NovelToon NovelToon

Pluviophille Love Story

Chapter 1

“Sah” ku rengkuh tubuh Dewi, sahabatku, yang kini sudah resmi menjadi seorang istri dari orang yang ia cintai selama ini.

“Selamat ya Wi” ucapku sembari menahan haru.

“Makasih, semoga setelah ini kamu yang menikah” ku aminkan sebuah do’a yang selalu ku panjatkan di dalam do’a-do’aku.

“Ayo sayang kita temui suami kamu” pelukan kami terurai saat Mama Susi- Mamanya Dewi menginterupsi acara menye-menye kami.

Sebelum itu Mama Susi terlebih dulu memeluk Dewi, membisikkan petuah-petuah singkat yang masih bisa ku dengar.

Aku sangat terharu, hormon haid ini semakin membuatku cengeng.

Aku dan Mama Susi menuntun Dewi untuk menemui Alan, suaminya. Di bawah sana aku bisa melihat Alan yang tersenyum haru saat Melihat Dewi turun dari tangga.

Akad nikah Dewi dilangsungkan di rumahnya, bersambung dengan acara resepsi di gedung malam nanti.

Aku adalah saksi hidup dari perjalanan cinta mereka berdua, bagaimana pertemuan mereka, perjuangan mereka dalam meminta restu dari para orang tua, sampai beberapa ujian lain hingga mereka akhirnya memutuskan untuk menikah, aku tau semua.

Tidak mudah meyakinkan Dewi untuk menikah, kegagalan rumah tangga orang tuanya lah alasan yang membuatnya antipati dengan yang namanya ‘pernikahan’

Aku berjalan mundur perlahan saat sudah mengantarkan sahabat terbaikku bertemu dengan pasangan hidupnya, air mataku menetes.

Melihat Dewi tersenyum bahagia turut membuatku juga bahagia, Dewi sudah banyak menangis, inilah saatnya ia bahagia, aku meyakini itu.

Tiba-tiba terbesit perkataan Dewi saat aku menginap semalam.

‘Aku bertemu dengan Mas Alan di waktu yang tepat, kamupun akan menemukan belahan jiwamu pada waktu yang tepat, right person in the right time’

Kami sudah saling berjanji akan menemani di saat-saat terakhir menyandang status lajang jika salah satu dari kami menikah, dan aku yang kebagian menunaikan janji itu terlebih dulu.

Umurku sudah 27, tapi aku masih sendiri.

Jangan tanyakan perasaanku berada di acara seperti ini, sebuah pertanyaan keramat pasti akan di tanyakan padaku.

“Hai Aya, kamu kapan nyusul Dewi? Gak nyangka ya Dewi yang akan menikah lebih dulu dari kamu” nah kan, baru saja aku membahasnya, pertanyaan keramat menyebalkan itu sudah menyapaku.

“Minta do’anya ya tante” hanya itu yang bisa ku ucapkan pada tante Mira, Adik kandung Mama Susi, aku memang dekat sekali dengan Dewi hingga juga dekat dengan keluarga besarnya.

Tanpa basa-basi, setelah menampilkan senyum termanisku, aku segera berlalu, aku tidak mau mengamuk di acara bahagia sahabatku sendiri.

Perutku lapar, menemani Dewi dirias sampai menjadi asisten pribadinya dalam mengambilkan apa yang ia butuhkan membuatku mengabaikan perut yang sejak tadi berusaha menarikku ke meja prasmanan yang sudah di sediakan.

“Sendirian aja?” aku menoleh pada pria berbalut kemeja batik di sebelahku. Apa dia berbicara padaku? Aku celingukan bingung.

“Aku berbicara denganmu gadis abu-abu” katanya lagi, gadis abu-abu? Aku menunjuk mukaku untuk memastikan apa yang ia maksud. Dia tertawa.

“Kamu kan memakai kebaya berwarna abu-abu, astagaa” gemasnya, aku segera mengecek kebayaku, benar juga.

“Oh iya” aku melanjutkan gerakanku untuk mengambil ayam kecap yang sejak tadi melambai kepadaku.

“Kamu bersedia tidak temani aku makan” sekali lagi aku menoleh pada pria asing ini.

“Kenapa?”

