"Mery, kapan kau akan menikah?" tanya sang ibu yang mendesah lelah.
"Mom, jangan membahas hal yang tidak penting itu." ucap Mery, dia memakan roti tawar yang sudah ia olesi selai kacang itu dengan cepat. Mencoba menghindar dari pertanyaan sang ibu yang terus mendesak menikah.
"Elemery, berapa umur mu sekarang? Kau ingin menjadi perawan tua sampai mati?" tanya ibunya kesal.
"Ya seperti nya. Karena aku malas mengurusi hal yang sangat tidak penting itu." ucap Mery, yang bergegas mengambil tasnya. Mengecup pelan dahi sang ibu dan segera pergi untuk bekerja.
"MERY JIKA SAJA ANAK BISA DIBUAT DENGAN DIDOWNLOAD, IBU BIARKAN KAMU KERJA." pekik sang ibu, Neanra.
Dari luar, Mery memutar bola matanya malas. "Apa enaknya menikah? Hanya hal yang membosankan." gumamnya dan masuk kedalam mobil. Dia melajukan mobilnya membelah kota metropolitan itu. Suasana pagi yang sudah disuguhkan oleh keramaian hiruk pikuk kota.
Mata Mery mengedar di depan jalanan yang dia lewati. Sesekali bibirnya menyanyikan lagu kesukaannya. Kepalanya nampak mengangguk dan menggeleng sesuai irama musik yang mengalun merdu lewat indra pendengarannya.
Mobil yang dia kendarai berhenti tepat di basemant kantor. Mery keluar dari sana dengan gaya congkaknya. Elemery desinton adalah seorang kepala keuangan dikantor itu. Mery adalah nama panggilannya. Seakan sangat mencintai pekerjaan nya itu sampai dia enggan untuk menikah.
Bagi Mery, menikah adalah hal yang membosankan. Membuang - buang uang dan sebuah kebodohan. Lingkungan sekitar yang dia lihat, menikah dengan acara mewah mengeluarkan jutaan dolar dan semua berakhir di persidangan perceraian. Itu lah yang membuat Mery enggan menikah.
Hal bodoh yang membuang buang waktu berharganya. Kehidupan rumah tangga sang ibu dan ayahnya sudah cukup membuktikan bahwa pernikahan hanyalah hal konyol yang pernah ada.
"Selamat pagi Mrs." sapa salah satu pengawai. Mery hanya mengangguk dan tetap berjalan dengan gaya congkaknya.
"Welda, Mrs.Merry itu sangat sombong."
"Aku menjadi malas ketika menyapanya." lanjut teman Welda, Reily.
"Semua orang juga akan sombong ketika mereka berada diatas."
"yeah kau benar. Tapi aku merasa tidak suka saja dengan gaya sombong yang Mrs. Merry perlihatkan."
"Sudah lah Reily, kita hanyalah bawahan. Jangan mengurusi gaya atasan kita. Bukankah Mrs. Merry belum menikah? Kenapa kita tidak memanggilnya Miss?"
"Kau ini, wanita itu perawan tua. Memanggilnya Miss bukan kah terkesan seorang anak muda?"
"kau benar Reily.. Sangat disayangkan, wajahnya cantik tapi tidak ada yang mau."
"Bukan tidak ada yang mau, tapi dia terlalu jual mahal."
"Wanita dengan kelas dewa."
"Hahhahha kau ini."
Mery menghembuskan napasnya, sudah kebal rasanya menjadi bahan pembicara para bawahannya. "Cih, aku yang menjadi perawan tua kenapa mereka yang ribut?"
"annoying!" dengusnya. Dan dia masuk kedalam lif.
*********
Mery mendudukan pantatnya dikursi kebesarannya, menjadi kepala keuangan di perusahaan sebesar ini tidaklah mudah bagi Mery. Menaikkan derajatnya di kalangan masyarakat dan membuat mereka yang tidak tahu proses panjang yang telah dia lewati berdecak kagum. Mery mulai sibuk dengan tumpukan dokumen yang ada didepannya.
Tok.. Tok..
