Sinar matahari telah lenyap, digantikan oleh sang rembulan yang naik ke singgasana nya. Langit gelap terbentang di angkasa, lampu lampu kota bersinar menerangi jalanan sepi kala itu.
Hari sudah begitu larut, tapi seorang pemuda berusia 16 tahun masih berjalan di trotoar sambil menggendong sebuah tas besar. Iris biru langit nya tampak sedikit berkilau di bawah lampu jalan. wajahnya terlihat kelelahan dengan kantong mata di bawah mata nya. Ia terus melangkahkan kaki nya menuju sebuah rumah bercat kan jingga.
Hembusan nafas lelah ia lepaskan begitu memasuki halaman rumah. Setelah perjalanan panjang mendaki dan menjelajahi alam, akhirnya ia bisa mengistirahatkan tubuh nya malam itu.
Namun langkah nya terhenti tepat di depan pintu. Ia ragu untuk membuka kenop pintu saat itu. Bukan takut di marahi karena telah pulang begitu larut, tapi dengan keadaan di rumah itu. Jika ia bisa memilih, ia akan lebih memilih di marahi habis habisan.
Pemuda itu, Taufan menghembuskan nafas kasar. 'Semua akan baik baik saja.' batin nya dan memutar kenop pintu yang tak terkunci.
Ceklek
"Aku pulang!" Ucap nya sambil tersenyum lebar. Namun hanya keheningan yang ia dapat. Sakit. Kecewa. Ada rasa sakit dan perasaan yang tidak bisa Taufan ungkapkan saat itu. Taufan menghela nafas, namun ia masih mencoba untuk mempertahankan senyuman nya, walau kini justru terkesan pahit. Ia kembali menutup pintu dan menguncinya. Setelah itu Taufan berjalan menaiki tangga menuju ke kamar nya yang berada di lantai dua.
Pintu kamar di buka dan Taufan langsung meletakkan tas besar nya di sisi ranjang lalu menjatuhkan dirinya di atas ranjang. "Akhirnya bisa istirahat juga..." Ujar nya. Mata nya terpejam sekejap, lalu terbuka lagi memandang suasana kamar nya.
Kamar dengan nuansa cat berwarna biru putih yang terlihat sejuk. Di dinding kamar itu terpajang foto foto masa kecil si empunya kamar dengan keluarga nya. Tatapan sendu ia tunjukkan saat melihat foto foto itu. Foto tentang dirinya dan keluarga nya yang tersenyum ceria. Terlihat begitu bahagia...
Namun itu dulu, sekarang semuanya telah berubah. Sejak kematian kedua orang tua nya, kedua saudara nya mulai menjauhi Taufan karena sesuatu yang tidak ia lakukan. Berulang kali Taufan mencoba memperbaiki hubungan mereka, tapi hasilnya sia sia. Semua usaha yang ia lakukan selalu gagal.
"Setidaknya sekali... Apa aku bisa merasakan kebersamaan itu lagi?" Tanya Taufan pada dirinya sendiri. Tak ada salahnya kan, berharap keluarga nya dapat bersama seperti dulu lagi?
Bulir bening menetes dari mata pemuda itu. Tangan nya mencengkram selimut erat, mencoba menahan rasa yang tersimpan di dada nya.
"Ayah... Ibu... Aku merindukan kalian..." Ujar nya pelan.
********
Sinar matahari menyinari bumi. Cahaya terang nya menyorot masuk ke dalam kamar Taufan melalui cela cela di jendela nya.
Kring!! Kring!! Kring!! Kring!!
Alarm berbunyi membuat pemuda itu menggerakkan tangan nya, mencari letak handphone nya untuk matikan dering alarm itu. Ia melihat ke layar handphone yang menunjukkan pukul 06.30 kala itu.