“Kamu sudah punya teman makan?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku, aku menggeleng, tidak ada teman yang ku kenal di sini, Dewi hanya kenal baik denganku, beda dengan Alan yang memiliki banyak Sahabat, bisa di bilang Genk.

“Nah, aku juga tidak punya teman untuk makan semua temanku sibuk dengan Mas Manten di sana” ucapnya sembari menunjuk ke arah Dewi dan Alan yang sedang menerima ucapan selamat dari segerombolan tamu, mungkin teman-teman pria ini.

“Boleh” dia tersenyum senang.

Setelah mengambil makanan dan minuman, aku melihat pria ini dengan piring yang masih kosong.

“Kamu masih bingung mau makan apa?” tebakku, dia menoleh sekilas kemudian mengangguk.

Aku sudah lapar, Ya Tuhan.

“Ambil aja semua lauknya, semuanya enak kok” saranku, dia diam sejenak, kemudian mengangguk dengan antusias.

“Ide bagus” Alhamdulillah, akhirnya aku bisa mempercepat proses dia memilih makanan yang mungkin memakan waktu lama.

Dia mengambil semua lauk dengan porsi kecil dan segelas air minum, setelahnya dia membuntutiku yang memilih tempat duduk tak jauh dari tempat prasmanan.

“Kamu sahabatnya Dewi ya?” aku mengangguk sembari memakan makananku, dia pun sama.

“Aku sahabatnya Alan” nah kan benar tebakanku. Karena mereka berdua hanya mengundang teman dekat dan saudara saja pada akad.

"Tapi gak mungkin kan aku panggil kamu sahabatnya Dewi, kamu pasti punya nama kan?” aku memutar bola mata dengan malas.

Mau kenalan saja ribet amat ini orang, batinku.

“Kanaya Widhiani” aku terpaku saat ada tangan yang terulur di depanku.

“Kenalan itu harus pake jabat tangan” ucapnya.

“Udah kayak ijab qobul aja pake jabat tangan” sindirku, tapi dia malah tersenyum.

“Kalau itumah tangan ayah kamu yang aku jabat, ada gak orangnya di sini, mumpung pak penghulunya belum pulang nih” ucapnya celingukan seperti sedang mencari seseorang.

Aku segera menangkupkan tangan di depan dadaku, seolah ingin menciptakan jarak dengan tidak mau saling sentuh dengan orang asing ini.

“Oh iya Maaf” dia menarik tangannya dan juga menangkupkan tangannya sama sepertiku.

“Namaku Galang Prambudi” aku mengangguk sopan, kemudian melanjutkan acara makanku.

“Btw, nama kamu bagus” pujinya, aku menatapnya jengah, tapi aku tersenyum sopan karena ia memuji namaku.

“Terima kasih” dia mengangguk saja sembari memakan makanannya.

“Kata orang, datang ke pernikahan bisa ketemu dengan jodoh loh, Kanaya” dia memulai percakapan diantara kami lagi.

“Orang yang mana? Kamu?”

“Bukan aku, tap..”

“Kamu bukan orang?” selaku, aku sudah tidak bisa bersikap ramah lagi, orang ini sangat mengganggu. Tapi dia malah tertawa.

“Kamu lucu” aku sudah tidak tau harus bersikap seperti apalagi pada orang ini.

“Kanaya! Sini!” Dewi memanggilku tepat saat makananku sudah tandas, bagai penyelamat bagiku.

“Oh sudah kenalan dengan Galang?” tanya Alan sembari menatap belakangku, aku membalikkan badan dan langsung terkejut saat Galang berada tepat di hadapanku, yang tidak aku tau, ternyata dia membuntutiku.

Aku mendengkus dan mengambil posisi di sebelah Dewi yang memanggilku untuk foto bersama.

“Sudah” ku lihat Alan menyikut pelan Galang yang malah tersenyum malu-malu.

Hihh padahal sejak tadi sudah tidak tau malu, batinku.

“Aya, dia sahabat baiknya Mas Alan” bisik Dewi padaku.

“Sudah tau” jawabku sembari berpose dengan cantik saat fotografer membidik kami.

“Dia single loh” bisiknya lagi. Terus kenapa kalau dia single?!

Kami foto berempat, Galang ada di sebelah Alan tentunya.

