...Happy Reading......
...•...
Green menatap pantulan dirinya sendiri pada kaca besar di kamarnya. Ia sama sekali tidak menduga jika kehidupannya yang sekarang, berbanding sangat terbalik dengan kehidupan lamanya di hutan. Dan ya, semua ini karena Ivory. Ivory adalah orang yang telah membawa dirinya untuk bertemu dan memperkenalkan arti dan makna sesungguhnya tentang keluarga.
Terdengar tiga ketukan di pintu, dan sontak Green berbalik. Menunggu siapa yang akan muncul dari sana.
Pintu berderit lembut, dan sosok sang ayah muncul. Aruchi tersenyum hangat melihat putrinya yang begitu cantik dalam balutan gaun sepanjang tubuhnya hingga menyentuh lantai, leher V sedikit turun, dan sematan aksesoris menyerupai rangkaian bunga sulur yang melingkar diatas kepala.
Raja Aruchi hanya ingin memastikan jika Green masih berada dikamarnya, tidak lari bersama pria yang tidak begitu disukainya, Junot Anderson Giora, panglima perang Geogini.
“Pangeran Havier sedang menunggu dibawah.”
Green menghembuskan nafas jengah. Ia bahkan sudah meminta ayahnya itu menolak pertemuan ini. Green sama sekali tidak menginginkannya, perjodohan yang ditawarkan itu terdengar mustahil.
“Ayah, aku melakukan ini hanya sebatas menghargai mereka. Tidak untuk dipersunting atau apapun yang berhubungan dengan pernikahan.”
Aruchi mengerutkan kening. Bagaimana putrinya itu bisa menolak pangeran setampan Havier, dan lebih berkeras hati untuk menutup perasaannya.
“Kenapa? Pangeran Havier baik, dia berpendidikan, dan dia juga memiliki pangkat tinggi dikerajaan. Dia adalah calon raja, Honey.”
“Green. Aku suka dipanggil Green.” koreksinya. Dia tidak ingin melupakan jasa Skiva dengan membiarkan seseorang mengganti nama panggilan yang dulu di hadiahkan kepadanya.
“Ayah memanggilmu Honey agar mereka tau jika kamu adalah gadis yang manis dan memiliki banyak manfaat, seperti madu.”
“Tapi Green, lebih mengesankan untukku.”
Raja Aruchi menghela nafas, mengalah dan tidak ingin berdebat lebih lama untuk sebuah nama panggilan. Green maupun Honey, mereka adalah nama yang tersemat pada orang yang sama, yakni putrinya yang pernah hilang selama dua puluh tahun silam.
“Baiklah. Ayah menunggumu dibawah. Cepat selesaikan urusanmu didepan meja rias dan segera temui ayah di meja makan.”
Green tidak memungkiri jika kini dia lebih terikat. Dia tidak bisa bebas melakukan apapun seperti sebelumnya, namun ia bersyukur karena ayahnya yang sudah tua itu menyayanginya.
Kepalanya mengangguk. Ia mengantar kepergian sang ayah dari kamar dengan tatapan mata melalui kaca besar yang ada di samping meja rias. Kemudian pikirannya kembali tertuju pada seseorang. Junot.
“Mengapa dia tidak datang?” ucapnya khawatir. Biasanya, jika sang ayah mencoba untuk memperkenalkan laki-laki padanya seperti sekarang ini, dia akan mengundang Junot dan mengakui laki-laki itu sebagai kekasih yang sangat ia cintai didepan laki-laki kiriman ayahnya. Atau paling parahnya, Green akan meminta Junot membawanya kabur dari istana untuk beberapa saat, sampai tamu penting ayahnya itu pergi karena kecewa. Tapi hari ini, mengapa dia tidak kunjung muncul? Sebenarnya Junot sedang melakukan apa sampai tidak menunjukkan batang hidungnya?
Green mulai khawatir, tapi dia terus berusaha tenang agar ayahnya tidak menjadikan kekhawatiran pada raut wajahnya untuk dijadikan senjata meluluhkan tembok penolakan yang ia bangun sekokoh mungkin.
