Keempat pemuda itu memegangi kedua tangan dan kaki gadis berambut lurus itu serta membungkam mulutnya, lalu mulailah seorang lagi, yang tampak seperti pemimpin dari keempat pemuda itu, mendekati mereka. Gadis itu meronta-ronta agar tubuhnya terlepas dari cengkraman pemuda-pemuda jahat itu.
Perlahan ketua dari kelompok itu mulai menjelajahi tubuh gadis berkulit putih itu dengan kedua tangannya dan gadis itu pun mulai meneteskan air matanya. Dari ekspresi wajahnya tampaknya pemuda itu sudah tidak bisa menahan nafsunya, dengan cepat ia melucuti pakaian gadis itu dan mulai 'menyalurkan' nafsunya. Setelah tersalurkan sepenuhnya, secara bergantian pemuda-pemuda yang lain melakukan kejahatan yang sama dengan pemimpinnya itu.
Gadis itu tak berdaya, ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, seluruh tubuhnya terasa sakit dan lemas akibat perbuatan sekelompok pemuda jahat itu, ia hanya bisa terus menangis. Kelima pemuda itu meninggalkanya begitu saja di dalam gudang kosong yang sudah tidak terpakai lagi. Perlahan tangannya mulai merapikan pakaiannya yang tercabik-cabik. Bukan hanya tubuhnya yang terluka tetapi hati dan mentalnya pun ikut terluka.
...
"Terima kasih banyak, dok. Kalau bukan karena dokter Adi, saya tidak akan pernah pulih dari rasa sakit ini." ucap seorang wanita berambut hitam pekat itu. Dokter Adi tersenyum, senyumnya tampak sangat manis.
"Saya hanya dipakai Tuhan untuk membantu kamu." tukas dokter Adi.
"Maafkan saya kalau saya melakukan hal-hal yang kurang berkenan.." tambah dokter Adi.
"Tidak, dok! Dokter sangat baik pada saya, makanya saya bisa sembuh seperti sekarang ini." seru wanita itu.
"Saya berharap dokter bisa selalu bahagia dan segera menemukan jodoh." canda wanita itu. Dokter Adi tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu saya pamit pulang, dok." ucap wanita berkulit putih itu.
"Baiklah. Hati-hati di jalan!" seru dokter Adi sambil melambaikan tanganya.
Setelah wanita itu keluar dari ruangan praktik, dokter Adi kembali duduk di kursi kerjanya. Matanya tertuju pada pemandangan yang ada di balik jendela besar ruang praktiknya. Tampak dokter Adi melamun, ia mempertimbangkan ucapan pasiennya tadi.
"Sepertinya memang sudah waktunya aku memiliki tambatan hati.." batinnya.
Tak berlangsung lama lamunannya itu, seorang perawat masuk ke dalam ruang prakteknya hingga membuatnya terkejut.
"Permisi, dok.." ucap perawat itu pelan.
"Kamu ini buat saya terkejut saja!" protes dokter Adi.
"Saya sudah mengetuk pintu dokter berkali-kali, tapi dokter masih asyik melamun, makanya saya masuk saja." terang perawat itu sambil tertawa-tawa kecil.
"Ini dok surat penugasan dokter.." ucap perawat itu sambil menyerahkan sebuah amplop putih berkop.
"Oke.." sahut dokter Adi.
"Berkas-berkas saya sudah kamu siapkan semua kan?!" tanya dokter Adi.
"Sudah beres semua, dok!" seru perawat itu.
"Kamu memang perawat andalan!" puji dokter Adi sambil mengacungkan jempolnya ke hadapan perawat kebanggaanya itu.
Namanya Adiyanto Prasetyo. Dia seorang psikiater berumur 35 tahun, reputasinya sangat baik walaupun metode pengobatanya sangat unik, tapi 99,9% pasiennya berhasil sembuh. Ia mengobati pasiennya dengan pendekatan emosional khusus, oleh sebab itu orang menjulukinya dengan sebutan 'Dokter Cinta'.
Walaupun julukanya adalah 'Dokter Cinta', tapi nyatanya ia tidak begitu beruntung dalam urusan percintaan. Sampai saat ini ia masih terjebak dengan kisah cintanya yang sudah berlalu belasan tahun. Kenangan-kenangannya bersama wanita di masa lalunya itu masih terekam jelas di benaknya.