Tak lama setelah itu, teman-teman Alan yang sejak tadi sudah berfoto kembali bergabung lengkap dengan para istri mereka.

“Ciyeee, Galang sudah tidak sendiri Guys” ucap mereka menggoda aku dan Galang.

“Itu Kanaya, sahabatnya Dewi” Galang malah memperkenalkanku di hadapan teman-temannya.

“Kita udah lihat kok, kalian dari tadi kayak deket”

“Makan bareng, serasa dunia milik berdua ya Lang, yang lainnya ngontrak” mereka semua tertawa, kecuali aku dan Galang, kami hanya diam saja.

Dewi mendekatkan dirinya padaku, kami berdua seperti orang asing saat berkumpul dengan teman-teman Alan.

“Kata orang, datang ke pernikahan bisa ketemu dengan jodoh loh, Nay” bisiknya, lagi? Sudah dua orang yang mengatakan itu hari ini.

Siapa sih yang bikin statement seperti itu, padahal belum tentu terjadi. PHP banget!

TBC

Chapter 2

Sebentar lagi musim hujan akan datang, seperti tanah kering yang menginginkan hujan, aku juga sangat mengharapkan hujan segera datang untuk membasahi hatiku yang gersang.

Memang bisa? Bisa. Bagiku, hujan bagaikan pelipur lara. Sensasi dari rintik hujan yang menyentuh kulitku, dinginnya air yang mampu mendinginkan panasnya hawa tubuhku, dan yang paling penting, guyuran air dapat menyamarkan tangisanku.

Itu semua yang membuatku mencintai hujan.

Aku memakan makan siangku sendiri, di kantor, aku tidak begitu akrab dengan rekan kerjaku dan lebih senang menghabiskan waktu sendiri.

Drrttt

Pandanganku tiba-tiba beralih pada handphone-ku. Ada pesan masuk, segera ku cek pop up, jika tidak penting akan ku balas nanti, itu kebiasaanku.

^^^Dewi^^^

^^^Aya, sibuk?^^^

Aku mengernyit heran, dia tau betul jika saat ini aku sedang makan siang, karena kantorku dan kantor Dewi bersebelahan, kami sering menghabiskan waktu makan siang bersama.

Aku mengetikkan balasan, takut Dewi membutuhkan teman cerita atau lainnya.

^^^Enggak, kenapa?^^^

Tak lama setelah itu, panggilan telepon dari Dewi berdering di handphone-ku.

“Halo cintah” sapanya setelah aku menerima panggilannya, aku menjepitkan handphone diantara telinga dan bahuku, agar aku bisa tetap makan sembari menerima telponnya.

“Hmmm?” jawabku dengan makanan yang ku kunyah dalam mulutku.

“Lagi makan?”

“Iya, ada apa sih? Jangan bikin penasaran” tanyaku dengan sebal, dia tertawa. Dewi ini tidak biasanya berbelit-belit, dia tau aku orangnya selalu to the point.

“Ini ada orang mau kenalan katanya” aku mengenyit heran, siapa?

“Gak usah ngaco deh, kamu cuman mau godain aku kan?”

“Loh kok godain sih? Ini beneran ada yang mau kenalan sama kamu” gemasnya.

“Monyet di Uluwatu?” Dewi dan Alan tertawa terbahak-bahak, bukan tanpa sebab aku menimbulkan praduga ini, Dewi dengan segala kebiasaan uniknya membuatku selalu berprasangka padanya.

Mungkin saja ia ingin membagikan kisahnya yang sedang honeymoon di Bali dengan mengatakan ada yang ingin berkenalan denganku, padahal tidak. Siapa lagi kan? Sircle kami terlalu sempit.

“Galang” ini bukan suara Dewi, aku sontak menjauhkan ponselku dari telinga dan memastikan bahwa sambungan telepon kami masih terhubung.

Nama kontak Dewi yang tertera di layar ponselku.

“Tuh, udah denger sendiri kan? Dia sampe nyamperin aku dan Mas Alan ke Bali cuman buat dapetin nomor ponsel kamu” kata Dewi, yang di ikuti tawa dari Alan.

“Gak gitu kok Kanaya, kebetulan aja ketemu sama mereka, terus ke inget kamu”

“Buat apa minta nomorku?” tanyaku tanpa menghiraukan sanggahannya.

