Follow IG : nagradr_
Follow juga akun Author di NotvelToon ya!
***
Alyssa Saufika atau yang biasa dipanggil Ify oleh keluarga tercinta.. 𝙂𝙖𝙙𝙞𝙨 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙞𝙡 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙢𝙞𝙡𝙞𝙠𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙮𝙪𝙢 𝙢𝙖𝙣𝙞𝙨 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 daguny𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙞𝙧𝙪𝙨 𝙞𝙩𝙪 𝙗𝙖𝙧𝙪 𝙗𝙚𝙧𝙪𝙨𝙞𝙖 18 𝙏𝙖𝙝𝙪𝙣. 𝘼𝙣𝙖𝙠 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙨𝙖𝙩𝙪-𝙨𝙖𝙩𝙪𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙥𝙖𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙐𝙢𝙖𝙧𝙞 𝙙𝙖𝙣 𝙁𝙞𝙠𝙖 𝙂𝙞𝙣𝙖𝙧𝙖 𝙞𝙩𝙪 𝙩𝙚𝙣𝙜𝙖𝙝 𝙢𝙚𝙣𝙟𝙖𝙟𝙖𝙠𝙠𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙠𝙞𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙞𝙗𝙖𝙣𝙜𝙠𝙪 𝙠𝙚𝙡𝙖𝙨 2 𝙎𝙈𝘼 𝙙𝙞 𝙎𝙈𝘼 𝙉𝙐𝙍𝘼𝙂𝘼. 𝙂𝙖𝙙𝙞𝙨 𝙥𝙞𝙣𝙩𝙖𝙧, 𝙖𝙠𝙩𝙞𝙛, 𝙣𝙮𝙤𝙡𝙤𝙩, 𝙘𝙚𝙧𝙚𝙬𝙚𝙩, 𝙩𝙖𝙥𝙞 𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙨𝙚𝙩𝙞𝙖 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙨𝙖𝙝𝙖𝙗𝙖𝙩 𝙖𝙩𝙖𝙪𝙥𝙪𝙣 𝙥𝙖𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖 𝙞𝙩𝙪 𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙗𝙚𝙣𝙘𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙣𝙖𝙢𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙥𝙚𝙣𝙜𝙠𝙝𝙞𝙖𝙣𝙖𝙩𝙖𝙣. 𝙄𝙖 𝙢𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙟𝙖𝙩𝙪𝙝 𝙘𝙞𝙣𝙩𝙖, 𝙣𝙖𝙢𝙪𝙣 𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙨𝙪𝙡𝙞𝙩 𝙢𝙚𝙢𝙖𝙖𝙛𝙠𝙖𝙣. 𝘼𝙥𝙖𝙡𝙖𝙜𝙞 𝙢𝙚𝙡𝙪𝙥𝙖𝙠𝙖𝙣.
Rio Stevano 𝙃𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜. 𝙋𝙧𝙞𝙖 𝙩𝙞𝙣𝙜𝙜𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 kulit wajah 𝙝𝙞𝙩𝙖𝙢 𝙢𝙖𝙣𝙞𝙨 𝙞𝙣𝙞 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙨𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙤𝙨𝙩 𝙬𝙖𝙣𝙩𝙚𝙙 𝙙𝙞 𝙎𝙈𝘼 𝙉𝙐𝙍𝘼𝙂𝘼. 𝘼𝙣𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙥𝙖𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙪𝙖𝙢𝙞 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝙀𝙫𝙖𝙣 𝙃𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙙𝙖𝙣 𝙈𝙖𝙣𝙙𝙖 𝙆𝙬𝙖𝙡𝙞𝙩𝙖𝙨 𝙞𝙣𝙞 𝙢𝙚𝙢𝙞𝙡𝙞𝙠𝙞 𝙨𝙖𝙪𝙙𝙖𝙧𝙖 𝙡𝙖𝙠𝙞-𝙡𝙖𝙠𝙞 𝙗𝙚𝙧𝙣𝙖𝙢𝙖 𝘼𝙡𝙫𝙞𝙣 yang s𝙖𝙢𝙖-𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙨𝙚𝙠𝙤𝙡𝙖𝙝 𝙙𝙞 𝙎𝙈𝘼 𝙉𝙐𝙍𝘼𝙂𝘼. 𝙎𝙞𝙠𝙖𝙥𝙣𝙮𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙠𝙖𝙙𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣, 𝙘𝙪𝙚𝙠, 𝙙𝙖𝙣 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙩𝙖𝙠 𝙥𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞 𝙨𝙚𝙠𝙞𝙩𝙖𝙧𝙣𝙮𝙖 𝙞𝙩𝙪 𝙩𝙚𝙧𝙣𝙮𝙖𝙩𝙖 𝙗𝙞𝙨𝙖 𝙪𝙨𝙞𝙡 𝙟𝙞𝙠𝙖 𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙗𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙥𝙖𝙧𝙖 𝙨𝙖𝙝𝙖𝙗𝙖𝙩𝙣𝙮𝙖.