“Aku akan membun*uhmu jika sampai aku harus menikah dengan laki-laki itu, Jun.” sumpahnya sambil memejam beberapa saat dengan dengusan nafas besar yang ia lepas penuh amarah.
Green berdiri, namun langkahnya terhenti. Senyuman tercetak jelas pada birainya ketika melihat Junot berdiri sedikit jauh dibalik punggungnya.
“Kalau anda membunuh saya? Lalu siapa yang akan menyelamatkan Anda dari perjodohan konyol raja Aruchi?” Sahutnya, membuat bahu Green terlonjak kaget. “Untuk datang kesini, aku perlu waktu sekitar dua hari, dan anda menghubungi saya satu hari yang lalu. Bukankah Anda pantas memberi saya penghargaan untuk rekor tercepat dengan jarak 720KM dengan waktu satu hari satu malam?”
Green tidak bisa menghindari debar jantungnya yang sedang meronta. Ia sangat menyukai dominasi Junot. Ia lantas bergerak mendekat, berjalan sebayak tujuh langkah dan menemukan dada Junot. Kedua kakinya berjinjit, lalu mencuri satu ciuman di bibir laki-laki yang sangat ia kagumi itu.
“Aku akan memberikan penghargaan itu. Penghargaan PALING BERHARGA yang pernah aku miliki,” Green menekan kalimat 'paling berharga' nya dengan tegas. “Jika kamu berhasil menggagalkan pertemuan dan perjodohan yang dilakukan ayahku.”
Junot berdecak. Ia membuang wajah kesamping, menahan kuat-kuat gairah yang mulai menuju ke pusat tubuhnya. Lalu ia berkata pongah dengan wajah yang kembali menatap serius kearah Green. “Oh, benarkah?” bisiknya seduktif didepan wajah Green sembari menatap mata dan bibir indah gadis itu secara bergantian. “Baiklah. Persiapkan dirimu untukku, putri Green.” katanya, mengecup singkat pada birai gadis itu sebagai balasan untuk ciuman yang dibuat Green sebelumnya, yang ia susul dengan tarikan sudut bibir membentuk seringai.
Green memaku, ia salah mencari musuh.
“Kau tidak bisa lari dariku.” []
^^^to be continued.^^^
...🍃🍃🍃...
...Hai. Vi' Kembali dengan cerita Green....
...Aku harap kalian suka....
...Beri dukungan like, fav, rate, hadiah, serta komentar kalian ya...*Follow akun Vi's jika berkenan dan tidak keberatan....
...Silahkan baca Disclaimer yang sudah aku tulis dan pergunakan sejak menjejakkan karya di Novel Toon agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan....
...See you....
...___________________...
...Disclaimer....
^^^-Cerita ini murni imajinasi penulis.^^^
^^^-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidak sengajaan.^^^
^^^-Semua karakter didalam cerita tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata.^^^
^^^-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan.^^^
^^^-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain.^^^
...—...
...Sebelum lanjut baca, beri apresiasi kepada penulis dengan cara Like, tambahkan ke rak Favorit, beri komentar, hadiah, serta Vote untuk cerita ini....
...Terima kasih....
...Happy Reading......
...•...
Suara hentakan kaki kuda yang membawa kereta kencana itu terdengar bersahut-sahutan menggema ketika memasuki halaman istana yang beralaskan marmer berwarna cream. Udaranya lembab, dan suhunya terasa rendah ketika menerpa permukaan kulit. Tapi itu semua tidak mengejutkan untuk Green yang baru pertama kali menginjakkan kaki di wilayah Amber. Istana kerajaan yang mulai hari ini akan menjadi tempatnya menghabiskan sisa hidup. Penuh kekangan, peraturan, dan tentu saja tuntutan yang harus selalu ia patuhi.
Green mengintip keluar jendela kereta kencana yang ia naiki. Sapuan udara menyapa kulit wajah cantiknya, dan pemandangan sebuah bangunan megah dengan pilar-pilar besar menyambut Indra penglihatannya. Bentuk dan design bangunannya berbeda dengan Geogini. Jika Geogini terkesan hangat dan penuh citra lembut, Amber lebih terkesan tegas dan misterius. Dan satu lagi yang membuat manik Green hampir terbelalak dan melompat keluar dari tempatnya adalah lambang kerajaan mereka. Seekor harimau dan phyton yang sedang bergumul saling membelit.