“Nanti akan ku sampaikan sendiri kalau aku sudah memiliki nomormu, boleh kan?”

“Eh udah dulu ya, jam istirahatku sudah habis” setelah mengatakan itu, sambungan telepon ku matikan sepihak, ini bukan jawaban, aku memilih menghindar dari pada menjawab permintaan dari Galang.

Aku tidak mau terlibat lebih jauh dengan lelaki lagi, luka dari hati patah yang lalu belum sepenuhnya sembuh, tidak ingin menambahkan luka baru di atas luka lamaku yang masih menganga.

Aku yakin dia hanya penasaran padaku, dia pasti sama dengan lelaki yang pernah singgah di hidupku, setelah rasa penasaran itu terjawab kemudian meninggalkanku yang sudah berharap banyak padanya.

Galang Prambudi.

Nama yang indah, dia juga tampan. Setiap ada ketidak sengajaan yang berulang seperti ini, aku selalu bertanya-tanya dalam hati, diakah jodoh yang sudah Tuhan siapkan untukku?

Aku menggeleng sembari sesekali memukul kepalaku dengan pelan untuk menghilangkan hayalanku. Belum tentu juga dia adalah jodohku. Aku selalu salah paham terhadap niat

Tuhan mempertemukanku dengan seseorang.

Seperti yang terjadi pada masa laluku.

Ah sudahlah.

Pekerjaan kantor di akhir tahun memang selalu banyak. Aku kembali fokus dengan berkas-berkas dan layar komputer yang selama ini menjadi donatur tetap dalam perjajanan dan skincare-ku.

Ting tong ting tong

Aku sempat terkejut, namun senyumku segera terbit, jam pulang sudah tiba. Ku bereskan semua barangku dan pulang dengan senyuman yang merekah. Waktu bahagiaku saat ini hanya tiga, saat jam pulang, saat gajian, dan saat libur.

Kali ini aku ingin pergi ke taman kota terlebih dahulu, sudah terngiang di pikiranku semangkuk mie ayam, dengan ceker, tumpahan saus dan sambal, serta segarnya es degan yang seperti me-recharge energiku kembali.

Sabtu malam minggu, waktuku untuk me time. Jika orang lain menghabiskan waktu dengan pasangan mereka, tapi tidak denganku. Sudah ku bilang kan? Aku suka menghabiskan waktu sendiri.

“Pak, mie ayam 1, plus ceker, dan es degan 1, ya!” pesanku saat sudah sampai kedai Mie ayam langgananku, Pak oto mengangguk sembari tersenyum, kemudian kembali pada kesibukannya membuatkan pesanan pelanggan yang datang sebelum diriku.

Aku duduk di bangku favoritku, dekat dengan pintu masuk dan menghadap jalan raya, dari sini aku bisa melihat kendaraan yang berlalu lalang, juga muda mudi yang dengan tidak sopannya bergandengan di hadapan singlelillah sepertiku.

Dulu aku tidak terlalu khawatir karena aku memiliki Dewi yang sama-sama belum menikah, saat Dewi sudah mengarungi bahteranya bersama Alan, aku kalang kabut, tidak ada lagi tameng yang bisa ku gunakan untuk pembelaan diri.

Right person in the right time.

Hanya kalimat itu yang terus menguatkanku hingga saat ini.

Aku tidak mau salah pilih, karena sudah cukup aku bersedih karena orang yang salah. Tidak salahkan?

“Silahkan Neng” karena terlalu asik melamun aku sampai tidak sadar pesananku sudah ada di hadapanku. Pak oto sendiri yang mengantarkan untukku, tidak seperti pelanggan lain, aku kenal baik dengan Pak oto karena sering makan di tempatnya, itu sebabnya, beliau menobatkanku dan Dewi sebagai pelanggan tetap yang di istimewakan. Kata beliau waktu itu.

“Terima kasih pak, kok gak pelayan aja yang anter, biar bapak gak capek bolak-balik”

“Gapapa Neng, kemana Neng Dewi? Biasanya udah seperti gula dan semut, nempel mulu” ucap Pak oto dengan mendekatkan jari telunjuk dan jempol sebagai simbol begitu dekatnya kami.