...
Seorang perawat bertubuh tinggi semampai berjalan cepat di sepanjang koridor rumah sakit menuju ruangan direktur rumah sakit jiwa itu. Setibanya di depan ruangan yang di tujunya itu, ia mengatur nafasnya sejenak sebelum mengetuk pintu.
"Tok.. tok.. tok.." Perawat itu akhirnya memberanikan diri untuk mengetuknya.
"Masuk.." Begitu mendengar suara dari dalam yang menyuruhnya masuk, perawat itu masuk ke dalam ruangan.
"Suster Rina.." sapa dokter Arief, direktur rumah sakit jiwa ini.
"Selamat pagi, dok." sapa perawat berkulit sawo matang yang ternyata bernama Rina itu.
"Silahkan duduk." ucap dokter Arief. Suster Rina pun duduk di kursi yang ada di hadapan dokter Arief.
"Suster Rina yang bertanggung jawab dengan pasien di kamar nomor 208, benar?!" Dokter Arief memulai pembicaraan.
"Iya benar, dok. A.. ada apa ya, dok?" tanya suster Rina. Suster Rina tampak gelisah, ia takut terjadi sesuatu yang buruk pada pasien di kamar nomor 208 itu.
"Hari ini kita akan kedatangan dokter dari Jakarta khusus untuk merawat pasien kamar 208 itu." ungkap dokter Arief.
"Maaf dok, dokter yang akan datang itu laki-laki atau perempuan ya, dok?" tanyanya lagi.
"Laki-laki.." jawab dokter Arief.
"Hah?! Laki-laki dok??" ucap suster Rina. Ia tampak gelisah mengetahui kalau yang akan menangani pasien spesialnya itu seorang dokter laki-laki.
"Kenapa suster Rina? Kamu kelihatanya tidak suka.." tukas dokter Arief.
"Bukan tidak suka, dok, tapi..." Suster Rina tampak ragu akan menjelaskan kegelisahanya.
"Dokter kan tahu, beberapa tahun yang lalu pasien itu pernah di tangani oleh dokter laki-laki juga, tapi yang terjadi malah semakin memburuk keadaanya.." ungkap suster Rina.
"Memang benar, saya juga mempertimbangkan hal itu tapi saya melihat reputasi dari dokter ini sangat baik dan metode pengobatan yang beliau gunakan ini berbeda dengan yang lain." terang dokter Arief.
"Dokter Riyon juga reputasinya baik, dok. Bahkan beliau lulusan terbaik dari universitas terbaik di Indonesia." tukas suster Rina. Suster Rina sangat peduli dengan pasiennya satu ini karena ia sudah merawat pasien itu sejak pertama kali ia bekerja di rumah sakit jiwa ini.
"Tapi tidak ada salahnya kita mencoba kan, sus?!" Dokter Arief tersenyum lembut pada suster Rina. Ia menyadari kalau suster Rina tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada pasiennya itu.
Suster Rina terdiam. Ia pun kembali merasa ragu dengan dokter baru yang didatangkan dari Jakarta ini untuk mengobati pasiennya, tapi ia merasa ucapan dokter Arief ada benarnya juga, kalau tidak dicoba pasiennya itu tidak akan pernah sembuh.
"Baiklah, dok." ucap suster Rina pasrah.
"Suster Rina yang mengenal pasien 208 dengan baik, bantulah dokter dari Jakarta itu dengan baik!" pinta dokter Arief.
"Baik, dok!"
...
Suster Rina memasuki kamar nomor 208 perlahan, tampak seorang wanita berumur sekitar 29 tahun berkulit putih itu duduk di sudut ruangan dekat jendela, kedua tangan wanita itu memeluk erat kedua kakinya dan rambut hitam lurusnya menutupi seluruh wajahnya.
"Selamat siang, Lia.." sapa suster Rina lembut. Pasien kamar 208 itu tidak bergeming sama sekali, ia tidak merespon sapaan suster Rina dan tetap dalam posisinya semula.
Suster Rina mendekati pasien 208 itu. Perlahan tanganya menyentuh punggung wanita itu dengan lembut. Pasien 208 itu tersentak, ia berteriak ketakutan tanpa melihat siapa yang menyentuhnya. Perempuan berambut lurus itu menangis dengan keras.