Suara pintu yang terketuk, tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer. Mery lantas mempersilahkan seseorang itu masuk.
"Masuk." ucapnya.
Pintu itu terbuka menampilkan sosok Huble, sahabat sekaligus sekretaris yang Mery angkat.
"Good morning spinster." sapa Huble dengan nada mengejek.
"Huble kau ingin gaji mu ku potong? Bagaimana pun aku ini atasan mu." ucap Mery.
"Oh ayolah aku hanya bercanda. Kau ini darah tingginan sekali." ucap Huble. Dia duduk di depan meja Mery.
"ini laporan keuangan minggu kemarin." ucapnya seraya menyerahkan dokumen dokumen setumpuk itu.
"Taruh saja di situ." perintah Mery.
"Huhhffftt..."helaan napas Huble yang terdengar oleh Mery. "Kapan persidangan itu berlangsung?" tanya Mery yang seakan tahu.
"Besok. Kami akan resmi bercerai." ucap Huble. Wanita muda itu mendesah frustrasi. Menenggelamkan kepalanya diantara tangan yang dia lipat.
"Padahal pernikahan kami baru berjalan dua tahun." adu Huble.
"sudah aku bilang, pernikahan adalah hal yang menghambur - hamburkan uang."
"diam lah Mery! Kau itu tidak pernah merasakan jatuh cinta. Pernikahan memang kadang seperti itu, mungkin aku harus mengambil pelajaran dari pernikahan pertama ku ini. "
"kadang? Lihatlah di luaran sana Huble! Bukan hanya kau! Tapi masih banyak lagi. Berapa dolar yang kau habiskan untuk pernikahan megahmu dua tahun yang lalu?"
"Tanpa kau jawab. Aku sudah tahu, pasti tabungan mu terkuras habis."
"aku bekerja mati matian memang untuk menikah. Untuk masa depan ku. Mery ubahlah pola pikirmu. Kau ini sangat keras kepala."
"hal yang paling membahagiakan dalam hidup ini adalah di saat kau bisa membina rumah tangga. Membuat keluarga cemara yang bahagia." lanjut Huble.
"Kau sudah membuktikan nya untuk ku?" tanya Mery.
Huble terdiam. "Lagi lagi kalah dengan mu." ucapnya lirih.
"Huble, pemikiran ku sudah sangatlah benar. Mana yang salah?"
"yang salah itu keras kepala ku Mery sayang." jawab Huble. Dia berdiri, meragukan pakaiannya dan hendak pergi dari ruangan Mery.
"Mery, aku melupakan satu hal yang paling menyenangkan saat kau sudah menikah." ucapnya.
"Bisa bangun pagi, memasak, menyapu, menyiapkan pakaian suami dan become a maid with the title wife."
"Kau ini!!! Itukan tugas seorang istri."
"Sungguh menasihati mu aku harus bersiap bersiap bahan terlebih dahulu."
"Seperti ingin meeting saja." dengus Mery.
"Karena kau mempunyai banyak alasan untuk mengelak. Pantas saja jabatan mu tidak bisa di geser oleh siapapun."
"Jika tidak ada yang ingin kau ucapkan, lebih baik keluar. Pintu keluar tepat di belakang mu."
"Mery kau sangat menyebalkan!" dengus Huble.
"hal yang paling menyenangkan saat sudah menikah adalah berhubungan suami istri. Ohh itu sangat nikmat. Dan perawan tua seperti mu tidak akan tahu bagaimana rasanya." ejek Huble.
"keluar lah Huble. Bisikan setan mu itu sangat mengganggu otakku yang masih suci ini." usir Mery.
"baiklah.... Oh tuhan aku tidak menyangka akan mempunyainya sahabat seorang perawan tua." ucap Huble seiring dia berjalan keluar.
Mery menatap pintu yang tertutup itu dengan helaan napasnya. "Menjadi perawan tua? Memang ada yang salah?"
"Kicauan yang membuat moodku hancur pagi ini." dengusnya.
