NovelToon NovelToon

The Gray Autumn

Pertemuan Pertama

Malam kian larut. Seorang gadis berambut cokelat berdiri sedikit gontai. Autumn Dorielle Hillaire, putri sulung dari pasangan Edgar Hillaire dan Arumi. Usianya telah menginjak dua puluh dua tahun. Dia baru merayakan kelulusan dari sebuah universitas ternama Kota Paris.

Apa yang pernah Edgar katakan dulu, benar adanya. Autumn kini menjelma menjadi gadis yang sangat menarik, juga energik. Elle, itulah panggilan gadis bermata abu-abu tersebut. Mata yang begitu indah dan sangat bening. Bercahaya sehingga dapat menarik perhatian siapa pun yang menatapnya.

"Kau yakin tidak akan pulang bersama kami, Elle?" Seorang gadis berambut pirang, menyembulkan kepala dari dalam mobil. Dia adalah Maeva, sahabat dekat Autumn.

"Tidak, Ev. Leon akan menjemputku. Kau tidak usah khawatir," jawab Autumn, sambil memijat kening perlahan. Kepala gadis itu terasa pusing karena pengaruh minuman yang dinikmati tadi, saat berpesta dengan teman-temannya di dalam klub. Autumn seperti sang ibu. Dia bukan tipe orang yang kuat minum banyak. Segelas, dua gelas saja telah cukup membuatnya terlihat kacau.

"Ya, sudah. Kalau begitu aku pulang sekarang, sebelum Abel berubah pikiran dan menyuruhku turun," ucap Maeva setengah berbisik.

"Aku mendengarmu, Ev," ujar Abel, yang sudah siap di belakang kemudi.

Maeva segera menutup mulut, seraya menoleh pada pemuda berwajah manis tersebut. Setelah itu, dia kembali mengalihkan perhatian pada Autumn. Maeva melambaikan tangan, sebelum akhirnya mobil sedan milik Abel berlalu dan menjauh.

Sepeninggal mereka, Autumn melihat arloji di pergelangan tangan kiri. Sudah lewat pukul sebelas malam. Dia masih berada di luar. Tepatnya di halaman salah satu night club berkelas Kota Paris.

“Kacau!” keluh Autumn jengkel. Dia tidak tahu harus bagaimana. Kekasih yang ditunggu tak juga datang menjemput. Autumn menggerutu pelan.

Makin lama, Autumn makin tak nyaman berlama-lama di sana. Dia tidak terbiasa dengan kehidupan malam. Akhirnya, gadis cantik tersebut memutuskan memilih pulang menggunakan taksi. Namun, sebelum itu dia mencoba menghubungi sang kekasih terlebih dulu.

Autumn merogoh ke dalam sling bag dengan tali yang tersampir di pundak sebelah kiri. Dia memeriksa telepon genggam, lalu menggerutu kesal. “Sialan! Kenapa kau justru mati?” Autumn memaki alat komunikasi canggih itu karena kehabisan baterai. Akhirnya, ponsel tersebut dimasukkan kembali ke dalam tas.

Gadis cantik itu menyapu pandangan sekeliling area parkir klub. Autumn baru menyadari dirinya tengah menjadi pusat perhatian, dari tiga pria yang terus memandang dengan tatapan nakal.

Ragu, Autumn menoleh. Membalas tatapan ketiga pria tadi. Gadis itu merasa takut. Namun, dia mencoba tetap terlihat tenang. Tanpa berpikir panjang, si pemilik mata abu-abu tersebut segera menghampiri sebuah SUV hitam. Dekat kendaraan itu, ada seorang pria yang akan masuk. “Permisi. Bolehkah aku menumpang mobilmu? Pria-pria di sana sejak tadi mengawasiku." Autumn setengah berbisik pada si pemilik mobil.

Pria dengan jaket kulit itu menoleh. Mata abu-abunya menatap lekat Autumn, seperti tengah menganalisis dengan cermat. Sesaat kemudian, dia mengalihkan pandangan pada beberapa pria yang Autumn sebutkan, sebelum kembali mengarahkan perhatian pada gadis di hadapannya.

“Tentu,” jawabnya, dengan suara berat. Dia membukakan pintu untuk Autumn, yang bergegas masuk dan duduk tenang dalam mobil.

