"Menikahlah dengan Rena, Bim, dia perempuan baik. Ibu yakin, kamu akan bahagia bersamanya."
"Ibu bicara apa? Aku tidak mungkin menikah dengan dia, Bu. Aku tidak mencintainya. Lagipula, aku sudah punya Shinta. Aku tidak mungkin meninggalkan dia, Bu."
Abimanyu, atau biasa dipanggil Bima, menatap sang ibu yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"Untuk terakhir kalinya, ibu mohon, penuhi permintaan ibu, Nak ...." Tangan lemah Erika, perempuan yang melahirkannya itu terulur menggenggam tangan Bima.
"Waktu ibu sudah tidak lama lagi, Bim, ibu sudah tidak ku-at ...."
"Ibu ... ibu tidak boleh bicara seperti itu. Ibu harus kuat! Ibu pasti sembuh ...." Bima mencium tangan sang ibu. Kedua matanya yang sedari tadi berkaca-kaca kini meneteskan air mata.
Dia sungguh tidak sanggup mendengar ucapan sang ibu.
Erika adalah orang tuanya yang tersisa. Semenjak sang ayah meninggal beberapa tahun yang lalu karena kecelakaan, Bima hanya tinggal berdua dengan ibunya.
Namun, seiring bertambahnya usia sang ibu dan juga pekerjaan Bima yang semakin bertambah, ia kemudian mencari seseorang untuk merawat ibunya.
Bi Yati, asisten rumah tangga mereka tidak sanggup bila harus mengerjakan semua tugas rumah tangga sekaligus menjaga ibunya.
Perempuan berusia empat puluh lima tahun itu kemudian membawa sang putri untuk membantu pekerjaannya.
Kebetulan sekali, putrinya yang bernama Rena baru saja lulus sekolah. Anak gadisnya itu juga sangat baik dan juga penyabar. Makanya Bi Yati berani membawa putrinya untuk membantu merawat majikannya.
"Bim, Ibu ingin ada yang menjaga kamu setelah ibu pergi."
"Ibu ... Ibu tidak boleh bicara seperti itu. Ibu pasti sembuh."
"Bim ...."
Bima memeluk tubuh sang ibu. Laki-laki itu menangis.
Sementara, dua orang perempuan di belakang Bima, ikut menangis sesunggukan melihat keadaan Erika.
Mereka berdua adalah Rena dan Bi Yati, asisten rumah tangga yang selama ini mengabdi di keluarga Bima.
"Bim, menikahlah dengan Rena, ibu mohon ...."
"Bu, aku tidak mungkin menikah dengan Rena. Aku tidak mencintainya. Aku sudah punya Shinta, aku akan menikah dengannya, Bu."
"Shinta bukanlah perempuan yang baik untukmu, Bim ...."
"Kenapa Ibu bicara seperti itu?"
"Ibu bahkan belum mengenalnya dengan baik." Bima mencoba menjelaskan tentang kekasihnya pada Erika.
"Ibu hanya ingin kau menikah dengan Rena, Bim, bukan perempuan lain."
"Ibu-"
"Ibu mohon ... menikahlah dengan Rena, agar ibu bisa tenang."
"Ibu ...." Bima tak kuasa menahan tangisnya. Pria itu menatap ke arah Rena yang sedang menangis di pelukan Bi Yati.
Dalam hati dia sangat kesal. Mana mungkin dia menikah dengan gadis yang merupakan pembantu rumahnya sendiri?
"Ibu mohon ... menikahlah dengan Rena, Bim."
"Nyonya, saya tidak mungkin menikah dengan Tuan Bima. Saya tidak pantas-"
"Rena ... kamu tidak mungkin menolak keinginan orang yang sebentar lagi sekarat bukan?"
"Bu!"
"Nyonya!" Mereka bertiga berteriak bersamaan.