“Saya gulanya kan pak?” tanyaku, Pak Oto tertawa, di susul dengan tawaku.

Setelah menjelaskan bahwa Dewi sedang dalam masa Honeymoon karena baru saja menikah beberapa hari lalu, Pak Oto menitipkan ucapan selamat lengkap dengan do’a-do’a baik untuk kebahagiaan rumah tangga Dewi yang ku aminkan dalam hati.

Aku makan dengan khidmat, rasa dari Mi ayam ini tidak pernah berubah, selalu enak di lidah, dan kantongku tentunya.

Setelah selesai makan aku langsung membayar dan menuju toko donat yang berada di seberang kedai mie ini, aku senang menonton film dengan memakan donat, mama dan adikku juga menyukai donat di toko ini.

Aku memilih beberapa toping, kemudian membayarnya. Dan keluar dari toko dengan menenteng dua kotak donat berisi berbagai varian favorit keluargaku.

Saat akan keluar, tak sengaja tas ku tersangkut pada gagang pintu, ku goyangkan lenganku berharap kaitan itu dapat lepas, namun itu seperti tidak ada gunanya, aku menaruh kotak donatku di dekat pintu keluar untuk melepaskan kaitan itu lalu kembali memakai tasku dengan benar agar tidak kembali tersangkut pada apapun.

Untung saja toko kue ini sedang sepi, batinku.

Aku sedikit menunduk saat akan mengambil kotak donat yang ku letakkan sembarangan, tak sengaja aku melihat kilauan dari celah antara tempat sampah dan tembok toko ini. Setelah menenteng semua donatku untuk di bawa pulang, aku segera mendekat pada objek yang mencuri pandanganku tadi.

Sebuah gelang!

Perlahan aku menarik gelang itu keluar, gelang emas dengan taburan berlian dan bermata batu blue safir. Ini indah sekali! Aku celingukan untuk mengamati sekitar. Tidak ada orang. Aku memutuskan untuk membawa pulang gelang itu.

Rejeki anak sholehah! Kataku dalam hati, sembari berjalan dengan riang.

TBC

Chapter 3

Aku meneguk air putih sembari duduk di bawah naungan pohon yang rindang, di hari minggu pagi, aku selalu menyempatkan diri untuk lari pagi di taman komplek.

Kebiasaanku yang suka makan dan ngemil membuatku harus menjaga postur tubuhku dengan berolahraga. Aku mengedarkan pandangan pada jejeran pedagang kaki lima, aku selalu sarapan di sini setelah jogging.

Kali ini, aku memilih nasi uduk sebagai menu sarapanku.

Perpaduan antara nasi yang gurih karena santan dan kering tempe yang sedikit manis, ditambah sambal yang pedas mampu menggoyangkan lidahku pagi ini. Jangan lupakan serundeng dan komponen lainnya, ah, nikmatnya hidup ini.

Ku lirik jam tanganku, jam 8.

Aku harus segera pulang, atau mama akan menyusul ke sini dan menyeretku pulang.

Setelah menghabiskan nasi uduk aku langsung menandaskan teh hangat dan membayar semua yang ku pesan.

Aku berjalan kaki menuju rumah, aku tidak memiliki agenda apapun hari ini, tugas bersih-bersih yang ditugaskan padaku sudah selesai sebelum aku pergi jogging.

Senangnya, bisa bersantai di hari minggu.

“Assalamu’alaikum” salamku begitu memasuki rumah. Aku terpaku setelah melihat Ayah, Mama, dan Adikku sudah berpakaian rapi. Mau kemana mereka?

“Kemana aja sih Mbak? Ayah telfonin dari tadi gak diangkat” omel Ayahku dengan lancar, aku meringis.

“Mbak kan gak pernah bawa Handphone kalau lagi jogging, Yah” aku menatap adikku, Manggala Candrawan, yang biasa kupanggil Awan dengan sengit, heran ya, dia itu laki-laki tapi doyan banget ngadu.

“Emangnya ada apa?” tanyaku mengalihkan topik sebelum Ayahku mengomel kemana-mana.

“Kamu gak baca pesan Mama kemarin, Mbak?” aku menggeleng sembari mengingat, pesan apa? Yang mana?