Namun tidak meninggalkan kesan indah lebih dari Geogini, Amber sangat dekat dengan sebuah laut lepas pantai, dan juga gunung berapi tidak aktif yang menjulang tinggi.
Kereta kencana itu berhenti, seorang prajurit membuka pintu dan mempersilahkan Green untuk turun.
Untuk beberapa saat, manik Green mengedarkan pandangan, menyesuaikan diri dan takjub akan apa yang dilihatnya saat ini. Perlahan, ia menuruni kereta kencana, menapakkan kaki berbalut stocking hitam dan sepatu kulit berwarna coklat itu diatas lantai marmer, disambut hangat oleh beberapa dayang istana. Ini semua nyata, dan Green akan hidup ditempat semegah ini.
Green mengingat-ingat kembali tentang apa yang menjadi kesepakatannya dengan sang ayah untuk mau tinggal disini.
Pertama, jangan pernah berperang jika tidak dalam keadaan mendesak.
Kedua, jangan pernah mengusik ketenangan Geogini.
Ketiga, jangan ganggu atau menyakiti Junot.
Ya. Tiga permintaan yang wajar. Ah, lebih tepatnya hanya dua, permintaan terakhirnya itu terdengar konyol. Bagaimana bisa persyaratan seperti itu muncul begitu saja dari bibirnya. Tapi ia rasa itu hal benar, sebab Aruchi terlihat tidak suka kepada Junot. Ya, Junot harus di lindungi. Spesies laki-laki seperti itu sangat langkah. Atau, Green memang belum pernah bertemu dengan yang seperti itu sebelumnya? Yang terpenting, Junot aman.
Tapi, terlepas dari semua itu, harusnya Aruchi berterima kasih kepada Junot. Sebab, karena laki-laki itulah, Green berubah pikiran dan ikut ke Amber bersama Aruchi.
“Tunjukkan dimana kamarnya. Honey perlu istirahat.”
Belum sempat para dayang itu menjawab perintah Aruchi, Green terlebih dahulu menyela dengan raut tak suka. “Panggil aku Green.”
“Ah, baiklah. Antar putri Green menuju kamarnya.”
Semua dayang membungkuk lima belas derajat, lantas menggiring Green menuju bangunan bertingkat yang terlihat seperti colloseum itu.
Green yang berjalan mengikuti langkah para dayang terlihat sedikit kagum akan penampakan ornamen didalam bangunan istana. Ada beragam ornamen yang tercetak didinding, lukisan-lukisan besar yang digantung dibeberapa titik, tungku perapian yang mungkin akan sangat berguna di musim dingin, serta benda-benda yang terlihat elegan. Pasti Aruchi ini tipikal orang yang mencintai seni.
Langkah kaki Green mulai menyentuh anakan tangga. Dari sini ia bisa melihat sebuah lukisan besar, atau sangat besar yang terpampang ditengah-tengah ruangan. Seorang wanita menggendong bayi sambil duduk, dua pria kecil yang berdiri disampingnya, dan seorang pria dewasa yang berdiri dibalik punggung sang wanita, yang Green tau dengan pasti siapa orang itu. Dia adalah Aruchi. Ya, Aruchi, ayahnya.
Maniknya masih memaku disana, dimana lukisan itu terpampang. Wanita dalam balutan gaun berwarna merah itu terlihat begitu anggun dan cantik. Rambut bergelombangnya berwarna coklat madu—seperti miliknya—dan senyuman begitu lembut yang sangat pas diwajah cantiknya. Green juga sadar siapa yang ada didalam gendongan wanita itu. Itu pasti dirinya.
“Lukisan itu dibuat saat anda berusia satu Minggu, tuan putri.” ucap salah satu dayang yang berbaju lain dari yang lain, mengejutkan gadis bermata coklat di sampingnya. Green menebak, dia adalah kepala dayangnya. Siapa tadi namanya? Te—ah, Theana.
Lantas Green kembali memutar pandangan dan menatap lekat pada bayi dalam pelukan wanita itu. Baju yang dikenakan bayi itu sama persis seperti miliknya yang dipajang dalam figura dirumah Skiva.