"Lia, ini Rina.. suster Rina.." ucap suster Rina. Ia berusaha menenangkan pasien spesialnya itu. Tak berapa lama pasien 208 itu menjadi tenang, ditatapnya suster Rina dari balik rambutnya.
Suster Rina menyingkap rambut pasien 208 itu dari wajahnya hingga mengekspos wajah cantik pasien 208 itu. Wajahnya sangat cantik, bersih, dan cerah. Matanya besar dan berwarna cokelat terang.
"Hmm.. cantiknyaa!" puji suster Rina. Ia tersenyum manis pada pasien kesayanganya itu.
"Wajahmu ini sangat cantik jadi jangan ditutupi terus!" ucap suster Rina. Pasien 208 itu tidak merespon ucapan suster Rina, ia hanya terus terdiam sambil memandangi suster Rina dengan tatapan kosong.
"Aku sisir ya rambutnya.." Suster Rina mulai merapikan rambut pasien 208 itu.
"Kamu harus tampil cantik hari ini karena kita akan kedatangan dokter baru yamg khusus hanya akan menanganimu.." terang suster Rina. Pasien 208 itu mengangguk pelan tanpa suara.
Pasien 208 ini sangat berarti untuk suster Rina. Masuknya pasien 208 ke rumah sakit jiwa ini bertepatan dengan hari pertama suster Rina bekerja di sini. Dari awal, suster Rina lah yang bertanggung jawab dengan pasien 208 ini sedangkan dokter yang menanganinya selalu berganti karena tidak ada yang berhasil menangani pasien ini. Terakhir 2 tahun lalu seorang psikiater senior bernama dokter Riyon menjadi dokter yang bertanggung jawab mengobati pasien 208 tapi keadaan pasien 208 malah semakin memburuk. Pasien 208 memiliki trauma berat dengan laki-laki sehingga kalau ada laki-laki yang mendekatinya walaupun itu seorang dokter pun ia akan berteriak, meronta, dan menangis keras. Hanya satu minggu dokter Riyon bertahan menangani pasien 208 karena ia tidak bisa didekati sama sekali. Sejak saat itu, belum ada lagi psikiater yang bersedia menangani pasien 208 ini.
Sempat juga seorang psikiater perempuan yang menanganinya tapi pasien 208 tidak mau merespon dokter itu sama sekali, seolah pasien 208 ini memang tidak menginginkan kesembuhan pada mentalnya. Sepanjang pengobatan dengan dokter itu, ia terus saja terdiam seperti sebuah patung di pojok kamarnya ini. Tidak hanya kepada dokter saja, tetapi kepada para perawat pun pasien 208 tidak pernah memberikan respon. Awalnya pasien 208 itu pun tidak mau merespon suster Rina, tapi disaat perawat yang lain menyerah dengan sikap dan keadaan pasien 208, suster Rina justru semakin gencar melakukan pendekatan hingga akhirnya pasien 208 itu mau meresponnya, makanya pasien 208 ini sangat berarti untuk suster Rina.
Sudah tujuh tahun lebih suster Rina bertanggung jawab atas pasien 208 ini, membuat chemistry di antara mereka terbangun hingga akhirnya mereka sudah seperti saudara. Sejak berada di rumah sakit ini, tidak ada satupun keluarga dari pasien 208 ini datang mengunjunginya, mungkin mereka malu dengan keadaan pasien 208, tapi mereka terus membayar tagihan pengobatan setiap bulannya tanpa pernah terlambat. Tragis memang, tidak ada yang mau menjadi orang yang jiwanya sakit apalagi sakitnya pasien 208 ini di karenakan trauma yang mendalam, seharusnya keluarganya tetap mendukung dan mendampinginya secara emosional agar pasien 208 ini bisa memperbaiki jiwanya yang telah rusak.
Suster Rina mengikat rambut hitam pekat milik pasien 208 menjadi satu dengan ikat rambut.
"Sekarang kita lap dulu yaa.." ucap suster Rina pelan. Tangannya dengan lembut mengusap setiap bagian tubuh pasien 208 untuk membersihkannya dari kotoran dengan menggunakan sarung tangan handuk yang sudah di basahi.
...