“Duh, ini anak ya, besok Ayah jual Handphone kamu Mbak, punya handphone kok gak ada gunanya” aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal, sementara adikku? Dia sudah tertawa senang saat aku di omeli seperti ini.

“Udah sana ganti baju, Mama udah siapin baju kembaran buat kita semua” aku semakin tak mengerti.

“Iya, tapi kita mau kemana sih? Penting banget ini Naya harus keluar pas weekend kayak gini?” mama mengangguk mantap yang mengartikan bahwa aku harus meninggalkan singgasanaku hari ini.

“Kita mau ke acara reuni keluarga, kan ini sudah di agendakan ber bulan-bulan lalu, kamu sih gak mau bantuin sepupu-sepupumu yang lain buat nyiapin acaranya” tiba-tiba tatapanku memelas pada Mama dan Ayahku, aku tidak menyukai acara ini, ku rasa semua wanita yang seusia dan senasib denganku juga tidak menyukai acara tidak bermutu ini.

“Kemarin kamu sudah Alpha, masak sekarang gak ikutan lagi” ucap Ayahku dengan tegas.

“Tapi kan Naya gak suka Yah ketemu Bu Dhe, Pak Dhe yang sering mojokin Naya dengan pertanyaan ‘Kapan Nikah?’ Naya malu, emangnya Ayah gak malu karena belum juga mantu sampai sekarang?” keluhku yang hampir saja berurai air mata, dua tahun lalu saat aku berusia 25 tahun, omongan Bu dhe dan Pak dhe yang pedesnya kayak saos samyang membuatku malas untuk menghadiri acara reuni keluarga sampai kapanpun.

Masih teringat jelas di benakku betapa kejamnya perkataan mereka padaku waktu itu.

‘Kanaya, kamu tuh sesekali merawat diri, jangan kucel gini penampilannya, gimana mau punya pasangan kalau kamu kayak gini, percuma karir bagus kalau gak punya pasangan, lihat ayah dan mamamu, mereka sudah pengin nimang cucu, bukan pengin kamu beliin ini itu’

Sakit sekali hatiku, ditambah lagi melihat tatapan terluka dari kedua orang tuaku. Semua orang boleh menyakitiku, aku tidak peduli, tapi jika itu tentang kedua orang tuaku, aku rela menukar apapun demi kebahagiaan mereka.

“Nggak, Ayah sama sekali gak malu, memangnya Mama malu?” Mamaku menggeleng, menghampiriku, dan memelukku.

“Kami gak pernah malu sama kamu, Sayang, justru sebaliknya, kami sangat bangga padamu, banyak orang yang menginginkan posisimu, Nak, kamu harus mensyukuri itu” aku menatap kedua orang tuaku dengan haru.

“Tapi Mama sama Ayah sedih kan karena sampai sekarang belum juga dapat mantu?” ayahku duduk di hadapanku.

“Ayah sama Mama memang sedih tapi bukan karena itu”

“Lalu?”

“Kami sedih karena khawatir, siapa yang akan menjagamu jika kami sudah tiada, siapa yang menenangkanmu seperti ini jika kami sudah tiada, siapa yang akan menghapus air matamu saat kamu sedang sedih dan terluka, kamu anak kebanggaan Ayah dan Mama, putri kecil Ayah yang sekarang sudah dewasa” Ayah menerawang ke depan, semua ucapannya tidak bohong untuk sekedar menenangkanku, rupanya itu yang membuat mereka sedih.

“Awan suatu saat akan memiliki keluarga sendiri, meski Ayah selalu mewanti-wantinya untuk selalu menjagamu sekalipun kalian semua sudah berkeluarga, kamu tetap butuh orang yang 1 x 24 jam ada untukmu, mensuportmu, menjadi sandaranmu, pembimbingmu, yang mengantikan tugas Ayah untukmu, jika kami sudah tidak ada, siapa yang akan melakukan itu?” tambah Ayah sembari menatap ku, Mama beralih ke samping Ayah untuk gantian menenangkan Ayah, sementara itu, aku menangis karena sudah salah paham pada orang tuaku.

“Maaf Yah, Ma, Naya sudah salah paham, Nay-Naya pikir, Ayah malu karena Naya belum juga menikah di umur Naya sekarang” ucapku dengan tergugu, kami sudah lama tidak deep talk seperti ini, wajar saja jika ada ke salah pahaman di antara kami.

