NovelToon NovelToon

Ketika Takdir Memilih (Mencintai Kakak Sendiri)

Devan Narendra Kalla

*Selamat Membaca*

PLAAAAK!

Satu tamparan kuat, mendarat hebat di pipi Devan, membuat pria berusia 19 tahun itu meringis kesakitan. Tapi meski tamparan sering Devan dapatkan, ia tak pernah sedetik pun membenci pria yang selalu marah dan murka padanya.

"Ayah, masih niat nampar gak? Nih, pipi kirinya belum?" tanyanya santai seraya tersenyum miring, seolah apa yang di lakukan sang Ayah tak sakit sama sekali.

"Kamu sudah berani menentangku?"

"Ihh, siapa yang menentang Ayah?"

"Dasar pembawa sial! Aku muak melihat wajahmu!' cerca pria paruh baya, bernama Kalla tersebut.

Mendengar ucapan sang Ayah, Devan langsung berdiri dan menjauh pergi. Membuat Kalla semakin emosi.

"Devan... aku belum selesai berbicara denganmu!"

"Ayahkan muak melihatku. Daripada nanti Ayah muntah, lebih baik aku pergi dulu. Bye!"

Braaaak! Devan menutup pintu kamarnya sekuat tenaga, ia selalu melakukan hal itu setiap kali sang Ayah marah dan menyudutkanya.

~~

Devan Narendra Kalla, anak kedua dari dua bersaudara usianya baru menginjak 19 tahun, ia memiliki seorang Kakak bernama Kenan Aditya Kalla yang kini berusia 27 tahun, dewasa baik hati dan tentu saja tampan.

Devan dan Kenan memang mendapatkan kasih sayang yang berbeda dari sang Ayah. Jika Kenan selalu di sayang dan apapun yang Kenan ucapkan selalu Kalla setujuhi, tapi tidak dengan Devan, ia tak pernah sekalipun di izinkan mencium punggung tangan pria tua itu. Kalla selalu menatap anak bungsungnya penuh benci. Yang membuat Devan penasaran, kenapa Ayah begitu membencinya?

Ya.. kematian sang Ibu saat melahirkan Devan, adalah alasan terbesar pria tua itu membenci Devan.. Kalla merasa Devanlah yang membuat ia kehilangan Bidadari kesayanganya, Kalla merasa Devan pembawa bencana, Kalla benci karena sang Istri meninggal tepat setelah anak itu di lahirkan.

.

.

.

"Bang, aku lulus mendaftar kuliah di salah satu Universitas terbesar yang ada di Jakarta." lapor Devan pada Kenan. Raut wajah penuh harap dengan senyum penuh makna.

"Kamu mau kuliah, jual dulu motormu! Nanti uang bulanan Abang kirim setiap akhir bulan, do'akan Abang, bisa bekerja lebih keras! Agar bisa mengkuliahkanmu dan menghidupi Ayah!" Kenan menepuk pelan pundak sang adik.

Sejenak Devan terdiam, ia melihat raut lelah dari wajah Kenan, seketika membuat ia tidak tega. "Gak jadi kuliah ah.. aku mau bantu Abang kerja saja!"

"Gak.. kamu harus kuliah!" Kenan menegeskan.

Meski Kenan sangat ingin Adiknya kuliah, tapi harapanya pupus sudah, sebab nyatanya sang ayah tidak memberi izin. Hal itu bukan hanya membuat Kenan yang kecewa tapi Devan sendiri merasa sedih, namun ia selalu bisa menyimpan kesedihan di balik senyuman.

"Ngabisin uang saja. Nanti kalau dia kaya dan sukses, kita berdua pasti di injak-injak!" si Ayah menyeringai penuh benci.

"Astagfirullah, Ayah. Devan gak mungkin akan membuat kita menderita."

"Terserah. Yang jelas, Ayah tidak setujuh!" Kalla berlalu dari hadapan keduanya.

"Sudahlah bang! Aku gapapa, terima kasih ya, Abang masih mau perduli ke aku," senyum Devan miris membuat dada Kenan sesak teriris.

***

Keesokan harinya, Devan keliling untuk mencari pekerjaan, ia berharap bisa membantu Kenan mendapatkan uang. Namun sehari berkeliling tak ada yang mau menerimanya, karena kebanyakan dari mereka, membutukan lulusan Sarjana, setidaknya S1.

