipan dan berbagai furniture lainnya.

Usaha Meubel Koh Atong yang terdapat di salah satu daerah di Negara Indonesia, sebut saja kota J. Usaha yang berdiri kurang lebih lima belas tahun itu tampak begitu maju dan berjalan dengan lancar.

Semua para pegawai terus sibuk begitu juga dengan salah satu pemuda berusia 23 tahun. Namanya Salman, pegawai paling muda yang datang dari kota P bersama satu temannya yang bernama Febri berusia 24 tahun.

Bukan hanya tempat Koh Atong saja yang menggeluti usaha meubel tetapi semua masyarakat sekitar juga sebagian besar menggeluti usaha itu.

Meskipun begitu, mereka semua tidak saling jatuh menjatuhkan, semua saling bekerja sama untuk bisa laris di pasaran bersama-sama. Bahkan hasil semua jenis furniture juga berhasil di kirim sampai luar kota.

Jiwa persatuan mereka memang sangat kuat dan itulah yang membuat mereka bisa berdiri sukses bersama-sama.

Salman tampak lelah, berkali-kali mengusap keringat yang terus menerus keluar dari pori-pori wajahnya. Bukan hanya karena pekerjaannya yang berat tetapi juga karena cuaca di sana memang terbilang sangat panas.

"Salman, kamu sudah dengar belum cerita tentang...?" ucapan Febri terhenti. Wajahnya tampak celingukan sebelum dia melanjutkan kata-katanya yang membuat Salman menunggu dengan penasaran.

Salman mematung menunggu lanjutan cerita dari Febri tetapi sepertinya lagi-lagi dia hanya di permainkan oleh teman seprofesinya itu.

Nah kan benar, bukannya meneruskan kata-katanya Febri malah kembali melanjutkan pekerjaannya, sungguh membuat kesal orang saja kan. Tadinya dia kekeuh ingin mengatakan tetapi sekarang? Etdah...

"Dasar nggak jelas, Luh!" umpat Salman tak habis pikir. Lelah lelah juga, sekali fokus ingin mendengar sesuatu yang mungkin penting eh malah di php-in, bikin esmosi jiwa.

Febri malah terkekeh melihat Salman yang kesal. Seneng banget tuh anak bikin orang jadi sensi.

Salman juga Febri kembali serius mengerjakan satu kursi yang belum selesai. Keduanya seperti kejar target karena barang juga harus segera di kirim besok.

"Alhamdulillah!" Seru keduanya di iringi dengan tawa bahagia. Akhirnya beres juga setelah melalui perjalanan panjang dan sekarang sudah jadi satu set meja makan yang terlihat begitu menarik yang dihiasi dengan ukiran-ukiran yang indah.

"Istirahat dulu yuk!" ajak Salman dengan tangan melambai ke arah Febri juga yang lainnya.

Febri mengangguk, juga langsung melangkah membuntuti Salman begitu juga dengan yang lainnya. Mereka duduk-duduk istirahat sembari menikmati teh hangat juga cemilan yang memang sudah di sediakan oleh istrinya Koh Atong.

Selayaknya para emak-emak semua pegawai yang berjumlah tujuh orang itu bergosip hangat mengenai desas-desus yang beberapa hari ini telah beredar yang bersumber dari kampung sebelah.

"Eh, saya dengar. Di desa sebelah setiap malam ada dedemit keliling loh," Febri mulai bicara.

"Mau ronda?" celetuk Doni.

"Kalau dia ronda, berarti dia lebih rajin daripada kamu, Feb!" Ilyas menyahuti.

"Hahaha..., iya iya! Febri kan udah kek kebo kalau malam. Ngorok gitu saja kalau sudah lihat bantal!" Kini Salman yang berucap.

"Tetapi ini benar loh! Sudah banyak yang lihat. Bahkan sekarang katanya kampung sebelah itu kalau malam sepi kek desa mati," Febri masih kekeuh.

Sementara yang lain juga masih setia mendengarkan sembari menikmati cemilan juga teh mereka secara bergantian.

"Salman, ngemeng-ngemeng nih ya! Katanya usaha dari ortu angkat mu kini perlahan juga mulai membaik. Bahkan sekarang sudah banyak orderan aja loh."

Salman melirik Febri, menjauhkan cangkir dari bibirnya.

"Ya Alhamdulillah kalau begitu," ucap Salman.

