NovelToon NovelToon

Bukan Mantan Pacar

Surat Cinta

Namanya lengkapnya Devano Putra Wijaya, anak kelas 11 IPA-1 yang merupakan salah satu cowok idola di SMA Dharma Bangsa. Bukan seorang ketos tapi cukup populer dan memiliki banyak fans mulai dari siswi kelas 10 sampai kelas 12 pun ada. Jago di pelajaran dan olahraga basket tapi belum pernah pacaran dan tidak terlalu tertarik menanggapi para fans nya yang terang-terangan menyatakan rasa suka dan bersedia jadi pacarnya. Meski teman-teman satu gank nya yang terdiri dari Joshua, Leo, Arya dan Ernest membujuk Devan untuk mencoba pacaran dengan salah satu fans nya, Devan tidak tertarik sedikitpun. Bahkan sosok Emilia, cewek idola di SMA Dharma Bangsa dan merupakan salah satu fans berat Devan, tidak membuat Devan tertarik untuk mencoba yang namanya pacaran.

Bianca Aprilia, siswi kelas 11 IPS-3 adalah salah satu pengagum Devan sejak kelas 8. Bianca memang selalu satu sekolah dengan Devan sejak SMP lalu lanjut ke SMA. Menyadari keadaan dirinya yang berbeda jauh dengan Devan, Bianca hanya bisa mengagumi Devan diam-diam dan mencuri-curi kesempatan dari kejauhan. Dari segi fisik, ekonomi dan kepintaran, Bianca menyadari bahwa dirinya bagaikan bumi dan langit jika dibandingkan dengan Devan.

Namun entah keberanian darimana, saat selesai menjalankan PAS semester 2 di kelas 11, Bianca nekad menemui Devan untuk mengungkapkan perasaannya.

“Devan,” Bianca memanggil cowok itu dari pintu kelas 11 IPA-1. Posisi Devan saat itu sedang duduk berbincang dengan keempat sahabatnya di tengah jam pelajaran kosong.

Devan langsung menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya.

“Cie cie Devan… nambah catatan penggemar lagi nih,” goda Joshua, si cowok paling lebay dan berisik di antara mereka berlima.

Devan masih duduk di bangku dan hanya menautkan alisnya seolah bertanya ada maksud apa Bianca memanggilnya.

“Kamu dipanggil Pak Herman ke kantor guru,” lanjut Bianca sedikit gugup. Kedua jemarinya saling meremas karena perasaan yang tidak karuan. Mendapat godaan dari Joshua, reflek mulutnya mengucapkan kebohongan.

Devan beranjak bangun dari bangkunya dan mulai melangkah keluar.

“Perlu ditemenin nggak Van ?” celetuk Ernest.

“Siapa tahu galfok sama cewek manis jadi lupa arah kantor guru,” timpal Leo yang ditanggapi dengan tawa Joshua, Ernest dan Leo sendiri. Arya yang juga ada di situ memilih diam dan matanya fokus menatap sosok Bianca yang menarik perhatiannya sejak kelas 10.

Devano yang digoda teman-temannya bersikap cuek dan keluar pintu melewati Bianca yang masih berdiri dengam perasaan campur aduk. Kedua tangannya dimasukkan ke saku dan melangkah ke arah kantor guru tanpa bicara apapun dengan Bianca.

“Devan,” panggil Bianca lagi. Devano reflek menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Bianca.

“Pak Herman di kantor guru kan ?” tanyanya dengan suara dingin. Tanpa menunggu jawaban Bianca, Devan berbalik dan ingin melanjutkan langkahnya.

“Bukan,” Bianca mengencangkan suaranya untuk menghentikan langkah Devan. “Di halaman belakang dekat gudang,” lanjutnya sambil melangkah mendekati Devan yang kembali berhenti saat mendengar kata bukan dari milut Bianca.

“Mau ngapain ketemu di dekat gudang ?” Devan mengerutkan alisnya sambil menatap Bianca yang sudah berdiri berhadapan. Bianca menatap sekilas sambil mengangkat bahunya lalu menundukkan kepalanya lagi.

Meski agak sedikit bingung dengan informssi yang disampaikan Bianca, Devan tetap melanjutkan langkahnya turun ke lantai dasar menuju halaman belakang sekolah tempat gudang berada. Bianca sedikit berlari kecil mengikuti langkah Devan yang lumayan cepat dan lebar.