"Waktu ibu sudah tidak banyak lagi, Bim. Ibu sudah lelah. Ibu hanya ingin melihatmu menikah dengan perempuan pilihan ibu, Nak ...." Erika menggenggam erat tangan putranya.
"Ibu ingin menyaksikan kamu menikahi Rena di sini."
"Ibu ...."
"Nyonya ...."
Erika meneteskan air mata di wajah tuanya.
"Ibu mohon ... kali ini saja turuti keinginan ibu.
"Ibu ...." Bima ikut menangis melihat sang ibu memohon padanya.
"Ibu mohon ...."
Bima akhirnya mengangguk saat melihat tatapan sayu ibunya.
"Terima kasih, Bima. Kamu memang anak yang berbakti," ucap Erika.
Perempuan tua itu merasa lega karena putranya mau menyetujui menikah dengan Rena.
Erika tahu, kalau Bima memang sudah punya kekasih. Namun, dia juga tahu kalau kekasih Bima itu bukanlah orang yang baik.
Perempuan itu hanya menginginkan harta saja. Erika mengetahuinya saat dia tidak sengaja mendengar percakapan Shinta saat perempuan itu sedang berada di rumahnya untuk menemui Bima.
Erika bahkan sudah beberapa kali bertemu dengan Shinta. Namun, nalurinya sebagai ibu mengatakan, kalau perempuan itu bukanlah orang yang baik buat putranya.
"Ibu sudah menyuruh pengacara ibu ke sini. Ibu juga sudah meminta dia untuk membawa penghulu untuk menikahkan kalian secara resmi di sini."
"Ibu ...." Bima menatap tak percaya pada ibunya.
"Percayalah sama ibu, Nak, Rena adalah gadis yang baik. Dia akan menjadi istri yang baik buat kamu." Kembali suara ibunya lirih terdengar.
Bima mengepalkan tangannya. Netranya melirik ke arah Rena yang masih sesunggukan di pelukan Bi Yati, ibu dari gadis itu.
"Rena memang hanya seseorang yang merawat Ibu, Bi Yati juga orang yang telah bekerja pada kita selama bertahun-tahun. Namun, mereka orang baik."
"Ibu tidak pernah memandang seseorang itu dari harta ataupun status sosial. Jadi, Itu Ibu mohon, menikahlah dengan Rena." Kedua mata Erika menatap Rena yang masih menangis.
"Rena ... kamu mau kan, menuruti keinginan Ibu?"
"Nyonya ... sa-saya tidak pantas menikah dengan Tuan Bima, saya hanya-"
"Hanya kamu yang pantas mendampingi Bima. Kamu baik, kamu juga pintar. Ibu yakin, kamu bisa menjadi istri yang baik untuk Bima."
"Ta-tapi, Nyonya-"
"Penuhi permintaan terakhirku, Rena, Ibu mohon ...."
"Nyonya!"
"Ibu!"
Rena dan Bima sangat terkejut saat melihat Erika terbatuk-batuk. Darah segar mengalir dari mulut perempuan itu.
Dokter yang sedari tadi berdiri di belakang Bima segera mengambil tindakan.
Semua orang keluar dari ruangan itu. Mereka semua menunggu dengan cemas.
Beberapa menit kemudian, dokter keluar dari ruangan itu.
"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?"
Sang dokter menggeleng pelan.
"Sebaiknya, Anda turuti semua permintaan ibu Anda sebelum terlambat."
"Apa maksud, Dokter?" Dokter itu menepuk pundak Bima.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi keputusan tetap pada sang Maha Pencipta."
"Maksud Dokter, ibu saya ...."
Dokter itu mengangguk.
"Segera ikuti permintaannya, sebelum semua terlambat." Dokter muda itu kembali menepuk bahu Bima, kemudian melangkah pergi meninggalkan tempat itu.
Bima menatap Rena yang terlihat khawatir.
"Tuan, bagaimana keadaan Nyonya?"
"Kita ikuti permintaan ibu."
"Apa maksud, Tuan?"