Entah kegilaan macam apa yang tengah Autumn lakukan. Dia tak tahu apa yang akan terjadi setelah SUV itu melaju gagah, meninggalkan area night club tempatnya berpesta beberapa saat yang lalu.

Autumn terus berpikir. Sesekali, gadis itu melirik pria yang tengah fokus pada jalanan malam Kota Paris yang masih ramai. Ditatapnya lekat pria tampan tersebut.

Pria itu bukan anak muda sebaya Autumn. Dia juga terlihat sedikit misterius.

Seketika, Autumn tersadar. Akan lebih baik jika dirinya segera turun dari mobil. “Aku turun di sini saja, Tuan, ” ucapnya tiba-tiba. Membuat si pria segera menoleh, kemudian menepikan mobil yang dikemudikan.

“Kau yakin ingin turun di sini, Nona?” tanya pria dengan rambut cokelat tembaga itu, meyakinkan Autumn. Nada bicaranya begitu datar.

“Ya. Aku akan mencari taksi saja,” jawab Autumn, seraya melepas sabuk pengaman. Dia meringis pelan, saat merasa pusing disertai pandangan yang mulai berkunang-kunang.

“Baiklah." Pria itu juga melepas sabuk pengaman. Dia turun lebih dulu, sebelum membukakan pintu untuk Autumn. “Akan kucarikan kau taksi,” ucapnya, seraya melihat ke jalan raya dengan kendaraan ramai berlalu-lalang.

Autumn tidak menanggapi. Dia hanya diam memperhatikan lekat si pria dewasa.

Pria itu sudah berusia cukup matang dibanding Autumn. Akan tetapi, si pemilik rambut cokelat tembaga tersebut masih terlihat sangat menarik.

“Kenapa Anda harus repot-repot, Tuan? Pulang saja. Mungkin istrimu sedang menunggu di rumah,” ujar Autumn. Gadis bermata abu-abu itu memijat kening perlahan.

Pria itu menoleh. Sorot matanya yang menawan, beradu dengan tatapan sayu Autumn yang mulai merasakan pusing jauh lebih hebat. Makin lama pandangan gadis itu makin kabur, hingga akhirnya gelap seketika.

......................

Waktu sudah menunjukan pukul sembilan pagi, ketika Autumn terbangun dari mimpi. Perlahan, dia mengucek kedua mata sambil duduk bersandar pada kepala tempat tidur.

Setelah benar-benar sadar, Autumn terkejut karena tidak berada di kamarnya. Gadis itu terbelalak, seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Ya. Itu memang bukan kamarnya. Lalu, di mana dia berada saat ini?

Pertanyaan dalam benak Autumn seketika terjawab, saat seorang pria masuk ke kamar itu. Pria yang baru selesai berolaraga, kening dan beberapa bagian tubuhnya berkeringat. Autumn memperhatikan lekat, sambil mengingat-ingat. Samar, terbayang adegan semalam sepulang dari klub malam.

"Kau sudah bangun rupanya," ucap si pria, seraya menatap Autumn sesaat. Tersungging senyuman kecil di sudut bibirnya. "Aku akan mandi dulu. Jika kau lapar, pergilah ke ruang makan. Minta pelayan untuk menyiapkan sarapan," suruh pria itu, seolah-olah telah mengenal lama Autumn.

Akan tetapi, Autumn tidak segera menanggapi. Dia masih sedikit bingung. "Aku harus segera pulang," ucap gadis berambut cokelat tersebut.

Pria berambut cokelat tembaga itu tertegun, sebelum membuka pintu berwarna putih yang berada tidak jauh dari tempat tidur. Dia menoleh beberapa saat. "Tentu saja kau harus pulang. Jangan sampai kekasihku melihatmu ada di sini," ucapnya datar, lalu membuka pintu dan menghilang di baliknya.

Mendengar ucapan si pria, Autumn bergegas menyibakan selimut yang menutupi tubuh, lalu turun dari tempat tidur. Dia merapikan rambut dan pakaian yang kusut. Namun, belum selesai melakukan itu, tiba-tiba pintu kamar terbuka.

"Selamat pagi, Sayang!" Terdengar sapaan lembut seorang wanita.

🍒

🍒

🍒

Hai, semua. Sudah tahu kan siapa Autumn? Bagi yang belum tahu, ada baiknya intip "Kabut Di Hati Arumi". Yuk, lanjutkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

Kejutan di Pagi Hari

Autumn tersentak. Matanya terbelalak sempurna, saat menoleh ke pintu di mana muncul seorang wanita berambut sebahu berwarna pirang. Wanita dengan penampilan yang begitu sensual dan terlihat sangat padat, pada beberapa bagian tubuhnya.