𝘼𝙡𝙫𝙞𝙣 Steven Haling. 𝙎𝙖𝙪𝙙𝙖𝙧𝙖 Rio Stevano. 𝙏𝙚𝙧𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙨𝙚𝙥𝙚𝙧𝙩𝙞 𝙡𝙖𝙣𝙜𝙞𝙩 𝙙𝙖𝙣 𝙗𝙪𝙢𝙞 𝙗𝙪𝙠𝙖𝙣? Bagaimana tidak jika kulit wajah Alvin yang putih berseri itu justru berbanding terbalik dengan Rio. 𝙄𝙩𝙪𝙡𝙖𝙝 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙙𝙞𝙠𝙖𝙩𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙥𝙖𝙧𝙖 𝙛𝙖𝙣𝙨𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙞𝙨𝙚𝙠𝙤𝙡𝙖𝙝 𝙟𝙞𝙠𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙩𝙚𝙢𝙪 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙙𝙪𝙤 𝙃𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙨𝙚𝙗𝙪𝙩. 𝘿𝙞𝙖 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙪𝙨𝙞𝙡, 𝙟𝙪𝙜𝙖 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙙𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣. 𝘿𝙞𝙖 𝙥𝙚𝙙𝙪𝙡𝙞, 𝙗𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙝𝙖𝙡 𝙨𝙚𝙠𝙚𝙘𝙞𝙡 𝙖𝙥𝙖𝙥𝙪𝙣 𝙞𝙩𝙪.
𝙎𝙞𝙫𝙞𝙖 Soekamto Tanesya. 𝘼𝙣𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙥𝙖𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙪𝙖𝙢𝙞 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝘼𝙯𝙞𝙯 Soekamto 𝙙𝙖𝙣 𝙈𝙖𝙮𝙖 𝙏𝙖𝙣𝙚𝙨𝙮𝙖 𝙞𝙣𝙞 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙨𝙖𝙝𝙖𝙗𝙖𝙩 𝙄𝙛𝙮. 𝙂𝙖𝙙𝙞𝙨 𝙥𝙚𝙧𝙞𝙖𝙣𝙜, 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙣𝙮𝙪𝙢 𝙢𝙖𝙣𝙞𝙨 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙖𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙖𝙠 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙟𝙞𝙠𝙖 𝙩𝙚𝙧𝙨𝙚𝙣𝙮𝙪𝙢 𝙞𝙣𝙞 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙠𝙚𝙠𝙖𝙨𝙞𝙝𝙣𝙮𝙖 𝘼𝙡𝙫𝙞𝙣.
𝙍𝘼𝙃𝘼𝙎𝙄𝘼 𝙊𝙍𝙄𝙊𝙉 ~
𝙍𝙖𝙝𝙖𝙨𝙞𝙖. 𝙅𝙞𝙠𝙖 𝙨𝙚𝙗𝙪𝙖𝙝 𝙠𝙚𝙟𝙖𝙙𝙞𝙖𝙣 𝙖𝙩𝙖𝙪 𝙠𝙚𝙣𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣 𝙙𝙞𝙠𝙪𝙗𝙪𝙧 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢-𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙩𝙖𝙣𝙥𝙖 𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙗𝙖𝙩𝙠𝙖𝙣 𝙨𝙞𝙖𝙥𝙖𝙥𝙪𝙣, 𝙠𝙚𝙘𝙪𝙖𝙡𝙞 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙖𝙟𝙖.
𝙊𝙧𝙞𝙤𝙣. 𝙈𝙪𝙣𝙜𝙠𝙞𝙣 𝙟𝙞𝙠𝙖 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙨𝙚𝙣𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙖𝙩𝙖𝙪 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙖𝙞𝙣 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙗𝙞𝙨𝙖 𝙙𝙞𝙥𝙚𝙧𝙘𝙖𝙮𝙖 𝙡𝙖𝙜𝙞, 𝙖𝙡𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖𝙝 𝙡𝙚𝙗𝙞𝙝 𝙗𝙖𝙞𝙠𝙣𝙮𝙖 𝙟𝙞𝙠𝙖 𝙨𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙧𝙖𝙝𝙖𝙨𝙞𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙞𝙣𝙜𝙞𝙣 𝙙𝙞𝙠𝙚𝙩𝙖𝙝𝙪𝙞 𝙨𝙞𝙖𝙥𝙖𝙥𝙪𝙣 𝙞𝙩𝙪 𝙙𝙞𝙨𝙞𝙢𝙥𝙖𝙣 𝙨𝙖𝙟𝙖 𝙤𝙡𝙚𝙝 𝙨𝙚𝙢𝙚𝙨𝙩𝙖. 𝙊𝙡𝙚𝙝 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙣𝙘𝙞𝙥𝙩𝙖.
𝘽𝙞𝙖𝙧𝙠𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙡𝙖𝙡𝙪, 𝙩𝙚𝙧𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙖𝙥𝙖 𝙖𝙙𝙖𝙣𝙮𝙖. 𝙅𝙞𝙠𝙖 𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙬𝙖𝙠𝙩𝙪𝙣𝙮𝙖, 𝙢𝙖𝙠𝙖 𝙨𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙠𝙪𝙗𝙪𝙧, 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙘𝙪𝙖𝙩 𝙨𝙚𝙨𝙪𝙖𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙖𝙡𝙪𝙧𝙣𝙮𝙖. 𝙏𝙪𝙜𝙖𝙨 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙖𝙙𝙖𝙡𝙖𝙝, 𝙢𝙚𝙣𝙮𝙞𝙖𝙥𝙠𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙩𝙖𝙡 𝙪𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙨𝙚𝙡𝙖𝙡𝙪 𝙝𝙞𝙙𝙪𝙥 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙠𝙚𝙬𝙖𝙧𝙖𝙨𝙖𝙣.