Sampai di depan gudang, Devan celingak celinguk mencari sosok Pak Herman, guru olahraga sekaligus pembina tim basket yang diketuai oleh Devan.

“Mana Pak Hermannya ?” Devan menatap tajam ke arah Bianca yang agak tersengal karena mengikuti langkah Devan.

“Maaf,” cicit Bianca sambil menunduk. “Maaf aku berbohong,” Bianca menarik nafas panjang sambil mengatur perasaan deg deg kan.

”Sebetulnya aku yang mau ngomong sama kamu, tapi kalo aku bilang terus terang kamu pasti nggak mau,” laniut Bianca lagi. Dan dengan sedikit nekad, Bianca mengangkat kepalanya menatap Devan yang terlihat sangat kesal. Tatapannya terlihat tajam dan aura kemarahan terlihat di pancaran wajahnya.

Tanpa menanggapi perkataan Bianca, laki-laki itumendengus kesal dan berbalik hendak meninggalkan Bianca, namun reflek tangan Bianca memcekal tangan Devan.

“3 menit… Tolong kasih aku waktu 3 menit saja untuk saat ini,” Bianca melepaskan cekalannya dan menangkup kedua tangan di depan wajahnya seperti orang memohon.

Devan mendengus kesal namun melihat wajah Bianca akhirnya dia berbalik berhadapan dengan Bianca.

“3 menit dan tidak boleh lebih,” jawab Devan sambil menyetel stopwatch pada jam tangannya.

Bianca kembali menatik nafas panjang. Antara rasa lega karena Devan mau memberinya kesempatan dan rasa deg deg kan yang terus bergejolak di dalam hatinya. Bianca buru-buru mengeluarkan sebuah amplop dari saku roknya dan mengulurkannya ke Devano.

“Apa ini ?” Devano memandang sekilas amplop putih di tangan Bianca sambil mengerutkan alisnya. Tanpa Bianca menjawab pun, Devano sudah tahu isinya, Bukan pertama kali seorang siswi memberinya amplop yang isinya tidak lain adalah surat cinta.

“Tolong diterima meskipun kamu nggak ada niat membacanya,” Bianca menyorongkan amplop putih itu semakin dekat dengan tangan Devan.

“Kamu boleh mengganggap gombal dan tertawa setelah membacanya. Tapi aku mohon hanya satu, aku mohon,” Bianca menjeda kalimatnya untuk mengambil nafas panjang.

“Jangan dibaca bersama-sama dengan orang lain termasuk para sahabatmu dan jangan biarkan juga orang lain membacakannya untukmu,” Bianca menangkup kembali kedua tangannya sebagai permohonan.

Devan menatap sekilas mata Bianca lalu beralih ke amplop yang masih dipegang gadis itu.

“Itu 2 permohonan bukan satu,” jawab Devan ketus.

Dengan gerakan cepat Devano menarik amplop putih dari tangan Bianca, melipatnya dan memasukkannya ke kantong celana panjangnya. Tanpa ada kata-kata lainnya, Devano berbalik dan meninggalkan Bianca yang masih berdiri kaku. Antara senang karena Devano menerima amplop yang berisi surat curahan hatinya dan sedikit cemas apakah Devano akan membacanya atau langsung melemparnya ke tempat sampah.

Dengan perasaan yang campur aduk, Bianca kembali ke kelasnya yang terletak di lantai 2. Langkahnya terlihat gontai karena lebih besar rasa cemas ketimbang bahagianya, hingga tanpa sadar, dia sudah sampai di depan kelas 11 IPS-3. Suara gaduh terdengar sepanjang kelas karena jam pelajaran setelah PAS lebih santai dan banyak jam kosong.

“Bibi Bian,” suara cempreng Mia menyambutnya saat langkahnya pas di depan pintu masuk kelas.

“Berisik !” Della menoyor jidat Mia yang suaranya langsung menggema di dalam kelas.

“Diihhh sewot aja,” Mia cemberut sambil mengusap jidatnya.

Bianca diam aja dengan tertunduk lesu. Dia menghempaskan bokongnya di bangku sebelah Della yang kosong sementara Mia duduk di atas meja. Badannya terasa lemas setelah melalui perasaan yang campur aduk dan udara yang cukup panas pagi itu.

“Darimana sih Bibi,” Mia menoel pipi Bianca yang wajahnya masih tertunduk. “Kok lemes begitu ? Habis ngapain ?” lanjutnya.