"Turuti keinginan ibuku. Bukankah itu yang kau mau?"
"Tuan, apa maksud Tuan?"
Rena menatap Bima dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Pak Dika, bawa penghulu yang sudah Bapak persiapkan untuk menikahkan aku dan Rena."
"Baik, Pak," jawab pak Dika, pengacara keluarga Abimanyu.
Sementara Rena menatap majikannya tak percaya. Begitupun Bi Yati.
"Ibu, apa maksud Tuan Bima?"
"Ibu juga tidak tahu." Bi Yati memeluk putrinya.
"Cepat masuk, Rena!" Suara Bima terdengar.
"Ba-baik, Tuan."
Rena dan ibunya masuk ke dalam ruangan.
Mereka kini berkumpul di depan Erika yang terbaring lemah di ranjang pasien.
"Ibu, aku akan menuruti permintaan Ibu. Aku akan menikah dengan Rena."
Sebuah senyuman mengembang di wajah pucat Erika.
"Terima kasih, Nak." Suara Erika terdengar lirih.
"Sesuai keinginan Ibu Erika, saya sudah mempersiapkan semua berkas pernikahan kalian berdua."
"Apa?"
"Ibu Erika sudah beberapa hari yang lalu menyuruh saya untuk mempersiapkan semua berkas persyaratan pernikahan kalian."
"Ibu Erika ingin kalian menikah secara sah bukan hanya menikah siri."
"Ya Tuhan ... jadi ibu sudah mempersiapkan semuanya?"
Bima menatap tak percaya pada Erika. Pandangannya berpindah pada Rena yang tampak terkejut mendengar penuturan pengacara keluarganya.
Bersambung ....
"Sah!"
"Sah ...."
Semua orang di dalam ruangan tersenyum sambil bernapas lega karena akhirnya, kalimat ijab kabul yang diucapkan oleh Bima untuk ketiga kalinya benar dan sah.
Sebelumnya, Bima berkali-kali menyebut nama Shinta dalam kalimat ijabnya, hingga terpaksa dia harus kembali mengulangnya.
Renata mencium punggung tangan Bima. Pria yang kini telah sah menjadi suaminya.
Renata tidak menyangka kalau dia akhirnya menikah dengan Abimanyu, pria yang selama ini menjadi tuan mudanya di tempat ia bekerja.
Bima menatap wajah cantik Renata sebelum akhirnya mencium kening gadis itu sekilas.
Ini sungguh seperti mimpi baginya. Bima tidak pernah menyangka kalau dia akan menikah secepat ini dan parahnya, dia harus menikah dengan perempuan yang tidak pernah dicintainya.
Bima menatap ke arah Erika yang terbaring di ranjang pesakitan sambil tersenyum lemah.
Tangan Erika meraih tangan Bima dan Renata kemudian menyatukan kedua tangan sepasang pengantin baru itu.
"Rena, tolong jaga Bima. Jadilah istri yang baik buat dia. Ibu titipkan Bima padamu, Ren ...."
"Nyonya ...."
"Tolong jaga dia ...."
Renata mengangguk pelan. "Saya janji, saya akan menjadi istri yang baik buat Tuan Bima." Renata menatap Bima yang juga menatap ke arahnya.
"Jangan panggil dia Tuan. Sekarang dia adalah suamimu. Kamu bisa memanggil Bima dengan sebutan Mas," ucap Erika lirih.
"Iya, Nyonya." Gadis cantik berumur dua puluh tahun itu tersenyum canggung.
Sementara Bima melirik ke arah Renata dengan ekor matanya.
"Bim, jaga istrimu baik-baik. Ibu tahu, saat ini kalian memang belum saling mencintai, tetapi, ibu yakin, seiring berjalannya waktu, kamu pasti bisa mencintai Rena."
"Di-a-"
"Ibu!" Bima berteriak panik saat tiba-tiba tubuh Erika terlihat lemas.
"Ja-ga istri-mu ba-ik-baik, Bima ...."