"Dev, kamu kenapa?"

"Pak Gama, aku tidak apa-apa!" jawab Devan datar meski ia sedikit terkejut karena pria yang usianya tak lagi muda tersebut, tiba-tiba duduk disebelahnya.

"Bapak tahu apa yang kamu pikirkan, karena tadi isrti bapak bercerita, kamu datang kerumah dengan mata memerah. Kamu mau kuliah, kan?"

"Haaah? Jadi bu Lika cerita ya, pak?"

"Iya...!"

Akhirnya, pak Gama meminta Devan untuk tetap kuliah dan ia yang akan membiayai segalanya. Sebab istrinya Lika, sangat menyangangi anak muda yang kini duduk di sampingnya itu.

"Aku tidak mau pak. Aku tak ingin merepotkan siapapun!"

"Tidak Dev, saya dan istri saya, sudah menganggapmu seperti anak kami. Tolong mau ya!"

"Ta-tapi, pak...!"

"Apa yang kamu beratkan, Dev? Ayahmu? Bukankan dia tak pernah menganggap kamu ada? Dev, jalan satu-satunya kamu harus sukses dan bahagiakan Ayahmu dengan caramu sendiri!"

Pak Gama dan bu Lika, adalah pasangan yang sudah lebih dari 26 tahun menikah, tapi keduanya belum juga memiliki anak sampai detik ini. Devan sejak kecil sering bermain di rumahnya membuat Gama dan Lika perlahan sangat menyangi dan menganggap Devan anaknya sendiri.

"Saya memang bukan orang kaya, tapi pasti mampu untuk membayar uang kuliahmu!"

Berkali-kali Gama meyakinkan dan akhirnya Devan luluh juga, ia pun mengiyakan semua permintaan pria tua itu dan memutuskan akan berangkat ke Jakarta esok hari. Devan sungguh bahagia, namun ia tak menceritakan hal itu kepada sang Ayah.

***

Gak usah di cari bang! Aku pergi."

Begitu pesan singkat yang Devan kirim kepada Kenan, setelah ia sudah tiba di Jakarta. Devan sengaja tak memberi tahu dimana ia kini, karena ia akan berjuang dari nol untuk membuktikan jika ia akan sukses dan bisa membuat sang Ayah bangga.

"Ya Allah."

Seketika Kenan merasa lemas, setelah membaca pesan dari Devan, bahkan Adiknya itu tak memberitahu, kemana dia pergi. Tapi Kenan sadar, sang Adik pasti lelah sebab Ayah mereka tak pernah menganggap Devan anaknya.

Ck...

Devan turun dari halte bus, dan sudah berada di sebuah tempat, ia berusaha mencari alamat yang di berikan oleh pak Gama, alamat dimana ia akan tinggal disana. Karena baru pertama kali ke kota membuat Devan cukup bingung.

Braaaaak!

Seorang wanita dengan langkah tergesa-gesa menabrak Devan, hingga membuat ponsel miliknya terjatuh dan tentu saja rusak tanpa sisa, pecah dan tak bisa menyala lagi.

"Wooy... tanggung jawab dong! Anda sudah membuat handponeku rusak!" pekik Devan sekuat tenaga.

"Sorry... sorry!" ucap wanita itu lalu melempar beberapa lembar uang ke arah Devan. "Anggap saja ganti rugi, maaf saya terburu-buru!"

Tak ada jawaban, kecuali Devan yang diam dan tercengang seraya memperhatikan wanita tadi berlari, ia memandangi langkah wanita itu sampai hilang dari pandanganya.

"Nji ng... cewek kota kurang ajar ternyata ya!" umpatnya kesal tapi tetap mengambil uang yang di beri wanita tadi. "Lumayan, buat beli handpone baru,"

Devan terus berjalan, menyusuri kota, mencari alamat yang akan di tujunya. Dan tibalah ia di sebuah rumah mewah dengan halaman luas di depanya. Dengan canggung ia bertanya.

"Permisi pak satpam, ini benar rumahnya pak Wirawan, bukan ya?"

"Iya dek.. ada apa?"

"Saya bisa bertemu beliau?"

Pak satpam bertanya lebih dulu dan langsung mendapatkan izin. Belum sampai Devan di teras rumah, ia sudah di sambut oleh seorang wanita dan seorang pria, keduanya tersenyum menyambut Devan tiba.

