Sekitar 7 tahun yang lalu. Arya Saputra di angkat anak oleh seorang wanita yang masih berusia 30 tahun pada waktu itu. Intinya dia membiayai semua keperluan Arya dalam hal pendidikan, demi menggapai cita-citanya untuk menjadi seorang pilot.
Sampai akhirnya Arya lulus dan bekerja di salah satu maskapai di perusahaan di bidangnya. Arya sangat bahagia kini menjadi seorang pilot yang bila tugas mengenakan seragam putih dan mengendalikan pesawat terbang melayang di angkasa.
Arya pun tak pernah lupa berterima kasih pada orang-orang yang telah mendukungnya selama ini, Keluarga dan juga wanita yang sudah membiayainya selama kuliah.
Wanita itu bernama Fatmala. Seorang wanita kaya raya di kotanya dan memiliki banyak perusahaan di mana-mana. Arya asalnya cuma pemuda kampung yang singgah ke kota demi sebuah harapan dan cita-cita.
Kini Arya sudah berubah menjadi pemuda tampan, berpenampilan rapi dan bersahaja. Sungguh banyak perubahan yang terjadi pada diri Arya sekarang ini. Rumah orang tua pun sudah berubah lebih bagus dari sebelumnya dan tidak jadi hinaan tetangga lagi akibat miskin, saat ini Ary di pandang sama orang-orang kampung.
Apalagi dengan sikapnya yang ramah dan baik hati menjadikannya semakin di pandang orang di kampungnya.
"Siang kapten?" sapa nya Sofi seorang pramugari yang semua tahu kalau dia menyimpan rasa terhadap Arya.
"Siang Sofi." Balas Arya dengan senyuman ramahnya. Dia berjalan dengan seorang pramugara yang bernama Sultan dan mereka sudah lama berteman.
Mereka berjalan di sebuah bandara. Pulang dari tugasnya dan masing-masing membawa koper yang wajib mereka bawa.
"Saya lega akhirnya bisa kembali dengan selamat. Kalau masih di dalam pesawat itu hati terasa mengambang," ungkap Arya.
"Benar kapten. Sama, saya juga apa lagi. Berasa tak menapak nih kaki," sahut Sultan.
"Alhamdulillah Allah selalu melindungi umatnya ini." Lanjut Arya kembali.
Arya pun memasuki mobil yang tersedia buat pilot dan semua kru awak kabin menuju kantor.
Setelah meeting dalam waktu yang cukup lama, Arya pulang ke apartemennya.
"Saya duluan bro." Melambaikan tangan pada rekannya.
Arya mengendarai motornya. Tidak lupa memakai jaket dan helm yang tidak pernah lupa dia kenakan.
Tidak lama di jalan ia kini sudah berada di depan pintu apartemennya. Namun merasa heran. Sebab sepertinya ada yang masuk, yang tau akses apartemennya itu cuma dia dan wanita yang menjadi kekasihnya dan kini statusnya sudah tunangan, yang bernama Renata.
Arya masuk, lantas menekan saklar menyalakan lampu. Ruangan itu terang benderang namun tak ada siapa pun. Langkahnya terus berjalan menuju kamar.
Blaak!
"Selamat ulang tahun aku ucapkan semoga panjang umur kami doakan." Suara nyanyian dan dihadapkan dengan kue tar yang berhias lilin dan beberapa orang termasuk Renata di sana.
Ceritanya mereka membuat kejutan di hari ulang tahun Arya. Arya tersenyum simpul dan sedikit menggeleng. Tidak menyangka akan mendapat kejutan sederhana ini namun membuat haru.
"Tiup-tiup, tiup-tiup." Titah semua orang di sana. Kemudian mereka berpindah ke ruang tengah.
"Nggak ada tiup-tiup." Arya mengibaskan topinya dan api pun dengan cepat mati.
"Doanya dong panjatkan semoga terkabul." Pinta Renata kepada Arya.