Mery kembali fokus pada pekerjaannya. Lebih baik menatap masa depan yang sudah jelas daripada harus memikirkan hal bodoh yang akan berujung sebuah air mata. Cinta? Omong kosong mana itu? Cinta hanya akan merengut semua hal yang sudah ada. Hal konyol yang kadang membuat Mery tertawa.
Drettt
Suara telepon kantor yang mengalihkan fokusnya. Mery langsung mengangkat telepon yang sudah jelas berasal dari kepala manajernya.
"Mery, ke ruangan ku sekarang. Bawa berkas berkas keuangan dua bulan ini." ucapnya.
"Baik Mr. Boston."
"Jangan sampai ada yang tertinggal atau cacat. Karena berkas itu akan langsung diberikan pada Presdir"
Dahi Mery terlipat samar, "Saya pastikan tidak akan ada kecacatan." ucap Mery.
Dan telepon itu terputus. "Ada apa ini?" gumamnya.
Sangat lah jarang Presdir muda itu mau mencampuri anak perusahaan yang baginya hanyalah sebutir abu dari kekayaan yang dia miliki.
"Oh Mery apakah bawahanmu melakukan kesalahan?" ucapnya dengan menggigit kuku kuku panjang nya.
BERSAMBUNG....
Sebelumnya, SELAMAT DATANG DI DUNIA IMAJINASI NANAITELIAN 💖 Nikmati cerita ELEMERY, dan terus beri dukungan kepada penulis! agar cerita ELEMERY ini semakin berkembang dan baik kedepannya!
Maaf juga bila ada beberapa penulisan yang salah atau kurang, ini merupakan karya pertama penulis 🙏 penulis akan senantiasa belajar baik ke depannya. Terimakasih 💖 tunggu terus kelanjutan cerita ini.
Suara high heels bersentuhan dengan jubin itu menimbulkan suara merdu yang khas. Dengan rambut yang ia lerai dan tumpukan beberapa berkas di tangannya. Mery berjalan dengan tatapan tajam dan seperti biasa dengan—gaya sombongnya.
Beberapa karyawan maupun orang penting di sana menatap kagum pada sosok cantik yang tengah berjalan menuju ruangan Mr.Boston. Tubuh yang ramping, dan rambut panjang bergelombang dengan warna coklat kehitaman. Wajah Mery itu ayu, bak seorang model asal Rusia. Tak ada celah untuk keburukan di wajah itu.
Lif terbuka, menampilkan seorang pria gagah yang sangat tinggi. Mery tak sempat melihat wajah pria itu, karena dia terlalu fokus pada pikirannya. Mengenai kenapa bos besarnya meminta sendiri berkas keuangan. Karena biasanya cukup pada Mr.Boston saja.
"Maaf nona anda—" ucapnya terputus saat tangan sang atasan memberi isyarat.
Mery mendongak, menatap kesal pria di depannya.
"Bisa 'kah kau segera menyingkir tuan? Tubuh jumbo mu itu menghalangi jalan ku" tandas Mery.
Pria itu nampak mengangguk samar, dan berlalu dari sana. Segera mengikuti sang tuan.
Sedangkan pria yang sudah berjalan duluan itu tersenyum miring. Tatapannya sinis nan tajam, ditambah tubuhnya yang tinggi membuat siapa saja yang menatapnya bergidik ngeri.
"Oh ternyata di atas langit masih ada langit. Aku yang dianggap paling sombong ini, masih ada yang lebih sombong." dengus Mery dan segera masuk ke dalam lif.
***
"Silakan duduk Mery" ucap Mr. Boston mempersilakan. Pria tua itu menatap Mery dengan raut wajah yang membuat Mery risih.
"Bisakah anda menjaga tatapan itu? Saya tidak nyaman" ucap Mery tegas.
Mr. Boston tersenyum. "Sekarang aku tahu apa yang membuatnya suka pada mu" gumamnya pelan.
"Ini berkas keuangan perusahaan, silakan anda cek." Ujar Mery memberikan berkas itu kepada atasannya.
"Sebenarnya, ada hal lain mengapa saya memanggil kamu kemari" ucap Mr.Boston kembali pada aura tegasnya.