"Devan ya?"

"I-iya pak. Kok bapak tahu?"

Rupanya pak Gama sudah memberitahu lebih dulu, kepada pak Wirawan jika Devan akan tinggal di rumahnya.

"Pak Gama memberiku no ponselmu, tapi saya telpon tidak aktif." ujar pria itu lagi seraya mempersilahkan Devan masuk.

"Pak satpam, tolong bawa tas Devan dan letakan di kamar itu!" seru wanita yang pasti istri dari Wirawan.

Devan tak menyangka, akan di sambut sebaik ini, sebab pak Wirawan dan bu Lita, sangat hangat dan ramah kepadanya.

"Maaf pak, handpone saya tidak bisa di hubungi. Karena tadi ada cewek bar-bar lari-lari nambrak saya, akhirnya handpone saya rusak tak menyala!" jujur Devan polos.

Saat mereka asik bercerita, tiba-tiba ada gadis cantik masuk rumah tanpa mengucapkan salam sepatah katapun.

"Mikha... kamu darimana?"

Sssstt....

Devan terperanjat, saat melihat gadis bernama Mikha itu. "Duh buset..... nih cewek yang nambrak aku tadi, kan?" ucap Devan dalam hati.

Tapi, gadis bernama Mikha itu sudah melenggang masuk kedalam kamar, tak berniat bertanya, siapa yang bertamu dirumahnya. Sedangkan Devan diam seribu bahasa sebab cewek bar-bar yang menambraknya adalah anak pak Wirawan dan bu Lita.

.

.

.

B E R S A M B U N G

Masuk Kuliah

Allah tahu kamu kuat, itu sebabnya diuji sedemikian habat. Allah tahu kamu tangguh, itu sebabnya diberi cobaan sesulit itu. ~ Devan.

🌸Selamat Membaca🌸

Ini hari kedua, Devan tinggal di rumah besar milik Wirawan, sejauh ini ia masih malu untuk keluar dari dalam kamar, ia masih belum mau bertatap muka langsung dengan Mikha, wanita muda yang dua hari lalu membuat rusak ponsel miliknya.

"Kata paman, ada anak temenya tinggal di sini. Siapa, mah, pah? Kok aku belum melihat wajahnya walau sebentar." decak Mikha heran.

"Ada, dia tidur di kamar itu!" bu Lita menunjuk kearah pintu kamar dimana Devan tengah beristirahat.

"Namanya siapa sih?" tanya Mikha lagi.

"Namanya, Devan Narendra Kalla, umurnya baru 19 tahun," kini Wirawan yang menjelaskan.

"Wooow... namanya keren buanget, pasti cakep."

"Di larang jatuh cinta! Karena usiamu 3 tahun lebih tua dari dia. Paham!" si papa berucap serius.

"Siap...!!"

Malam ini, Mikha sengaja berlama-lama berada di meja makan, karena menurut si Mama dan si Papa. Pria bernama Devan itu, akan makan setelah keduanya selesai.

"Kepo gue..! Cowok kok pemalu!" decak Mikha seraya menautkan kedua alisnya.

Dan... benar saja, tak lama kemudian pintu kamar pun terbuka. Devan terkejut luar biasa saat mendapati ada Mikha yang kini tengah menatapnya.

"Luu... yang beberapa hari lulu, gue tabrakan?" Mikha coba untuk mengingat.

"Ahaha... masa sih. Saya lupa," tawa Devan datar.

Mikha memilih diam sejenak, ia memandangi pria muda dihadapanya, dan ia yakin sekali, jika Devan'lah orang yang tak sengaja bertabrakan tubuh denganya.

"Mana ponsel lu?"

"Rusak."

"Tuhh kan, bener. Maaf ya! Tapi, kok bisa lu ada di rumah gue?"

"Maaf mbak Mikha! Kalau ngomong gak usah pake lu... gue! Telinga saya sakit dengernya." jujur Devan yang seketika membuat Mikha kesal.

"Di Jakarta, lu, gue... bisa aja. Kampungan banget sih lu!"

Devan tak memperdulikan ucapan Mikha, ia berlalu dari hadapan gadis itu, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

"Woy, gue tanya tadi. Lu belum jawab!" Mikha menghentikan langkah Devan.

