Di sebuah kampus mewah, tepat di ruang loby itu tiga anak muda terlihat sedang duduk beralaskan karpet. Buku-buku pelajaran terbuka, sementara remah remah makanan ringan berceceran di atas meja.
Satu wanita cantik bernama Siska dengan rambut sebahu tak luput pandangannya dari layar laptop. Jarinya begitu lihai menari di atas keyboard. Sementara dua pria tengah asyik terkekeh, sembari mata mereka tertuju pada komik agak tebal bertema melawan Hantu. Ia adalah Ryan dan Juned.
"Woy! Kalian ke sini mau kerja tugas apa cuma numpang duduk doang, hah?" Wanita cantik berambut sebahu menyela keasyikan dua pria yang duduk sekitar dua meter darinya.
"Yaelah, Sis! Nanggung nih. Ye 'kan, Ryan? Si Ryan aja yang baru baca komiknya udah ketagihan. Lagian dikit lagi keknya si hantunya bakal nongol." Pria tampan berbadan ideal dengan rambut belah tengah menawar sedikit lagi pada temannya demi mendapat bela.
Ryan Wijaya Kusuma pria itu kerap disapa Ryan.
"I-iya, Siska. La-lagi asyik, nih. Co-coba kamu baca." Satu pria berbadan agak gemuk dengan rambut agak botak sekitar setengah sentimeter, membenarkan perkataan Jamet. Dia adalah Tono, pria linglung dan sedikit gagap. Mereka kerap memanggilnya Ton.
"Terserah lu dah. Ini juga gue udah selesai, mau cari Hanna dulu, dia kan jadi anggota kita nanti kemah." ucap wanita yang kerap dipanggil Siska.
"Hati hati loh, Sis. Kemarin si Ryan liat penampakan di pohon belakang kampus kita. Baik baik kalau cari Hanna, dia suka duduk di pohon mulu. Angker tuh pohon." ujar Jamet.
"Yaelah. Ganteng doang, ngelihat hantu depan gang. Gue dong, kemarin ngelihat Mbak Kunti gelantungan di pohon asam dekat kampus kita," ucap Ryan.
"Y-yeee. Me-mentang-mentang cowo indigo. Li-lihat hantu sembarangan!" Tono memotong.
"Baru ngelihat, dimarahin. Ngajak marahin?!" ujar Ryan.
"Hey kok malah adu tagline iklan sih? Terus, lu apain tuh kunti? Lu ajakin enak enak yah, hayo? Astaga, Ryan kamu berdosa banget!" Siska berucap setelah meneguk jus jeruk yang ada di meja, milik Ryan.
"Lah, berdosa? Kamu tuh yang berdosa. Gile lu yah? Nggak lah. Gue lari sekencang kencangnya dong. Celana gue hampir basah anjay!" Kening Ryan mengerut, setelah Siska mengucapkan hal itu.
"Yaelah. Indigo penakut, lihat kunti malah ngompol."
"Bukan gitu coy! Sumpah, gue tuh paling anti sama hantu tau kagak. Parahnya gue terlahir sebagai liat kaya gitu. Lu pasti tau rasanya, disaat lu phobia ketinggian, terus kerjaan lu jadi office girl atau officee boy di gedung 150 dan posisi lu lagi ngelap kaca. Mampus dah lu ngompol. Mana pas di pohon asam itu ada si Om Pocong lagi. Keknya dia nguntit si Janda Kunti deh."
"Jhahaha. Emang gimana tuh ceritanya," tanya Jamet penasaran. Hingga Siksa menutup obrolan, jika teman mereka selalu saja riweuh bercanda terus dan membual. Siska baru sadar di kibulin, dan itu adalah cerita dari isi komik yang mereka baca.
***
Perjalanan Pulang.
Langkah kaki Hanna agak cepat. Saat Siska bilang ada sesuatu di pohon yang ia lewati, bulu kuduk nyaris benar copot membuat adrenalinnya menciut. Hanna yang sepulang dari rumah Siska, saat itu dia ingin mengambil motornya di bengkel. Lepas seratus meter dari rumah Siska. Hanna tertegun melihat seseorang duduk di bangku jalan depan pagar kampusnya. Posisinya saat itu berada di bawah pohon besar ratusan tahun, yang telah ada dikampusnya itu.