Arya menutup mata, lantas berdoa dalam hati, yang diantaranya. Semoga dilancarkan niat pernikahannya dengan Renata yang tinggal berapa bulan lagi. Namun yang terbayang saat ini bukan wajah Renata melainkan terbayang jelas wajah seorang wanita yang selama ini ia hormati.
Arya mendongak, terkesiap dan menatap ke arah Renata. Dia heran kenapa bukan Renata yang melintas di pikiran dan kelopak matanya?
Renata menggerakkan matanya seolah bertanya kenapa? Arya menggeleng, kemudian memotong kue tar nya dan suapan pertama dia berikan pada Renata sebagai tunangannya.
Tentu membuat Renata sangat bahagia. Dia memeluk dan mencium singkat pipi Arya. "Selamat ulang tahun ya sayang."
"Makasih sayang." Arya membalas pelukan Renata yang begitu erat.
Semua orang yang dia sana merupakan teman-teman Renata dan Arya dari kuliah dulu.
Mereka pun mengucapkan selamat akan bertambahnya usia Arya yang hakikatnya usia itu berkurang bukan bertambah.
Lanjut mereka pergi ke sebuah cafe untuk makan dan nongkrong di sana. Sesungguhnya Arya merasa capek namun demi teman dan kekasihnya Arya rela mengesampingkan rasa capeknya.
"Sayang makan dong kok malah bengong sih?" Renata menatap tunangannya.
"Oh, iya duluan saja sayang." Arya mengangguk. Namun tetap pikirannya melayang memikirkan wajah itu.
****
Di sebuah rumah mewah yang berdesain clasik Eropa nan megah. Seorang wanita sedang berendam di bathtub air hangat dan tak ketinggalan aroma terapi. Ketika sedang bersantai, rileks dengan nikmatnya berendam air hangat. Terdengar teriakan seorang pria yang memanggil namanya.
"Fatma? Fatmala kau di mana?" pekiknya, dengan mata mencari keberadaan sang istri.
Fatmala bergegas naik mengenakan bathrobe dan bergegas menghampiri. "Ada apa?"
"Lama banget di panggil dari mana sih? suami pulang bukannya di sambut malah di biarkan." Jalannya agak sempoyongan. Seperti biasa kalau pulang malam pasti bau alkohol, dengan alasan bersenang-senang dengan kawan.
"Saya sedang berendam--"
"Alah ... alasan. Secantik apapun rupa mu semolek apapun tubuh mu. Aku sudah tidak cinta dan tidak napsu lagi sama kamu. Kalau bukan karena putri kita Rania Aldian, aku sudah meninggalkan mu." Jelas lelaki itu.
Fatmala pun pertahankan pernikahan dengan Aldian semata-mata demi anaknya Rania Fathya Aldian, putri semata wayang mereka. Siapa sih yang kuat punya suami sudah numpang hidup dari istri. Suka mabuk, kasar dan arogan juga suka selingkuh pula.
Fatmala menghela napas. "Kalau kamu ingin cerai. Ceraikan saja aku gak rugi kok, aku juga tidak tahan dengan laki-laki seperti mu itu."
"Wanita sombong." Tangannya mengayun dan plak! menampar pipi mulus Fatmala.
"Au." Pekik Fatmala sambil mengusap pipinya yang terasa panas dan perih.
Kemudian tangannya Aldian mencengkram leher jenjang wanita itu didorongnya ke ranjang ukuran king size.
Fatmala berontak dan berusaha melepaskan tangan Aldian dari lehernya. Hembusan napasnya bau alkohol, bola mata Fatmala melotot berteriak pun tak mampu. "Lep-lepas."
"Mati kau, dan semua harta mu akan jatuh ke tangan ku, ha ha ha ..." racau Aldian.
Dengan susah payah, Fatma bisa melepaskan kedua tangan pria gila tersebut. "Ohok-ohok," tenggorokan Fatmala terasa kering dan sakit di bagian luar.
Aldian berbaring dengan mata terpejam, Fatmala merasa lega dan mau bangun, tiba-tiba Aldian terbangun dan kembali menyerangnya. Namun kali ini bukan untuk menyekik atau memukul tapi dia menindih tubuh istrinya untuk meminta haknya.