19 𝚝𝚊𝚑𝚞𝚗 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚕𝚊𝚕𝚞 ~
"𝘼𝙠𝙪 𝙢𝙖𝙪 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙥𝙞𝙨𝙖𝙝!" S𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙬𝙖𝙣𝙞𝙩𝙖 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙧𝙖𝙢𝙗𝙪𝙩 𝙨𝙚𝙗𝙖𝙝𝙪𝙣𝙮𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙩𝙖𝙥 𝙩𝙚𝙜𝙖𝙨 𝙥𝙖𝙙𝙖 𝙡𝙚𝙡𝙖𝙠𝙞 𝙙𝙞𝙝𝙖𝙙𝙖𝙥𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖. 𝙆𝙚𝙙𝙪𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙩𝙚𝙜𝙖𝙣𝙜, 𝙢𝙖𝙩𝙖 𝙨𝙖𝙡𝙞𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙡𝙤𝙩𝙤𝙩, 𝙙𝙖𝙣 𝙪𝙧𝙖𝙩-𝙪𝙧𝙖𝙩 𝙡𝙚𝙝𝙚𝙧 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙣𝙚𝙜𝙖𝙣𝙜.
"𝘼𝙠𝙪 𝙗𝙞𝙨𝙖 𝙟𝙚𝙡𝙖𝙨𝙠𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙚𝙡𝙖𝙠𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙨𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙞𝙣𝙞. 𝘼𝙠𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙢𝙖𝙪 𝙥𝙞𝙨𝙖𝙝 𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙠𝙖𝙢𝙪!"
"𝘼𝙠𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙗𝙪𝙩𝙪𝙝 𝙥𝙚𝙣𝙟𝙚𝙡𝙖𝙨𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙢𝙖𝙨! 𝙎𝙚𝙢𝙪𝙖 𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙟𝙚𝙡𝙖𝙨. 𝙏𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙖𝙙𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙧𝙡𝙪 𝙙𝙞𝙥𝙚𝙧𝙟𝙚𝙡𝙖𝙨 𝙡𝙖𝙜𝙞. 𝙎𝙞𝙡𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙥𝙞𝙡𝙞𝙝, 𝙖𝙠𝙪 𝙖𝙩𝙖𝙪 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙣𝙜𝙠𝙖𝙩 𝙠𝙖𝙠𝙞 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙧𝙪𝙢𝙖𝙝 𝙞𝙣𝙞!"
"𝙏𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙖𝙙𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙧𝙜𝙞 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙧𝙪𝙢𝙖𝙝 𝙞𝙣𝙞! 𝘽𝙪𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙪, 𝙖𝙩𝙖𝙪𝙥𝙪𝙣 𝙠𝙖𝙢𝙪. 𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙧 𝙞𝙩𝙪!"
𝙒𝙖𝙣𝙞𝙩𝙖 𝙞𝙩𝙪 𝙨𝙚𝙢𝙖𝙠𝙞𝙣 𝙢𝙚𝙡𝙤𝙩𝙤𝙩. 𝙏𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙚𝙥𝙖𝙡. 𝙄𝙖 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙣𝙟𝙖𝙠 𝙢𝙚𝙣𝙞𝙣𝙜𝙜𝙖𝙡𝙠𝙖𝙣 𝙡𝙚𝙡𝙖𝙠𝙞 𝙙𝙞𝙝𝙖𝙙𝙖𝙥𝙖𝙣𝙣𝙮𝙖 𝙢𝙚𝙣𝙪𝙟𝙪 𝙠𝙖𝙢𝙖𝙧𝙣𝙮𝙖. 𝙎𝙖𝙣𝙜 𝙡𝙚𝙡𝙖𝙠𝙞 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙖𝙨𝙞𝙝 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙚𝙣𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙥𝙖𝙠𝙖𝙞𝙖𝙣 𝙠𝙚𝙧𝙟𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙞𝙩𝙪 hanya bisa 𝙢𝙚𝙣𝙜𝙝𝙚𝙢𝙗𝙪𝙨𝙠𝙖𝙣 𝙣𝙖𝙛𝙖𝙨𝙣𝙮𝙖 𝙨𝙚𝙘𝙖𝙧𝙖 𝙠𝙖𝙨𝙖𝙧.
"𝙎𝙞𝙖𝙡𝙖𝙣! 𝙆𝙚𝙣𝙖𝙥𝙖 𝙟𝙖𝙙𝙞 𝙗𝙚𝙜𝙞𝙣𝙞!?" U𝙢𝙥𝙖𝙩𝙣𝙮𝙖 tertahan.
𝙄𝙖 𝙢𝙚𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙞𝙨𝙩𝙧𝙞 𝙠𝙚𝙡𝙪𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙠𝙖𝙢𝙖𝙧𝙣𝙮𝙖 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙣𝙚𝙣𝙩𝙚𝙣𝙜 𝙨𝙚𝙗𝙪𝙖𝙝 𝙠𝙤𝙥𝙚𝙧 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙖𝙬𝙖 𝙨𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙖𝙮𝙞 𝙡𝙖𝙠𝙞-𝙡𝙖𝙠𝙞.
"𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙢𝙖𝙪 𝙠𝙚𝙢𝙖𝙣𝙖?" T𝙖𝙣𝙮𝙖𝙣𝙮𝙖 dengan perasaan 𝙜𝙪𝙨𝙖𝙧. 𝙄𝙖 𝙨𝙖𝙣𝙜𝙖𝙩 𝙩𝙖𝙠𝙪𝙩 𝙙𝙞𝙥𝙞𝙨𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙖𝙣𝙖𝙠𝙣𝙮𝙖.
"𝘼𝙠𝙪 𝙠𝙖𝙣 𝙨𝙪𝙙𝙖𝙝 𝙗𝙞𝙡𝙖𝙣𝙜, 𝙠𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙖𝙠𝙪 𝙢𝙖𝙪 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙥𝙞𝙨𝙖𝙝!"
"𝙏𝙤𝙡𝙤𝙣𝙜 𝙟𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙗𝙚𝙜𝙞𝙣𝙞. 𝘼𝙠𝙪 𝙢𝙤𝙝𝙤𝙣."
"𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙪𝙖𝙩 𝙖𝙠𝙪 𝙗𝙚𝙜𝙞𝙣𝙞 𝙈𝙖𝙨. 𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙩𝙚𝙜𝙖 𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙖𝙠𝙪!"
"𝙄𝙣𝙞 𝙝𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙨𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙝𝙖𝙢! 𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙨𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙥𝙖𝙝𝙖𝙢 𝙨𝙖𝙢𝙖 𝙖𝙠𝙪!"
"𝙎𝙪𝙙𝙖𝙝𝙡𝙖𝙝. 𝘼𝙠𝙪 𝙩𝙚𝙩𝙖𝙥 𝙢𝙖𝙪 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙥𝙞𝙨𝙖𝙝. 𝙆𝙖𝙡𝙖𝙪 𝙠𝙖𝙢𝙪 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙢𝙖𝙪 𝙥𝙚𝙧𝙜𝙞, 𝙗𝙞𝙖𝙧 𝙖𝙠𝙪 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙥𝙚𝙧𝙜𝙞."
"𝙆𝙖𝙢𝙪 𝙗𝙤𝙡𝙚𝙝 𝙥𝙚𝙧𝙜𝙡, 𝙩𝙖𝙥𝙞 𝙟𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙗𝙖𝙬𝙖 𝙙𝙞𝙖." 𝙇𝙚𝙡𝙖𝙠𝙞 𝙞𝙩𝙪 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙩𝙖𝙥 𝙗𝙖𝙮𝙞 𝙙𝙞𝙜𝙚𝙣𝙙𝙤𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙞𝙨𝙩𝙚𝙧𝙞.
"𝘿𝙞𝙖 𝙖𝙣𝙖𝙠𝙠𝙪! 𝘼𝙠𝙪 𝙥𝙪𝙣𝙮𝙖 𝙝𝙖𝙠 𝙖𝙩𝙖𝙨 𝙙𝙞𝙖!"
"𝙆𝙪𝙢𝙤𝙝𝙤𝙣, 𝙟𝙖𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙧𝙜𝙞."
𝙋𝙧𝙞𝙖 𝙞𝙩𝙪 𝙗𝙚𝙧𝙨𝙞𝙢𝙥𝙪𝙝 𝙙𝙞𝙠𝙖𝙠𝙞 𝙨𝙖𝙣𝙜 𝙬𝙖𝙣𝙞𝙩𝙖 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙚𝙧𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩 𝙢𝙚𝙣𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙩𝙖𝙣𝙜𝙞𝙨𝙣𝙮𝙖 𝙖𝙜𝙖𝙧 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙥𝙚𝙘𝙖𝙝 𝙨𝙖𝙖𝙩 𝙞𝙩𝙪 𝙟𝙪𝙜𝙖. Entah apa yang menjadi pemicu pertengkaran dua insan tersebut hingga harus berpisah dan memisahkan anak dari satu sama lain..
"𝙆𝙪𝙢𝙤𝙝𝙤𝙣, 𝙢𝙖𝙖𝙛𝙠𝙖𝙣 𝙖𝙠𝙪."
𝙱𝙴𝚁𝚂𝙰𝙼𝙱𝚄𝙽𝙶...
"Rio!" Ruang tamu disebuah rumah mewah seperti mansion itu terdengar menggema setelah Alvin meneriaki saudaranya yang tak kunjung keluar dari kamar. Padahal mereka sudah hampir telat pergi ke Sekolah pagi ini.
"Berisik lo!" Umpat Rio sambil menuruni anak tangga dengan sedikit berlari. Dipundaknya tersampir tas hitam yang membawakan buku-bukunya.
"Kalian nggak sarapan dulu?" tanya Manda dari meja makan tak jauh dari tempat Rio dan Alvin berada. Kepalanya sedikit melongok agar terlihat oleh kedua anaknya yang masih berdebat kecil.
"Nanti aja Ma disekolah." Pungkas Alvin kemudian menyeret Rio keluar menuju mobilnya berada.
Rio dan Alvin bergegas menuju SMA NURAGA untuk memulai aktivitasnya sebagai pelajar. 2 minggu libur setelah kenaikan kelas sudah mereka lewati dengan berlibur kepuncak bersama teman-temannya, juga keluarga kecilnya. Dan kini mereka sudah akan memulai hari baru dikelas 3 SMA.
"Alvin, Rio!"
Kedua pria tampan berbeda warna kulit itu menoleh saat namanya merasa terpanggil. Terlihat gadis pendek nan sedikit berisi berlari kecil disepanjang koridor menghampiri mereka yang sudah tepat didepan pintu kelas. Rambut panjangnya berayun kesana kemari seiring gerakannya yang berlari kecil.
"Kenapa Vi?" Tanya Alvin menatap lekat pada sang gadis.
"Kalian tau nggak sih, nanti itu ada murid baru dikelas kita. Katanya sih dari Bandung." Ucap Sivia bersemangat. Gadis itu selalu senang jika ada seorang murid baru yang smikut bergabung di SMA NURAGA. Barangkali mereka bisa menjadi teman akrab bukan?
"Nggak penting banget deh Via." Ucap Rio sambil berlalu masuk kedalam kelas. Mulutnya sedikit ia cebikkan agar membuat Sivia kesal.
"Hih, nyebelin." Gerutu Sivia menatap kesal pada pemuda yang memiliki gingsul disisi kanan dan kiri giginya.
Alvin yang melihat Sivia mengerucutkan bibirnya pun mencubit pelan hidung Sivia karena gemas, kemudian berlalu menuju kelas bersama.
Sivia dan Alvin memang seperti sepasang kekasih, meski kenyataannya mereka hanyalah seorang sahabat. Sering terlihat berdua saja tanpa sahabatnya yang lain membuat mereka disangka-sangka telah menjalin asmara dibelakang para sahabatnya alias backstreet.