Mendadak, kaki Green seperti kehilangan kekuatan dan berubah lemas seperti jelly. Dia hampir limbung namun secepat kilat meraih pegangan besi yang membentuk lilitan seperti ular, yang berada tidak jauh dari jangkauan tempatnya berdiri.
“Apa—itu, aku?” tanyanya ragu. Berharap semuanya tidak mengakui dan Green bisa meninggalkan tempat megah ini dengan perasaan senang tanpa beban.
“Iya, tuan putri. Bayi itu adalah anda. Ratu Aluna sangat menyayangi anda dan rela melindungi anda dengan nyawanya.”
Mendengar itu, hati Green mencelos. Jadi ibunya itu sudah kembali ke pangkuan sang pencipta? Jadi itu alasan mengapa dia tidak mendapat sambutan dari seorang ibu?
“A-aku ingin pergi melihat tempatnya dikebumikan.”
Dayang itu tersenyum. “Keinginan anda akan terwujud. Tapi, silahkan beristirahat terlebih dahulu. Raja tidak ingin anda sakit karena kelelahan setelah menempuh perjalanan selama dua hari.”
Green mengangguk. Dia kembali berjalan mengikuti langkah dayangnya. Green menyukai lukisan-lukisan yang seperti menggambarkan kebahagiaan keluarga kecil raja Aruchi yang dituangkan dalam bentuk abstrak itu. Namun, langkahnya harus kembali terhenti ketika melihat sebuah lukisan wanita lain yang berdiri disamping Aruchi ketika mencapai ujung paling atas tangga. Wanita berwajah ketus dan beraura kejam. Green memicing mempertajam pandangan.
“Siapa wanita itu?”
Sesaat, para dayang saling tatap. Terlihat sedang memikirkan sesuatu. Atau mereka memang berniat menyembunyikan sesuatu?
Tapi semuanya terjawab ketika kepala dayang bernama Theana kembali buka suara.
“Dia, ratu Hellen. Istri kedua raja, ibu tiri anda.” []
^^^To be continued.^^^
...🌼🌼🌼...
...Vi's ucapkan banyak terima kasih untuk yang sudah mambaca cerita Green. Luangkan waktu untuk memberikan Like, komentar sebagai apresiasi bagi penulis. ...
...Sampai jumpa di Chapter selanjutnya......
...👋👋👋...
...Sebelum lanjut baca, beri apresiasi kepada penulis dengan cara Like, tambahkan ke rak Favorit, beri komentar, hadiah, serta Vote untuk cerita ini....
...Terima kasih....
...Happy Reading......
...•...
Jika ditanya ’pernah memperjuangkan seseorang atau tidak?’, jawaban Junot pasti tetap sama, ‘tentu saja, aku mengabdi pada kerajaan Geogini selama hidupku, jadi aku memperjuangkan seluruh isi Geogini.’
Tapi coba tanyakan, ‘Apa dia pernah memperjuangkan seorang wanita?’, Junot pasti akan diam seribu bahasa dan meninggalkan siapapun yang bertanya hal itu kepadanya.
Selama 35 tahun kehidupannya, seluruh isi otak Junot hanya tentang senjata, strategi perang, atau paling menyedihkan, ia ingin sekali pulang tapi tidak ada tempat untuk ia tuju, selain Geogini. Geogini terkadang sangat membosankan, karena harus selalu menjadi tempat tujuannya ketika kembali dari tugas jauh yang menguras tenaga, dan juga emosi.
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Junot ingin sekali pergi ke tempat lain, dimana orang dengan wajah-wajah berbeda yang menyambut kedatangannya, merangkulnya karena rindu, lalu menyiapkan makanan enak seperti yang didapat teman-temannya yang pernah mengajak dia berkunjung kerumah mereka.
Sebuah hembusan nafas terlalu keras ia denguskan. Mungkin memang sudah takdir hidupnya tidak memiliki keluarga. Tapi setidaknya, diusianya yang sudah hampir kepala empat, ada seseorang yang berdiri disampingnya, menjadi pendamping hidupnya, atau menyiapkannya makanan enak sebelum ia kembali pada pangkuan sang pencipta. Ya, dia tidak tau kapan kematian akan menjemputnya, oleh sebab itu, sebelum hal itu terjadi, Junot ingin merasakan sebuah arti dan makna kehangatan keluarga.