Namun Fatmala sudah terlanjur marah dengan sikapnya kali ini. Dengan sekuat tenaga ia tendang Aldian sehingga tubuhnya menggelinding jatuh ke lantai, dasar orang mabuk dia gak sadar dan mungkin tak merasakan sakit dan juga tak bergeming, Fatmala panik takut juga kenapa-napa tapi pria itu malah tidur di lantai.
Fatmala merasa lega dan tersenyum kecut. "Dasar pria gila." Fatma berdiri dan tak perduli dengan pria itu meski tergeletak di lantai bertilam karpet empuk tersebut. Ia merapikan diri yang tadi terburu-buru menyelesaikan mandinya.
Derap langkah kaki terdengar mendekati ke arah pintu kamar Fatma ....
****
Hai ... ini karya ku yang ke sekian nih, semoga banyak yang suka🙏
Mendengar derap langkah di luar dan terdengar suara seseorang yang memanggilnya mamah. Ya itu Rania Fathya Aldian. Fatmala segera mengambil salep kecil dari laci lalu mengoleskan ke pipi dan leher yang tampak merah-merah itu. Meraih syal untuk menutupi lehernya.
"Mamah, sudah bobo belum? Rania mau ketemu mamah." Gadis kecil itu terus mengetuk pintu.
"Iya sayang ... sebentar." Fatmala segera membawa langkahnya menuju pintu.
Blak!
Pintu terbuka dan berdirilah gadis kecil yang mengenakan piyama. Wajahnya cantik berkulit putih, pipi sedikit chabi.
Rania menyeruak memeluk mamanya. "Mama belum bobo? Rania kangen Mama."
"Sayang Mama. Belum sayang." Fatmala memeluk hangat sang putri.
Rania melepas pelukan sang bunda. Netra matanya yang bening mengarah ke pada pria yang tergeletak di bawah. "Mama, kenapa Papa bobo di bawah Ma?"
"Em ... papa mungkin ngigau terus menggelinding jatuh deh. Jadi bobo di bawah deh." Fatma mengulas senyumnya sambil menyingkirkan rambut yang menutupi pipi gadis kecil itu.
"Papa mabuk ya Ma?" kepala Rania menoleh sang bunda yang berlutut dan mengsejajar kan dirinya.
"Kata siapa seperti itu sayang?" menatap intens putri cantiknya tersebut.
"Mama, pipi Mama merah. Apa papa pukul Mama lagi?" selidik Rania tangan kecilnya menyentuh pipi sang bunda yang tampak samar merah.
Hati Fatma mencelos dan tak bisa berkata-kata mendengar kalimat gadis kecil tersebut. Ia memeluk erat dan menyembunyikan air matanya.
Anak itu terdiam, anak sebesar ini seharusnya tidak tahu apa-apa tentang masalah rumah tangga, namun ia sedikit tahu masalah yang sering dihadapi sang bunda.
"Mama, boleh ya Rania bobo sama Mama? di sini," tanya anak itu memberi jarak dengan tubuh sang bunda.
Fatmala menunjukan senyumnya. "Tentu boleh dong sayang. Mau di sini atau di kamar Rania juga boleh. Yuk bobo sudah malam."
"Ayo." Rania sangat antusias.
Tubuh anak itu melayang di gendong sang bunda. "Aduh. Tubuh putri Mama sudah semakin besar dan berat nih. Sebentar lagi Mama pasti kesusahan nih."
Tubuh anak kecil itu dibaringkan di sebelah tubuh Fatmala. Dengan selimut yang sama.
"Sekolah nya gimana sayang happy?" selidik Fatmala sambil mengelus pucuk kepala Rania.
"Happy Mam. Rania disuruh hapalin doa-doa seperti doa mau bobo." Anak itu sangat antusias.
"Oya. Coba Mama pengen dengar." Fatmala merubah posisi tidurnya. Miring dengan siku menjadi penyangga kepalanya.