"Besok saja, saya mau tidur."

"Njir.. baru kali ini ada cowok, ketus ke gue!" Mikha menautkan kedua alisnya.

Sementara Devan langsung merebahkan tubuh di atas ranjang, seraya memegangi perutnya, sebab ia belum sempat untuk makan malam, padahal rasanya lapar sekali.

"Laper banget. Mau keluar dan cari makanan, tapi takut... takut kalau di culik." Devan berujar sendiri.

Devan bukan anak polos, tapi otaknya sedikit bego, namun karena cita-citanya menjadi orang kaya, ia bertekad untuk kuliah dan mendapatkan gelar sarjana. Devan berharap suatu saat nanti, ia akan memiliki mobil dan rumah sendiri. Devan suka sekali membuat onar, mencari masalah dan satu-satunya hal yang bisa dibanggakan darinya hanyalah wajah tampan nan rupawan. Akhirnya malam ini, ia tertidur dengan perut lapar.

***

Juli 2019, bulan dimana Devan pertama kali masuk kuliah, ia berdecak bahagia dan menyambut dengan begitu semangatnya.

"Ihh...!" Mikha menatap sebal kala bertemu Devan di meja makan saat mereka semua sarapan.

"Dev, semangat! Ini hari pertama kamu kuliah," Wira menyemangati.

"Terima kasih pak Wira," sahut Devan bersemangat juga.

Kedua orang tua Mikha memang terlihat sangat akrab dengan Devan, pak Wirawan dan bu Lita sangat perhatian dengan anak muda berusia 19 tahun tersebut.

"Pak Yanto, tolong antar Devan ke kampus, ya!" titah bu Lita kepada sopir pribadinya.

"Siap nyonya."

Mereka semua sudah berada di teras rumah, Mikha siap melangkah menuju mobil pribadinya, sedangkan Devan masih sibuk berpamitan.

"Bu.. pak, saya bisa berangkat ke kampus sendiri, gak perlu di antar!" tolak Devan lembut.

"Dev.. kamu belum terlalu paham kota, jadi di antar saja ya!"

"Saya bisa naik angkot pak. Sebelumnya pak Gama memberiku uang sebesar 1 juta, in sya Allah, cukup untuk naik angkot dan jajan ala kadarnya selama 1 bulan." jujur Devan dan seketika membuat Mikha tertawa.

Buhahahahahahaha! Tawa Mikha tak bisa di hindarkan, baginya Devan benar-benar lucu, ia mendekati keberadaan anak muda itu lalu menepuk pelan pundak Devan. "Ehh Dev... satu juta, itu uang jajan gue, untuk dua hari, laah elu buat sebulan, mana bisa? Mau jajan apa lu, permen karet!" cetus Mikha mengejek.

"Dihh sombong! Saya anak yang hemat, jadi bisa atur uang sebaik mungkin." Devan membalas.

"Hahaha... buat apa hemat, hah?"

"Hemat pangkal kaya."

"Njir, lu hemat, tapi gak kaya-kaya juga. Mending ke kampus gue anter aja yuk!" Mikha menarik tangan Devan.

"Ogaaah, lepasin tangan saya! Males, naik mobil bareng anda, nanti bisa-bisa saya kena penyakit jantung!"

Mikha dan Devan memang selalu bertengkar, tak pernah akrab, bahkan hal kecil selalu di permasalahkan. Terlebih mulut Mikha yang terkesan tajam membuat Devan kadang merasa sakit hati.

"Hiih, dibaikin gak mau, dijahilin juga gak mau, terserah lu deh!"

Secepat kilat Mikha masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraan miliknya, untuk menuju ke tempat ia bekerja. Sedangkan Devan diantar ke kampus, oleh pak Yanto.

.

.

.

"Pak, mbak Mikha itu memang judes dan cerewet ya?"

"Iya mas Devan, tapi mbak Mikha orang baik kok, dia sebenarnya nggak sejudes yang mas Devan pikir!"

"Gitu ya."

Entah mengapa, Devan merasa tidak betah tinggal di rumah pak Wirawan. Ia menghubungi pak Gama untuk meminta pindah.

"Kok ga boleh, sih?" decak Devan kesal.

Karena setelah menghubungi pak Gama, ayah angkatnya itu tak memberi izin ia untuk pindah tempat tinggal.

