Tatapan Jihan kembali terarah pada Lidia yang masih sesenggukan menahan tangis. Sudah dua jam sahabatnya itu memegang ponsel, dengan aplikasi novel online yang terbuka di hadapan wajahnya.
Lidia sahabat Jihan, sangat menyukai cerita novel yang berbau pengkhianatan, pelakor, drama rumah tangga yang di mana wanita lemah menjadi korban sekaligus peran utama di dalam cerita.
Jika sahabatnya itu sudah suka dengan sebuah cerita baik itu novel maupun drama televisi, ia akan berulang kali membaca atau menonton cerita itu, dan berulang kali pula Lidia akan menangisi tokoh protagonis yang lemah dalam cerita.
“Lid …. Lidia!” seru Jihan tak sabar.
“Aphaah, hikhik ….” Lidia menoleh sekilas lalu menghapus cairan hidungnya.
“Kita tuh jadi kerjain tugasnya Pak Abi ga nih?”
“Kamu sudah belum?” tanya Lidia masih sesenggukan. Matanya masih tidak mau terlepas dari layar ponselnya.
“Lah, kok tanya aku dah selesai apa belum. Kamunya dari tadi mojoook mulu.” Jihan menutup laptopnya kesal.
“Bentar lagi, nanggung ceritanya. Sedih betul tau episode yang ini.” Lidia kembali fokus dengan layar ponselnya.
“Baca apaan sih!” Jihan menarik ponsel dari tangan Lidia, “Cerita ini lagi??” sergah Jihan kesal.
“Lagi seru-serunya itu, Han. Violet mau dibunuh sama si kuntilanak Luna. Dia di racun hampir mati. Untung pelayan Tuan Barra lihat waktu Violet sesak ga bisa nafas di taman belakang.” Lidia bercerita dengan semangat, seakan semua yang ada di dalam cerita itu nyata.
“Terus penting gitu buat aku?” Jihan mengembalikan ponsel Lidia, tapi sebelumnya ia sudah menutup aplikasi novel online tersebut.
“Iiihh, kok ditutup sih, belum selesai baca aku tuh,” gerutu Lidia.
“Cerita macam gituan sudah pasaran. Tokoh utama lemah, nangisan, disiksa, terus ketemu cowok ganteng, kaya, sok melindungi bak pangeran. Ujung-ujungnya bucin. Pelakornya jahat dan licik ga ada ampun akhirnya karma … tamaaatt. Basi!”
“Tapi bagus kok,” cicit Lidia.
“Cerita bagus kalo ga mendidik buat apa? Buruaan mo kerjain ga nih??” Jihan sudah mulai kesal.
“Iyaaa, aku baca novel ini kan juga untuk riset,” kelit Lidia.
“Diihh, ilmu apa yang mau kamu ambil dari cerita macam begituan? Trik melakor? ato mempertahankan suami?” ledek Jihan.
“Jahat betul ngomongnya,” gerutu Lidia seraya duduk di hadapan Jihan, “Kamu tau ga sih, Pak Abi, dosen sastra kesayanganmu itu katanya juga nulis di platform online loh.” Lidia berbisik tapi cukup keras untuk di dengar oleh orang di sekitar mereka.
“Huusst, sembarangan kamu. Mana mau Pak Abi yang suka baca buku sastra kuno nulis cerita begituan.”
“Betulan kok, gosipnya sudah kemana-mana. Anak-anak lain dah pada penasaran nyariin akunnya.”
“Ga percaya,” sahut Jihan singkat seraya mencebik.
Selang beberapa saat mereka mengerjakan tugas, Lidia kembali membuka ponselnya yang berdenting karena ada pemberitahuan masuk, “Waahh, tumben ni penulis rajin update sampe dua kali.”
“Mampuusss lu, Lunaa! Membusuk kamu di penjara.”
“Tuan Barra kereen, bahagianya Violet dapet suami idaman. Sempurna banget.”
Lidia terus berkicau mengomentari jalan cerita dalam novel, tanpa menyadari tatapan Jihan yang semakin tajam.
“Siniin!” Jihan merampas kembali ponsel Lidia dan membawanya keluar dari perpustakaan.
“Haan, mau kamu bawa kemana hapekuu.” Lidia menjerit kencang, sambil berusaha merebut kembali ponselnya dari tangan Jihan.
“Mau kusimpan dulu biang kerok ini di loker, biar kamu bisa konsentrasi kerjain tugas.” Jihan mengangkat ponsel Lidia tinggi-tinggi hingga sahabatnya itu kesulitan menggapainya.
Tubuh Jihan yang tinggi, membuat Lidia harus melompat-lompat berusaha meraih ponselnya.
“Jangan dong, Haann. Balikiin,” Lidia memohon.