'Gara gara Siska nih, omongan dia soal pohon ini bikin gue jadi mikir keras. Dan benar aja, semoga yang duduk itu manusia bukan muka rusak, pucet deh.' batin Hanna menguatkan.
Sudah lama pohon itu dipangkas, tetapi tumbuhnya begitu cepat sehingga membuat pihak kampus harus memangkasnya sebulan sekali. Konon katanya, di pohon asam jawa itu banyak penghuninya. Jelas saja, Hanna yang mempunyai kemampuan indigo sudah terbiasa melihat hantu di area tersebut. Dan temannya tidak ada yang tahu ia bisa melihat, bagi Hanna tidak perlu di ungkapkan.
Sayangnya lagi Hanna tahu, jika Ryan adalah salah satu teman kampus yang bisa melihat sepertinya tapi sangat penakut. Ryan orang yang membenci hantu dan takut jika bertemu dengan mereka. Hal itu juga membuat Hanna menyembuyikan dirinya indigo sejak lahir.
Tap .. Tap!!
Langkah Hanna dihentikan oleh sebuah tangan, Hanna terdiam pasi, kala sebuah akar yang tiba saja melilit kaki kanannya, jelas ia lihat benda kenyal seperti tangan menempel ke kakinya baru saja.
"Hallo? Siapa di situ?" Hanna berucap kepada seseorang yang duduk di bangku jalan itu.
Degup jantungnya agak cepat, sementara keringat mulai tumbuh di pelipisnya. Kala itu pukul seembilan malam waktu setempat. Jalanan sepi, meskipun sesekali kendaraan lalu lalang. Hanna harus pulang dan hanya itu satu satunya jalan ia pulang lebih sampai ke rumahnya.
Berkali kali berucap istighfar. Melontarkan tanya kepada orang yang duduk itu. Namun, tidak ada respons darinya. Dia hanya menatap ke depan tanpa menoleh sedikit pun. Sementara Hanna belum berani melangkahkan kakinya ke depan.
Hanna merasakan titik titik air jatuh di badannya. Tampaknya hari itu akan turun hujan. Trotoar di depannya perlahan terlihat titik titik basah. Anehnya, semakin banyak bulir bulir air jatuh, bau amis pun ikut menyertai. Hal itu pun membuat Hanna heran.
Saat itu remang remang. Sehingga tidak terlalu jelas apa yang ada di sekitar. Pandangan Hanna dipalingkan ke kiri dan ke kanan. Tidak ada tanda tanda sosok hantu yang ada di dekatnya. Namun, semakin lama semakin menyengat bau amis itu. Biasanya jika ada bau aneh, pasti ada hantu di sekitarnya.
"Siapa kalian, kalian mau apa? saya hanya numpang lewat. Kenapa kalian mengganggu saya?" ucap Hanna, yang semakin berkeringat dingin. Hanna semakin menguatkan diri, jika sang nenek berkata ia tidak boleh semakin takut dan semakin takutnya akan membawa Hanna jauh ke dalam dunia tak kasat mata, dan hal itu tak ingin terjadi.
Sosok itu jelas mengeluarkan suara lidah, Hanna tiba saja menatap atas kepalanya. Begitu terdengar kaget, ketika dari ujung pohon sebuah lidah panjang menjulur menghampiri wajah Hanna.
Aaaaarrrrgh!! teriak Hanna saat itu, tanpa sadar suaranyaa mengecil dan wanita berwajah lidah melilit itu dengan darah yang menetes bau amis, membuat Hanna mual dan ingin muntah.
'Tolong a-aku!' bisikan itu membuat batin Hanna terjuntai lemas karena ia phobia darah. Bukan karena wajah buruknya yang dipenuhi lidah berbau busuk.
"Han, Hanna. Bangun! Bangun Hanna!" ujar seseorang.