"Mas, anaknya pak Gama ya?"

"Bukan, saya hanya anak angkatnya Pak Gama."

"Ohh, begitu ya. Jelas mas ga boleh pindah,"

"Lah, kenapa pak?"

"Istri pak Wira dan pak Gama, saudara kandung, jadi mas Devan di titip kan ke orang yang tepat, sebab pak Wira adalah adik ipar dari pak Gama."

"Buset... artinya pak Gama orang kaya dong."

"Jelas.. pak Gama dan pak Wira memiliki perusahaan besar dari turun temurun."

Sejenak Devan terdiam, ia menarik sudut bibir lalu tersenyum getir. Sebab selama ini pak Gama tak pernah menunjukan jika beliu orang berpunya.

"Pak Gama, buat apa bohong? Karena beberapa kali selalu mengatakan, meski bukan orang kaya, dia dan istrinya pasti mampu membiayai uang kuliahku." ucap Devan pelan.

"Waah, kalau itu saya kurang tau mas."

Devan hanya menghela napas pelan, banyak tanya berputar-putar dalam pikiranya.

***

Tibalah, Devan di halaman kampus, ia berjalan pelan seraya menatap kesegala arah. Banyak mahasiswi dan siswa disana, saling berkumpul dan memiliki kelompok masing-masing, hanya Devan yang seorang diri, jangankan teman, siapapun tidak ada yang mengenalnya.

"Permisi.. permisi!" ujar Devan sesopan mungkin saat masuk kedalam ruang kelas. Sikapnya menimbulkan gelak tawa diantara beberapa pria muda didalam ruangan tersebut.

"Sopan benget bro, pasti dari kampung, jadinya kampungan...!

Hahahahaha!

Mereka tertawa lagi, hanya ketiga anak-anak inilah yang tertawa seolah sikap Devan dan menganggap sebegitu lucunya.

"Iya.. rumahku di kampung cinta, jalan hati-hati, RT 5, RW 7... orang sombong masuk sana, dijamin mati!"

"Haaah!"

Seketika mereka balik terdiam, mau tertawa tapi seram, tak ada sepatah katapun mereka lontarkan lagi.

"Buhaahahahaha!"

Kini Devan yang tertawa, lalu berjalan menuju kursi paling belakang. Sikap ketiga pria itu membuat ia tertawa geli.

"Anak kota jangan sok berkuasa, melawan patah tangan anda!" cutusnya tak mau mengalah.

Jangankan anak kota, yang rata-rata mukanya imut kayak oppa-oppa Korea. Preman di kampung saja, Devan patahkan tangan dan kakinya. Satu-satunya orang yang melukai tapi tak pernah ia balas, hanyalah sang Ayah.

.

.

.

.

B E R S A M B U N G

Anak Angkat

Mengalah boleh, tapi lihat dulu siapa lawanmu. Jika itu perlu untuk dilawan, maka lakukan!

❣Selamat Membaca❣

"Hai, namamu siapa? Kenalin, namaku Bagas."

"Aku Indra Celo, panggil saja Celo."

"Dan aku Adi,"

Mereka semua mengulurkan tangan dan saling berkenalan. Sebagai sama-sama Mahasiswa baru, mencari teman itu perlu, termasuk dengan apa yang terjadi kini. Pertemuan awal yang saling melempar ejekan justru menjadi awal mula, Devan bertemu dengan mereka semua yang akhirnya menjadi teman dan menjalin persahabatan.

"Namaku Devan!" anak muda itu mengulurkan tangan juga.

***

Sejak hari itu, Devan memiliki teman di kampusnya. Dan seiring berjalanya waktu, mau tak mau.. sadar atau tidak. Kebobrokan teman-temanya menular ke Devan juga. Meski sebenarnya, sejak awal anak muda itu memang memiliki karakter yang acak-acakan, tak tegas sama sekali, tapi kini Devan menemukan jati dirinya, sejak bertemu Bagas, Celo dan Adi.

Adi, anak orang kaya cerdas tapi suka membuat onar. Bagas pun sama, ia anak pemilik kampus tapi tak memiliki otak cerdas karena terkenal pemalas. Begitupun Celo, anak muda keturunan Cina ini, terkenal playboy dan suka tebar pesona kebanyak cewek-cewek cantik di kampus. Sementara Devan mengikuti apapun yang ketiganya lakukan.