Anak itu segera melantunkan doa mau tidur dengan Paseh yang sebelumnya diawali dengan basmalah.
Fatmala tersenyum bangga. "Alhamdulillah ... putri Mama pinter Masya Allah." Cuph! mencium pipi kanan dan kiri Rania yang bertepuk tangan.
"Rania pinter kan Ma?"
"Iya pinter sayang. Mama bangga dan sayang Rania, jadilah anak yang Sholehah ya sayang." cuph! lagi-lagi mencium pipi dan kening Rania yang sudah mulai menguap.
"Sudah. Bobo ya sayang takut kesiangan." Fatmala lagi-lagi mengecup kening anak itu dan memeluk erat.
Tak ada celotehannya lagi. Tidak butuh waktu lama tuk Rania tertidur nyenyak dalam pelukan sang bunda.
Pagi-pagi buta Fatma sudah terbangun dan mandi, penampilannya sudah rapi tuk ngantor. Sebagai CEO dia dituntut tuk selalu smart. Untung merah di pipi nya sudah memudar begitupun di lehernya.
Kemudian membangunkan Rania. "Rania sayang. Bangun dah pagi nih."
"Em ... masih ngantuk Mama ..." bukannya bangun malah mengeratkan pelukannya pada guling.
"Hi ... sayang bangun lho. Mau Mama mandiin gak? yuk bangun dulu." Lirih Fatmala seakan berbisik.
"Mau." Bangun dan duduk menggosok matanya.
Fatmala langsung membawanya ke kamar milik Rania. Membiarkan Aldian masih tergelatak di lantai. Dia itu hidupnya sesuka hati mau masuk kerja jam berapa pun atau tidak masuk sama sekali. Fatmala tidak perduli.
Setiap pagi sebelum berangkat kerja berusaha membiasakan mengurus Rania dari mulai mandi mendandani hingga sarapan. Sebelum berangkat ke sekolah.
"Aunty. Bereskan tempat tidurnya Rania lebih dulu, setelah itu Antarkan ke sekolah ya?" ucap Fatma pada pengasuh Rania sambil menyiapkan alas tulisnya.
"Baik Nyonya." Pengasuh Rania mengangguk hormat.
"Yu sayang, sarapan dulu!" tangan Fatmala menuntun anak itu dan menjinjing tas nya.
"Mah. Papa nggak di bangunin ya?" Rania mendongak.
"Papa kan dah gede harus bangun sendiri sayang, masa mau Mama bangunin terus malu dong ... kamu juga harus belajar bertanggung jawab ya. Kalau Mama atau aunty gak bangunin Rania tapi sudah waktunya bangun. Harus bangun sendiri sayang ya?" keduanya menuruni anak tangga yang sedikit memutar tersebut.
Rania, Fatmala angkat didudukan di kursi sebelah sang bunda menghadap meja makan yang sudah sedia bermacam makanan tuk sarapan.
"Mau sarapan apa sayang?" sambil menuangkan air minum untuk Rania dan dirinya.
"Rania mau Nasi goreng aja, tapi Mama suapin ya?" pinta Rania sambil menggoyangkan kakinya di bawah meja.
"Boleh, putri Mama yang cantik dan pintar. Dan Mama mau menyiapkan dulu buat bekal ya." Tangan Fatmala sibuk dengan ini itu keperluan Rania.
"Bi. Tolong ambilkan air putih hangat buat saya." Pinta Fatma pada asisten rumah tangganya.
Bibi pun segera menyiapkan apa yang Fatma pinta dan segera menyuguhkannya.
"Aunty kamu, sarapan dulu jangan lupa." Titah Fatma pada pengasuh Rania yang bernama Mia.
"Baik, Nyonya. Nona Rania ... sini aunty yang suapi ya? Mamanya mau sarapan dulu." Mia mengarahkan pandangan pada Rania yang di suapi sang bunda.
"Nggak mau. Maunya di suapi Mama." Pekik gadis kecil itu.