TBC.
Hanna terbangun, entah kenapa ia sadar sudah berada di ruang uks. Tatapan Siska yang khawatir pada Hanna, memberikan minuman hangat dan sebuah minyak angin.
"Lo kenapa Hanna?"
"Gue, gue dimana?" ujar Hanna.
"Ya elah! nih cewe gila lagi, itu yang bikin gue ga suka satu group ama nih cewe dari kelas bawah." ujar Ryan angkuh.
"Cukup Ryan!" pinta Siska.
"Sorry ya, gue ngerepotin kalian ya. Gue ga kenapa kenapa kok, mungkin gue aja yang capek." umpat Hanna, yang baru sadar apa yang ia lihat dan tidak logis jika dipikirkan.
"Anjay Tono bulu ketek. Astaga, bau bat dah. Apa gue ngompol lagi," ucap Jamet, sambil memastikan apakah celananya basah lagi. Sebab jika tegang atau insecure, bau pesing di area sela Jamet pasti tercium. Pertanda dia ngompol. Pandangannya dialihkan ke bawah.
"Ah kagak lah. Mana ada gue ngompol." Pandangan Tono dialihkan lagi ke depan, sembari dia mengendus ngendus. Ada sesuatu yang ga beres dengan penciumannya seperti pesing tapi berbau amis, sehingga Siska dan Hanna menoleh pada pria berisik dibelakangnya.
Hanna mulai merasakan hal aneh, di jendela uks. Terlihat wanita itu lagi dan Hanna berkeringat dingin menutup mata, ia berusaha bicara dengan batinnya. Tidak ingin berurusan dengan mahluk tak kasat mata.
Saat Hanna mengangkat kepalanya, air yang jatuh di kepalanya itu mengalir ke batang hidungnya. Hanna merasakan amis yang benar benar amis. Sontak dia menjulingkan mata, benar saja, air yang mengalir di hidungnya itu berwarna merah kehitam hitaman. Hanna mulai berteriak tidak berbunyi dan melupakan temannya yang melihat Hanna terlihat aneh saat itu.
"Hanna, lo kenapa?" teriak Siska seolah Hanna tak mendengar, dan ia seolah berada di alam lain dan ruangan gelap tanpa teman temannya hadir seperti tadi.
"Astaga!" kejut Hanna. Dia mengusap cairan itu. "Darah?" Kepala Hanna seketika terasa besar, bulu kuduknya mulai meninggi. Ia berteriak dan pergi tanpa memperdulikan temannya yang berteriak memanggil Hanna.
Suasana mulai mencekam. Jalanan benar benar sepi, toko toko dan rumah rumah sudah tertutup. Sedang perjalanan Hanna masih jauh. Lampu jalan itu berkedap kedip.
"Hihihihi." Teriakan itu berasal tepat di atas Hanna.
Sontak Mendongak mendongak, "Aihihihi ... eh aihihihi." Hanna berucap latah.
"Haduh, Mbak Kunti 'ngapain di situ woy, huweee. Nanti jatuh loh. Mending antum terbang aja huweee," histeris Hanna, tak bisa bergerak. Kakinya bergetar hebat kala akar pohon kembali melilit kakinya.
"Hm." Terdengar suara gumam serak basah dari arah samping. Tampak sosok berwajah hancur dengan belatung yang menggeliat. Rambutnya panjang dan perutnya rusak, lidahnya menjulur melilit wajahnya.
"Eeheheh. Ada tetangganya lagi. Jangan gangguin gue terus napa sih. Kenapa bawa bawa wanita punggung tutup botol besar sih." Raut wajah Hanna tampak memprihatinkan.
Saat itu Hanna tak tahu harus berbuat apa. Di atas kepalanya ada Mbak Kunti sedang di samping kanannya ada Mbak tutup botol besar. Sementara keringat mengucur sudah hampir banyak menguasai dan menguras tenaganya. Setiap kali Hanna melihat dan mereka ingin berkomunikasi meminta pertolongan, Hanna menolak dan itu butuh tenaga yang sangat besar bagi seorang indigo.