"Eh... tau gak sih, cewek paling populer di kampus ini tuh, siapa?"

"Ada, kemarin gue ketemu dia di halaman belakang kampus."

"Namanya siapa?" Celo penasaran.

"Lupa gue. Cantik, putih, tinggi dan tatapanya mematikan." Adi berujar serius.

"Anak Psikoligi bukan, sih? Sudah semester akhir dan sebentar lagi lulus." Bagas pun seolah pernah mendengarnya.

Sssttt...

"Itu orangnya!"

Adi menunjuk, ke salah satu mahasiswi yang tampak berjalan menuju kantin. Gadis yang menjadi primadona di kampus ini, terkenal modis, cerdas dan memiliki banyak teman. Dia juga memiliki geng bernama Geng Star.. yang isinya anak-anak orang kaya dan cantiknya tiada tara.

"Haaah?"

Devan tercengang, kala melihat siapa gadis yang dibicarakan teman-temanya. Karena gadis itu adalah, orang yang paling menyebalkan selama Devan mengenal.

"Mbak Mikha...," ujarnya pelan tapi bisa di dengar oleh sahabat-sahabatnya.

"Mikha... iya, namanya Mikha. Kok lu kenal Dev?" telisik Celo penuh selidik.

"Satu rumah dengan saya." jujur Devan seketika.

"Haaaaah? Serius?!" Adi, Bagas dan Celo menatap Devan tak percaya.

"Iya.... serius."

"Wuuuh, mantul... ada untungnya temenan dengan lu." Celo menepuk pelan pundak Devan.

"Yalah, dimana-mana.... saya memang pembawa keberuntungan," ujar Devan tersenyum getir. Karena kenyataanya, menurut sang Ayah, ia anak pembawa petaka dan selalu membuat siapapun berada dalam masalah, jika berdekatan denganya.

Tebar pesona!

Adi, Bagas dan Celo memilih untuk mendekati keberadaan Mikha. Sementara Devan memilih untuk tidak ikut serta, sebab Devan masih tak menyangka... jika berada di satu kampus yang sama dengan Mikha.

"Hai kakak senior. Boleh gabung gak?"

Mikha sedikit menahan tawa, saat ada mahasiswa baru yang berani mendekatinya. Mikha belum tahu, jika Bagas adalah anak pemilik kampus, itu sebabnya tak ada yang berani menghalangi apa yang akan dilakukan oleh Bagas dan teman-temanya itu.

"Ohhh, kalian anak baru tapi langsung berkuasa itu ya? Kok hanya bertiga, katanya berempat. Mana satu orang lagi?" Mikha bersikap sok ramah.

"Itu....!!" mereka bertiga kompak menunjuk ke arah Devan.

"Haaah. Devan?!"

"Kakak kenal?"

"Ohh.. Devan itu, Adik sepupuku. Jadi kalian satu geng dengan dia."

"Iya kak..!"

Senang bukan kepalang, sebab semudah itu mereka mendekati Mikha, bahkan kakak senior tersebut memang sangat ramah kepada Adi, Bagas dan Celo. Terlebih, Mikha yang memperkenalkan Devan sebagai adik sepupu, membuat mereka yakin, jika Mikha semudah itu akrab dengan mereka karena adanya Devan.

"Wih, Dev... besok-besok kami boleh main kerumah lu, ya?"

"Bukan rumah saya, tapi rumah Mbak Mikha," jujur Devan.

Devan sendiri tidak mengetahui, jika Mikha memperkenalkan ia, sebagai adik sepupu, hingga membuat teman-temanya berencana, meminta bantuan Devan untuk mendekati Mikha.

***

"Woy, anak kampung, ayo pulang bareng! Hari mau ujan deres, liat tu! Langit sudah hitam pekat!" ajak Mikha, saat melihat Devan menunggu angkot di pinggir jalan.

"Bisa gak sih, manggil namaku, sopan sedikit. Namaku Devan bukan anak kampung." geramnya, tapi Devan tetap masuk kedalam mobil sebab tak ada pilihan baginya daripada harus berhadapan dengan hujan yang tampaknya akan mengguyur bumi sebentar lagi.