Meskipun hanya anak angkat saja Salman tetap merasa bahagia karena usaha mereka kembali pulih setelah delapan bulan diterpa kebangkrutan.

"Apa kamu tidak merasa aneh gitu?" mata Febri menyipit memandangi Salman yang kembali asyik dengan cemilannya.

"Elah... Perut aja yang kamu pikirin," kesal karena di abaikan Febri mengambil semua cemilan yang sedari tadi di nikmati oleh teman-temannya. Bisa-bisa dia nggak kebagian lagi kalau nggak ambil sama wadahnya sekalian.

"Lah! kok diambil semuanya. Sini bagi bagi!" tangan Ilyas berusaha menggapai tapi tak sampai karena sudah di sembunyikan di belakang oleh Febri.

"Kalian kan sudah makan, ini bagian barat."

"Bagian ku!" seru enam teman Febri bersamaan.

"Ya itu maksudku, hehehe..." Febri meringis lalu kembali diam karena berganti dengan mulut yang penuh dengan cemilan.

Baru saja diam dalam sesaat, udara seakan berganti. Meski saat ini masih siang tetapi mereka sangat merinding, bulu kuduk mereka semua sudah berjajar rapi selayaknya para abdi negara yang ingin menjalankan tugasnya meskipun mereka semua tertawa.

Rapi bener pokoknya tuh bulu kuduk, sampai-sampai mereka semua terus berusaha untuk menidurkan lagi tetapi tetap belum bisa.

Atmosfer seketika berubah, tadi yang adem ayem sejuk-sejuk enak kini berubah menjadi panas dan semakin tidak enak sama sekali.

"Kalian pada kenapa?" tanya Salman kepada semua teman-temannya yang kini berubah menjadi pendiam.

Baru saja mereka semua tertawa hangat tapi sekarang? Nggak mungkin kan apa yang barusan mereka bicarakan itu langsung datang di sana begitu saja. Tapi mungkin sih, meski mata tak dapat melihat tapi rasa pasti akan bisa menyadari akan kedatangannya.

"Kenapa jadi hori gini sih!" tengkuk Febri berasa tebal begitu saja juga terasa panas-panas gimana begitu.

Febri maupun yang lain mengedarkan matanya melihat kondisi dan situasi tetapi yang jelas tak mereka lihat apa yang mereka takutkan.

"Kalau kalian takut jangan bicara yang kayak gitu!" Salman mengingatkan.

"Memangnya kamu nggak takut?" Mata Febri menyipit kedua ujung alis saling menyatu.

"Sikit sih, hehehe..., tapi penasaran." Salman terkekeh sendiri.

Berita yang beredar dari mulut ke mulut kini sampai di telinga mereka dan berhasil membuat Salman penasaran.

Kenyamanan dan ketentraman desa sebelah benar-benar tengah di guncang ketakutan karena semua warganya yang selalu dihantui dengan kedatangan pocong bermata merah yang sangat menyeramkan.

Bukan hanya rasa penasaran yang datang di hati Salman tetapi juga rasa khawatir dengan salah satu keluarga di desa itu yang sudah menganggapnya seperti anaknya sendiri. Bahkan mereka juga menjadikan Salman anak angkatnya padahal keluarga itu juga sudah memiliki lima anak.

"Bagaimana kabar mereka sekarang ya?" Salman termangu setelah kata-katanya keluar.

Keenam teman Salman seketika memandanginya dengan diam, juga saling lempar pandang satu sama lain.

"Salman, apa kamu tidak merasa aneh dengan keluarga angkat mu itu? Berbulan-bulan loh ya usahanya dalam keadaan kritis tapi sekarang?" Febri berbicara lagi, menanyakan hal yang tadi sudah dua tanyakan.

Aneh saja kan?

Siapapun orangnya pasti akan sangat curiga dengan kemajuan sebuah usaha yang begitu pesat, apalagi setelah berbulan-bulan dalam kebangkrutan dan bisa naik kembali dengan cepat bisa di bilang secara instan.

Apalagi makhluk yang datang dan terus menghantui desa sebelah juga ada setelah meningkatkannya usaha dari orang tua angkat Salman.

"Entahlah..."

Bersambung....

Berfikiran Positif

...~~~...

Selesai dengan pekerjaannya. Salman berniat untuk menyambangi keluarga angkatnya yang ada di desa sebelah. Desa dimana terdapat desas-desus akan cerita tentang makhluk gaib yang selalu berkeliaran di setiap malam hari.