Hanna pun memperkuat niatnya untuk lari saja dari tempat itu. Dia tak memedulikan Mbak Kunti yang asyik tertawa di atasnya. Sontak saat dia berpaling pandang dari mbak tutup botol besar, mencoba mengambil aba aba ke depan dan lari. Tiba tiba ada sosok yang muncul dekat sekali dengan wajah Hanna.
Wajah sosok itu hancur dan berbau busuk. Tali kafan yang begitu panjang mengikat leher dan atasan kepalanya hingga membuat kepala sosok itu tampak terbentuk. Raut wajahnya tak bisa diterka Hanna. Entah dia sedang tersenyum atau geram. Matanya hilang dan mulutnya juga sedikit hancur. Jadi Hanna begitu bingung, harus menyapanya dengan bagaimana.
"Aaaaakgh!" teriak Hanna.
"Eh ketek bau. Haduh, tetangganya si Mbak Kunti yang satu muncul dah, sueee!" Hanna hanya bisa berteriak mewek. Kakinya bergetar sangat dahsyat. Ingin pingsan, tapi tak bisa.
"Hmmmm...!" Sosok itu bergumam.
"Eheheh iya, Ngkong Polong eh kok Polong sih. Duh nih mulut." Hanna memukul mulutnya yang gugup.
"Pocong!" Sosok itu bersuara serak dan samar.
"Eheh iya, Ngkong Bolong, eh kok Bolong sih!" Hanna salah mengucap lagi. Tangannya mulai lemas dan kakinya tak berhenti bergetar, karena wajah sosok itu hanya itungan lima centi.
"Pocong!" Sosok itu mengulang ucapannya.
"Eheheh iya, Ngkong Potong! Haduh kok Potong sih." Hanna menepuk jidatnya.
"Dahlah, pensi aja jadi pocong!" ucap sosok itu dan langsung mengilang.
Ketegangan Hanna perlahan reda. Pocong itu tiba tiba menghilang dari pandangannya. Namun, masih ada Mbak Kunti yang cengar cengir dan Mpok tutup botol yang tatapannya begitu sinis menyisir rambut gimbalnya. Sementara orang yang dilihatnya tadi duduk di bangku jalan, menghilang.
"Kabur aja dah!" mewek Hanna. Kakinya dilangkahkan sangat cepat.
Hanna kembali berlari, ia bingung kenapa hantu di kampusnya sangat sering mengganggunya. Hingga dimana ia terhenti disebuah taman, cuaca alam sudah kembali nyata tidak remang. Bagai rumah kosong tanpa lampu, kini kembali berada di kediaman Hanna dan saat itu juga Hanna melihat sang nenek sedang menyapu pekarangan rumah.
"Hanna, kamu udah pulang nak? dari kemarin kamu ga pulang. Nginep di rumah Siska lagi?" ujar Nenek Sari.
"Nek, aku ga pulang dari kemarin. Terus kok nenek bilang aku nginep di rumah Siska?"
"Nenek cuma mikir aja, tumben kamu ga kabarin nenek mau nginap di rumah Siska. Tapi untung aja Siska hubungi telepon rumah, emang kapan kemahnya Han?"
Hanna mengambil sapu injuk dari tangan nenek. Hal itu juga membuat Hanna bicara panjang lebar apa yang ia alami dan tidak logis bagi manusia normal yang tidak percaya padanya. Bagi Hanna seorang indigo sejak lahir dari temurun nenek moyang, tidak perlu mengatakan ia seorang indigo. Dan tidak perlu berbicara mereka berbeda, hanya saja penglihatan tak kasat mata harus Hanna jadikan iman yang kuat agar tidak terjerumus semakin jauh.
"Ini kalung pelindung nenek moyang, bagi sebagian orang ini akan terlihat sirik dan tidak bagus. Tapi bagi seorang keluarga berbeda seperti kita, bagai kutukan itu adalah kamu harus kuat dan membantunya Hanna agar lepas dari mata hal aneh." jelas nenek Sari.