"Ibu!"
"Nyonya!"
"Ibu!"
"Cepat panggil dokter!" Bima berteriak. Semua orang di ruangan itu yang baru saja menjadi saksi pernikahan Bima dan Renata terlihat panik.
Mereka keluar satu persatu dari ruangan itu saat dokter datang untuk memeriksa kondisi Erika.
Bima meremas rambutnya kasar. Pria itu sangat khawatir.
Renata dan ibunya saling berpelukan sambil menangis.
Sementara Pak Dika, sang pengacara masih berdiri di sana. Sedangkan pak penghulu yang tadi menikahkan Bima dan Renata sudah terlebih dahulu pulang.
Beberapa saat kemudian, dokter keluar dari ruangan itu.
"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?"
"Maaf, kami sudah berusaha, tapi Tuhan ternyata berkehendak lain."
"Maksud Dokter, ibu saya-"
Dokter itu menepuk bahu Bima sambil mengangguk, kemudian bergegas pergi meninggalkan tempat itu.
Tubuh Bima limbung. Laki-laki itu tidak menyangka kalau sang ibu tercintanya kini telah pergi untuk selamanya.
Pak Dika, Renata dan Bi Yati mendekati Bima, kemudian memapah laki-laki itu ke dalam ruangan.
"Ibu ... Ibu!" Bima menangis sambil memeluk jasad sang ibu.
Ia sungguh tidak menyangka kalau hari ini adalah pertemuan terakhir dengan ibunya.
Semua kalimat yang diucapkan sang ibu kembali terngiang. Termasuk ucapan terakhir Erika yang menyuruhnya untuk menjaga Renata.
Bagaimana bisa aku menjaga perempuan ini kalau aku sendiri tidak menginginkannya?
Aku mencintai Shinta, hanya dia yang aku cintai selama ini.
"Ibu ... kenapa ibu meninggalkan aku, Bu? Aku masih ingin menjaga ibu, tapi kenapa ibu pergi begitu cepat?" Bima masih terus menangis.
Bi Yati dan Pak Dika mendekati Bima, begitu pula dengan Renata. Mereka mengajak Bima keluar dari ruangan karena petugas medis akan segera mengurus proses pemulangan jenazah ke rumah duka.
***
Bima dan Renata baru saja pulang dari pemakaman ditemani oleh Bi Yati dan Pak Dika.
Bima masuk ke dalam kamarnya ditemani oleh Renata. Gadis cantik itu menuntun suaminya ke atas ranjang.
Bima membaringkan tubuhnya tanpa melirik sama sekali ada Renata. Perempuan yang saat ini sudah sah menjadi istrinya.
"Pergilah! Aku ingin sendiri."
"Baik, Ma-Mas Bima," ucap Renata gugup.
"Panggil aku Tuan seperti biasanya, kecuali di depan ibumu dan orang lain!" Suara Bima terdengar dingin.
"Ta-pi, Mas, kata Nyonya-"
"Ibuku sudah meninggal. Aku menikahimu karena keinginan ibuku, jadi kau jangan berharap dan terlalu bermimpi kalau aku akan menuruti keinginan ibuku untuk menjagamu!" ucap Bima penuh penekanan. Netranya menatap Renata dengan tajam.
"Kamu sangat tahu kalau aku sangat mencintai Shinta bukan?"
"I-iya, Tu-Tuan." Renata menundukkan kepala sambil meremas ujung bajunya.
Gadis itu merasa tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu.
Dia pikir, Bima benar-benar akan menuruti wasiat terakhir ibunya. Akan tetapi, pria itu justru baru saja mengatakan kalau dia sangat mencintai kekasihnya dan tidak akan memenuhi keinginan ibunya.
"Lupakan keinginan ibuku. Aku sudah berjanji pada Shinta akan menikahinya." Bima menatap wajah Renata yang terlihat terkejut mendengar ucapannya.
"Dua minggu lagi, aku akan menikahi Shinta."