“Melamun? Kenapa? Apa ungkapan cintamu di tolak gadis desa?” kelakar Orlando, teman satu pekerjaan di Geogini.
Sialan.
Junot meninju lengan temannya hingga limbung, lalu membalas dengan sebuah tepukan di bahu yang sedikit mengejutkan bagi Junot.
“Jun,” panggil Orlando sembari menatap lekat pada wajah Junot yang datar tanpa ekspresi, seperti biasanya. “Sepertinya, putri raja Aruchi itu menyukaimu.”
Junot memutar arah pandang, ia menatap Orlando penuh intimidasi.
“Jangan bicara sembarangan. Kamu bisa menimbulkan fitnah yang tidak berdasar untuk gadis muda itu.”
“Lalu, kenapa? Bukankah sikapnya terlihat begitu mencolok? Hei, kawan. Seorang wanita tidak akan bertingkah seperti itu jika tidak memiliki rasa kepada seorang laki-laki.”
Orlando berdiri, menyesap batang rokoknya yang nyaris menyentuh bibir, melempar, kemudian menginjakkan kaki untuk mematikan bara api, lantas kembali berbicara pada Junot. “Bukankah dua hari lagi kita kembali ke Geogini? Kunjungi dia, siapa tau dia sedang merindukanmu.”
Oh astaga. Junot ingin sekali meremat bibir Orlando hingga menyerupai makanan militer yang selalu membuat perutnya mual, lalu memberikannya kepada segerombolan serigala liar agar dimakan habis. Orlando itu kadang sangat menyebalkan jika membahas tentang kisah percintaan dalam kehidupan Junot.
Dan juga, jangan salah menilai tentang Orlando yang baik hati, tampan dan manly itu. Dia adalah spesies laki-laki bermulut manis dan pandai merayu hingga wanita takhluk dan berakhir dalam dekapan hangatnya di atas ranjang. Untuk satu itu, sepertinya Junot perlu belajar dari temannya.
...***...
Matahari menyapa, menerpa fitur wajah Junot yang masih bergelung dibalik selimut tebal di atas Hammock yang ada diluar salah satu tenda prajurit. Junot lebih suka tidur dengan udara terbuka, angin sepoi-sepoi, dan menatap langit malam yang dihiasi kelip bintang. Atau sesekali tanpa sengaja melihat bintang jatuh yang bergerak cepat dan membuat permohonan agar segera dipertemukan dengan sosok yang setia berdiri disisinya sampai menua.
Sebenarnya, Junot sendiri tidak percaya dengan tahayyul seperti membuat permohonan ketika bintang itu bergerak menjauhi galaksi, itu merupakan hal wajar yang terjadi di alam semesta, dan bukan tempat yang cocok untuk dimintai sebuah do'a. Akan tetapi, suatu ketika dia pernah mendengar ada salah satu prajurit sedang bercerita kepada temannya tentang permohonannya yang terkabul ketika ia meminta di waktu bersamaan dengan bintang jatuh. Mendengar itu, satu keinginan terbesit dalam otak Junot.
Junot mencoba. Apa salahnya mencoba, bukan?
Junot menggeliat, menegakkan tubuh dengan tangan dan kaki yang berada dalam posisi lurus. Dan...ya, hormon testosteron pagi hari Junot masih bekerja dengan sangat baik. Apalagi semalam, dia memimpikan seseorang yang pada malam itu juga mengganggu pikirannya. Honey Green yang ketus dan tidak kalah dingin seperti dirinya kala bicara. Gadis itu lagi-lagi muncul dalam mimpinya. Haruskah dia menyetujui usulan dari Orlando yang menyarankan agar dia mengunjungi Green?
Junot bangkit, menyembunyikan bukti gairah yang sedang menyiksanya. Lalu turun dan bergegas menyelesaikan misi pribadi didalam kamar mandi darurat yang tidak jauh dari Hammock tempatnya tidur.