Bukan untuk memastikan atau mencari tau kebenarannya, melainkan Salman hanya ingin mengetahui kabar dari mereka. Semoga saja mereka dalam keadaan baik-baik saja.

"Salman, mau kemana, sudah rapi aja?" Febri yang baru selesai bersih-bersih merasa penasaran dengan Salman yang sudah siap juga bergegas untuk pergi.

"Mau ke kampung sebelah, mau ikut?" jawab Salman seraya menoleh ke arah Febri yang ternyata juga sudah rapi meski baru keluar dari kamar mandi.

"Nggak ah, mau mingguan aja sama ayang beb. Sudah lama juga nggak jalan, ya itung-itung makan malam di luar dinner gitu," Febri terkekeh membayangkan dia yang akan jalan dengan kekasihnya dan dinner spesial di malam minggu meski hanya di pedagang kaki lima.

"Terserah kamu saja lah. Hem..., aku boleh nebeng nggak sampai kampung sebelah. Kamu kan mau lewat sana sekalian daripada aku jalan kaki," Salman berjalan menghampiri, semoga saja Febri mau memberikan dia tebengan kalau tidak ya terpaksa jalan kaki.

Febri diam berpikir, tetapi tak apalah benar kata Salman mereka kan searah kekasihnya juga kampungnya melewati desa itu.

"Boleh," jawab Febri yakin.

Salman keluar lebih dulu, menunggu di luar sekaligus menyalakan motor Febri untuk memanaskannya.

"Feb, kamu pulang jam berapa? Ingat jangan sampai malam. Kalau kemalaman jangan heboh loh ya kalau lewat sini," Salman memperingatkan Febri setelah dia turun dari motornya.

Salman yakin kalau Febri pasti akan heboh kalau sampai dia pulang terlambat dan melintasi jalan desa itu sendiri saja.

"Jangan nakut-nakutin begitu lah, Salman. Tega bener kau ini," Febri sudah mulai merinding membayangkan kalau dia lewat sendiri di tengah malam dan tak ada siapapun yang ada.

Bagaimana kalau pas lewat dia berpapasan dengan makhluk bermata merah yang menjadikan orang-orang sangat takut dan tidak keluar rumah saat malam hari? Bisa-bisa terbirit-birit kan Febri.

"Aku nggak nakutin, tetapi hanya mengingatkan saja," jawab Salman.

"Huh! Kebiasaan kau ini. Sana pergi, aku juga mau pergi." Febri berkata dengan nada kesal, tangannya juga langsung menghidupkan lagi mesin motornya dan bergegas. Bisa-bisa pacarnya akan ngomel nantinya.

Tetapi benar juga sih, di bilang pemberani Febri juga tidak seberani yang dia katakan. Di bilang penakut nyatanya dia juga berani keluar meskipun ini juga sudah sore. Febri berada di antara takut juga berani dia berada di tengah-tengah.

Sejenak Febri membayangkan akan makhluk yang mungkin akan tiba-tiba nongol di depan wajahnya, astaga dia sudah ngeri, merinding bulu kuduknya juga langsung berdiri.

"Kenapa malah melamun, nggak jadi berangkat?" Salman yang hendak berjalan menjadi urung dan kembali menoleh ke arah Febri.

"Salman, nanti pulangnya nungguin ya di sini. Atau kalau tidak kamu tetap di tempat Anton dulu, kalau sudah dekat nanti aku kabarin," bau-bau ketakutan Febri sudah muncul nih.

"Kalau kamu takut nungguin, ajak saja Anton untuk nemenin kamu," Imbuhnya.

Bisa saja Salman mengajak Anton, Anton teman nongkrong mereka juga sekaligus anak kandung dari Koh Fei orang tua angkat Salman. Tetapi tak enak juga sih meski Anton akan menyetujuinya.

"Memang kenapa, kamu takut?" jawab Salman malas sekaligus melemparkan tanya.

"I-iya," Febri tersenyum kikuk. Belum jelas dia takut atau tidak karena belum pernah bertemu juga dengan hal-hal yang seperti itu hanya saja kok rasanya ngeri-ngeri sedap gitu ya.

"Makanya jangan pacaran mulu." Salman hendak berjalan.

"Halah... iri bilang boss..., sebenarnya kamu pengen juga kan? Makanya cari gebetan ngapa, masak jomblo mulu nggak capek?" Nyinyir Febri.

"Kayak emak-emak luh! Pergi sana. Awas, di ujung desa sana itu...?"