"Apa?"
Kedua mata Renata membola mendengar ucapan suaminya.
"Sebaiknya kau suruh ibumu pulang kampung secepatnya. Aku tidak mau kalau dia nanti ikut campur urusan kita."
"Tu-Tuan ...."
"Kau tenang saja. Aku tidak akan menceraikanmu. Aku akan menjamin kehidupanmu dan juga keluargamu!" Renata menatap Bima dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Tapi itu hanya berlaku untuk setahun saja. Setelah setahun pernikahan ini, aku akan benar-benar menceraikanmu!" Bima menatap gadis di depannya itu dengan tatapan tak terbaca.
Renata adalah gadis yang sangat cantik, itu memang diakuinya. Gadis itu bahkan tidak pantas menjadi asisten rumah tangga karena wajah cantiknya.
Sebelum sang ibu tiba-tiba menyuruhnya menikahi Renata, Bima cukup akrab dengan gadis itu, meski hanya sebatas pembantu dan majikan.
Namun, saat dia kini tiba-tiba berstatus sebagai suami Renata dengan keadaan terpaksa, Bima merasa sangat marah dan kesal pada perempuan itu.
Mana mungkin dia menikah dengan pembantunya sendiri? Benar-benar tidak masuk akal!
Entah apa yang ada dipikiran ibunya, hingga dia sampai menjodohkannya dengan Renata, padahal perempuan yang sudah melahirkannya itu sangat tahu kalau dia sangat mencintai Shinta.
Erika, sang ibu bahkan sudah tahu dan sangat mengenal Shinta karena ia sudah beberapa kali membawa perempuan pujaannya itu ke rumah.
"Aku tidak butuh persetujuanmu untuk menikahi Shinta, karena bagiku, pernikahan kita hanyalah pernikahan di atas kertas."
"Seandainya ibu tidak memaksaku, aku juga tidak akan sudi menikah denganmu!"
Semua ucapan Bima bagaikan jarum yang menusuk-nusuk jantung Renata. Dia sungguh tidak menyangka kalau di hari pertama pernikahannya, dia akan mendapatkan kejutan yang sangat luar biasa.
Hari ini, adalah hari bahagia sekaligus menyakitkan bagi Renata.
Bahagia karena dia menikah dengan sang majikan yang diam-diam dikaguminya dan menyakitkan karena hari ini dia kehilangan nyonya besar yang sangat disayanginya.
Namun, yang lebih menyakitkan adalah saat laki-laki yang baru beberapa jam menikahinya itu mengatakan, kalau dia akan menikah lagi dengan perempuan yang dicintainya.
Jika ini mimpi, tolong bangunkan aku segera, ya Tuhan ....
Bersambung ....
Renata melangkah dengan gontai menuju kamarnya. Semua kata-kata Bima terus terngiang-ngiang di telinganya.
Renata menghentikan langkah saat dia melihat sang ibu sedang sibuk di dapur. Gadis itu menghela napas, kemudian mengurungkan niatnya menuju kamar.
"Ibu, kenapa ibu malah di sini bukannya istirahat?"
Bi Yati yang sedang mencuci piring menoleh ke arah putrinya.
"Hari sudah sore, kita harus menyiapkan makan malam," jawab sang ibu.
"Ibu istirahat dulu, biar aku yang kerjain semua, Bu."
"Tapi, Ren, ini adalah hari pernikahan kamu, ibu takut Tuan Bima-"
"Tuan Bima sedang istirahat, dia tidak mau diganggu."
Bi Yati menghembuskan napas panjang. Kedua matanya menatap wajah putri tercintanya dengan tatapan prihatin.
"Kamu yang sabar, ya, Nak. Hari ini adalah hari yang sangat berat buat Tuan Bima. Saat ini dia pasti sedang bersedih karena kehilangan ibu yang sangat dicintainya."
Renata mengangguk, kemudian mengambil alih pekerjaan ibunya.