"Suster Rina.." panggil Dimas, salah satu perawat di rumah sakit jiwa itu.
"Yaa.." sahut suster Rina sambil membalikkan badannya ke arah orang yang memanggilnya itu.
"Ada pesan dari dokter Arief, suster Rina diminta untuk segera ke ruangannya." terang Dimas.
"Oh ya.. baik! Terima kasih ya, Mas.." ucap suster Rina.
"Oke.. siip!" sahut Dimas.
Suster Rina segera beranjak menuju ruangan direktur rumah sakit. Kembali dengan langkah cepat ia berjalan agar cepat sampai ke tempat tujuannya. Ia mengatur nafasnya begitu tiba di depan pintu ruangan direktur.
"Tok.. tok.. tok.." Suster Rina mengetuk pintu ruangan direktur dengan pelan.
"Masuuk.." ucap seseorang dari dalam. Perlahan suster Rina membuka pintu itu dan melangkahkan kakinya ke dalam ruangan.
"Selamat sore dok.." Belum sempat ia menyelesaikan sapaannya kepada dokter Arief, ia sudah terkejut lebih dulu melihat seseorang yang berada di hadapan dokter Arief.
"Sore suster Rina.." ucap dokter Arief.
"Rina.." ucap seseorang yang ada di hadapan suster Rina itu.
"A.. Adi.." ucap suster Rina.
"Loh.. kalian sudah saling kenal?!" tukas dokter Arief bingung.
...
"Ini ruangan direktur kami, pak dokter." ucap pak Rama, driver rumah sakit jiwa ini.
"Terima kasih banyak sudah mengantarkan saya sampai sini, pak." ucap dokter Adi berterima kasih kepada pak Rama yang sudah menjemputnya dari bandara dan mengantarkannya sampai di depan pintu ruangan direktur rumah sakit.
"Sudah tugas saya pak dokter.." sahut pak Rama sopan.
"Tok.. tok.. tok.." Pak Rama mengetuk pintu ruangan direktur pelan.
"Silahkan masuk.." sahut seseorang dari dalam ruangan.
"Mari masuk, pak dokter.." ucap pak Rama mempersilahkan dokter Adi untuk masuk. Dokter Adi perlahan masuk ke dalam ruangan itu. Dokter Arief menyambut kedatanganya dengan sangat baik layaknya seorang pahlawan.
"Silahkan duduk dokter Adi!" ucap dokter Arief ramah untuk mempersilahkan dokter Adi untuk duduk. Dokter Adi duduk di kursi yang ada di hadapan dokter Arief.
"Saya mengucapkan terima kasih banyak karena dokter mau datang jauh-jauh ke sini untuk membantu kami di sini." Dokter Arief memulai pembicaraan.
"Sebenarnya sudah lama kami diminta oleh pihak keluarga pasien 208 ini untuk mencarikan dokter khusus yang menangani pasien 208 ini, terakhir dua tahun yang lalu ada dokter yang bersedia tapi hanya bertahan satu minggu karena pasien selalu menolak kehadiran dokter ini.." terang dokter Arief.
"Maaf dokter Arief, apakah pasien 208 ini tidak mempunyai nama?" tanya dokter Adi.
"Maksud dokter Adi?" ucap dokter Arief bingung.
"Dari tadi saya dengar dokter memanggilnya dengan sebutan 'Pasien 208' saya berpikir apakah pasien itu tidak punya nama." tukas dokter Adi. Dokter Arief terdiam sejenak.
"Maaf kalau saya salah, dok, tapi buat saya semua pasien punya hak untuk memiliki nama yang pantas daripada sekedar panggilan 'Pasien 208' karena mereka juga tidak menginginkan takdir yang buruk ini menimpa mereka." ungkap dokter Adi.
"Tidak.. dokter Adi tidak salah sama sekali, saya mohon maaf karena tidak memperlakukan pasien dengan baik." tukas dokter Arief.
"Kebiasaan ini berawal dari dua tahun yang lalu karena dokter yang terakhir menangani pasien memberi nama panggilan seperti itu. Saya terbawa sampai saat ini, saya minta maaf, saya akan lebih memperhatikan para pasien lebih baik lagi dari sekarang." ucap dokter Arief. Suasana di antara mereka menjadi sedikit agak canggung. Dokter Adi memang orang yang tegas dan selalu memegang teguh prinsipnya untuk menghargai setiap pasiennya walaupun pasiennya adalah orang-orang yang menderita sakit atau kerusakan pada mentalnya.