***
Mini. Seorang guru galak nan gendut itu berjalan didepan kelas sembari menenteng buku pelajaran. Sunyi senyap tanpa suara. Karena jika sekali saja siswa atau siswi berbicara, maka semakin murka saja guru yang sangat dibenci semua siswa dikelas itu. Yang menjadi sorotan para siswa atau siswi dikelas tersebut bukanlah guru yang menyebalkan bagi mereka itu, akan tetapi seorang gadis mungil berdagu tirus dibelakang sang guru lah yang menjadi sorotan pagi ini.
"Pagi anak-anak." Guru itu menyapa dengan suara lantang serta sorot mata yang sangat tajam. Menyapu kearah seluruh anak didiknya yang selalu diam selagi wanita paruh baya itu berbicara.
"Pagi Bu!" Sorak para siswa dan siswi secara serentak.
"Saya membawa teman baru yang akan menjadi teman kalian dikelas ini. Saya harap kalian bisa menerima gadis ini dengan baik. Jangan ada yang saling bully membully karena saya benar-benar akan menghukum kalian jika ada kekerasan didalam kelas ini." Pesan Mini kepada anak didiknya.
"Perkenalkan dirimu nak." Ucapnya pada seorang gadis disampingnya dengan lembut.
"Selamat pagi semuanya. Perkenalkan nama saya Alyssa Saufika. Panggil saja Ify.. Saya pindahan dari Bandung." Ucap gadis yang dibawa Mini tersebut. Dengan senyum manis mengembang tentunya, menyapa teman-teman barunya yang diharap akan berbaik hati kepadanya.
"Apa ada yang mau bertanya?" Tanya Mini menyapukan pandangannya ke seluruh penjuru kelas.
"Silahkan, Rio." Melihat Rio yang langsung mengangkat jari jemarinya keatas, Mini tak membuang waktu lagi untuk segera mempersilahkan Rio bertanya apa yang ingin ia tanyakan.
"Kenapa nama Lo nggak nyambung? Harusnya Lo dipanggil Lyssa atau Fika. Kenapa nyelonong jadi ke Ify?" Tanyanya setengah mengejek. Seisi kelas tertawa karena ucapan Rio. Namun tidak dengan Mini dan Ify tentunya. Matanya tajam sekali menatap Rio, seraya berdecih. Mulutnya sudah komat kamit menyumpahi Rio dengan sumpah serapah seisi kebun binatang. Bahkan untuk menjawab pertanyaan Rio saja, gadis cantik itu enggan.
"Rio, kamu mau saya hukum?" Tanya Mini dengan mata yang semakin melotot. Sudah hafal sekali dengan gelagat Rio yang selalu usil kepada siapapun.
"Nggak Bu. Saya maunya dicintai Ibu saja." Kembali seisi kelas tertawa. Kali ini, Mini pun ikut tertawa meski hanya sebentar. Ia kembali mengulum senyumnya lalu memasang wajah galaknya.
"Baiklah ify, silahkan kamu duduk disebelah Alvin. Dan Rio, kamu pindah ya disebelah Shilla." Rio mendelik sembari melebarkan mulutnya.
"Apa sih Bu, nggak bisa dong. Ify aja yang duduk sama Shilla. Kan sama-sama cewek." Kilah Rio karena tak mau dipindah. Ia sudah terlalu nyaman dengan bangkunya yang sekarang.
"Jangan membantah!"
Kini giliran Rio yang berdecih. Ia terpaksa duduk dibelakang Alvin, disamping Shilla. Memang Shilla sahabatnya, tetap saja ia harus meninggalkan bangkunya yang nyaman tersebut.
"Silahkan duduk, Ify."
ify berjalan pelan dan duduk disamping Alvin yang menatapnya datar. Lalu tersenyum. Akhirnya ify pun ikut tersenyum karena melihat senyum Alvin, yang menurutnya sangat familiar diwajahnya.
"Awas lo ya, udah ngrebut tempat duduk Gue." Bisik Rio dari belakang. Ify hanya melirik malas. Tak mau meladeni lebih. Lebih tepatnya ia masih malas mencari gara-gara dengan siapapun itu.
***
Lonceng istirahat sudah terdengar. Mini pun mengakhiri jam mata pelajarannya lalu melenggang keluar setelah mengucapkan salam kepada anak didiknya.
Sivia dengan semangat menggandeng 1 sahabatnya menghampiri tempat duduk ify dan Shilla yang terlihat sudah bercengkrama dengan akrab.
"Hai Fy, gue Sivia." Ucapnya sembari mengulurkan tangan. Senyumnya merekah sempurna, hingga terlihat dua lesung pipi di kiri dan kanan.
"Hai Sivia." Uap ify tersenyum senang. Akhirnya, ada juga yang mau berbaik hati mengajaknya berkenalan.
"Gue Agni."
"Gue Shilla."
Mereka berempat bercengkrama didalam kelas seolah mereka sudah mengenal lama. Jika mengenal orang asing namun satu frekuensi, tidaklah berat jika hanya berakrab ria dan bercanda bersama.
"Ayo ke kantin!." Ajak Shilla dengan pandangan sendu. Perutnya sudah sangat keroncongan sejak pagi tadi karena tak memakan apapun dari rumah.
Mengangguk setuju, akhirnya empat gadis manis itu pun pergi ke kantin.