Wanita itu pun sama terkejut dengan Autumn. Sepasang matanya yang berwarna biru, melotot tajam kepada gadis itu. Dia melangkah cepat menghampiri Autumn. "Siapa kau?" tanyanya, dengan nada cukup tinggi dan terdengar agak kasar. Kemarahan terpancar jelas dari raut wajahnya, yang menggambarkan kecantikan sempurna khas wanita Perancis. "Di mana Benjamin?" tanya wanita itu lagi, masih dengan nada yang sama.

"A-aku ...." Autumn tak sempat melanjutkan kata-katanya karena pria bernama Benjamin itu muncul.

Benjamin memakai handuk yang dililitkan di perut, dan hanya menutupi bagian bawah tubuhnya. Dia tertegun sejenak, mendapati dua wanita dalam kamarnya. Akan tetapi, sesaat kemudian pria itu kembali menunjukkan sikap tenang, seraya melangkah ke hadapan mereka.

"Esmee? Kapan kau datang?" tanya Benjamin dengan suara berat, seraya menatap wanita yang tiada lain adalah kekasihnya, Esmee Candela.

"Aku baru datang dan langsung dibuat terkejut. Ini sangat luar biasa, Ben!" jawabnya, dengan nada protes. Kemarahan terpancar jelas dari sorot matanya.

"Aku akan berpakaian dulu. Sementara itu, silakan keluar dari kamarku," titah Benjamin tenang, seakan tak terjadi keributan apa pun.

Tanpa banyak bicara, Autumn meraih sling bag, lalu beranjak keluar dari kamar itu. Dia ingin segera pulang ke rumah.

Sementara Esmee masih berdiri di tempatnya. Itu membuat Benjamin kembali menoleh. "Perintah tadi berlaku untuk kalian berdua." Setelah berkata demikian, dia berlalu ke walk in closet untuk berpakaian.

Jengkel, Esmee terpaksa keluar kamar. Wanita cantik itu berjalan sambil terus menggerutu tak karuan.

Lain halnya dengan Autumn. Dia berdiri memandangi sebuah lukisan, yang berhasil menarik perhatiannya. Dalam lukisan itu tergambar seorang wanita paruh baya, yang terlihat sangat anggun.

Setelah puas memandangi lukisan tadi, Autumn juga melihat-lihat hal lain yang membuatnya penasaran. Gadis itu sempat heran karena masih berada di sana. Padahal, dia bisa langsung pergi tanpa harus menunggu apa pun.

Sesaat kemudian, Autumn berpikir. Dia tak ingin menjadi pelanduk yang mati dalam pertarungan dua ekor gajah. "Ah, tidak. Sebentar lagi pasti akan akan perdebatan seru," pikirnya.

Autumn segera melangkah ke pintu. Dia bermaksud pergi dari sana. Namun, niat gadis itu terhenti, ketika mendengar seseorang memanggilnya. Autumn langsung menoleh.

Esmee berjalan mendekat. Raut wajah dan sorot matanya masih diliputi amarah. Wanita berambut pirang itu seperti ingin menerkam Autumn tanpa ampun. "Katakan! Apa yang sudah kau lakukan di dalam kamar Ben semalam?" Nada pertanyaan Esmee terdengar begitu mengintimidasi.

Namun, Autumn tetap terlihat tenang. Gadis itu tak memperlihatkan raut tegang sedikit pun. "Aku tidak melakukan apa pun dengan tuan itu. Ah, maksudku ... aku tidak ingat apa-apa. Jadi, sebaiknya kau tanyakan sendiri padanya. Aku harap kekasihmu adalah pria yang baik," jawab Autumn enteng.

Sikap serta ucapan Autumn tadi, membuat Esmee makin murka. Secepat kilat, dia mencekal kasar lengan kiri Autumn. Kuku-kukunya yang panjang dan runcing, menggores serta menusuk kulit gadis itu. Membuat Autumn meringis kecil.

"Jangan macam-macam denganku! Kau pikir aku akan membiarkan Ben tidur dengan sembarang wanita?" sergahnya.