Bianca mengambil sebuah buku tulis dari dalam tasnya untuk dibuat kipas. Dia menarik nafas panjang sebelum menjawab Mia.

“Habis dari halaman belakang,” ditariknya 2 lembar tissue milk Della yang ada di atas meja. “Cari inspirasi,” lanjutnya menanggapi reaksi Mia yang menautkan kedua alisnya.

“Diihhh gayanya,” Mia menepuk pelan kepala Bianca dengan buku yang dipegangnya buat kipas. Bianca reflek menoleh dan melotot ke Mia, tapi temannya yang bersuara cempreng itu hanya tertawa.

“Kantin yuukk,” Della beranjak bangun dari bangkunya.

“Yuukk deehh… Bosen juga nih pelajaran kosong nggak tau sampai jam berapa,” Mia juga ikutan bangun dari duduknya.

“Males aahh,” Bianca masih duduk di bangkunya sambil mengipaskan wajahnya dengan buku.

“Ayolah..” Mia menarik tangan Bianca sampai gadis itu terbangun. “Cari yang seger-seger daripada bete kepanasan di kelas… Yukkk ah.”

Akhirnya Bianca ikut juga dengan kedua temannya, Mia masih menggandeng tangannya.

“Jangan gandengan, nanti disangka nyimpang lo,” Della melepaskan tangan Mia dan Bianca.

“Dih sembarangan ya,” Mia melotot ke Della.

“Eh nenek, kalo g aman karena dah tahu elo berdua… Nah yang lain kan tao sendiri, apalagi noh yang di depan,” Della menunjuk sekumpulan siswi yang berjalan tidak jauh dari mereka.

Mia menoleh mengikuti arah tangan Della lalu reflek mencebik.

“Duuhh grup kecentilan lagi,” umpatnya pelan.

Bab 2 Geng Centil vs Geng Idola

Kantin tidak terlalu ramai karena memang belum waktunya istirahat. Sebagian anak menghabiskan waktu di kelas melewati jam kosong yang infonya berlangsung sampai jam istirahat pertama.

Bianca, Della dan Mia langsung menuju ke salah satu meja di pinggir kiri kantin dari arah pintu masuk.

“Duh males banget nih ketemu sama Geng Centil,” bisik Mia.

Della dan Bianca sudah melihat Nindi dan teman-temannya sudah duduk di meja yang letaknya di tengah kantin.

“Biarin aja sih, kagak ada urusan juga,” Della menanggapi bisikan Mia dengan suara yang juga agak pelan.

Bukan masalah takut sama Nindi dan Geng nya yang sudah terkenal karena kecentilannya. Sering ditegur guru karena make up mereka yang lumayan mencolok untuk ukuran anak SMA.

“Mau pesan apa ?” Mia beranjak bangun dari duduknya untuk memesan makanan dan minuman.

“Gue air jeruk aja, gula sama es nya jangan banyak-banyak,” sahut Bianca

“Gue jus buah naga ya, jangan manis juga,” lanjut Della.

Mia cuma mengangguk dan menuju tempat minuman. Belum sampai tempat tujuannya, Nindi dan geng nya terdengar riuh. Reflek Mia menoleh mencari sumber kehebohan mereka. Bianca dan Della ikut menoleh juga karena suara Nindi dan geng nya cukup menarik perhatian siswa siswi yang ada di kantin.

Di pintu masuk kantin nampak Joshua dan Arya, diikuti Ernest dan Leo dan paling terakhir Devano. Mereka berlima memang selalu mendapat perhatian khusus bagi banyak siswi di SMA Dharma Bangsa, terutama Nindi dan Gengnya yang melabelkan diri sebagai Devano Fans Club.

Bianca yang posisi duduknya membelakangi pintu masuk kantin buru-buru membalikkan badannya kembali. Hatinya kembali deg deg kan dan khawatir saat melihat rombongan kelima cowok yang mendapat gelar Geng Sang Idola memasuki kantin. Apalagi dia sempat menangkap sosok Devano di paling belakang.

“Halo cowok-cowok ganteng,” Nindi yang kecentilan langsung bangun dan menghampiri meja kelima cowok idola itu. Di sampingnya sudah berdiri Chika yang nggak kalah centilnya.

Mia yang sudah selesai dengan pesanan minumannya sedikit mencibir melihat kelakukan Nindi dan Chika.

“Halo cantik,” Joshua yang menanggapi. Ernest dan Leo hanya senyum-senyum saja sementara Arya dan Devano bersikap cuek. Arya malah bangkit dari bangkunya menuju tempat makanan dan minuman.