"Kenapa Nyonya besar ingin aku menikah dengan Tuan Bima, Bu? Kenapa dia memintaku untuk menjaga Tuan Bima? Bukankah Nyonya besar juga tahu kalau Tuan Bima sudah mempunyai kekasih yang sangat dicintainya?"
Renata menatap sang ibu dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Ibu juga tidak tahu, Ren, kenapa tiba-tiba nyonya besar ingin kamu menikahi Tuan Bima." Bi Yati memeluk Renata.
"Nyonya besar memberikanku pilihan yang sulit. Aku tahu kalau Tuan Bima sangat mencintai Nona Shinta. Tidak mungkin Tuan Bima meninggalkan Nona Shinta hanya karena dia menikahiku."
Mereka berdua saling berpelukan. Menumpahkan segala pertanyaan dan rasa penasaran kenapa sang majikan mereka justru memilih Renata untuk menjadi istri Bima.
Namun, pertanyaan dan rasa penasaran mereka jelas tidak ada jawabannya karena orang yang bikin penasaran telah meninggal dunia.
"Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Ren? Terus terang, ibu pun bingung dengan situasi ini."
Bi Yati melepaskan pelukannya sambil mengusap lembut kepala Renata.
"Aku akan memenuhi janji yang sudah kuucapkan di depan nyonya besar, Bu." Renata berucap dengan yakin, meskipun dalam hati dia ragu apa dia mampu, apalagi saat ucapan Bima yang mengatakan akan menikahi Shinta.
"Bagaimanapun, permintaan nyonya besar adalah wasiat terakhir dari nyonya sebelum beliau meninggal. Aku tidak mau dia merasa penasaran di alam sana kalau aku tidak memenuhi janji itu," lanjut Renata.
"Kau siap dengan apa yang kamu hadapi nanti, Nak? Tuan Bima sangat mencintai Nona Shinta, akan ada kemungkinan kalau suatu hari nanti, Tuan Bima akan menikahi perempuan itu." Bi Yati menatap Renata.
Renata adalah anak perempuan satu-satunya di antara tiga bersaudara. Dia adalah anak pertama, seorang kakak dari kedua adik laki-lakinya.
Kedua adiknya tinggal di kampung bersama neneknya. Mereka berdua terpaksa mengadu nasib di ibukota demi menghidupi keluarga mereka di kampung.
Semenjak ayah Renata meninggal, mereka berdua menjadi tulang punggung keluarga.
"Menurut ibu, aku harus bagaimana jika itu terjadi?" Renata balas menatap sang ibu.
"Jika kamu ingin memenuhi janjimu pada nyonya besar, berarti kamu harus menanggung resiko, kalau suatu saat tiba-tiba kamu di madu."
Ucapan sang ibu bagai racun yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Belum apa-apa saja rasanya sudah sakit. Apalagi kalau Bima benar-benar melakukannya seperti ucapan pria itu beberapa saat yang lalu.
Renata kembali memeluk sang ibu.
"Seandainya itu terjadi, apa yang harus aku lakukan, Bu?"
"Kalau kamu tidak kuat, kamu bisa menyerah, Nak. Kamu bisa meminta Tuan Bima menceraikanmu." Renata menangis di pelukan ibunya saat mendengar ucapan perempuan yang melahirkannya itu.
Kalau boleh jujur, bisa menikah dengan Bima adalah kebahagiaan untuknya. Menikah dengan pria itu adalah mimpi yang terwujud buat Renata.
Selama bekerja di rumah besar ini, gadis itu diam-diam mengagumi dan memendam rasa pada Bima, tuan muda yang menjadi majikannya.
Namun, tentu Renata sadar siapa dirinya. Dia tidak pantas dan tidak akan mungkin bisa menggapai Bima. Oleh karena itu, apa yang gadis itu rasakan hanya dia jadikan sebagai angan-angan yang tidak akan pernah mungkin menjadi kenyataan.