Tak terima diperlakukan demikian, Autumn tak tinggal diam. Dia menarik tangan Esmee yang tengah mencekal lengan kirinya, menggunakan tangan kanan. Autumn memelintir tangan wanita berambut pirang itu sekuat tenaga, sehingga membuat Esmee meringis bahkan memekik cukup nyaring.

Meskipun begitu, Autumn tak melepaskan wanita itu. Cengkraman tangannya justru makin kencang. Dia baru menghentikan aksinya, ketika mendengar suara pria yang menegur cukup tegas.

"Hentikan, Nona-nona! Jangan membuat keributan di rumahku," cegah pria itu, penuh wibawa. Dia berjalan menghampiri kedua wanita yang sedang berseteru tadi.

Perlahan, Autumn melonggarkan cengkramannya, lalu melepaskan pergelangan tangan Esmee dengan kasar.

Esmee kembali meringis kesakitan, sambil memegangi pergelangan tangannya. "Dasar gadis liar!" umpat wanita itu kesal.

"Kau yang memulainya, Tante!" balas Autumn kesal, seraya menunjuk ke arah Esmee.

Tak terima dengan sebutan Tante (Bibi), Esmee hendak kembali menyerang Autumn.

Namun, dengan segera pria yang tak lain adalah Benjamin mencegahnya. "Cukup! Sudah kukatakan agar tidak membuat keributan di rumahku. Jika kalian masih ingin melanjutkan perkelahian ini, silakan lanjutkan di luar," tegasnya, seraya menatap tajam Autumn dan Esmee secara bergantian.

"Kau keterlaluan, Ben!" protes Esmee tak suka. "Sejak kapan kau tertarik dengan gadis ingusan seperti ini?"

Benjamin tidak menjawab. Mata abu-abu pria itu, menatap tajam pada sang kekasih. Setelah itu, dia mengalihkan perhatian kepada Autumn. "Jika kau ingin pulang maka silakan. Kau tahu di mana pintu keluar rumah ini. Sekarang sudah siang. Kau tidak akan kesulitan mendapatkan taksi," ucapnya, masih dengan nada bicara cukup tegas.

Autumn menatap Benjamin sesaat. Setelah itu, dia mengalihkan pandangan kepada Esmee, yang masih memasang wajah penuh kemarahan. Tanpa banyak bicara, Autumn membalikan badan. Dia berjalan menuju pintu. Melangkah keluar, meninggalkan rumah musim panas itu dengan perasaan tak karuan.

Entah apa yang harus Autumn jelaskan kepada sang ayah, saat tiba di rumah nanti. Autumn terus melangkah, hingga akhirnya keluar dan menghilang di balik pintu gerbang rumah dengan nuansa warna putih tadi.

Sementara itu, Esmee masih terlihat kesal. Dia duduk sambil terus memegangi pergelangan yang terasa sakit. Tak berselang lama, wanita berambut pirang itu terisak pelan.

Namun, Benjamin hanya menatapnya tanpa berkata apa pun. Dia seakan tak peduli, pada apa yang Esmee rasakan.

"Aku kemari untuk memperbaiki hubungan kita. Namun, justru mendapat perlakuan seperti ini," gerutu Esmee kesal.

"Apa maksudmu?" tanya Benjamin datar, seraya menoleh sekilas pada sang kekasih.

"Kau keterlaluan! Bagaimana bisa berkencan dengan gadis kecil dan liar seperti itu. Apakah dia sepadan denganku?" protes Esmee lagi, tak Terima.

"Siapa yang berkencan dengannya?" Benjamin menghampiri Esmee, lalu duduk di dekatnya. "Kau tahu? Makin ke sini, sikapmu makin menyebalkan. Kau menjadi sangat kekanak-kanakan."

Esmee sontak melayangkan tatapan protes kepada pria di sebelahnya. Dia tak terima atas ucapan pria itu. "Kekanak-kanakan?" ulangnya. "Kenapa kau menyebutku seperti itu?" Esmee kembali melayangkan protes keras.

"Memang seperti itulah kenyataannya," balas Benjamin pelan, tapi tetap terkesan tegas. "Aku lelah dan bosan dengan semua kecemburuanmu. Kurasa, tidak ada yang perlu diperbaiki lagi dari hubungan kita," pungkasnya datar.

Esmee diam terpaku mendengar ucapan pria tampan itu. Dia mengerti akan maksud Benjamin. "Tidak, Sayang," pintanya, setengah memelas. "Tolong jangan berkata seperti itu. Aku mencintaimu."