"Jangan ngacok deh loh, Salman!" sengaja Febri memukul bahu Salman, dia mulai merinding kan meski yang Salman katakan juga tidak jelas.

Salman hanya terkekeh tak menanggapi dengan ucapan lagi. Dia langsung melangkah pergi untuk ke tempat Kok Fei.

Setelah kepergian Salman, Febri juga langsung tancap gas. Dia harus berusaha keras supaya tidak pulang sampai malam takut kalau Salman tidak menunggunya dan dia akan lewat sana sendiri.

"Hi.." Febri menaikan bahunya dia sudah bergidik ngeri lebih dulu. Matanya juga terus diedarkan ke segala penjuru, Alhamdulillah tidak ada apapun yang dia lihat kecuali beberapa orang yang melintas.

Sampailah Salman di kediaman Koh Fei. Dilihatnya usahanya yang memang mulai kembali pulih lagi. Beberapa waktu lalu saat Salman datang masih sepi tak ada orang yang bekerja kecuali anaknya sendiri dan sekarang sudah ada beberapa orang yang membantu.

Meski merasa heran juga sangat curiga tetapi Salman tidak mau memiliki prasangka yang buruk kepada keluarga yang sangat baik padanya. Keluarga yang selalu menganggapnya sama seperti anak mereka sendiri bahkan juga tidak pernah membedakan.

Salman masih melihat-lihat orang-orang yang sudah beres-beres untuk istirahat, begitu juga dengan anak Koh Fei yang ada di sana.

"Salman!" Deri anak pertama Koh Fei memanggilnya, melambaikan tangannya. Dia begitu senang melihat Salman yang datang.

Deri benar-benar menyamakan Salman seperti Anton, sudah seperti adiknya sendiri.

Salman juga melambaikan tangannya, melangkah menghampiri Deri.

"Belum istirahat, Bang?" tanya Salman. Matanya menatap Deri tetapi sesekali melihat-lihat usaha yang mulai ramai lagi dengan pesanan.

"Nih baru mau istirahat. Barang harus di kirim besok jadi harus jadi hari ini," Deri masih terus membereskan alat-alat yang tadi dia gunakan tetapi juga masih ada beberapa orang yang membantunya juga.

Tangan Salman menyentuh hasil karya dari Deri juga teman-temannya. Hasilnya tidak bisa diragukan, pahatan nya sangat rapi ukirannya juga sangat bagus. Patut di acungi dua jempol pokoknya.

Mungkin karena hasilnya yang bagus itulah yang membuat usahanya kembali naik. Lebih baik di pupus dengan pikiran seperti itu daripada nantinya akan tumbuh kecurigaan yang tidak mendasar.

"Hasil kerja Bang Deri memang sangat bagus dan halus. Perlu belajar dari Bang Deri nih," pujian Salman lontarkan. Tetapi bukan semata pujian abal-abal karena memang sangat bagus.

"Kamu bisa saja. Hasil karyamu juga sudah bagus," jawab Deri.

"Masih belajar, Bang. Belum bisa sebaik seperti Bang Deri."

"Yuk masuk," ajak Deri.

Salman mengikuti Deri tanpa mengatakan apapun dia hanya mengangguk lalu membuntuti Deri.

Tak tau ada apa, tetapi ada rasa yang sangat aneh. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang terasa adem dan biasa-biasa saja tetapi saat ini Salman merasa sedikit panas. Ada aura yang sangat berbeda dari sebelumnya.

Tidak mengerti apa alasannya yang jelas baru saja masuk kedalam rumah Salman merasa sangat kepanasan padahal ada kipas angin yang sudah di nyalakan tetapi sepertinya tidak berpengaruh apapun padanya.

"𝘔𝘶𝘯𝘨𝘬𝘪𝘯 𝘬𝘢𝘳𝘦𝘯𝘢 𝘤𝘶𝘢𝘤𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘶𝘯𝘨 𝘮𝘢𝘶 𝘩𝘶𝘫𝘢𝘯 𝘫𝘢𝘥𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢 𝘱𝘢𝘯𝘢𝘴, " 𝘣𝘢𝘵𝘪𝘯 𝘚𝘢𝘭𝘮𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱 𝘣𝘦𝘳𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘱𝘰𝘴𝘪𝘵𝘪𝘧.

Bersambung...