Akan tetapi, Tuhan ternyata berkehendak lain. Semua yang awalnya terasa mustahil dan hanya angan semata, tiba-tiba menjadi nyata karena Nyonya Erika.
Nyonya Erika, majikannya justru membuat mimpinya menjadi kenyataan.
Kenyataan yang awalnya sangat membahagiakan, apalagi, saat kalimat ijab kabul itu terdengar dari mulut pria yang dicintainya secara diam-diam itu.
Namun, kenyataan indah itu seketika menjadi kenyataan pahit setelah seseorang yang membantunya mewujudkan mimpi menghembuskan napas terakhirnya.
Kebahagiaan yang baru terasa, hilang sudah berubah menjadi kesakitan saat dia mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh pria yang sudah menjadi suaminya.
"Aku akan menyerah saat Tuan Bima sendiri yang melepaskan aku, Bu." Akhirnya gadis itu membuat keputusan.
"Aku akan berjuang dan terus bertahan selama pria itu belum menceraikan aku," lanjut Renata.
"Ibu ingat perkataan nyonya besar tentang Nona Shinta bukan?"
"Nyonya besar pernah cerita kalau dia tidak setuju Tuan Bima menikah dengan Nona Shinta karena perempuan itu bukanlah orang yang baik bukan?"
"Apa ini salah satu alasan nyonya besar menikahkan Tuan Bima denganku, Bu?"
"Entahlah! Tapi Nyonya Erika memang tidak pernah setuju karena Nona Shinta mendekati Tuan Bima demi harta yang mereka miliki."
"Hanya saja, selama ini Nyonya Erika tidak pernah mengatakannya pada Tuan Bima karena beliau tidak mau Tuan Bima kecewa saat mengetahui kalau perempuan yang dicintainya itu tidak pernah mencintainya dengan tulus," jelas Bi Yati.
"Tapi, Nak, Tuan Bima sangat mencintai perempuan itu. Tidak akan mudah bagi kamu untuk-"
Ucapan Bi Yati terhenti saat terdengar suara bel pintu berbunyi. Sepertinya, tamu itu tidak sabar, sampai dia harus menyembunyikan bel itu berulang kali.
Renata bergegas melangkah menuju pintu depan.
Seorang perempuan dengan baju seksi yang melekat pada tubuhnya terlihat kesal.
"Dari mana saja sih kamu? Buka pintu saja lama banget!" Suara bentakan keluar dari mulut perempuan itu.
Renata menunduk, meminta maaf.
"Maafkan saya, Nona, saya sedang di dapur tadi."
Shinta berdecak kesal.
"Dasar pembantu nggak guna! Kerja bukain pintu saja tidak becus!"
"Ma-maaf, No-"
Belum selesai Renata bicara. Perempuan itu sudah melenggang ke dalam dan langsung naik ke kamar atas.
Namun, sebelum dia benar-benar pergi, perempuan itu dengan tidak tahu malu menyuruh Renata dan ibunya memasak makan malam.
"Cepat masak makan malam, perutku sudah lapar!"
Renata menghela napas panjang, "Belum jadi majikan saja, dia sudah sombong seperti itu, apalagi kalau sudah benar-benar menjadi majikan di rumah ini?" gerutu Renata kesal.
Pantas saja nyonya besar tidak setuju Tuan Bima menikah dengan perempuan ini. Ternyata, selain matre, perempuan ini juga tidak punya sopan santun!
Seandainya Tuan Bima tahu kelakuan Nona Shinta yang sebenarnya, apa dia akan tetap menikah dengan perempuan itu?
Renata kembali menghela napas panjang. Perempuan itu bergegas melangkah ke dapur. Di dalam dapur, sang ibu yang sudah mendengar keinginan tamu tak diundang itu langsung menyiapkan bahan untuk makan malam.
Belum sampai dapur, teriakan Shinta menghentikan langkah Renata.
"Heh, pembantu! Buatkan jus mangga dua, bawa ke kamar atas!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!