Kakak-Beradik Hillaire

Autumn baru turun dari taksi, yang membawanya pulang ke Kediaman Hillaire. Dia bergegas masuk ke halaman. Meskipun ragu, tapi Autumn tetap berusaha terlihat tenang. Gadis itu meniti undakan anak tangga menuju teras, dengan sangat hati-hati.

Setibanya di dalam rumah megah itu, Autumn mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan, yang tampak lengang.

Ini adalah akhir pekan. Sesuai rencana, Edgar akan mengajak mereka sekeluarga pergi ke Marseille, dalam rangka menghadiri pesta peresmian resort yang baru dibuka di sana. Edgar sengaja membangun resort mewah di kota pelabuhan tersebut, atas permintaan Arumi. Sang istri tercinta.

"Aman," ucap Autumn pelan, seraya mengelus dada karena merasa lega. Dia agak mengendap-endap. Namun, baru selangkah menjauh dari pintu, tiba-tiba tepukan pelan mendarat di pundaknya. “Oh my God!” seru gadis itu terkejut setengah mati.

"Anak sialan!" maki Autumn kasar, tapi pelan. Dia tak berani membuat keributan, berhubung dirinya sadar akan konsekuensi yang pasti diterima.

“Kau! Kebiasaan!” sentak gadis itu kesal, pada pemuda berparas tampan, yang merupakan duplikat dari Edgar di masa muda. Pemuda berambut agak gondrong, dengan senyum menawan. Pemuda itu bernama Darren, putra bungsu pasangan Edgar dan Arumi. Artinya, dia adalah adik kandung Autumn.

Darren kini berusia dua puluh tahun. Dia tumbuh menjadi pemuda menawan dan tentu saja mewarisi pesona sang ayah di masa muda. Pemuda itu juga selalu bermasalah dengan para gadis. Darren kebingungan menentukan pilihan karena terlalu banyak cinta yang datang padanya.

Senyum menawan Darren terlihat jelas, saat menanggapi kekesalan sang kakak. Dia menyandarkan tubuh pada dinding dekat pintu, seraya memasukan kedua tangan ke saku celana jeans. “Kau tidak pulang semalaman. Aku tahu itu,” ucapnya setengah berbisik. Sikap Darren teramat tenang, meskipun telah membuat Autumn jadi gelisah.

“Apa ayah menanyakanku?” tanya Autumn dengan setengah berbisik pula.

Darren segera menegakkan tubuh, lalu mendekat pada sang kakak. Dia berdiri tepat di hadapan gadis itu. Matanya yang juga berwarna abu-abu, tampak berkilau dan menyiratkan sesuatu yang sudah dipahami betul oleh Autumn.

“Apa maumu, Tuan sok keren?” tanya Autumn malas, sembari melipat kedua tangan di dada.

Mendengar tawaran menarik dari sang kakak, seketika Darren tertawa pelan. Dia merasa senang karena Autumn sudah memahami maksudnya. “Seperti biasa, Elle. Aku butuh bantuanmu,” jawab pemuda itu enteng, tetapi berhasil membuat Autumn mengembuskan napas pelan penuh keluhan.

Autumn sudah tahu apa yang akan sang adik minta darinya. Sebuah bantuan yang bagi sebagian orang terdengar cukup gila. “Gadis mana lagi yang harus kusingkirkan dari hidupmu?” tanya Autumn jengkel.

Darren tersenyum lebar. “Ayo. Kita bicara di kamarmu saja,” ajaknya seraya menarik tangan, lalu menuntun menuju kamar sang kakak.

“Hey! Kenapa harus di kamarku?” protes Autumn tak suka.

“Karena aku tahu kau menyembunyikan banyak camilan di sana,” sahut Darren enteng.

Kekesalan Autumn kian bertambah. Akan tetapi, dia tetap menuruti sang adik.

Sesaat kemudian, mereka sudah berada di kamar Autumn yang sangat nyaman. Kamar dengan interior khas seorang gadis. Nuansa pastel mendominasi sebagian besar barang yang ada di sana.

Darren segera naik ke tempat tidur sang kakak. Tingkahnya membuat Autumn langsung melotot tajam. "Turun dari tempat tidurku, Darren!" sergah gadis itu tegas. Dia tidak suka melihat apa yang Darren lakukan.