Dengan segera ia langsung bersiap siap untuk pergi ke sekolah. Beberapa menit kemudian, pemuda itu telah siap dengan seragam nya dan sebuah tas berwarna hitam-biru yang ia sampirkan di salah satu bahu nya.
Derap langkah terdengar kala pemuda itu menuruni tangga. Di ruang makan, sudah ada dua saudara nya yang sudah memulai sarapan terlebih dahulu.
"Pagi semua!" Sapa Taufan sambil berjalan mendekati meja makan.
"...."
"Aku berangkat duluan, kak Hali." Ujar Ken, adik Taufan dan langsung meraih tas nya yang ia taruh di kursi dan berlalu pergi.
"Hm. Hati hati di jalan." Hali, kakak sulung Taufan mengangguk pelan lalu berdiri sembari membawa makanan nya ke kamar nya.
Hening...
Angin pagi berhembus dingin menusuk kulit Taufan kala itu. Sekarang hanya tinggal dirinya seorang di ruang makan. Perih menjalar di dada nya. Tangan nya mengepal kuat, tapi ia masih mencoba untuk mempertahankan ekspresi nya.
Di mana kehangatan keluarga di pagi hari? Ia merindukan saat saat di mana pagi mereka di mulai dengan keceriaan dan kehangatan makan bersama sambil sedikit bercanda sebelum berangkat ke sekolah.
Kenapa saudara nya melakukan ini pada nya? Ah, sudah jelas karena masalah itu. Ingatan nya bergulir ke masa lalu, saat kebakaran yang terjadi di rumah mereka dulu dan membuat kedua orang tua nya meninggal. Hanya dia yang berhasil selamat saat itu. Tapi karena itu juga, kedua saudara nya memperlakukan nya seperti anjing rabies yang harus di hindari.
Mereka selalu menyalahkan Taufan sebagai penyebab kebakaran itu dan kematian orang tua nya. Bodohnya dirinya masih mengharapkan kehangatan keluarga seperti dulu.
Taufan menatap kosong meja makan dan sepotong roti serta susu yang tersaji di hadapan nya. Ah lupakan. Ia bahkan tidak lagi berselera untuk memakan nya.
'Hey, aku masih hidup, punya hati dan perasaan seperti manusia lainnya. Bisakah kalian tidak terus mengabaikan ku seperti ini? Apa aku memang harus pergi saja dari kehidupan kalian?'
TBC
Hari ini hari senin, hari yang cukup berat dan menyebalkan bagi Taufan. Karena upacara di laksanakan di hari ini, dan setelahnya langsung di sambung dengan pelajaran oleh raga yang sama sama menguras tenaga.
Ditambah, dengar dengar kepala sekolah yang akan berpidato yang jelas akan sangat lama dan panjang. Ia heran, apa kepala sekolah nya itu tidak lelah mengatakan hal hal sepanjang itu, apalagi harus merangkai kata dan semacamnya. Sementara memaksa murid murid terus berdiri di tengah teriknya sinar matahari.
Ingin sekali Taufan membolos. Atau pura pura sakit sepertinya ide yang bagus. Akan lebih baik jika dirinya bersantai di UKS daripada berpanas panasan. Tapi Taufan dengan terpaksa menyingkirkan pikiran itu. Ia tak ingin menambah gelar baru di sekolah nya.
Sudah cukup ia mendapat gelar 'biang onar' dan 'tukang bolos' ia tak ingin mendapat gelar 'penipu' kali ini.
Ketahuilah, dirinya masih lelah setelah mendaki kemarin. Waktu istirahat nya masih belum cukup. Ia masih membutuhkan liburan. Kenapa hari senin ke minggu itu begitu lama, sedangkan hari minggu ke senin hanya seakan jarum jam yang berdetik ke angka berikutnya saja. Sungguh singkat.
Dan tepat seperti yang ia duga, upacara kali ini berlangsung lebih lama karena ceramahan pak kepala sekolah yang begitu panjang. Ingin sekali Taufan kabur, tapi tekat nya sudah bulat kali ini untuk tetap bertahan, walau dalam hati ia terus menggerutu tidak jelas.