“Taukah kamu apa yang menjadi kekhawatiran terbesar kami?” tanya Ayah yang ku hadiahi gelengan sembari menghapus air mata yang mengucur deras dari pelupuk mataku.

“Kami lebih khawatir jika kamu menikah dengan orang yang salah karena terburu-buru dan asal memilih pasangan demi membungkam mulut orang-orang usil seperti Pak dhe dan Bu dhe mu” ucap Ayah dengan nada lesu.

“Kami tidak ingin itu terjadi, Kanaya, orang yang menjadi suamimu nanti harus mengerti kalau kamu princess kecil ayah yang tidak boleh di sakiti secara fisik dan hati” mata Ayah berkaca-kaca, aku berhambur ke pelukan Ayah dan Mamaku, aku merasa berdosa sekali jika membuat kedua orang yang paling ku sayangi ini bersedih karena ku.

“Kamu tidak mendapatkan apapun selain ketidak bahagiaan kalau tidak dengan orang yang tepat, kita manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a nak, semuanya sudah diatur kita hanya menjalaninya, jadi bukan salahmu jika sampai saat ini belum menikah” ucap Ayah lagi.

“Sekarang terserah kamu, mau datang atau tidak, Ayah juga tidak mau kamu sedih karena omongan orang sekalipun itu saudara kandung kami sendiri” aku kembali menatap ayah tak percaya.

Tapi dari perkataan Ayah tadi, aku menangkap satu poin penting yang bisa ku jadikan senjata untuk membantah perkataan nyelekit dari Pak dhe dan Bu dhe ku nanti, lihat saja. segera ku hapus air mataku.

“Kanaya ikut yah, tolong tunggu sebentar” aku menghela nafas dalam dan bangkit untuk bersiap.

Aku bisa melihat senyuman tulus dari kedua orang tua dan adikku, rupanya bukan hanya aku yang tersakiti oleh perkataan mereka, keluarga kecilku ini juga sakit melihatku sedih seperti sebelumnya.

Aku mandi dan berdandan semaksimal mungkin, aku tidak mau terlihat lemah lagi di hadapan mereka.

Kami berangkat dengan tenang, tidak ada kegaduhan antara aku dan Awan seperti biasa, entahlah, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

Aku dan Awan berjalan di belakang Ayah dan Mama, gedung ini sudah di hias dengan indah.

Di depan sana aku melihat para sepupu yang sudah melambaikan tangan padaku, aku membalasnya dengan senyuman, tanpa ku sadari, orang yang berniat ku hindari kini ada di sisiku. Aku menyaliminya sebagai tanda hormatku.

“Sehat Kanaya?” sapa Bu dhe, ini basa-basi yang paling memuakkan bagiku.

“Baik Bu Dhe”

“Kamu sendiri lagi?” aku mengangguk sopan, yang sebenarnya dalam hatiku ada bola-bola api yang siap ku lemparkan pada Bu Dhe ku yang bermulut pedas ini.

“Mbok ya kamu itu bawa pasangan tho, lihat itu Jani, dia lebih muda dari kamu tapi sudah berani bawa tunangannya kemari” tuh kan benar, dia membandingkanku dengan anak bungsunya sendiri.

“Yang menikah aja bisa cerai Bu Dhe” Bu Dhe menatapku nyalang, aku tidak peduli, tangisanku tadi dan tatapan nelangsa Ayah dan Mama waktu itu harus terbayar hari ini.

“Bu Dhe seperti ini karena sayang sama kamu, lihat kamu sudah umur berapa, perempuan itu ada masa expired-nya, susah hamil kamu nanti” aku tersenyum meremehkan, lagaknya sudah sepertituhan saja berani memvonis seperti itu.

“Memangnya Bu Dhe tau kapan Bu Dhe mati? Nggak kan? Jodoh, rezeki dan maut itu di tangan tuhan, kita ini sama-sama manusia loh” tanpa kata Bu Dhe segera meninggalkanku dengan raut kesalnya.

Yess! Berhasil!

Ku lihat para sepupu yang tidak jauh dari tempatku berdiri mengacungkan jempol padaku, lihatkan, bahkan semua sepupuku tidak menyukai Bu dheku.

TBC

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!