Mery yang tengah duduk itu lantas menegakkan punggungnya. Menatap Mr. Boston dengan tatapan tegas.
"Hal lain apa yang ingin ada bicarakan?"
"Mengenai naiknya jabatan mu"
Mery mengangguk. Bukan hal mengejutkan dirinya naik jabatan lagi. Sudah terbiasa. Inilah hasil dari kerja keras Mery.
"Terimakasih, atas kepercayaan anda" jawab Mery.
"Jabatan apa yang akan saya jalankan, Mr?"
"Kamu diangkat menjadi direktur keuangan perusahaan pusat"
Jedarrrr
Mery tak mampu mengatupkan bibirnya. Dia terlampau bahagia. Bagaikan mimpi! Menjadi bagian inti dari perusahaan raksasa ini merupakan berkah tak tertandingi.
"Berkas laporan keuangan yang ku minta ini, untuk di pelajari penganti mu. Selamat Mery! Tetaplah menjadi wanita hebat, saya yakin kamu bisa memberikan dampak luar biasa pada Exanta Group ini." ucapnya mengajak Mery jabat tangan.
Dengan perasaan bahagia tentu Mery menerima jabatan tangan itu. "Terimakasih atas harapan dan tanggung jawab besar ini."
"Silakan kemasi barang-barang mu, karena besok lusa, kamu sudah harus sampai di Jakarta."
"Baik Mr. Saya permisi" pamit Mery dengan aura kedewasaan dan berlalu dari sana.
Di dalam ruangan, Mr.Boston menyandarkan punggung pada kursi kebesarannya.
Drett
"Semua perintah anda sudah saya laksanakan." ujar Mr.Boston singkat dan sambungan telepon itu terputus.
Mr.Boston hanya dapat geleng-geleng kepala. Tanpa di suruh pun posisi itu sangatlah pantas untuk Mery. Tapi, rencana awal Mr.Boston adalah menjadikan Mery pengantinya kelak. Pria tua itu hanya tinggal hitungan jari menemui purna tugasnya. Namun sayang, Mery sudah di boxing duluan oleh bos besar.
***
Dengan segala ***** bengek membujuk sang ibu untuk mengizinkan dirinya kerja jauh, akhirnya mendapatkan izin. Walau dengan segala keterpaksaan dan paksaan.
Dan syarat sang ibu yang meminta calon mantu saat Mery nanti pulang.
"Ingat janjimu, nak. Pulang bawa calon mantu." lagi, kata itu telontarkan.
Mery mendesah lelah. Dengan cara apalagi untuk menjelaskan pada sang Ibu untuk memahami bahwa dirinya enggan menikah.
"Untuk itu aku mungkin tidak yakin bisa menepatinya"
"Mery! Umur mu sudah hampir kepala tiga! Astaga! Mom sendiri tidak bisa membayangkan, kelak bagaimana masa depan mu. Mery, tolong rubah pola pikir mu. Jangan tatap kehidupan oranglain. Hidupmu itu ada di tanganmu, jika kau membutuhkan cermin, bercermin lah pada cermin yang bisa memberi pantulan positifnya!" terang Neanra.
"Mom, aku hidup di dunia ini tidak sendiri. Orang yang mendahului ku seakan adalah patokan. Patokan di mana aku harus bersikap dan menjadikan mereka teladan!. Mereka sendiri yang sudah membuktikan padaku betapa suramnya kehidupan rumah tangga!"
"Dan, kehidupan Mom sendiri pun sudah cukup menyakinkan diriku, bahwa menikah adalah hal konyol yang pernah ada!" desis Mery.
Neanra terdiam, menatap Mery jenuh. "Ya Tuhan! Hatimu itu terbuat dari apa Mery"
"Berangkatlah, kejar apa yang ingin kamu kejar. Mom hanya bisa berdoa dan berharap. Kau bahagia." ujar Neanra.
Tatapan yang tersirat kata lelah itu, mengelus puncak kepala Mery dengan lembut. Melihat dengan jelas betapa cantiknya Mery. Anak yang dia rawat sejak di dalam kandungan kini sudah dewasa. Neanra menyadari itu.