Lidia terus berjalan mundur sambil melompat-lompat menghalangi langkah Jihan, tanpa disadari mereka sudah sampai di ujung bibir anak tangga paling atas.
Saat langkah kaki Lidia hampir saja tergelincir, Jihan langsung menarik tubuh sahabatnya itu agar tidak terjatuh. Namun hal itu membuat posisi tubuhnya malah bertukar posisi dengan Lidia.
Sedetik kemudian, bagai sekelebat bayangan tubuh Jihan sudah terhempas menggelinding hingga ke lantai bawah.
“JIHAANN!” Lidia berseru panik. Kakinya yang gemetar, ia paksakan untuk berdiri dan turun ke bawah untuk melihat kondisi sahabatnya.
Jihan terkapar tidak sadarkan diri, dengan kepala robek terbentur pegangan tangga dan mengeluarkan darah yang begitu banyak. Ponsel Lidia masih ada dalam genggaman Jihan dengan layar retak menampilkan sampul depan novel favorite Lidia, ‘Violet milik Tuan muda Barra.’
“Aargghhh.” Jihan mencoba menggerakan tubuhnya. Tulang belulangnya seakan lepas dari persendiannya. Ia mencoba membuka matanya, namun hanya kegelapan yang terlihat.
“Sepertinya aku dah ko’it ini,” keluh Jihan. Berulang kali ia mengerjapkan matanya untuk mengusir rasa pening yang mendera kepalanya.
Bunyi ketukan pintu dan suara orang memanggil sayup-sayup masuk ke dalam indera pendengarannya, “Jangan bilang itu panggilan malaikat maut.”
“Lun … Lunaaa. Bangun!” Tepukan di bahu membuat matanya terbuka lebar. Seorang pria setengah baya memandangnya dengan raut wajah kesal.
“Kamu pasti mabuk lagi semalam, bangun! Tiga jam lagi pernikahanmu, dan kamu masih bau alkohol!” Pria itu menarik tubuhnya bangkit dari tidur dengan paksa, lalu menyerahkan dirinya pada beberapa pelayan yang berdiri di belakang pria setengah baya itu.
“Mari Non Luna, mandi dulu.” Pelayan itu memapah tubuhnya yang masih belum dapat berdiri dengan tegak.
“Tunggu … kamu panggil saya siapa tadi?” Jihan menghentikan langkahnya dan menghadap pelayan itu dengan kening berkerut.
“Nona Luna,” sahut pelayan itu bingung.
“Kalian salah orang, saya bukan Luna.” Jihan berusaha melepaskan dirinya dari pegangan dua pelayan di kanan dan kirinya.
“Cepat paksa dia masuk kamar mandi, dia masih mabuk itu,” seru pria setengah baya itu kesal.
“Jangan sembarangan bicara, Tuan. Aku bukan Luna, aku Jihan. Aku tidak mabuk!” Dengan sedikit terhuyung Jihan berjalan menghampiri pria setengah baya itu dan menunjuk wajah pria itu dengan jari telunjuknya, “Anda yang mungkin tidak waras.”
Plaakk!!
Telapak tangan pria setengah baya itu menempel dengan keras di pipi Jihan.
“Jangan kurang ajar dengan Ayahmu! Kamu itu kalo lagi mabuk seperti orang tidak waras!” sergah pria setengah baya itu yang ternyata Ayah dari Luna, wanita yang tubuhnya digunakan oleh Jihan.
“Siram dia dengan air dingin supaya otaknya kembali bekerja, lalu segera pakaikan gaun pengantin dan antar dia ke ruang tamu!” perintah Ayah Luna.
“Tunggu … tunggu!” Jihan berteriak panik saat para pelayan itu menggiringnya masuk ke dalam kamar mandi.
“Non, ayolah mandi dulu. Nanti kami dimarahin sama Tuan Besar.” Seorang pelayan berhasil membuka gaun tidurnya.
“Sebentar lagi Tuan Barra calon suami Non Luna datang, kalo Non Luna belum siap beliau bisa ikut marah.” Pelayan yang jauh lebih muda menggiringnya ke bawah shower.
“Saya Jihan bukan Luna … tunggu, siapa tadi nama calon suami Luna yang kamu sebut??” Jihan membalikkan badannya yang sudah basah menghadap pelayan muda itu.
“Tuan Barra.”
...❤❤...
Haai, terima kasih bagi yang sudah mampir di karya baru aku 🙏
Bagj yang belum pernah mampir ke karya aku yang lain. Mampir dong
Otak Jihan langsung bekerja keras mengingat nama-nama yang terasa akrab di pendengarannya.
Tuan Barra … Luna …Tuan Barra … Luna. Sementara pelayan muda itu menyabuni tubuhnya, Jihan terus berusaha mengorek ingatannya.