Setelah upacara selesai, Taufan langsung merebahkan tubuh nya di meja. "Akhirnya... Aku merasa hidup kembali."
Namun, ketahui lah, ketenangan itu tak akan berlangsung selama nya.
Bruk!
"Woy! Siapa sih yang seenaknya lempar baju gini?" Protes Taufan kesal. Jelas saja, dirinya sedang santai tiba tiba dilempar baju siapa yang tidak kesal?
"Cepat ganti baju mu. Aku tau kau sengaja tidak bawa baju olahraga biar bisa bolos kan? Aku ada pertandingan basket, paling balik siang nanti. Jadi gak usah banyak alasan lagi. Kau tahun lalu dah hampir tinggal kelas karena absen mu kurang tau." Oceh Arga panjang lebar.
Ya, Taufan sekarang duduk di kelas 2 SMA. Tahun lalu ia tak begitu mempedulikan kehadiran nya di sekolah. Memikirkan hidup nya saja sudah membuat nya stress. Tapi karena janji dengan sahabat satu satunya itu, ia akan memperbaiki nya dan coba untuk lebih rajin di tahun ini.
Selain itu, tentu saja ia tak ingin satu kelas dengan Ken adik nya.
Tapi, ketahuilah, dirinya masih lelah karena mendaki kemarin.
"Iya iya aku tau. Kau enak ya, bisa gak ikut pelajaran olahraga yang melelahkan itu." Ucap Taufan dengan polosnya.
"Gini gini aku juga harus tetap kejar pelajaran tau. Lagian hari minggu yang seharusnya buat istirahat kenapa malah kau pake buat mendaki yang jelas buat tambah cape?" Sungguh, Arga tidak paham dengan apa yang Taufan pikirkan.
"Lagian di rumah buat apa? Cuma nambah sakit. Mending mendaki, bisa refreshing lihat pohon pohon." Taufan tidak berbohong. Ia lebih memilih di luar rumah daripada menambah sakit dan sesak di dada nya.
Arga hanya menghela nafas. "Hidup mu berat juga ya."
"Emangnya kapan hidup ku tenang?"
Pertanyaan itu membuat Arga terdiam seketika. Ia telah mengenal Taufan sejak TK, dan ia tau jelas sahabat nya itu. Di saat Taufan merasa hidupnya sudah tak berarti lagi, Arga lah yang menjadi penopang sekaligus penyemangat Taufan untuk tetap bertahan. Ia tau pasti berat terus di salahkan atas apa yang tidak di lakukan nya. Tapi apa yang bisa ia lakukan?
Dirinya tidak bisa melawan saudara saudara Taufan. Jelas pemuda itu akan marah nanti. Walau kedua saudara nya begitu membenci Taufan, tapi tetap saja, pemuda bermanik biru itu tak akan membiarkan siapapun menyakiti hati kedua saudara nya.
Arga menghela nafas. "Dahlah, cepet gih. Dah di tunggu sama lainnya tuh."
Taufan akhirnya hanya bisa pasrah. Ia tak ingin mendengar ocehan Arga lebih lama lagi.
"Baiklah, aku bakal ganti baju.
[08.20 lapangan sepak bola_]
Matahari bersinar dengan terik. Langit biru dan gumpalan awan sebagai penghias di langit sana. Angin sepoi sepoi bertiup sedikit mengurangi panas yang menyengat. Ini masih terbilang lagi, tapi suhu udara sudah cukup panas bagi Taufan.
Sudah lewat 10 menit sejak jam pelajaran di mulai, dan pemuda bermanik biru baru saja menunjukkan batang hidung nya. Siapa lagi jika bukan Taufan, pemuda hyperactive yang terkenal di sekolah karena selalu membuat onar?