Namun, Darren tak peduli. Dia bahkan tetap terlihat tenang. Pemuda itu mengisyaratkan agar Autumn mendekat.

"Kau adik paling menyebalkan! Rasanya Aku ingin jadi anak tunggal saja, " gerutu Autumn, seraya menghampiri sang adik, lalu duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Autumn juga terpaksa memberikan camilan yang sengaja disembunyikan.

"Hati-hati! Jangan sampai kau mengotori tempat tidurku," tegur Autumn, ketika Darren mulai menyantap camilan yang baru dibuka. 

“Pagi ini sangat menyebalkan,” gerutu Autumn lagi dengan wajah masam, saat teringat pada kejadian tadi ketika berada di kediaman Benjamin.

“Kenapa? Apa kau bertengkar lagi dengan Leon?” tanya Darren, sambil mengunyah camilan. “Haruskah kubantu memukul pria itu?” Darren melirik sang kakak.

“Tidak usah. Aku bisa melakukannya sendiri,” tolak Autumn. Tangannya merogoh ke dalam bungkus camilan itu. “Sudahlah. Aku malas membahas hal itu. Kau tahu kan, kita semua harus ikut ayah ke Marseille,” ujar Autumn sambil mengunyah.

“Ya. Tadinya aku akan berpura-pura sakit dengan mengatakan jika kakiku cedera, saat pertandingan sepak bola. Namun, ....” Darren tak melanjutkan kata-katanya.

“Kau sudah terlalu sering memakai alasan itu,” ujar Autumn. “Jangankan ayah dan ibu. Aku saja sudah dapat menebaknya, bahkan sebelum kau mengatakan itu,” lanjut Autumn lagi hingga membuat Darren tergelak.

“Sebenarnya, aku ada jadwal kencan hari Minggu besok. Namun, ternyata ayah mewajibkan kita ikut ke Marseille. Aku terpaksa harus membatalkannya. Padahal, ini adalah kencan pertamaku,” sesal Darren.

Sementara Autumn hanya mencibir, mendengar ocehan sang adik.Terkadang, dia merasa begitu jengkel atas kelakuan Darren, yang tak jarang sangat keterlaluan. Pemuda itu tak pernah bersikap serius pada gadis manapun.

“Kau ini pemuda brengsek, Darren. Anehnya, gadis-gadis itu juga sangat bodoh karena tidak bisa mencium betapa nakalnya dirimu. Ya, Tuhan! Andai ibu tahu kelakuanmu selama ini," dengkus Autumn kesal.

Darren kembali tergelak mendengar ucapan sang kakak. Dia tidak tersinggung ataupun marah. Pemuda itu tetap terlihat tenang.

Darren terdiam sejenak. Begitu juga dengan Autumn. Gadis itu larut dalam pikiran tak menentu.

Rentang usia yang terbilang dekat, membuat hubungan antara Autumn dan Darren begitu akrab. Mereka lebih terlihat seperti sahabat, yang kerap berbagi cerita karena kebetulan Darren adalah sosok yang begitu terbuka. Dia biasa berbagi banyak hal dengan sang kakak, yang hanya dua tahun lebih tua darinya.

Beberapa saat kemudian, Autumn baru ingat jika ponselnya mati. Dia segera beranjak dari tempat tidur, lalu mengambil alat pengisi saya baterai. Setelah menunggu beberapa saat, Autumn menyalakan telepon genggamnya.

Tak berselang lama, masuklah beberapa pesan yang dikirimkan oleh sang kekasih, Leon. Pria itu menanyakan keberadaan Autum. Di sana, tertera waktu saat pesan itu dikirimkan. Autumn mengeluh pelan.

"Leon sialan!" gerutu Autumn pelan. Gadis itu berdecak kesal.

“Apa kau yakin ingin tetap melanjutkan hubungan dengan Leon, Elle?” tanya Darren, yang mendengar kekesalan sang kakak tentang Leon.

“Memangnya kenapa?” Autumn balik bertanya, dengan sikap tak acuh. Dia menoleh sekilas, sebelum kembali fokus pada layar ponsel.

“Leon bukan pria yang cocok untukmu,” jawab Darren. Membuat Autumn seketika mengernyitkan kening. "Harus kukatakan bahwa kau terlalu baik untuknya," ujar pemuda itu lagi.

"Katakan, Darren. Apa yang kau ketahui tentang Leon?" selidik Autumn penasaran.

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!