"Suutt ... jangan teriak gitu ah. Mama gak suka. Tak apa Aunty. Kamu sarapan saja. Saya bisa belakangan," ucap Fatmala sambil melihat keduanya bergantian.
Selesai menyuapi Rania, barulah Fatmala sarapan. Rania bersiap berangkat bersama Mia dan supir.
"Aunty. Titip Rania ya?" menatap tajam pada Mia yang mengambil tas Rania.
"Iya, Nyonya siap Mia laksanakan. Jangan khawatir Nyah Nona Rania akan selalu aman sama Mia dan Mang Sudin alias Dudin." Terang Mia meyakinkan dan menyebut nama Mang Sudin seorang supir yang setiap harinya mengantar mereka berdua.
"Makasih ya?" Fatma tersenyum di sela mengunyah makanannya.
"Mama Rania pergi dulu ya?" Rania turun dari kursinya.
"Oke, jangan nakal ya? yang rajin juga belajarnya. Oke?" cuph! mencium pipi chabi Rania kanan dan kiri.
"Oke, Mama." Rania berjalan bersama Mia melewati pintu utama.
Usai sarapan. Fatmala naik kembali ke atas menuju kamar yang masih ada Aldian di sana.
Fatmala menggeleng. "Masih juga ngorok, jam berapa nih?" meraih tas kerja dan membuka mengecek isinya. Bergegas mengayunkan langkahnya menuruni anak tangga.
"Pak Harlan. Kita ke kantor cabang dulu ya?" ucap Fatmala.
Pak Harlan menanggapi dengan anggukan. Kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Pandangan Fatma jauh ke depan dengan tatapan kosong. Memikirkan nasib rumah tangganya yang rumit.
****
Arya sedang berleha-leha di tempat tidur. Kebetulan hari ini tak ada jadwal penerbangan sehingga bisa bersantai-santai ria.
Namun tiba-tiba ada niatan untuk menemui wanita yang dari semalam menghantui pikirannya. Ia turun membawa langkahnya ke kamar mandi dengan niat mau bersih-bersih terlebih dulu. Tapi niatnya ia urung setelah mendengar suara bell pertanda ada yang bertamu ....
****
Selamat membaca dan jangan lupa tinggalkan jejaknya ya🙏
Cklek!
Suara handle pintu dan Arya menariknya ke dalam. Berdiri dua orang wanita cantik membawa paper bag. Tersenyum ke arah Arya.
"Eh, kalian. Ada apa ya?" selidik Arya heran menatap keduanya.
"Em, boleh kami masuk?" tanya salah satu wanita yang memliki tubuh ideal dan berparas cantik itu.
"Oya, masuk lah!" Arya mendahului masuk dan menyilaukan duduk di sofa.
Keduanya duduk dengan manis. Matanya mengitari apartemen tersebut dengan intens dan mengagumi.
"Aku bikinkan kalian minum dulu ya?" Arya berniat pergi mengambilkan minum namun kedua tamunya mencegah.
"Nggak usah repot-repot, sudah minum kok."
"Oke." Arya duduk di sebrang tamunya.
"Aku bawa kado buat kamu Arya. Em ... memang nggak seberapa sih." Sofi menyodorkan yang ia bawa pada Arya.
"Aduh. Jangan repot-repot lah Sofi, jadi nggak enak hati nih." Tangan Arya mengambilnya dengan ragu.
"Nggak pa-pa kok, gak repot juga." Sofi menunjukan senyumnya.
"Makasih ya?" Arya menatap dengan intens kedua wanita cantik itu membuat yang di tatapnya salah tingkah.
Arya membuka kotak kecil yang ternyata berisi jam tangan rolex yang sudah terbaca harganya lumayan mahal. "Wah ... makasih ya? jadi gak enak hati." Sembari mengulas senyumnya yang terus merekah.
Sofi bahagia melihat ekspresi wajah Arya yang tampak bahagia menerima kado darinya. Hatinya terus berdebar, apa lagi memandangi senyumnya yang bikin jantung melompat-lompat. Ia menaruh hati pada Arya dari sejak lama namun tak pernah di respon lebih. Arya malah pacaran bahkan bertunangan dengan Renata.