***

Sampailah keduanya di rumah, Mikha dan Devan diminta untuk makan bersama dulu, sebelum masuk kedalam kamar masing-masing.

"Cuci tangan dulu, lalu makan bareng mama dan papa!" titah Wirawan pelan.

5 menit kemudian, Mikha dan Devan pun kembali.

"Mikha, papa minta, kamu berhenti dari pekerjaanmu! Sebentar lagi kamu akan menyusun skripsi jadi kamu harus fokus untuk kuliah dulu."

"Tapi pah, aku bosen cuma diem di rumah mulu,"

"Nanti, kalau kamu sudah lulus kuliah dan wisuda. Papa akan serahkan urusan perkatoran ke kamu. Oke."

"Duuh, gak nyambung banget. Aku kuliah psikolog masa mau kerja di perusahaan, maleslah!"

"Bisa sayang." si mami yang menjawab.

Dengan wajah kesal, Mikha pun menuruti keinginan kedua orang tuanya. Karena meski Mikha di kenal sebagai anak orang kaya, ia tetap ingin hidup mandiri, dan berdiri di kakinya sendiri.

"Semua hal dalam hidup gue diatur. Mau kerja gak boleh, temenan dipilih-pilih, pasangan juga dijodohkan, nggak merdeka hidup gue." omel Mikha dalam hati tapi ia hanya meluapkan amarah untuk dirinya sendiri.

"Dev....,"

"I-iya pak."

"Berhubung saya tidak punya anak laki-laki, rencananya mau angkat kamu jadi anak. Nanti saya akan bicarkan ini dengan kakak saya Gama dan ayahmu di Desa."

"Haaaah?!"

Lagi-lagi Mikha dan Devan terkejut secara bersamaan. "Ogaaah gue, punya adik kayak dia, cupu!"

"Ihhh, Mbak Mikha ngeselin." Devan benar-benar tersinggung, ia beranjak dari meja makan lalu masuk kedalam kamar.

"Mikha... kamu bisa baik sedikit gak sih? Mau tidak mau, Devan akan jadi adikmu."

"Terserah papa! Aku gaaaa perduli!" Mikha pun ikut pergi.

Didalam kamar, Devan mendekap erat bantal guling miliknya, ia tak menyangka jika pak Wira berencana mengangkat ia menjadi anak. Tapi jauh di lubuk hati, ia tak mau karena hal ini Mikha akan kecewa, Devan juga tak mau berpisah dari kakaknya Kenan.

***

28 Agustus 2019, pak Gama dan Kalla Ayah kandung Devan bertatap muka dengan Wirawan alias Wira.

"Saya tidak mau basa basi. Tujuan saya meminta kalian kesini, untuk memberitahu jika Devan akan menjadi anakku."

"Apa Devan mau?" tanya pak Gama penuh selidik.

"Semoga Devan mau, saya akan menyusun masa depanya sebaik mungkin. Devan anak baik, saya tidak akan menyia-nyiakan dia," jujur Wira penuh harap.

Pak Gama sendiri merasa galau, karena sebenarnya, ia yang ingin meminta Devan untuk menjadi anaknya. Tapi..... pak Gama tidak mau egois, karena mau menjadi anak dari adiknya sendiri atau pun tidak, ia tetap akan menyangi Devan.

"Ambil saja, saya berikan Devan kepada anda secara suka rela, sebab saya memang tidak pernah menganggap dia sebagai anak. Karena melahirkan Devan, membuat istri saya meninggal dunia." Kalla berucap tegas tanpa pikir-pikir lagi, ia memang tak menginginkan kehadiran Devan.

DEG!

Sakit bukan main, perasaan yang menghujam batin Devan, ia sebenarnya diam-diam mendengarkan obrolan, pak Wira, pak Gama dengan ayah kandungnya. Mendengar penuturan Kalla yang mau membuangnya, membuat Devan berlingan air mata.

Ssstt..

Dari lantai atas, Mikha juga memperhatikan Devan dan juga mendengar semua pembicaraan sang Papa dengan Ayah kandung anak itu. Seketika, ia merasakan.... betapa sedihnya menjadi Devan.

"Aku akan menerimamu, Dev." ucap Mikha dalam hati. Ia turun lalu menuju kamar Devan.

.

.

.

Hargai waktu sebaik mungkin, karena esok belum tentu, kita masih bisa melewatinya lagi!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!