Kecurigaan

Kedatangan Salman ke rumah Koh Fei sangat di sambut baik oleh semua keluarga, termasuk Koh Fei, beserta Istri Bu Yun juga semua anaknya yang ada di rumah.

Bahkan mereka semua juga tidak segan untuk mengajak Salman untuk makan malam bersama mereka.

Tak mau membuat kecewa Salman menurut, dia makan bersama keluarga Koh Fei di satu lingkar meja dari kayu jati yang sepertinya juga buatan tangannya sendiri.

Meskipun tak mempunyai mata batin atau yang di sebut indra keenam namum Salman tetep saja merasakan ada sesuatu yang berbeda, ada aura hitam yang semakin kuat di dalam rumah itu.

Salman yang tak mau dianggap sok tau hanya memilih diam dan menyimpan semua yang dia rasakan sedari tadi dia datang sampai sekarang.

Semakin malam aura itu semakin kuat, Salman semakin merasa panas padahal sudah ada beberapa AC yang ada di sana juga sudah di nyalakan tetapi tetap saja tak membuat salman semakin membaik.

Selesai makan Koh Fei sesekali mengajak bergurau begitu juga dengan Bu Yun. Mereka terus bertanya bagaimana pekerjaan Salman, dia betah atau tidak, bosnya baik atau tidak, bagaimana makannya terpenuhi atau tidak bahkan bagaimana keadaan tempat tidur Salman semua mereka tanyakan.

Sesekali Salman tersenyum sebagai jawaban sesekali dia mengangguk juga kadang menjawab dengan kata yang singkat saja dan itu sudah cukup membuat mereka berdua sangat senang.

Meskipun hanya anak angkat tetapi mereka sangat perhatian kepada Salman. Memberikan perhatian penuh selayaknya anak kandung mereka sendiri. Bahkan mereka sebenarnya menginginkan Salman tinggal di sana tetapi dia menolak.

Kring... kring... kring...

Belum juga mereka selesai berbincang-bincang ponsel Salman berbunyi dengan cepat dia pamit untung mengangkatnya.

''Saya pamit sebentar,'' pamit Salman.

Koh Fei mengangguk, mengizinkan Salman untuk menerima telfon dari seseorang.

Salman sedikit menjauh dari tempat mereka duduk berkumpul, setelah berada di tempat yang lumayan jauh Salman langsung mengangkatnya yang ternyata adalah Febri.

''Ada apa?'' tanya Salman dengan cepat tak mau berlama-lama dan membuang waktu lebih lama lagi karena tak enak juga dengan yang lain yang tengah menunggunya.

''Udah pulang belum, aku udah otw nih,'' ucap Febri.

''Pulang dulu ngapa sih!'' sebenarnya Salman masih ingin berada di sana karena dia juga sudah sangat lama tak mengunjungi keluarga itu.

''Ayolah, pokoknya aku sampai di jalan tadi kamu harus sudah ada, awas saja kalau kamu belum datang.''

''Halah... bilang saja kamu takut kan?''

''Nggak!'' ucapan Febri terdengar begitu ngegas sepertinya dia sama sekali tidak suka di katai sebagai penakut, padahal memang iya sih.

Salman tidak menjawab dengan kata tetapi dia malah terkekeh yang mana berhasil membuat Febri kesal dan langsung mematikan ponselnya.

Salman cepat kembali ke tempat berkumpul, duduk sebentar lalu dia beneran pamit untuk segera pulang.

"Koh, Salman pamit dulu ini sudah malam. Besok Salman pasti bakal main lagi ke sini," ucapnya.

"Baru juga ngobrol sebentar sudah mau pulang saja. Tinggallah sebentar lagi, kami masih belum puas," Bu Yun ya berbicara.

Kasih sayang Bu Yun yang selalu membuat Salman dekat dan juga tidak tega untuk menolak keinginannya, tetapi kali ini Salman memang harus pulang kalau tidak entah petuah apa yang akan dia dapatkan dari Febri saat dia kesal.

"Maaf Bu, tetapi Salman benar-benar harus kembali. Sudah ada temen yang nunggu di jalan," sebenarnya sangat tidak enak bagi Salman tetapi apa mau di kata.

"Biarkan dia pulang, Bu. Besok juga dia datang lagi," ucap Koh Fei.

"Baiklah, ingat jangan lama-lama mengunjungi kami. Kami akan sangat menunggu kedatangan mu," Bu Yun terlihat sangat sedih saat Salman ingin pulang, tetapi dia juga tidak bisa mencegahnya karena dia juga menyadari akan situasi mereka yang dulunya hanya orang asing dan sekarang sudah seperti keluarga.