Baru saja menginjakkan kaki di ambang pintu kantin, Sivia sudah melihat lambaian tangan Alvin untuk ikut duduk di bangkunya. Dengan semangat 45 Sivia langsung menggandeng 3 sahabatnya menuju bangku Alvin yang juga terdapat 3 pria tampan termasuk Rio didalamnya, membuat Ify memanyunkan bibirnya tak suka. Bahkan gadis itu memutar bola mata jengah.
"Hai, gue bawa temen baru nih." Ucap Sivia memperkenalkan Ify pada Cakka dan Gabriel. Jelas saja harus perkenalan, karena kelas mereka berbeda.
"Hai, gue Gabriel dan ini Cakka."
ify menyambut hangat uluran tangan mereka satu persatu.
"Yaudah, mari duduk. Gue mau pesen bakso dulu. Kalian mau nitip nggak?" Ucap Agni menatap ketiga sahabat perempuannya.
"Samain aja Ag." Sahut Shilla yang sudah terlebih dulu disuapi Gabriel karena memang mereka sepasang kekasih. Mengumbar kemesraan di Sekolah bukanlah kali pertamanya mereka melakukan hal tersebut.
Agni pergi meninggalkan mereka lalu memesan sebuah bakso, minum untuknya dan juga teman-temannya.
"Kalian pacaran ya?" Tanya ify menatap Shilla dan Gabriel secara bergantian.
"Hehe iya Fy." Sahut Gabriel terkekeh ringan. ify hanya menganggukkan kepalanya, memahami sepasang kekasih dihadapan yang mungkin saja memang sedang dimabuk asmara.
"Kalau Cakka, pacarnya siapa?" Tanya ify, jengah menatap pada kemesraan Shilla dan Gabriel hingga memutuskan obrolan ringan yang lain.
"Kenapa? Lo suka sama Cakka?" Rio mendahului Cakka berbicara. Menatap pada gadis berambut hutam legam tersebut.
"Enggak. Gue cuma nanya."
"Agni pacar gue Fy." Jawab Cakka.
"Kalo Sivia, pacarnya Alvin apa Rio?" Tanya ify lagi, membuat Rio membatin. Seperti sedang sensus penduduk saja.
"Kepo banget sih Lo." Ucap Rio dengan ketus. Baginya, Ify ini sangat cerewet. Padahal ia mengira bahwa Ify adalah seseorang yang pendiam seperti kulkas. Enak diejek karena tidak akan melawan atau membantah jika harus menjadi babunya nanti.
"Terserah gue lah. Mulut-mulut gue juga." Sewot ify mulai berani menatap pada sorot mata elang milik pemuda hitam manis tersebut.
"Tapi berisik! Gue mau makan keganggu sama Lo!" Ucap Rio mulai menaikkan intonasi bicaranya.
"Ya kalau keganggu pergi. Lo kan punya kaki."
"Yang duluan disini itu gue. Harusnya elo yang nggak usah kesini."
"Gue kesini diajak. Bukan datang sendiri."
Rio dan Ify tengah menjadi pusat perhatian di seluruh penjuru kantin. Ada yang iri, ada yang gemas, ada yang cemburu, ada yang sok ilfil terlebih pada ify karena sok dekat dengan most wanted seperti Rio. Lagipula, mana Ify tahu jika pemuda yang menyebalkan baginya itu adalah kecintaan pada siswi-siswi di SMA tersebut.
"Gue nggak pacaran sama siapapun diantara mereka Fy." Ucap Sivia menengahi. Tak mau semakin panjang perdebatan antara dua anak manusia yang memiliki sifat egois sama tingginya tersebut.
Kemudian, Ify hanya menganggukkan kepalanya mengerti.
Setelah Agni datang membawa nampan yang berisi bakso dan juga minuman, mereka pun makan dengan sunyi tanpa berbicara. Terlebih Rio dan Ify yang masih memendam kejengkelen antara satu sama lain.
'Awas aja, habis Lo sama Gue.' Batin seseorang menatap tajam kepadw Ify.
𝘽𝙀𝙍𝙎𝘼𝙈𝘽𝙐𝙉𝙂...
Semesta memang adil. Setiap yang menyakiti, pasti akan tersakiti. Dan semua yang tersakiti, kelak akan mendapatkan kebahagiaannya. 𝙆𝙖𝙧𝙢𝙖 𝙢𝙚𝙢𝙖𝙣𝙜 𝙩𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙥𝙚𝙧𝙣𝙖𝙝 𝙨𝙖𝙡𝙖𝙝 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩, 𝙗𝙪𝙠𝙖𝙣?
Bel pulang sudah berbunyi. Gabriel dan Cakka menghampiri sang sahabat dikelasnya karena kelas Rio dan Alvin berbeda dengan mereka. Entahlah, empat sahabat yang seharusnya lengket bagai amplop dan perangko itu harus terpisah saat memasuki kelas 3 SMA. Sangat disayangkan karena kekonyolan merekalah yang menjadi pusat perhatian setiap kelas.
"Rio, gue duluan ya. Ada urusan. Lo pulang sendiri bawa mobilnya." Ucap Alvin sembari berlalu menghampiri Cakka dan Gabriel.
"Kalian mau kemana?" Tanya Rio menatap ketiga sahabatnya. Heran, karena tak biasanya ia dilupakan seperti itu.
"Mau ke toko buku."
"Kok gue nggak diajak?"
"Lo kan nggak suka toko buku. Ngapain kesana? Udah, pulang sana. Lagian kita mau sama Shilla sama Agni juga." Jawab Alvin menjelaskan.
"Gue ikut dong." Ucap Sivia sembari berlari kecil menghampiri sahabatnya.
"Ya udah boleh." Jawab Gabriel menganggukkan kepalanya.