“Titip es jeruk Bro,” tutur Devano sambil mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari saku kemejanya.

“Gue es kopi Bro,” Ernest ikutan bersuara.

”Gue sama es kopi Bro,” lanjut Leo yang ikut memesan juga. Sementara Joshua masih mencoba menanggapi Nindi dan Chika yang matanya malah fokus ke Devano.

“Heh kampret, elo kagak pesen minuman ?” Ernest yang posisi duduknya persis sebelah Joshua langsung menyenggol bahu cowok itu.

“Apa aja yang bisa bikin tambah manis,” jawab Joshua asal tanpa memalingkan wajahnya. Tatapannya masih pada Nindi dan Chika yang berdiri di ujung meja dekatnya.

Melihat Arya bangun, Nindi buru-buru menempati posisi Arya yang tepat di seberang Devano. Cowok itu sendiri masih cuek dan asyik dengan berbagai aplikasi di handphonenya.

“Van,” suara Nindi halus dengan nada yang dibuat-buat. “Besok Sabtu jalan-jalan yuk, nonton kek, makan atau jalan-jalan aja juga boleh,” Nindi mulai mengeluarkan nada rayuannya.

“Males,” jawab Devan singkaf tanpa merubah posisinya yang masih menunduk karena asyik dengan gadgetnya.

“Van, kan PAS udah selesai, tinggal tunggu pembagian raport dan libur kenaikan kelas,” Nindi masih terus mengoceh.

“Yuk lah kalo elo mau sama teman-teman cantik elo,” kali ini Ernest yang menjawab sambil menaik turunkan alisnya.

Spontan Nindi langsung melotot menatap Ernest karena tujuannya mau ajak Devano sendiri, bukan ramai-ramai dengan geng mereka.

Devan mengangkat kepalanya dan melempar pandangan pada Arya di sudut minuman. Dikihatnya Arya sudah selesai membayar dan sebagian pesanan mereka sudah tersedia. Arya yang posisinya memang menatap meja teman-temannya bersitatap dengan Devano dan langsung mengerti dengan kode yang diberikan Devano padanya.

Devano langsung beranjak dari kursinya. Berasa kesal harus mendengar obrolan dengan Nindi yang buatnya sangat mengganggu.

“Devan !” Nindi meraih tangan Devan yang baru saja berdiri. “Aku belum selesai ngomong,” wajah Nindi langsung ditekuk dan terlihat sangat kesal.

“Masih ada Jo, Ernest sama Leo,” Devan menoleh menatap ketiga sahabatnya bergantian. Tangannya ditarik dari genggaman Nindi.

Di sisi lain Bianca juga beranjak bangun karena memang minumannya sudah habis.

“Mau kemana ?” Mia menahan tangannya sambil mengangkat gelasnya yang masih berisi setengah.

“Gue mau balik kelas dulu, pusing di sini,” Bianca keluar dari bangkunya sementara Mia sudah melepaskan tangannya. Akhirnya Mia dan Della ikut bangkit dan berjalan bareng Bianca.

Arya yang melihat Bianca dan kedua temannya beranjak dan ingin meninggalkan kantin, buru-buru mengambil pesanan minuman untuknya, es jeruk untuk Devan dan segelas es jeruk lainnya.

“Woi, minuman kalian tinggal ambil ya, udah dibayar,” tuturnya saat melewati meja yang tadi ditempatinya dan menyerahkan segelas es jeruk pada Devan yang mulai meninggalkan tempat duduknya.

Sedikit berlari, Arya menuju pintu kantin sisi kanan tempat Bianca, Della dan Mia keluar. Devano yang melihat kelakuan Arya mengikuti tingkah laku sahabatnya itu dengan tatapan tajamnya.

“Buat kamu,” Arya menyodorkan segelas es jeruk untuk Bianca.

Reflek Bianca, Della dan Mia berhenti saat Arya berdiri di depan mereka lalu menyodorkan segelas air jeruk untuk Bianca. Mia terihay senyum-senyum di belakang Bianca.

“Aku udah minum es jeruk tadi,” Bianca menolak halus pemberian Arya.

“Tapi kayaknya belum cukup,” Arya tetap menyodorkan gelas es jeruk kali ini disertai senyum tipis.

“Muka kamu kelihatannya masih sedikit dehidrasi, masih kurang es jeruknya dengan gula dan es sedikit.”