"Kau tau ini sudah jam berapa? Teman teman mu sudah memulai olahraga sedaritadi. " Ujar guru olahraga.
Tanpa menunjukkan rasa bersalah, Taufan hanya menunjukkan senyuman nya. Walau sebenarnya ia terus menggerutu tentang hari ini. Sudah lelah upacara, masih saja di lanjut pelajaran olahraga yang jelas menguras tenaga.
"Ya maaf Pak. Dari kelas ke lapangan kan juga perlu jalan." Jawab Taufan asal.
Guru olahraga hanya menghela nafas. Entah ia harus bersikap bagaimana lagi dengan anak itu. "Sudah kesekian kali nya kau telat di jam pelajaran ku. Selain itu alasan mu tidak masuk akal."
"Kalo tidak masuk akal, tinggal di masukin aja kan bisa."
Sungguh, berurusan dengan Taufan hanya membuat emosi.
"Sekarang lari lima putaran mengelilingi lapangan sepak bola!" Lanjut guru olahraga sambil menunjuk ke arah lapangan sepak bola.
"Siap pak!" Cengir Taufan sambil memasang pose hormat.
Dengan cepat Taufan langsung berlari. Biasanya, lari lima putaran lapangan sepak bola bukanlah hal yang berat bagi pemuda itu. Ditambah, ia yang juga sering mendaki Bukit dan gunung jelas memiliki stamina yang besar. Tapi, tidak untuk kali ini.
Tiga putaran pertama ia masih baik baik saja, namun memasuki putaran ke empat, nafas pemuda itu sudah mulai tidak berarturan. Memasuki putaran ke lima, kepala nya mulai terasa pusing, seakan semakin sulit untuk menghirup oksigen di sekitar nya. Taufan menggerutu dengan dirinya sendiri. Tidak biasanya ia seperti ini. Ada apa sebenarnya?
Setelah menyelesaikan putaran terakhirnya, Taufan langsung menjatuhkan dirinya di tepi lapangan sambil mengelap keringat yang menetes dari pelipis nya. Ia masih mencoba mengatur nafas nya yang terasa berat. "Huuh... Apa aku seperti ini sebelumnya?" Tanya Taufan pada dirinya sendiri.
"Hoy Taufan. Tanding yuk!" Ujar salah satu teman sekelas Taufan.
Pemuda bermanik biru itu menghela nafas kesal. "Aku tidak kuat... Lain kali saja lah aku ikut..." Ujar Taufan.
"Katanya sering jelajah hutan, manjat bukit masa stamina cuma segitu sih. Ayolah Fan... Kami kekurangan orang tau!"
Taufan langsung berdiri. Perempatan imajiner muncul di dahi nya. Dirinya lelah, tapi ia paling tidak suka jika dirinya di remehkan. Lagipula apa yang bisa terjadi hanya dengan satu pertandingan? Yang perlu ia lakukan hanya memasukkan gol sebanyak mungkin dan mengalahkan tim lawan bukan?
"Jangan meremehkan ku. Baiklah, aku ikut!"
*****
"GOOLL!!"
Sebuah tendangan di luncurkan Taufan telah ke gawang lawan. Teman teman nya langsung bersorak melihat itu. Jangan remehkan Taufan dalam urusan sepak bola. Sejak kecil Taufan sudah sering bermain sepak bola dan beberapa kali memenangkan kejuaraan.
"Bagus Taufah!"
"Yeah! Ugh.."
Salah satu teman Taufan yang kebetulan ada di dekat nya langsung menoleh.
" Kau baik baik saja Fan?"
Taufan langsung menggeleng cepat sambil menunjukkan senyuman nya. "Tentu aku baik baik saja. Tenang saja!" Elak nya. Walau kenyataan ia mencoba menahan nyeri yang tiba tiba muncul di dada nya. Ditambah nafas nya yang juga semakin tak beraturan. "Ugh nagasku.. " Desis nya pelan. Beruntung kali ini tidak di dengar oleh siapapun.