"Assalamu'alaikum, Salman pamit, Koh, Bu," Salman menyalami keduanya sebelum dia benar-benar pergi dari sana.

"Wa'alaikumsalam," jawab keduanya bersamaan.

Kuk... Kuk... Kuk...

Suara burung hantu menambah suasana yang dingin-dingin angker di jalan pertigaan di desa itu. Di mana Febri masih menunggu Salman yang belum juga nongol batang hidungnya. Febri juga masih terus menunggangi sepeda motornya dan tak ada niat untuk sedikit menjauh darinya.

Padahal juga baru selesai shalat isya tetapi sudah tak ada satu orangpun yang terlihat berkeliaran. Kini Febri hanya menunggu seorang diri di sebuah pertigaan jalan juga di bawah pohon besar yang kemungkinan umurnya juga sudah tua.

Suara burung gagak juga terus bersahutan, berebut dengan suara burung hantu yang sama-sama tak mau kalah. Dan kedua suara itu begitu sangat jelas dan terasa hanya di atas kepala Febri saja.

"Salman, cepat lah. Aku sudah tidak tahan," ucapnya. Matanya terus celingukan bersamaan dengan bulu kuduk yang mulai terbangun juga tengkuknya yang terasa mulai tebal juga terasa panas.

Berkali-kali Febri mengusap juga memijat kecil tengkuknya, berharap dengan cara itu dia bisa menghilangkan perasaan aneh yang muncul seiring berjalannya waktu yang semakin malam.

Kak... Kak... Kak..

"Astaga..., kenapa harus suara dua burung seram itu sih yang nongol. Sesekali suara artis Hollywood napa sih. Kan bisa ikutan ucek ucek hotahe," ucapnya yang semakin gemetar.

Febri juga sudah mulai merasa sangat aneh, ada hawa dingin yang bercampur dengan hawa panas yang tak jelas. Keduanya seakan bertarung dengan udara yang sama-sama ingin menjadi penguasa malam.

Febri kembali merogoh saku celananya kembali mengambil ponsel untuk menghubungi Salman yang dia rasa sangat lambat kali ini.

Tetapi kejadian tak mengenakan terjadi kepada Febri, saat dia menarik ponselnya ponsel itu malah terjatuh.

"Sial, kenapa harus jatuh sih! Ngerepotin saja. Awas saja kau Salman, akan aku jadikan perkedel kalau kamu datang," umpat Febri sangat kesal.

Febri celingak-celinguk sebelum dia turun dari motor, memastikan tak ada hal-hal aneh yang mungkin tengah melintas di sana, semoga hanya suara burung dua jenis itu saja yang terus menemaninya dan bukan yang lebih menakutkan lagi.

Bayangan akan pocong bermata merah terus bergelantungan di pikiran Febri membuatnya ekstra hati-hati dalam pergerakannya, apalagi kali ini dia semakin di buat merinding.

"Jangan datang ya, jangan datang ya," kicau Febri menyaingi suara burung yang bertengger di dahan pohon yang tepat di atas kepalanya.

Febri mulai membungkuk, tangannya meraih ponsel yang terjatuh.

Pluk...

Febri terdiam, dia semakin gemetaran saat tiba-tiba ada sesuatu yang menyentuh bahunya.

Dua netra hitam milik Febri terus berputar-putar di barengi dengan bibir yang bergetar juga.

"Jangan-jangan..." Suaranya hampir saja tak dapat terdengar, dia sudah sangat ketakutan.

"Pocong... Pocong..!" teriak Febri, dengan gerak cepat dia langsung menaiki motornya, merogoh saku untuk mencari kunci yang sebenarnya masih terpasang di motornya sedari tadi.

Matanya tak mau melihat apa atau siapa yang ada di sebelahnya, ketakutannya sudah sangat menguasai Febri.

"Hey, calon pocong! Kamu takut sama pocong! Hhhh..." Salman terkekeh melihat temannya yang sudah kalang kabut dalam ketakutan.

Febri memicing kecil, dan akhirnya dia kesal, dia ingin mengumpat sebanyak-banyaknya setelah melihat yang di sana ternyata adalah Salman.

"Hahaha...!" tawa Salman menggelegar sekarang. Lucu sekali melihat wajah Febri.

"Kurang asemmm..."

---///----

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!