Setelah selesai dengan urusan kamar mandi, Junot bergegas menuju tenda milik Orlando. Temannya itu sedang bersiap-siap, mengenakan atribut seorang panglima, dan akan kembali ke Geogini.
“Ada apa, Jun?“ sapanya ketika melihat Junot hanya berdiri tanpa suara.
Junot meraba dan mengusap tengkuk lehernya karena dia juga tidak tau mengapa dia malah menuju tenda milik Orlando, bukannya masuk kedalam tenda miliknya sendiri dan bersiap untuk kembali Ke Geogini.
“Ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan denganku?” lanjut Orlando sembari memakai sepatu boots, mendongak untuk mendapatkan kembali fitur Junot yang masih tetap datar tanpa ekspresi.
“Ya. Ada.”
Orlando menggelengkan kepala. Ia tertawa kecil mendengar jawaban singkat dari Junot.
“Apa?”
“Tolong sampaikan pada raja Grey, aku ada urusan penting. Jadi, aku tidak bisa ikut kembali ke Geogini.”
Orlando tampak memicing penuh tanda tanya. Sejak kapan Junot memiliki urusan penting diluar pekerjaannya sebagai panglima Geogini? Atau mungkin....
Wah, ada kemajuan.
“Baiklah. Aku yang akan memimpin dan membawa kembali pasukan ke Geogini. Selesaikan urusan penting itu dengan baik.” jawab Orlando dengan gelak tawa yang menurut Junot begitu dan sangat menyebalkan sekali.
Junot kembali meninggalkan Orlando menuju tendanya sendiri. Mengganti pakaian dengan pakaian biasa, lalu bersiap untuk meninggalkan dan mempercayakan pasukan pada tangan Orlando.
“Apa aku kembali ke Geogini saja, ya? Akan sangat memalukan jika tiba-tiba datang tanpa —”
Ah, bukankah dia juga sudah berjanji akan ke sana setelah menyelesaikan tugasnya? Waktu lima hari pernah ia janjikan, dan sekarang, sudah lebih dari masa tenggang janjinya. Ini sudah hari ke delapan, dan mungkin sangat terlambat jika tiba-tiba muncul disana. Tapi, apa salahnya mencoba.
Junot merapikan pakaian dan celana panjangnya, kemudian celana, mengenakan sepatu. Seperti mau kencan saja? Padahal dia hanya ingin menepati janji untuk menemui Green dan memastikan jika gadis itu betah tinggal diistana bersama sang ayah.
Tapi, mengapa masih saja ada perasaan yang mengganjal didalam hati Junot.
Apa? Apa yang membuatnya gelisah?
Terbesit kembali ucapan yang sering Orlando katakan, didalam kepalanya.
Kamu perlu belajar menaklukkan hati wanita kepadaku. Agar wajah tampan mu itu tidak sia-sia.
Ya. Sepertinya dia memerlukan itu. Sejak melihat Green, mimpinya selalu di dominasi oleh gadis itu. Dan Junot merasakan ada sesuatu yang sangat ia rindukan ketika sedang bertugas jauh, dalam kata lain, Junot merindukan Green.
Ia pun memutar tungkai. Kembali berlari menuju tenda Orlando dan mendapati temannya itu sudah siap untuk memimpin pasukan yang sedang berkemas demi melanjutkan perjalanan kembali ke Geogini.
“Ada apa lagi?” tanya Orlando. Memutar malas bola mata, dan mendengus sebal.
“Aku, aku...”
“Jun. Aku tebak, kamu sedang jatuh cinta.”
Seketika Junot melebarkan mata. Bagaimana bisa Orlando menyimpulkan seperti itu, padahal dia hanya ingin bertanya bagaimana cara menaklukkan hati seorang wanita.
Ah, ya. Sepertinya Orlando tidak salah.
Junot hanya mengatakan berbagai alasan, jawaban, dan pertanyaan dalam gumaman di hati saja. Ia tidak mau mengambil resiko jika Orlando akan mengejek dan menertawakan dirinya karena—
“Beritahu aku, bagaimana cara menaklukkan hati wanita.”
Sialan. Mengapa bibirnya tidak bisa sejalan dengan hatinya? []
^^^to be continued.^^^
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!