Pertandingan terus berlanjut, Taufan berlari kencang menggiring bola menuju gawang lawan, beberapa orang gampak mencoba menghadang pemuda bermanik biru itu, namun Taufan selalu bisa menghindari nya.
"Dasar menyebalkan!" Ujar salah satu lawan Taufan dan berusaha merebut bola. Namun, tanpa sengaja dia menyikut dada Taufan cukup keras, mebuat pemuda itu langsung terjatuh.
"Ugh!"
"TAUFAN"
"Hoy! Santai dong main nya, gak usah kasar gitu!" Seru salah satu sekan satu tim Taufan. Beberapa orang tampak mendekati pemuda bermanik biru itu yang terlihat kesakitan.
"Taufan, kau baik baik saja? "
Nafas Taufan mulai kembali tak teratur. Ia meremas dada nya. Rasa nyeri semakin menjalar di dada nya, oksigen seakan semakin menjauh dari nya, membuat nya kesulitan bernafas.
"Akh! Haaah... S-sesak..." Ucap nya sambil mencoba mengambil nafas.
Pandangan nya mulai mengabur, pelipisnya terasa dingin dan keringat dingin membasahi tubuh nya.
"Taufan kau bisa mendengar ku?" Tanya salah satu teman Taufan.
Namun, suara seakan tersangkut di tenggorokan nya, yang membuatnya tidak bisa mengucap.
"Taufan tenanglah... Bernafas lah perlahan."
Tidak bisa... Aku tidak bisa bernafas. Rasanya seperti di tarik gravitasi ke dalam lautan yang dalam. Kepala nya semakin terasa pusing. Ia mencoba mempertahankan kesadaran nya, namun sayangnya itu tak bisa bertahan lama.
Gelap...
Kesadaran nya menguap, membuat nya tenggelam dalam kegelapan.
TBC
Kelopak mata mulai terbuka, menampakkan iris mata blue sky yang menatap kosong. Matanya mengerjap mencoba menyesuaikan cahaya yang masuk ke penglihatan nya.
"Ugh" Lenguh nya saat merasakan sesak sekaligus nyeri di dada nya. Ah iya, dirinya pingsan saat di lapangan tadi.
"Kau sudah sadar." Taufan menoleh seketika. Di sampingnya, seorang gadis berkerudung putih dan mengenakan jaket pink yang menutupi seragam putih nya, duduk di samping Taufan menunggu kesadaran pemuda itu.
Taufan mencoba mengambil posisi duduk, namun dada nya kembali terasa nyeri ditambah pusing yang menjalar di kepala nya.
"Jangan memaksakan diri." Ujar gadis itu sambil membantu Taufan mengambil posisi yang nyaman untuk nya.
Taufan melepas masker oksigen yang entah sejak kapan terpasang di wajah nya, membuat pemuda itu kesulitan berkata. " Aku baik baik saja." Ujar Taufan. Walau sebenarnya ia tak ingin terlihat lemah di hadapan perempuan seperti itu.
"Kalau memang masih sakit, bagaikan jika kita ke rumah sakit saja." Ujar gadis itu dengan raut wajah khawatir.
Taufan langsung menggeleng cepat. "Tidak sungguh, aku baik baik saja." Ucapnya, walau kenyataan nya berbanding terbalik. Taufan hanya tidak ingin datang ke tempat 'menyebalkan' itu saja.
"Baiklah." Perempuan itu membantu memindahkan bantal untuk di jadikan sandaran agar mudahkan Taufan bernafas.
"Terimakasih, ngomong ngomong..." Taufan tampak memperhatikan gadis di hadapan nya yang terlihat tak asing bagi nya. "Kamu siapa ya? Rasanya aku sering melihat mu, tapi aku tak tau nama mu."
Gadis ber iris hazel itu terdiam dengan raut wajah tak percaya. "Kau bercanda kan?"