Bianca sedikit jengah dengan kondisi yang diberikan Arya saat ini. Saat dia membuang pandangannya, tidak sengaja pandangannya bersitatap dengan Devano yang ternyata masih berdiri di depan pintu tengah kantin melihat kejadian Arya dan Bianca. Gadis itu sempat menatap ke arah Devano sekian detik dengan perasaan tidak menentu.

“Udah kalo Bibi nggak mau, buat gue aja,” Mia yang masih berdiri di belakang Bianca langsung menyodorkan tangannya hendak mengambil es jeruk dari tangan Arya. Reflek cowok itu mengangkat gelas es jeruk lebih tinggi hingga Mia gagal mengambilnya.

“Enak aja,” Arya mencibir. “Serakah ya, itu minuman di tangan elo aja belum habis. Udah nyamber aja minuman orang,” suara Arya mengomel. Mia cuma cekikikan.

“Habis daripada sia-sia,” lanjut Mia.

Karena merasa tidak enak dan mulai jadi perhatian akhirnya Bianca mengambil gelas yang masih dipegang Arya.

“Terima kasih ya,” ucap Bianca lalu melanjutkan langkahnya.

Devano masih menatap ketiga gadis itu yang mulai melangkah meninggalkan kantin.

“Semoga berhasil Bro,” Arya dengan wajah senang berjalan menghampiri Devano dan merangkul bahu sahabatnya itu.

“Tadi pagi gue seneng banget lihat dia ke kelas, pikir mau ketemu gue,” Arya melanjutkan curahan hatinya sambil berjalan beriringan dengan Devano. Tangannya sudah tidak lagi merangkul bahu Devano.

“Elo suka sama dia ?” tanya Devano.

”Iya,” jawab Arya mantap. “Kalah cantik memang dibanding Nindi dan teman-temannya. Tapi manis,” Arya senyum-senyum sendiri memjawab pertanyaan Devano.

Devano menarik nafas panjang, Tangannya yang dimasukkan ke saku celana menggenggam kertas yang tadi pagi diberikan oleh Bianca di halaman belakang.

“Bro,” Devano menepuk bahu Arya. “Hati-hati patah hati, kayaknya tuh cewek nggak merespons elo dengan baik tadi,” lanjutnya.

Arya menoleh menatap Devano dengan menautkan alisnya tapi kemudian dia tersenyumlagi.

“Yang penuh perjuangan itu menarik Bro,” tutur Arya sumringah. “Lagian sepertinya dia juga belum punya pacar.”

Devano menarik nafas panjang kembali. Ada sedikit perasaan tidak nyaman melihat semangat Arya yang menggebu untuk mendapatkanBianca. Sepertinya kejadian tadi pagi dengan Bianca membuat hati Devano yang selama ini dingin dan keras terhadap kaum perempuan sedikit galau apalagi mendapati sahabatnya sendiri seperti sekarang.

Akhirnya mereka sampai juga di dalam kelas. 5 menit sesudahnya, Joshua, Ernest dan Leo juga memasuki kelas dan duduk di tempat mereka.

Hay guys,

Jangan lupa like, vote dan komennya yaaa😊😊

Bab 3 Devano vs Arya

“Bro,” Leo menepuk bahu Arya sebelum duduk di bangkunya. “Sejak kapan bisa perhatian sama cewek ?”

Ernest dan Joshua yang duduk di deretan bangku depan mereka langsung membalikan tubuhnya. Mereka sempat melihat adegan es jeruk antara Arya dan Bianca. Devano yang duduk di barisan sebelah, sejajar dengan bangku Arya terlihat cuek dan sibuk mengeluarkan buku dari tasnya.

Arya tersenyum tipis dan wajahnya terlihat misterius.

“Eh kulkas,” timpal Joshua yang suka nyeblak “Gue kira elo kagak demen sama cewek apalagi pacaran,” lanjutnya.

“Kok bisa Bianca sih Ya ?” tanya Leo penasaran.

“Emang kenapa kalo Bianca ?” Arya balik bertanya.

“Duuuhhh elo lamur ya ? Perlu kacamata minus ?” Joshua kembalk menyahut. “Noh di grupnya Nindi banyak yang cakep-cakep. Kenapa malah si Bianca itu yang…” Joshua belum sempat meneruskan kalimatnya karena Arya langsung menoyor pipinya.

“Selera orang emang bisa dipaksain ?” jawab Arya sambil melotot menatap Joshua.