"Jadi Hanna harus bantu mereka yang datang, karena mereka tahu kalau Hanna bisa melihat mereka?" ucap Hanna lemas.
"Iya ndok. Shalat ndok! mohon perlindungan sama gusti Allah swt. Manusia lebih tinggi derajatnya, tapi sebagai makhluk kamu harus memilih mata batinmu terbuka, jika Hantu yang kamu tolong bukan hantu jahat. Tapi tersesat." ucap nenek.
Hanna lagi lagi terdiam, ia kembali mendapat telepon dari seseorang. Dan meminta izin sang nenek untuk mengangkat telepon.
Tbc.
"Duh nih rumah gini amat lokasinya sih?" ujar Ryan.
"Iy mau gimana lagi, Hanna kan tinggal sama neneknya. Dia bertahan karena neneknya ga mau pindah."
"Iy sih, lagian lo kenapa sih Ryan. Kayaknya ga suka amat sekelompok sama Hanna, bukannya tugas kemah kita dua minggu lagi karena perintah dosen yang bagi regu." ujar Jamet.
"Iy nih, lagian ada masalah apa sih lo sama Hanna, Jangan bilang masalah hati terpendam ditolak ya?" ungkap Siska.
"Ya enggaklah! udahlah, gue ga mau bahas lagi. Lo semakin runyam aja bikin ga mood. Ok! gue cuma ga suka sama Hanna tuh aneh, dan bakal repotin kita nanti di kemah. Pertama dia sering pingsan, kedua gajelas diem kaya orang kesurupan dan ditolong malah teriak pergi lari gitu aja. Apa namanya kalau bukan cewe aneh." kesal Ryan.
"Tau dari mana lo Ryan, kalau Hanna kaya gitu. Bukannya pingsan dia baru ditemuin kemarin dan sekali doang ya di kampus belakang?" tanya Jamet.
"Udah udah! kalau mau komplen regu kelompok ke dosen. Kita kesini biar kompak mau teliti tugas kita buat skripsi. Ga usah bahas lagi!" ucap Siska.
BEBERAPA JAM KEMUDIAN.
Hanna dan kawan kawan tampak seperti biasa mereka mengerjakan tugas. Design, dan peta dibuat oleh Ryan dan Siska yang memandu. Membuat pikiran Hanna semakin aneh dengan lokasi tujuan yang mereka tunjuk.
"Tunggu! boleh gue tahu gak? lokasinya ini ide siapa?" ucap Hanna, sambil menunjuk peta yang dibuat Ryan.
"Ide gue. Kenapa emang?" cetus Ryan, membuat Siska menoel siku tangan agar Ryan bisa jaga sikap.
"Enggak apa apa sih, setau gue. Disana ada hutan misteri, ada rumah misteri yang bisa celakai manusia secara dibuat kesasar. Apa ga ada lokasi lain lagi?" tanya Hanna.
"Udah mepet juga sih Hanna, kita ga bisa cari lokasi baru. Mending kita acc aja ya, lokasi dari Ryan." memohon Siska.
"Ya udah, tapi jangan berpencar dan jangan lakuin aneh aneh ya. Setau gue .."
"Heeh! kita itu mau laksanain tugas kampus, bukan hura hura atau ngemall pohon. Oke!" cetus Ryan, membuat Hanna mengangguk kembali diam.
Beberapa saat kemudian, mereka mengerjakan tugas dengan lancar. Beberapa teman laki laki seolah terlihat malas.
"Woy! Kerjain noh tugas kalian. Udah mulai larut nih," seru Siska, menyela suasana hangat karena Ryan dan Tono tampak sedang tawa cerita.
"I-iya, Sis. Ry-ryan sih nga-ngajak ngakak mulu. Ja-jadi gue terbawa su-suasana dah." gagap Tono.
"Ye, punya gue udah kok," ucap Ryan spontan.
"Lah? Mana coba gue lihat." Sinta menyodorkan tangannya, niatnya ingin meminta tugas Ryan yang katanya sudah selesai.
"Tapi boong .. ong ..ong." tawa Ryan.