Sebelah alis Tuatan terangkat, mencari apa ada yang salah dengan kalimat nya? " Tidak, aku serius."
Gadis itu menghela nafas nya. "Sungguh, kita sudah dua tahun ada di sekolah yang sama, bahkan aku sering ke kelas mu untuk menemui Arga. Apa saat pemilihan ketua OSIS kau tak melihat profil ku saat pencalonan kandisat? Ya, wajar saja sih kurasa. Kau kan sering bolos." Celoteh gadis itu.
"...."
"Jika begitu, kenalkan. Aku Yasha, anak kelas IPA-1 kelas 11. Wakil ketua OSIS dan PMR. Kebetulan saat dokter tidak ada, jadi aku yang menemani mu." Ujar Yasha panjang lebar.
"Namaku Ta-"
"Taufan Ravael kan? Anak yang suka bolos dan pernah berkelahi dengan kakak kelas saat masih kelas 1. Ya, aku sudah mengenal mu. Lagipula namau sering di sebut di ruang BK."
ZONK...
"...."
"Apa ada hal baik yang membuat mu mengingat ku? Apa image ku seburuk itu di sekolah ini? Cukup sakit juga ya, dikenal karena keburukan nya." Ujar Taufan dengan ekspresi 'sakit tapi tak berdarah.'
"Maaf maaf, bukan maksud ku begitu. Bagaimana kondisi mu sekarang?" Tanya Yasha mengalihkan.
"Sudah lebih baik, walau masih agak nyeri saat bernafas." Jawab Taufan.
"Baguslah sudah lebih baik. Taufan, apa kau punya riwayat penyakit turunan, mungkin dari ayah atau ibumu seperti asma atau TBC?"
"Sungguh? Kau sudah tanya ke orang tua mu sebelum ini?"
Taufan tampak mengingat ingat. "Tidak. Orang tua ku meninggal saat usiaku 5 tahun dan mereka bilang aku tak punya riwayat penyakit pernapasan."
Yasha memasang ekspresi terkejut. "Kau yatim piatu?"
Taufan sedikit mengangguk. "Jangan bersimpati padaku. Aku tidak mau di kasihani seperti itu. Setidaknya aku masih punya saudara kandung, walau hubungan kami tidak terlalu baik."
Bukan tidak terlalu lagi, melainkan memang tidak baik. Ingatan saat kebakaran itu kembali terlintas di pikiran Taufan, apalagi sikap saudara saudara nya pada nya selama ini.
Yasha terdiam. Seperti film film sinetron saja, orang tua nya meninggal saat masih kecil dan di benci saudara nya sendiri. Sungguh berat hidup Taufan.
Tiba tiba ia bangkit dari duduk nya, membuat Taufan bertanya tanya. " Ayo pulang."
"Hah?"
"Bakal ku antar pulang. Lagian kondisi mu seperti itu, jelas butuh istirahat bukan."
"Tapi gimana pelajaran nya? "
Yasha menghembuskan nafas. "Orang yang suka bolos kaya kamu masih memikirkan pelajaran?" Satu kalimat itu cukup menyebalkan juga bagi Taufan. "Aku akan meminta izin dengan wali kelas mu. Tak perlu khawatir." Lanjut Yasha dan pergi ke kelas Taufan, meninggalkan pemuda bermanik biru itu sendirian di UKS.
Taufan menepuk dahi nya. " Iya juga ya, sejak kapan aku memikirkan pelajaran? Apa habis pingsan aku jadi waras?"
Oke, jadi selama ini di pandangan nya Taufan tidak waras gitu?
*******
"Haha, rasanya memalukan terlihat lemah begini. Apalagi di hadapan perempuan." Celoteh Taufan.
Yasha hanya mengabaikan nya dan membantu Taufan berbaring di ranjang nya. Setelah nya gadis itu langsung pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Taufan masih mencoba memahami situasi ini. Jujur saja ia tak terlalu nyaman di perlakukan seperti ini oleh seorang gadis.