“Ya kulkas, tapi nggak nyangka aja…” Joshua sengaja menggantung kalimatnya.

“Kulkas, kulkas… Emang g tempat penyimpanan ?” protes Arya sambil menoyor kembali kepala Joshua.

“Diihh kan memang elo kulkas. Bbrrr dingin-dingin gitu sama cewek. Makanya gue sebetulnya rada-rada khawatir berteman sama elo dan dia noh,” Joshua mengangkat dagunya mengarah ke Devano. Reflek ketiga temannya menoleh mengikuti arah dagu Joshua.

“Nah kalo Arya kulkas, Devano apaan ?” tanya Ernest sambil senyum-senyum.

“Freezer Bro,” Joshua menjawab sedikit kencang. Ernest, Leo dan Joshua langsung ketawa.

Devano menoleh mendengar tawa teman-temannya. Dia melepaskan earphonenya sebelah. Matanya menatap teman-temannya yang duduk berseberangan.

“Apaan ? Ngomongin gue ?” tanya Devano

“Bro, elo pernah naksir-naksir gitu nggak sih sama cewek di sekolahan atau di luar sekolah ?” Joshua mewakili teman-temannya melontarkan pertanyaan yang sebetulnya bikin penasaran ketiga temannya.

“Pertanyaan kagak penting,” jawab Devano datar lalu memasang kembali earphone nya.

“Bener kan istilah yang gue kasih, freezer,” Joshua mengoceh kembali dan yang lainnya hanya tertawa.

“Bro,” Ernest yang duduk persis berseberangan menepuk bahu Devano membuat cowok itu menoleh dan kembali melepaskan earphone di sebelah kiri telinganya.

“Elo masih doyan lirik-lirik cewek kan ? Nggak jeruk makan jeruk ?” Lanjut Ernest dengan wajah sedikit serius.

“Penting banget apa jawaban gue ?”Devano balik bertanya dan dijawab anggukan oleh keempat temannya secara bersamaan.

“Kepo !” Devano melepas earphone nya yang terpasang di telinga kanannya dan bangkit dari duduknya dan melangkah keluar. Dia berdiri di tembok pembatas depan kelas dengan pemandangan kelas IPS yang letaknya memang berseberangan. Matanya menatap keliling hingga didapatinya sosok Bianca dan Mia yang sedang berbincang-bincang dengan beberapa anak IPS lain di bangku depan kelas mereka.

Pandangannya terpaku pada sosok yang ada jauh di seberangnya. Reflek tangannya dimasukan ke dalam saku celananya untuk sekedar memastikan amplop putih yang diberikan Bianca tadi pagi masih aman di tempatnya.

“Bro,” Arya yang ikut keluar kelas menepuk bahu Devano dan ikut berdiri di sampingnya. Reflek Devano mengalihkan pandangannya.

“Lihat Bro,” Arya menunjuk pada sosok Bianca dan teman-temannya. Devano mengikuti arah tangan Arya. Dia sendiri sudah tahu arah pembicaraan Arya.

“Gue juga nggak ngerti kenapa bisa suka sama dia,” Arya menarik nafas panjang. “Bukan salah satu member idola sekolah, nggak pinter juga, nggak populer tapi bikin gue pengen deket-deket sama dia terus,” lanjut Arya sambil tersenyum tipis. Pancaran matanya terlihat penuh semangat saat membicarakan sosok Bianca.

“Gue mulai perhatiin dia sejak kelas 10 semester 2, pas dia nyanyi isi acara ulangtahun sekolah,” lanjut Arya.

Devano sedikit enggan mendengarkan curahan hati Arya. Ada suatu gejolak dalam hatinya yang dia tidak mengerti.

“Selama ini gue pikir semua cewek sama aja dan nggak ada minat buat pacarin salah satu dari mereka,” Arya masih melanjutkan curahan hatinya. “Pas lihat Bianca nyanyi, gue pikir cuma sekedar perasaan kagum karena suaranya terdengar penuh penghayatan. Ternyata Bro……” Arya menarik nafas menjeda kalimatnya. Kali ini senyuman lebar terpampang di wajahnya.

“Elo udah nembak dia ?” Devano yang dari tadi menahan gejolak perasaannya akhirnya bertanya juga.

“Belum,” jawab Arya sambil menggelengkan kepalanya. “Rencana gue pas classmeeting sebelum libur kenaikan kelas. Biar banyak waktu ngapelin pas libur panjang,” terdengar Arya berkata sambil tertawa kecil.