"Tok.. tok.. tok.." Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang menyelamatkan mereka dari semua kecanggungan ini.
"Masuuuk.." seru dokter Arief.
Perlahan seorang perawat wanita masuk ke ruangan itu. Dokter Adi mengerutkan keningnya, ia merasa seperti mengenal perawat itu.
"Selamat sore, dok.." sapa perawat itu, ia tampak terkejut dengan sosok dokter Adi yang ada di hadapannya.
"Sore suster Rina.." ucap dokter Arief. Ucapan dokter Arief semakin meyakinkan dokter Adi kalau ia benar mengenal perawat itu.
"Rina.." ucapnya pelan.
"A.. Adi.." ucap perawat itu.
"Loh.. kalian sudah saling kenal?!" tukas dokter Arief bingung.
"Kami..."
"Kami satu sekolah saat SMA, dok" potong suster Rina.
"Waah.. pas sekali ya! Kalian bisa menjadi tim yang hebat." seru dokter Arief.
"Tim?" tanya dokter Adi pelan. Dokter Adi dan suster Rina saling berpandangan.
"Ya dokter Adi, suster Rina adalah perawat yang bertanggung jawab dengan pasien 2.. eeh maksud saya pasien yang akan dokter Adi tangani." terang dokter Arief.
"Suster Rina, ini dokter yang saya bicarakan tadi pagi. Dokter Adi yang sekarang akan menangani pasien itu. Tolong dibantu ya!" pinta dokter Arief kepada suster Rina.
"Baik, dok!" ucap suster Rina.
"Baik, dokter Adi, sekarang saya serahkan semua ke suster Rina ya. Suster Rina yang akan membantu dokter." ucap dokter Arief pada dokter Adi.
"Baik, dok!" sahut dokter Adi. Dari raut wajahnya, dokter Adi tampak sangat bersemangat, entah karena akan menangani pasien baru atau karena suster Rina?!
...
Suster Rina dan dokter Adi berjalan menelusuri lorong rumah sakit menuju kamar nomor 208. Sepanjang perjalanan menuju kamar 208, beberapa kali tampak dokter Adi memandangi suster Rina.
"Aku tidak menyangka kamu jadi perawat di rumah sakit jiwa.." ucap dokter Adi pelan.
"Aku juga tidak menyangka kalau kamu jadi dokter di rumah sakit jiwa.." tukas suster Rina membalikkan ucapan dokter Adi. Dokter Adi tertawa kecil.
"Sejak kapan kamu jadi perawat di sini?" tanya dokter Adi.
"Sudah sekitar 7 tahun." jawab suster Rina singkat.
"Aku senang melihat kamu baik-baik saja dan sekarang aku bisa bekerja sama denganmu di sini.." ucap dokter Adi. Dari wajahnya memang tampak betul kalau dokter Adi sangat bahagia, ekspresinya seperti anak kecil yang mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Aku juga akan senang sekali kalau kerja sama kita kali ini tidak sia-sia dan memberikan kesembuhan untuk pasien ini.." seru suster Rina datar. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar 208.
"Kamu bisa melihat pasien itu dari sini dulu, kalau kamu sudah siap dengan segala macam respon yang akan diberikan oleh pasien, kamu boleh masuk." terang suster Rina.
Dokter Adi mengintip ke dalam kamar 208 melalui kaca yang ada di pintu kamar. Ia terdiam sejenak dan memperhatikan pasien yang akan ditanganinya itu, seketika wajahnya berubah menjadi serius sepertinya ia sedang menganalisis keadaan pasien tersebut. Melihat ekspresi wajah serius dokter Adi membuat jantung suster Rina berdetak lebih cepat. Dokter Adi bersikap layaknya pria tampan dalam drama korea.
"Cantik!" seru dokter Adi tiba-tiba, ekspresi wajahnya berubah menjadi konyol. Seketika imej tampan yang terbangun baik di benak suster Rina hancur berkeping-keping.
"Hemm..!!" geram suster Rina. Dokter Adi tertawa-tawa kecil.
...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!