"Aku tidak tahu harus membalasnya gimana?" Arya menyimpan kadonya di meja.
"Oh, tidak. Kamu gak balas apa pun kok. Sebagai teman aku sangat tersanjung bila kau terima hadiah dariku, itu saja." Sofi mengulas senyumnya.
Mereka bertiga mengobrol dalam beberapa waktu diselangi dengan canda dan tawa. Sampai akhirnya Vera, temannya Sofi mengajak pulang padahal Sofi masih betah di sana bersama Arya.
"Ya udah, aku pulang dulu?" dengan berat hati Sofi berpamitan.
"Baiklah. Hati-hati." Arya mengangguk dan berdiri mengantar tamunya sampai pintu.
Ia segera memutar tubuhnya setelah mengunci pintu dan memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri, kali ini dia mau meneruskan niatnya untuk menemui seseorang.
Setelah selesai mandi dan tampak segar Arya meraih kunci motornya. Membawa langkah lebarnya ke tempat penyimpanan motor.
Kini Arya sudah melajukan motornya di jalan raya membelah jalanan beriringan dengan kuda besi lainnya. Dengan menggunakan Helm, Arya terus melarikan sepeda motornya menuju sebuah tempat lumayan jauh.
Setibanya di tempat tujuan Arya berjalan memasuki sebuah gedung yang tinggi menjulang yang merupakan sebuah kantor, ia mengangguk hormat ketika berhadapan dengan scurity di depan.
Arya terus berjalan ke lantai sekian, dengan tujuan ruangan Bu Fatmala.
"Permisi Mbak!" Arya mengangguk pada sekertaris yang ada di sana.
"Met siang Tuan? ada yang bisa saya bantu!" Balas sekertaris tersebut dengan ramah.
"Saya ... mau bertemu Nyonya Fatmala," ucap Arya menatap sekertaris yang rasanya tidak kenal. Padahal dulu bukan yang ini.
"Apa Tuan sudah buat janji?" tanya sekertaris tersebut.
"Em ... Belum," sambung Arya.
"Oh, sebaiknya. Tuan bikin janji dulu sama, sebab. Nyonya itu orang sibuk sekarang aja masih meeting di luar," ujar sekertaris dengan jelas.
"Tapi coba aja sampaikan kalau Arya Saputra mau bertemu." Lanjut Arya penuh harap.
"Baiklah. Tunggu saja silahkan duduk di sana Tuan." Pinta wanita modis tersebut dan langsung menghubungi seseorang.
Tidak selang lama Wanita itu menghampiri. "Nyonya meminta anda menunggu di ruangannya. Mari?"
Arya beranjak dan mengikuti langkah sekertaris Fatmala ke ruangan CEO nya.
"Silakan masuk dan menunggu di sana, paling sekitar 30 menit lagi Nyonya tiba." Kata sekretarisnya Fatmala, lalu dia pergi kembali ke tempatnya. Arya hanya membalas dengan anggukan saja.
Arya mengamati ruangan tersebut yang banyak berubah dan lebih mewah dari sebelumnya. Ia menempelkan bokongnya di sofa dan pandangan nya fokus melihat sebuah photo yang terpajang di meja kerja. Seorang wanita dan gadis kecil berpelukan.
Bibir Arya tersenyum merekah memandangi photo tersebut.
Sesekali Arya melihat jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11 siang. Namun orang yang ia tunggu belum muncul juga.
Kaki Arya di gerak-gerakkan tuk mengusir rasa jenuh. Suara derap langkah terdengar mendekati ruangan itu. Netra mata Arya tertuju pada daun pintu yang dalam hitungan detik pasti terbuka.
Benar saja, daun pintu terbuka dan muncullah seorang wanita dewasa yang tampak cantik dengan balutan pakaian formal yang elegen. Sementara waktu keduanya bersitatap, saling bertukar pandangan seakan mengungkapkan kata yang mungkin saja tak mampu terucap lewat bibir.