“Elo yakin dia pasti terima elo ?” Devano bertanya kembali. Reflek Arya menoleh dan membalikan badannya menjadi menatap Devano.

“Atas dasar apa elo punya pikiran kalo dia bakal menolak gue ?” Arya menatap Devano serius, sementara Devano sendiri masih di posisi semula dan pandangannya masih ke seberang ke arah kelas IPS.

“Dalam hidup selalu ada kemungkinan Bro,” jawab Devano datar. “Gue lihat Bianca bukan tipe cewek yang gampang suka cowok dan kalaupun dia suka bukan karena cowok itu punya sesuatu yang istimewa banget di mata banyak orang.”

“Bener juga Bro,” Arya menarik nafas panjang dan memutar kembali posisinya sejajar Devano.

“Menurut elo, gue harus nembak dengan cara apa supaya Bianca bisa terima ?” Arya bertanya kembali.

Devano hanya mengangkat bahunya. Ada sedikit perasaan khawatir, gelisah dan tidak nyaman mendengar curahan hati Arya. Di usianya yang hampir 18 tahun, baru kali ini dia merasakan sesuatu yang tidak biasa saat bicara tentang sosok perempuan. Devano sendiri tidak mengerti dengan gejolak hatinya karena ini adalah yang pertama buatnya.

“Jadi menurut elo, tepat nggak kalo gue nembak pas classmeeting ini ? Atau pendekatan dulu ?” Arya kembali bertanya. Pandangan matanya terarah pada sosok Bianca yang masih asyik berbincang sambil sesekali tertawa dengan teman-temannya.

“Kayaknya elo salah menanyakan hal beginian sama gue,” Devano menjawab sambil menarik nafas.

“Kan elo tau sendiri, gue nggak tertarik soal pacaran dan belum punya pengalaman soal tembak menembak,” Devano memjawab dengan senyuman getir.

“Iya juga sih,” Arya tertawa kecil. “Nggak tertarik soal pacaran bukan berarti nggak tertarik cewek kan ?” Arya menepuk bahu Devano lagi.

“Sialan lo !” Devano menoleh sambil melotot ke Arya sementara Arya hanya tertawa.

“Coba pacaran Bro mumpung masih ada waktu setahun. Kata orang nostalgia SMA yang paling indah,” Arya menepuk bahu Devano lagi.

Kali ini Devano hanya diam menanggapi pernyataan Arya. Sejak kelas 10, Devano sudah bertekad belum mau pacaran sampai dia selesai sekolah atau minimal kuliah S1 selesai. Melihat teman-temannya yang sering galau karena punya pacar membuatnya malas dipusingkan dengan hal-hal seperti itu. Sepertinya lebih banyak galaunya kalau menjalani masa pacaran di SMA. Ernest dan Leo yang pernah pacaran, sempat sampai sakit karena sakit hati. Belum lagi Joshua yang sering minder dan frustasi sendiri karena sering mendapat penolakan dari cewek-cewek di sekolah yang pernah ditembakmya. Hanya Devano dan Arya yang belum membuat catatan nostalgia SMA dengan kisah percintaan. Dan sekarang, entah bagaimana keduanya justru mulai merasakan gejolak asmara dengan wanita yang sama.

Tidak lama kemudian terdengar suara di speaker kelas dari ruang Tata Usaha yang mengumumkan kalau anak-anak kelas X, XI dan XII boleh pulang tepat saat bel istirahat. Bu Tanti, guru yang bertugas membacakan pengumuman mengingatkan anak-anak untuk masuk seperti biasa pada hari Senin untuk mengikuti kegiatan classmeeting yang akan berlangsung selama 4 hari sampai dengan hari Kamis. Tidak lama sesudah Bu Tanti menutup pengumuman, bel tanda istirahat berbunyi. Anak-anak yang ada di luar kelas segera masuk untuk melakukan doa bersama sebelum pulang.

Kelima sahabat itu pun segera merapikan tas mereka dan bersiap pulang. Seperti biasa Joshua nebeng di motor Ernest, Arya pulang sendiri dengan motornya, Leo nebeng di mobil Devano sampai perempatan yang berjarak 1.5 km dari sekolah.

“Devano,” panggilan Nindi menghentikan aktivitas kelima cowok itu yang bersiap-siap pulang. Devano dan Leo sendiri sedang berjalan menuju parkiran mobil.