'Plak'
Tangan Siska mendarat ke kepala Ryan berulang kali. Raut wajah Ryan antara puas membohongi Siska atau menahan sakit sebab hantaman Siska yang benar benar kuat.
"Jan maen-maen lu. Orang serius juga," ketus Siska.
"Ma-mampus lu!" ujar Jamet menatap Ryan, yang mengelus pipi dan rambut.
"Aduh. Husttt! Diem lu." Ryan menyela ucapan Jamet.
"Sakit? Mampus lu! Kerjain tuh tugas lu. Sok-sokan bikin jengkel cewe kaya gue, tapi kelakuan kek cacing kremi. Gue bilangin kek bapak lu ntar, mampus." Siska berucap tegas dan mengancam. Pasalnya Siska dan Ryan teman dekat dan bertetangga sejak kecil.
"Iya deh auto kerjain nih," ucap Ryan. Raut wajahnya antara kesal dan menyesal.
"Kalo bergaul itu, boleh bercanda. Cuman jangan sampai kelewatan. Kalo serius jangan bercanda, kalo bercanda jangan terlalu serius. Itu adalah pedoman dalam kumpul berkumpul." Dari sofa itu nenek Sari masuk dalam perbincangan mereka, sembari matanya masih saja terpaku pada teko antik.
"Iya nek!" serentak semua teman Hanna.
"Na-nah ini nih ke-kerjaannya si Ryan. Maafkan kami ya Nek." ucap Tono, pada nenek Sari.
"Diem lu! Kek lu nggak pernah aja," bisik Ryan kepada Tono si gagap.
Suasana menjadi sedikit serius, setelah hal tersebut terjadi. Jari Ryan mulai lihai menekan keyboard, sedang Jamet sibuk mencatat dan membaca buku pedoman yang dipinjamnya pagi tadi di perpustakaan.
"Nah gini nih. Enak kalo tugasnya diselesain dari awal. Kan bisa leha leha. Lihatlah kalian berdua yang masih dipermainkan oleh tugas, awokwow," ucap Siska mengejek Jamet, Ryan dan Tono.
Pasalnya Hanna dan Siska sudah selesai mereka mengerjakan bahan tugas esok, dan tugas apa saja untuk camping.
Ryan tampak menoleh ke arah meja. Remah makanan ringan begitu berhamburan, sedang jus mereka tinggal setengah gelas.
"Hanna, masih ada nggak keripik udangnya?" tanya Ryan.
"Masih. Emang buat apa?"
"Gue pengen ngomong sama udangnya buat ngerjain tugas gue," ketus Ryan. Membuat Hanna kembali terdiam.
"Eh bu-buset. Nga-ngaco lu!" potong Tono.
"Lah lagian aneh, pengen gue makan lah. Gitu aja pake ditanya." kesal Ryan pada Hanna.
"Weh gile. Lu bener-bener yah! Nggak tau diri bat dah di rumah orang. Sono, ambil di kulkas. Jan banyak banyak ambilnya!" tambah Jamet menggoda.
"Dahlah. Pokoknya lu besok presentasinya mesti bagus. Soalnya malam ini lu adalah orang terngeselin di dunia. Ingat, kalo ga bagus, gue jambak lu dan gue masukin ke kandang bebek di belakang rumah Hanna." ucap Siska.
"Udah udah kalian jangan ribut, salah gue tadi. Gue minta maaf ya! tar gue ambilin lagi ya! masih ada snack kok. Terus tadi nenek gue sebelum keluar, dia minta kalian makan dulu sebelum pulang." ucap Hanna senyum.
"Wwwaaah. Tq Hanna." ucap Toni dan Jamet di ikuti tatapan Ryan.
Hanna kembali ke dapur, ia kembali merasakan hal aneh. Ketika ia telah merapihkan gelas dan piringnya. Tiba saja Hanna mendongak melihat sejuntai rambut gimbal sampai ke lantai meja makan nya.
"Haaah! kamu siapa?" lirih Hanna, sedikit memejamkan mata. Kakinya kembali kaku, diam tak bergeming.
Tbc.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!