Kemudian keduanya tersadar dan menggercapkan matanya. Fatmala menghampiri di mana Arya berada.
Arya pun berdiri lalu mereka saling berjabat tangan. "Apa kabar?"
"Baik, bagaimana kabar mu? lama kita tak jumpa, Silakan duduk!" Fatmala duduk dan menyodorkan segelas air putih.
"Alhamdulillah. Baik, maaf baru sempat datang!" sahut Arya menatap lekat wanita tersebut.
"Syukurlah. To the point saja, ada perlu apa ya? apa membutuhkan bantuan ku?" ucap Fatmala. "Lagi pula kau bisa hubungi nomor ku, nanti kan saya transfer."
"Maaf Kak. Saya kesini untuk silaturahmi saja gak ada niat untuk meminta bantuan! Justru mau mengucapkan terima kasih, sudah banyak membantu ku sehingga aku bisa mencapai tujuanku." Dengan pandangan kepada Fatmala.
"Oh, syukurlah kalau kamu sudah mencapai tujuan mu. Selamat ya? Oya sorry waktu itu tak bisa memenuhi undangan mu, sedang berada di luar Negeri jadi ga bisa hadir sorry ya?"
"Tak apa Kak, aku maklumi itu." Arya memperlihatkan giginya yang putih bersih tersebut. "Oya, itu putrinya ya? sudah besar sekarang." Manik mata Arya menoleh ke arah photo
Netra mata Fatmala pun mengikuti kemana mata Arya memandang. "Oh iya, sudah sekolah TK dia."
Mata Arya sering memperhatikan ke arah Fatmala yang tampak memerah pipinya bekas lima jari. "Itu, kenapa pipinya tampak merah?"
"Ha?" tangan Fatmala memegang pipinya, padahal sudah memudar. "Nggak. Ini cuma ruam-ruam saja. Eh ... elergi." Akunya Fatmala tampak gugup.
Arya menatap curiga, Tidak percaya begitu saja tapi si sadar ini bukan kepasitas nya. Mungkin itu masalah pribadi yang gak pantas dicampuri.
"Em ... bagaimana kalau kita makan siang dulu, saya yang bayar kok!" ajak Arya.
Fatmala memicingkan matanya. "Gaya kamu, mau traktir segala? Gimana kalau saya minta makan di restoran yang mahal?"
"Tak apa Kak, asal jangan setiap hari saja mintanya. Ha ha ha ...."
"Baiklah. Rezeki tak boleh di tolak!" Fatmala meraih tas kecilnya kemudian beranjak dari duduknya.
Keduanya berjalan beriringan, Semua karyawan menatap heran melihat Arya. Apa klien baru atau apa? begitu tampan dan membuat semua wanita terpesona melihatnya. Kalau pekerja baru sih tidak mungkin sebab perusahaan khususnya di pusat ini sedang tak memerlukan pegawai baru.
Bibir Fatmala menunjukan senyumnya melihat para karyawan khususnya wanita, melongo melihat ketampanan Arya. Mungkin mereka lupa kalau dulu Arya sering datang ke kantor ini bahkan pernah menjadi klening servis, namun mungkin karena tak glowing seperti sekarang, makanya mereka lupa.
"Lihat. Mereka begitu terpesona melihat mu." Suara Fatmala pelan namun terdengar jelas oleh Arya yang berjalan di belakangnya.
Senyum Arya merekah. Kemudian memakai kaca mata hitam yang tadi tergantung di kerah kemejanya. "Kalau yang ngomong terpesona gak?" canda Arya.
"Jangan gila kamu. Saya bersuami." Tegas Fatmala tanpa menoleh.
"Canda Kak. Jangan diambil hati ataupun sakit hati cuma bercanda kok." Aku Arya meralat ucapannya.
Dari mereka berjalan sampai mau memasuki mobil, ada seseorang yang memainkan kameranya mengambil gambar keduanya ....
****
Hai ... reader ku yang aku sayangi sudah membaca kan? jangan lupa tinggalkan jejaknya ya🙏
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!