“Besok jadi pergi yuukk,” Nindi langsung berdiri di hadapan Devano dan menatap cowok itu dengan puppy eyes nya.

“Males,” jawab Devano tanpa menoleh menatap Nindi. Ekspresi wajahnya yang datar terlihat sedikit kesal.

“Ramean Van,” tutur Siska teman satu geng Nindi yang berdiri dekat motor Ernest.

“Boleh juga sekedar refreshing Bro,” Joshua yang menjawab kali ini.

“Gue males, elo pada pergi aja kalo mau,” jawab Devano sambil melangkah menuju mobilnya.

Ekspresi Nindi terlihat kesal karena sikap Devano yang cuek. Dia menghentakkan kakinya ke tanah saking kesalnya.

“Udah pergi sama gue, Leo dan Ernest aja,” lagi-lagi Joshua yang menjawab, sementara Devano sudah masuk ke mobil dan Leo masih berdiri di pintu yang terbuka di sisi penumpang depan.

“Apaan sih !” Nindi melotot ke Joshua. “Gue maunya pergi sama Devano bukan elo,” Nindi mendengus kesal.

“Dih sombong banget nih cewek, pilih-pilih orang,” Joshua masih terus membalas ucapan Nindi.

“Udah Bro,” Ernest menepuk bahu Joshua. “Cabut yuukk, udah siang, nanti dicari mama.”

“Geli,” Joshua mencibir ke arah Ernest yang tertawa. Dia memasang helmnya dan langsung duduk di boncengan motor Ernest.

Nindi yang masih berdiri dengan wajah kesal hanya bisa memandang Devano yang sudah membawa mobilnya keluar dari parkiran sekolah. Dia masih menghentak-hentakkan kakinya karena kesal.

“Sabar Sis, pelan-pelan jangan grusukan,” Siska yang memang lebih sabar menepuk bahu Nindi.

“Makin elo uber dengan agresif kayaknya Devano makin menjauh dari elo,” timpal Mirna yang berdiri dekat situ juga.

Nindi mendengus kesal dan tanpa berkata apa-apa dia segera menghampiri sopirnya yang sudah menunggu sejak tadi. Siska dan Mirna ikut pulang dengan mobil Nindi juga karena mereka sudah janjian mau ke salon siang ini.

Sementara Devano yang berhenti menunggu antrian keluar di gerbang sekolah, tidak sengaja menatap sosok Bianca yang sedang berjalan persis di depan gerbang bersama dengan Della dan Mia. Tidak lama Arya dengan motornya malah berhenti di depan mereka.

“Wuuihhh tuh si Arya, tempel terus, gas poll kagak kasih rem,” Leo yang duduk di samping Devano langsung berkomentar melihat Arya yang entah bicara apa dengan Bianca. Hanya terlihat Bianca menggeleng dan Mia senyum-senyum sambil mendorong-dorong bahu Bianca dengan bahunya.

Pas sampai di sisi Arya berhenti, Leo membuka kaca mobil dan Devano menghentikan mobilnya sejenak.

“Semangat Bro,” Leo menggoda Arya sambil memberi kode tangan pemberi semangat.

Bianca dan kedua temannya sempat menoleh ke arah Leo yang sedang tertawa menggoda Arya. Bianca sempat melirik Devano yang masih duduk di kursi pengemudi dengan wajah datar dan tidak menoleh sama sekali. Bianca menarik nafas panjang.

“Bahkan menoleh ke arahku aja dia malas,” keluh batinnya.

“Bi, angkotnya datang,” Della yang merasa tidak nyaman dengan situasi saat ini langsung menarik tangan Bianca.

“Sorry ya Ya, gue balik dulu,” Bianca mengangkat tangannya sebelah dengan gerakan sedikit melambai ke Arya.

“Bye Bibian,” teriak Leo dari dalam mobil.

Bianca menoleh dan melambaikan tangan juga pada Leo. Langkahnya sedikit terseok ditarik oleh Della.

“Semngat Bro,” Leo kembali berkomentar pada Arya yang sudah siap-siap menjalankan kembali motornya

Arya mengangkat jempol lalu membalik posisinya yang ditanggapi dengan tawa Leo. Devano masih dengan wajah datarnya tanpa ikut berkomentar juga mulai menjalankan kembali mobilnya. Tanpa Leo sadari, Devano sempat melirik sosok Bianca yang sudah duduk manis di angkot.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!