Tak lama, Yasha kembali dengan semangkuk bubur dan obat yang sepertinya dia bawa dari UKS.
"Terimakasih. Tapi tidak perlu repot repot, aku bisa sendiri kok."
"Baiklah. Tapi ingat untuk beristirahat dan terus menjaga kesehatan mu. Jangan memaksakan diri apalagi keluyuran."
Taufan sebenarnya tidak suka terus di perintah seperti anak kecil walau di rumah nya sendiri. "Baiklah baiklah." Taufan sedikit menjeda ucapan nya. "Apa kau biasa sebaik itu pada orang yang baru saja kau kenal?"
Yasha memasang pose berfikir, lalu tersenyum. " Entahlah."
"Jika begitu, aku ke sekolah dulu. Jika ada apa apa langsung telfon saja." Ujar Yasha. Taufan mengangguk mendengar itu.
Yasha tersenyum. Ia kira Taufan memiliki kepribadian yang keras, mengingat pemuda itu suka berkelahi. Tapi ternyata tidak begitu. Jika di perhatikan dia cukup rapuh dan manis juga. Ditambah sikap nya yang terkadang terlihat kekanak kanakan.
"GWS"
*******
Taufan mengerjapkan mata nya, rambutnya sedikit basah karena siang yang terlampau terik. Ditambah dengan tubuh nya yang sedari tadi terbalut selimut membuat nya semakin panas.
Ia sedikit menyentuh dahi nya, yang entah sejak kapan tertempel plaster peredam demam di sana.
Senyuman kecil terbentuk di wajah nya, mengingat gadis itu.
Jika di ingat ingat, entah kapan terakhir kali ia mendapat perawatan di saat sakit seperti ini. Ia jadi merindukan masa masa lalu saat masih bersama orang tua dan hubungan nya dengan saudara saudara nya masih baik baik saja. Ia merindukan masa masa seperti itu.
Mata nya mulai memanas dan pandangan nya sedikit mengabur. Sebuah bulir bening mulai menetes dari kelopak mata nya, mengalir membasahi pipi.
"Tsk. Apa apaan aku ini sih?" Tangan Taufan menghapus jejak air mata di pipi nya dengan cepat.
Sudah lama sekali....
Sejak hari itu....
Tangan Taufan bergerak, melepas plaster di dahi nya. Ia berjalan menuju kursi meja belajar nya, merasakan angin yang berhembus dari jendela yang tepat berada di hadapan meja belajar nya.
"Maaf..." Gumam Taufan entah pada siapa.
Tangan nya kembali meremas dada nya yang kembali terasa sesak. "Ugh nafas ku sesak lagi..." Keluh nya. Nafas nya memburu dan tubuh nya kembali berkeringat dingin. Entah kenapa belakangan ini nafas nya lebih sering sesak.
"Uhuk uhuk!" Seketika ia terbatuk. Matanya melirik jam dinding. Baru pukul 1 siang. Rumah benar benar sepi sekarang, hanya dirinya seorang di sana. Di saat semua orang sibuk dengan kegiatan nya masing masing, apa yang dia lakukan sekarang?
"Uhuk uhuk! Akh sial..." Keluh nya. Taufan berdiri, melangkahkan kaki nya menuju wastafel di lantai satu. Tenggorokan nya terasa perih, dan seolah ada yang terus mendesak keluar.
Taufan langsung memuntahkan semuanya di wastafel. Ia terkejut saat melihat cairan merah yang ia keluarkan.
"D-darah..."
Lagi lagi Taufan terbatuk kencang dan semakin banyak darah yang ia muntah kan. Tubuh nya terasa lemas. Bukan karena takut dengan darah, tapi dengan kondisi nya sendiri.
"Apa... Ini salah satu gejala nya?
TBC
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!