Pola pikirnya terbentuk karena lingkungan yang dia ciptakan. Perceraiannya dengan sang suami lah yang membuat kerasnya hati Mery.
"Mom tidak akan lagi mendesak mu menikah, nak. Jika menikah bukan kebahagiaan mu maka lakukanlah, mom hanya bisa berdoa kau senantiasa bahagia. Bukankah kebahagiaan seorang ibu ada pada kebahagiaan anaknya?"
Mery membisu, lidahnya kelu. Kerongkongannya kering, dadanya terasa amat sesak. Menatap Neanra yang menatapnya sedu. Hati Mery tersentil dengan ucapan ibunya sendiri.
"Mom, terimakasih kau mengerti diriku." lirih Mery.
"Aku akan menikah, tapi tidak sekarang. Jika dengan melihat ku menikah, Mom bahagia. Aku akan melakukannya. Tapi, beri aku waktu. Untuk melupakan segala kenangan pahit yang ku terima selama ini." lanjut Mery.
Neanra pecah akan tangisan. Dirinya memeluk Mery erat. "Pergilah, nak. Mom yakin, di Jakarta adalah takdir mu."
"Dan, selamat ulang tahun Mery sayang. Usiamu genap dua puluh delapan tahun." bisik Neanra.
"Thank you so much, Mom. all love for you"
Itulah obrolan terakhir mereka, sebelum pesawat yang Mery tumpangi lepas landas. Sekitar satu jam setengah pesawat yang ditumpangi nya mendarat mulus di bandar udara internasional soekarno-hatta.
Dengan langkah tegas dan penuh pesona Mery berjalan menelusuri bandara yang besar itu. Kedatangannya di sambut baik oleh utusan dari kantor pusat. Jabatannya yang naik ini, Mery mendapat beberapa fasilitas, berupa mobil dan apartemen.
"Nona Elemery Desinton?" tanyanya sopan.
Mery mengangguk, "Mari Nona, saya utusan dari kantor pusat." ucapnya sopan.
"Terima kasih,"
Mobil itu melaju, membelah ibu kota yang ramai. Membuktikan bahwa kota ini adalah pentolan perekonomian negara. Sebagian besar perusahaan besar menempatkan kantor pusatnya di sini.
"Maaf, pak. Siapa anda?" tanya Mery tenang. Saat melihat arah yang sopir itu kendarai berlawanan arah dengan alamat apartemen.
Senyuman tipis, dapat Mery lihat melalui kaca spion.
"Cepat turunkan saya, belum mobil ini di kejar oleh polisi"
Segala ancaman Mery tidak di kubris. Mery mencoba tenang, walau sebenarnya hatinya cemas. Baru saja menginjakkan kaki sudah mendapat musibah.
"Sepertinya, anda orang yang cukup mempunyainya pondasi kuat" desis Mery melihat ketenangan sopirnya itu.
"Baiklah," desah Mery menyandarkan punggung nya pada kursi mobil yang empuk.
"Toh saya bukan wanita bodoh. Segeralah, karena saya juga ingin tahu apa tujuan tuan mu" Mery menutup mata. Seakan menunjukkan sikap biasa dan tenangnya.
Di lain tempat, orang itu tersenyum licik. Hatinya semakin yakin, bahwa pilihannya tidaklah salah.
"Segera datang, sayang. Aku merindukan mu"
BERSAMBUNG....
Matanya menyipit. Untuk memastikan lagi apa yang ia lihat, Mery sampai melepaskan kacamata hitam kebanggaannya itu. Tatapan sinis terpapang nyata untuk sopir yang telah menghantarnya ke sini.
"Jadi, bisa anda tunjukkan di mana tempat pertemuan saya dengan bos anda? Dan satu lagi, saya tidak minat untuk menjadi bahan mainan" dengusnya kesal.