Rio hanya bisa memajukan bibirnya karena ditinggal sahabatnya. Benar juga, jika ia memaksakan ikut dengan sahabatnya, yang ada ia hanya akan menjadi obat nyamuk nantinya. Lebih baik pulang, lalu ia istirahat didalam selimut hangat.
"Ify, lo mau ikut ke toko buku nggak?" Tanya Shilla kepada sahabat barunya. Berharap ify mau bersamanya.
"Enggak Shill, gue mau buru-buru pulang. Ada kerjaan soalnya." Ucap ify tersenyum kecil sembari terus mengenmas barang-barangnya kedalam tas.
"Sok sibuk." Ketus Rio begitu saja, tanpa mau menatap Ify. Namun yang disindir pun hanya diam tak mau ambil pusing.
"Oke deh."
Shilla dan sahabatnya pergi meninggalkan Ify dan Rio yang tersisa dikelas. Semua sudah keluar, menuju alam bebas yang terasa sangat sejuk sore ini. Angin segar menerpa dedaunan hingga sepoi-sepoi dirasa.
"Rio, rumah lo dimana?" Tanya ify saat Rio melintasi bangkunya. Ia sudah selesai memasukkan semua buku-bukunya.
"Kenapa? Lo mau nebeng?" Rio menatap dengan sarkastik. Langsung saja tanpa basa-basi ia bisa menebak ucapan gadis mungil disampingnya ini.
"Iya, tau aja sih Lo." Ify memamerkan kawat gigi yang terpasang rapi dan epic di gigi putihnya.
"Lo kan baru kenal gue tadi pagi, Lo nggak takut gue culik? Terus gue bawa ke rumah kosong, terus gue bunuh lo di sana. Lo nggak takut emangnya?" Pancing Rio. Ia menatap Ify dari atas hingga bawah. Yang ditatap malah memutar bola mata jengah.
"Enggak. Kebanyakan nonton sinetron emak-emak lo. Makanya pikiran lo jelek terus kayak gitu. Ayo, gue buru-buru." ajak Ify sembari terus menarik lengan Rio menuju parkiran mobil. Rio hanya menurut saja, membiarkan lengannya ditarik begitu saja. Ada sedikit debaran dihati Rio saat Ify memegang bagian tubuhnya. Rasa yang sudah lama sekali tidak ia rasakan. Namun, bukankah seperti itu jika seseorang yang baru bertemu langsung akrab begitu saja?
Seseorang melihat kejadian itu, dimana ify menarik lengan Rio menuju parkiran mobil. Matanya sedikit nanar. Pandangannya tak pernah beralih sedetikpun dari kedekatan Ify dan Rio sejak pagi tadi. Entah itu dikantin, ataupun saat ini.
"Apa mungkin Rio udah lupa sama gue? Wanita itu siapa? Pacarnya Rio kah?" Batinnya menatap pilu.
***
Didalam mobil yang didesain sangat mewah ini, hanya keheningan yang tercipta. Ify maupun Rio tidak ada yang bersuara. Gadis cantik itu masih berkutat dengan otak dan pikirannya. Beberapa saat yang lalu, saat ia tengah mengemas buku-buku pelajarannya, ponselnya berdering dan menampilkan notifikasi dari Auri. Asisten rumah tangga dirumahnya, memberitahu bahwa Ibunya tidak bisa keluar rumah dan menjemputnya. Ada apa dengan ibunya hingga ia tidak dijemput sekolah? Begitulah pikiran Ify hingga ia mengepalkan tangannya dan melayangkan tinju di dasbor mobil milik Rio, tanpa sadar tentunya.
Hatinya begitu membara membayangkan apa yang terjadi dengan Ibunya. Jika wanita paruh baya yang sudah melahirkannya itu sampai tidak bisa menjemputnya, berarti ada sesuatu yang terjadi dirumah dan itu bukan hal biasa.
Brakk!!
"Sialan!" Umpatnya begitu menggebu-gebu. Sorot matanya begitu tajam menatap kearah jendela.
"Heh lo ngerusak mobil gue!" Cecar Rio masih dengan harus kefokusan menyetir, sesekali tangan satunya mengelus dasbor yang ditinju oleh sang gadis.
Yang dicecar hanya menatap sekali kemudian beralih lagi menatap jendela. Jika saja pikirannya tidak melayang pada Ibunya, ia pasti akan menaiki Bis meski harus terjebak macet beberapa jam lamanya.
"Maaf gue nggak sengaja." Ucap sang gadis dengan raut wajah datar.
Rio hanya mendengus kesal mendengar penuturan ify. Sepertinya gadis itu sedang ada masalah. Maka dari itu, Rio lebih memilih untuk diam beberapa saat. Biarlah jika dasbor mobilnya rusak, meski sedikit tak percaya jika tangan kurus milik Ify mampu merusak dasbor mahal tersebut.
"Dimana rumah lo?" Tanya Rio, masih dengan raut wajah yang kesal. Membuat Ify sedikit merasa bersalah menatapnya.
"Caruban."
"Caruban itu luas. Rumah gue juga di Caruban. Sebelah mana?" Kesal Rio.
"Anu, itu, masuk komplek 8A terus nanti gue kasih tahu rumahnya."
Rio hanya mengangguk. Sepertinya ia tau bahwa ify tidak fokus. Biarkan saja dulu. Yang penting ia mengantar Ify sampai dirumahnya.
***
Mobil Rio sudah berhenti tepat didepan rumah Ify. Namun ify masih enggan turun dari mobil Rio. Pemuda itu pun masih membiarkan ify hingga gadis itu sendiri yang turun dari mobilnya. Sesekali bersiul karena bingung dengan keadaan. Keduanya masih sama-sama diam. Hembusan nafas terdengar kasar dari nafas Ify, membuat Rio menoleh.