Tak ada rasa minat dihati Mery. Menatap apartmen mewah di depannya. Mery bukan wanita yang suka dengan kemewahan, kecuali kemewahan itu dia dapat dengan kerja kerasnya sendiri. Benar, dia memang naik jabatan. Tapi, ya yang wajar saja. Apartemen elite ini sungguh bukan tunjangan dari perusahaan.
Mery tidak sebodoh itu. Dia sudah menyelidiki secara seksama.
"Sopir yang terhormat. Bisakah kau hubungi atek-atek mu" ucap Mery.
Dengan hormat sopir itu menunduk, "Saya pamit nona." ucapnya dingin dan datar. Persis seperti jalan tol.
Mulut Mery terbuka, secara lebar. "Tidak semudah itu. Jelaskan dulu! Atau aku lapor pada pihak berwajib. Ini kasus penculikan!" pekiknya.
"Tapi maaf sebelumnya nona, tugas saya hanya menghantar anda. Bukan untuk menjawab semua geruntuan anda. Tolong bijaklah."
"Lalu saya harus bertanya pada siapa?"
"Saya juga tidak salah. Memang kamu tidak ada tugas untuk menjawab pertanyaan saya. Tapi setidaknya waraslah sedikit. Kepada siapa lagi saya bertanya kecuali dengan anda? Tidak ada orang yang memiliki hubungan dengan masalah ini kecuali anda." hardik Mery.
"Dan juga, bagaimana saya bisa tenang disaat seperti ini? Saya baru saja akan memulai kerja. Tapi, sudah mendapat masalah dengan ketidaksamaan alamat apartemen. Kalau begini, mending saya mencari sendiri tempat tinggal! Saya juga merasa tidak aman di sini. Teknologi sudah canggih, kamera yang amat kecil pun bisa terpasang. Saya tidak suka di intai. Karena saya bukan buronan. Atau saya harus membunuh anda untuk mendapatkan kasus kriminal?" lanjut Mery kesal.
"Tuan besar, hanya ingin anda nyaman tinggal di Jakarta, Nona." jawabnya singkat.
"Itu saja yang bisa saya terangkan. Pertanyaan selanjutnya, bukan lagi urusan saya." dan sopir sombong itu pergi dari hadapan Mery.
"Memang siapa tuan besar anda? Sok tahu sekali tentang nyaman tidaknya kehidupan saya" dengus Mery. Tapi sayang, tidak ada gubrisan sama sekali.
Seakan sudah tidak ada gunanya bicara lagi dengan sopir itu. Mery akhirnya masuk ke dalam apartemen itu. Perjalanan dari Surabaya ke Jakarta sangat menguras energi Mery.
Mery juga ingin melihat dulu isi apartemen mewah ini. Letak apartemennya berada di lingkungan elite. Hanya orang-orang kaya saja yang bisa masuk. Satu kata saat Mery melihat apartemen itu, mewah dan elegant. Sesuai dengan keperibadian Mery.
Matanya melirik sekitar, tidak ada yang mencurigakan. Tentang CCTV, memang apartemen itu di lengkapi CCTV, bedanya CCTV itu sudah di hubungkan dengan Mery. Untuk keamanan. Benar-benar ketat sekali, batin Mery.
Kamar di apartemen itu hanya ada satu. Sisanya untuk dapur dan ruang tamu. Padahal tempat itu sangat luas, seperti sudah di desain untuk satu penghuni.
Mery merebahkan tubuhnya di ranjang, rasa kantuk kini menghampiri. Masalah ini, lebih baik langsung Mery tanyakan saat di kantor besok. Kejelasan ini harus jelas. Mery tidak suka dengan ketidakpastian.
***
Di kota lain.
Laki-laki itu menyilangkan kakinya, menatap langit-langit sore dari atas gedung kantor. Matanya tajam, aslinya tebal, bibirnya tipis dengan perawakan yang kekar. Kulitnya tak begitu putih, namun bersih. Saat cahaya matahari sore menghembuskan, kilaun matanya berwarna coklat pekat.
Tok.. Tok
"Masuk!"
"Tuan, saya sudah menghantar nona sampai tujuan." lapornya.
"Keluarlah," balasnya. Dan sang bawahan itu menunduk sebagai hormat lalu keluar dari ruangan itu.
Matanya terpejam, kenangan masa lalu membuat hatinya ngilu. Rasa rindu yang amat besar dia sematkan pada sosok Mery. Wanita yang dia cintai.
Namun, takdir memberi kehendak lain. Yang tidak disangka, membuatnya harus pergi meninggalkan Mery.
Kembalinya untuk mengambil Mery. Tapi, masalahnya keadaan sudah berbeda. Mery masih seorang gadis sedangkan dia seorang pria beristri.
Dreettt
"Halo sayang" suaranya terdengar merdu, membuat laki-laki itu tersenyum tipis.
"Ada apa?" tanyanya.
"Segeralah pulang, Papa sama Mama mau mampir ke sini. Dan juga, Bella merindukan ayahnya"
"Satu jam,"
"Okey, hati-hati sayangku yang sangat dingin ini"
Dan panggilan itu tertutup.
***
"KAU GILA MERY!" teriak Huble kesal setengah mati. Wajah merahnya terpapang memenuhi layar ponsel Mery.
Mery yang sedang memakai cream malam tersentak kaget.
"Suaramu bisa kau kecilkan?"
"Dasar kau sahabat lucnut! Aku galau-galau karena perceraian ku, kau malah naik jabatan. Dan sekarang! KAU PERGI TANPA AKU!" sentak Huble.
"Bisakah kau jelaskan Mery?"
"Tapi tunggu dulu! Kau itu juga keterlaluan! Kau anggap apa aku ini!? Tidak ada angin, tidak ada hujan! Tahu-tahu sudah jadi bu boss!"
"Dan kau tetap menjadi bawahan" ejek Mery tak bermaksud.
"Mery! Dasar perawan tua sombong!"
"Statusmu juga baru, Huble. Kita sama-sama naik jabatan"
"Benarkah? Mr.Boston tidak memberiku kabar. Posisimu dulu di berikan kepada Ertan, dan aku kini menjadi bawahan dari mantan ku, sial"
"Bukan, kau itu tidak nyambung sama sekali" dengus Mery.
"Bicara mu saja yang seperti bulu di ketek! Tipis, pendek, mungkler-mungkler dan tidak jelas!" balas Huble.
"Pantas! Kau tetap menjadi bawahan! Bodoh!"
"MERY!" teriak Huble kesal.
"Statusku sekarang menjadi bu boss, kau menjadi janda. Jabatanku naik, jabatanmu tidak naik tidak turun. Begitu saja bulet-bulet"
"SIALAN!" umpat Huble kesal. Dan mematikan sambungan Video Call tersebut.
Gelak tawa Mery terdengar merdu memenuhi kamarnya. Seraya mmeyisir rambut panjang bergelombangnya pelan. Mengejek Huble adalah suatu kebahagiaan tersendiri.
Wanita pendek, dengan pipi chuby. Huble sebenarnya sangat imut. Walau tidak secantik dirinya, tapi setidaknya Huble lebih friendly dan menyenangkan. Berbeda dengannya yang kaku, mulut pedas dan sombong. Keangkuhan seakan menjadi ciri khas Mery.
***
Keesokan paginya,
Sentuhan terakhir, yaitu memoleskan lipstik berwarna nude. Sekali lagi, Mery memastikan penampilannya. Kali ini rambut panjang itu tidak di gerai, tapi di sanggul membentuk bun. Dengan hiasan poni tipis yang sengaja Mery buat.
Celana panjang yang tidak begitu ketat, dengan atasan baju batik berwarna ungu. Hari ini adalah hari pertama Mery kerja. Yang kebetulan tepat tanggal memperingati hari batik nasional.
Dengan gaya yang anggun dan mempesona, Mery berjalan menuju lif. Tangan lentiknya begitu lincah menekan tombol-tombol penuh angka itu. Pintu akan tertutup, tapi terhalang satu orang yang memaksa masuk.
Seorang wanita dengan rambut pendek, dan kulit pucatnya. Wanita itu nampak menuntun seorang anak kecil perempuan.