Rio mendengar dengan jelas bahwa kedua orang tua ify bertengkar hebat didalam rumah mewah, megah, nan besar tersebut. Itu sebabnya ia tidak mau berbicara apapun, ia takut menyinggung perasaan ify. Biarkan Ify nanti yang berbicara lebih dulu. Sedikit menghargai, meski awal perkenalan mereka tadi pagi tidaklah baik untuk ditiru.
"Terimakasih Rio." Ucap gadis itu secara tiba-tiba lalu turun dari mobil Rio dan berlari kedalam rumah. Ia benar-benar tidak enak dengan sang pemuda. Ia tau ia salah meminta antar pada siapa, karena pada dasarnya ia sudah memperlihatkan aib keluarganya pada orang yang baru saja ia kenal. Memang bukan maksud ify seperti itu, ia pun tak menyangka kedua orang tuanya bertengkar hebat hingga tidak seperti biasanya.
"Kasian banget lo Fy." Lirih Rio menatap nanar pada punggung Ify yang semakin menjauh dan hilang dibalik pintu.
Bagaimana tidak? Rio mendengar jelas bahwa orang tua ify mengucapkan kata cerai dengan lantang.
Tak mau mendengarnya terlalu lama, Rio langaung menancap gas mobilnya lalu pulang kerumahnya untuk beristirahat.
Sementara didalam rumah, ify masih mematung berdiri didepan ruang tamu. Menatap nanar tempat itu karena banyak barang-barang berserakan dimana-mana. Entah itu barang mahal, atau bahkan murah sekalipun sudah tak berbentuk rupanya.
Jelas ia tahu apa penyebab orang tua nya seringkali bertengkar dan dengan lantang mengucapkan kata cerai meskipun itu dihadapannya langsung.
"Alyssa." Panggil Umari. Matanya sedikit sembab akibat menangis. Memang ia seorang lelaki, namun jika hatinya disakiti ia pun juga akan terluka. Dan Alyssa? Itu panggilan kesayangan Umari sejak ify masih kecil. Ia sangat menyayangi anak gadisnya tersebut.
"Kenapa Pa? Kenapa kalian bertengkar?" Tanya ify berjalan mendekati sang Ayah.
"Mama mu Nak." Ucap Umari sedikit mengusap air matanya.
"Mama mu berselingkuh dengan atasannya di kantor. Dan Papa sudah putuskan untuk menceraikan Mama mu. Maafkan Papa Alyssa." Jelasnya sembari memeluk ify. Bukan maksud hati ingin menjelekkan nama istrinya dihadapan sang anak, namun Ify sudah besar. Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi hingga menyebabkannya sering bertengkar dengan sang istri
"Nggak papa Pa, Papa nggak perlu meminta maaf sama Alyssa. Kebahagiaan Papa nomor satu. Mungkin memang Mama udah nggak bahagia sama Papa. Makanya Mama selingkuh. Jangan benci sama Mama ya Pa." Ucap ify menenangkan Umari. Meski sebenarnya ia juga terguncang dengan keputusan sang Ayah.
"Bagus kamu ya Umari, setelah kamu kaya dan sukses, kamu menceraikan aku. Kamu ingat? Ini semua, hasil kekayaan kamu itu semua berkat aku yang ngasih kamu modal buat bangkit lagi dari kebangkrutan kamu!!" Ucap Ginara sembari berjalan mendekati Umari dan Ify. Matanya begitu mengkilat penuh amarah.
"Aku tidak akan menceraikan kamu kalau kamu tidak selingkuh Gina!" Umari melepaskan pelukannya pada Ify. Lalu berbalik menghampiri Ginara yang tak jauh darinya. Ify hanya berdiam diri saja, tak mau ikut campur urusan orang tuanya sendiri.
"Aku selingkuh karena kamu tidak punya waktu buat aku!!"
"Gina dengarkan aku, aku bekerja untuk kamu dan Alyssa. Agar hidup kalian terjamin!"
"Kalau aku tidak bekerja, kamu mau hidup kita kekurangan? Kamu mau kita hidup miskin? Aku bekerja siang dan malam juga untuk membahagiakan kamu." Lanjut Umari memberi penjelasan.
"Tapi kenyataannya aku tidak bahagia! Aku tidak bahagia, Mas!" Teriak Ginara sangat kencang. Ia benar-benar marah. Apapun yang Umari jelaskan justru sangat membuatnya marah.
"Oh, jadi maksud kamu itu kamu bahagia kalau kita hidup miskin? Hidup pas-pasan begitu? Aku bisa saja memberikan waktu 24 jam buat kamu, asal kita hidup miskin. Aku kerja apa adanya, biar aku ada waktu buat kamu. Asalkan kamu tidak menuntut ku untuk ini dan itu. Apa kamu bisa, Ginara?"
"Kamu-"
"Sudah sudah!!" Teriak ify menengahi. Ia sudah cukup muak mendengarkan celotehan orangtuanya. Kepalanya berdengung terus menerus mendengar teriakan yang bersahut-sahutan tersebut.
Ginara menoleh, kemudian berlalu membawa koper dan tasnya. Ia pergi dari rumah itu setelah hampir 18 Tahun mereka bersama. Tidak ada yang bisa diperbaiki lagi dari hubungannya dengan Umari. Juga dengan Ify Alyssa. Semua sudah selesai. Entah sebagai seorang Ibu, atau sebagai seorang istri.
BERSAMBUNG...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!