"Maaf, nona. Saya tidak sopan." ucapnya pada Mery.
Mery mengangguk, sebagai balasan.
"Tante, cantik banget" puji anak itu menatap Mery.
Lamunan Mery terbuyar, menatap bocah kecil yang ada di depannya. Satu kata untuk bocah cilik itu, cantik dan imut.
"Terimakasih, untuk kamu yang lebih cantik"
"Aku cantik, Tan?" tanya bocah itu nemastikan.
Dengan mantap Mery mengangguk.
"Lihat lah, Ni. Aku ini cantik." ucapnya.
"Nona muda sejak dulu memang cantik."
"Aku juga tahu,Nani. Tapi kenapa Bunda mengatakan aku ini jelek? Rabun mata sepertinya bundaku itu"
"Nona muda.." peringat Naninya.
"Berapa umur mu?" tanya Mery yang ikut penasaran pada kesombongan bocah itu.
"Tujuh tahun," jawabnya lugu.
"Aku sudah besar, Tante cantik." lanjutnya.
"Jika kamu sendiri sudah mendeklamasikan bahwa dirimu sudah dewasa. Seharusnya pola pikirmu sudah dapat membedakan mana yang baik dan tidak, bukan?" tanya Mery.
"Seburuk apapun bundamu, jangan sampai mulut kecilmu itu melukai hatinya. Ingat itu gadis kecil yang manis" lanjut Mery, mengelus puncak kepalanya.
Nampak bocah itu mengangguk paham. "Terima kasih, Tante."
Mery tersenyum simpul. Pintu lif terbuka, sebelum keluar, Mery menepuk pelan bahu Nani gadis itu.
"Ajaran mu bagus. Pertahankanlah, bocah seumuran dia kadang memang begitu. Jangan sampai lembaran putih itu kotor. Siapa namanya?" tanya Mery.
"Terima kasih nona, nona muda bernama—"
Dreettt
"Hallo? Dengan Ibu Mery Desinton? Saya sopir taksi yang anda pesan. Apakah ibu jadi pergi? Karena saya sudah menunggu lama di loby"
"Saya sudah sampai loby, tunggu sebentar"
Tit
"Mari, saya permisi" pamit Mery.
"Hati-hati tante cantik" teriak bocah itu semangat.
"Nani, foto dia" perintah nona muda yang tak terbantahkan.
"Baik, Nona muda"
***
Exanta Group,
Lagi dan lagi Mery terasa takjub dengan gedung di depannya itu. Besar, mewah dan amat sangat tinggi. Seakan menjulang tinggi ke langit. Selain decakan kagum, tak ada lagi ungkapan untuk siatuasi saat ini.
Kedatanganya di sambut dengan baik oleh para calon bawahannya. Sedikit sambutan kecil dan pidato singkat Mery berikan. Dengan segala harapan juga Mery berikan, meminta mereka untuk bisa bekerja sama dan bersikap profesional.
"Terimakasih semua, besok kita akan mengadakan rapat untuk merubah sistem kerja kepemimpinan lama dengan yang baru." ucapnya tegas penuh kharisma.
"Baik, Miss"
Dan sekarang saatnya meminta penjelasan tentang apartemen mewah itu. Mery berjalan ke arah ruangan HR manager. Dengan bantuan dari sekertarisnya Mery mendapatkan alamat di mana ruangan itu berada.
"Copy semua laporan beberapa tahun yang lalu, letakkan di atas meja saya. Saya pergi sebentar,"
"Baik, Miss." dengan patuh wanita yang paruh baya yang cantik terawat itu menunduk hormat.
"Saya permisi, Miss"
Mery menjawab dengan anggukan.
BERSAMBUNG....
Sepi yaaa hehehe ^ω^
Gak papa :) yang penting Nana semangat nulisnya ≧∇≦
n: Kalau ada kesalahan penulisan atau informasi, mohon kritik dan saran yang bermutu nya 🙇♀ karena penulis sendiri masih proses belajar 🙏💖
Vote, Like, Komen dan beri dukungan penulis ya!
Thanks 🌺
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!