“Ini di mana?” tanyanya.
“Nona Luna lagi di kamar mandi,” sahut pelayan senior.
“Maksud saya, ini lagi di kota mana, daerah mana, negara manaa??" tekan Jihan tidak sabar.
Kedua pelayan itu saling berpandangan, sedetik kemudian mereka tertawa bersama, “Sepertinya Nona Luna mabuk berat semalam, benar-benar sampai lupa segalanya. Kita tinggal di kota Zena, Negara bagian timur Trivenuz. Kembali lagi dua pelayan itu terkikik geli.
Aku di mana! Seketika Jihan mematung ngeri. Ia berada di dunia yang sangat asing.
“Li-Lidia di mana, tugas kami belum selesai.” Jihan mencoba membawa ingatannya ke dalam dunia aneh ini, sekedar untuk mengetes apakah ia sedang dipermainkan atau ini hanya sekedar halusinasinya saja.
“Lidia siapa, Non?” tanya pelayan muda itu seraya mengeringkan tubuhnya. Jihan menarik nafas panjang. Baiklah ikuti saja dulu permainannya.
“Nama kamu siapa?” tanyanya pada pelayan senior yang mengeringkan rambutnya.
Sejenak pelayan itu menghentikan kegiatannya dan menatap dirinya melalui cermin, lalu tersenyum dan menjawab, “Soya. Kalau dia Milie. Pelayan senior itu menunjuk pelayan muda yang sedang menyiapkan gaun pengantin.
Gaun pengantin. Aahhh, apakah benar ini hari pernikahannya?
Jihan mengamati wajahnya di cermin. Bukan. Itu bukan wajahnya, wanita yang di dalam cermin itu terlihat lebih dewasa dan tegas. Matanya yang hitam dan tajam, dengan alis yang rapi dan hitam terkesan garang namun sangat cantik. Rambutnya yang coklat sekarang berganti hitam lurus mempertegas kesan kuat di wajahnya.
Semoga ini hanya mimpi.
Sayangnya ini bukan mimpi. Sebuah suara pria seakan berbisik di telinganya.
“Siapa itu!” Sontak Jihan menoleh ke arah samping kanannya.
“Ada apa, Non?” tanya Soya.
“Ada laki-laki di kamar ini.” Mata Jihan mencari-cari sosok yang mencurigakan.
“Tidak ada siapa-siapa di kamar ini selain kita bertiga, dan tidak ada orang yang berani masuk ke kamar Nona Luna jika tidak diijinkan oleh Tuan besar atau Nona sendiri,” jelas Soya.
Aarrgghh sepertinya aku sudah gila.
“Aku menikah dengan siapa katamu tadi?” tanya Jihan pada Soya yang sedang membantunya memakai gaun pengantin.
“Tuan Barra. Pria idaman Non Luna, akhirnya impian Nona menikah dengan Tuan Barra terwujud.”
“Seingin itukah aku menikah dengan pria bernama Tuan Barra?”
“Iyaa, walaupun harus menjadi yang kedua setelah Nona Violet, tapi kami yakin Non Luna nantinya bisa memiliki Tuan Barra seutuhnya,” ucap Millie berapi-api.
“Violet …. yang kedua, maksudmu …?” Jihan mengkerutkan keningnya.
“Violet, istri pertama Tuan Barra,” bisik Millie.
Oke bagus, belum sehari di dunia antah berantah ini, aku sudah jadi pelakor.
“Biar aku aja,” Jihan mengambil alih perlengkapan make up dari tangan Millie. Ia tidak biasa wajahnya di sentuh orang lain, terlebih wajah ini bukan miliknya. Ia ingin mempelajari tiap sisi dari pemilik tubuh yang ia tempati.
“Bisa tolong ambilkan aku minum?” pintanya pada Millie.
Ada sesuatu yang ingin ia rencanakan, tapi sebelumnya ia harus mengusir Millie dari dalam kamarnya. Sedangkan Soya sudah sejak tadi keluar dari kamar membawa pakaian kotor miliknya.
Begitu Millie keluar dari dalam kamarnya, Jihan langsung melempar semua peralatan make up ke atas meja rias, dan berkeliling ke semua sudut kamar.
Sejak sadar tadi, ia belum sempat mengamati kondisi kamar ini. Kamar yang sangat luas, jelas wanita yang bernama Luna ini bukan wanita biasa. Semua perabotannya merupakan barang antik, begitupun isi lemari bajunya. Gaun yang indah, tas mahal yang berkelas, koleksi sepatu beraneka warna ditambah dengan deretan perhiasan yang berkilau.
Jihan menggelengkan kepala dan berdecak kagum, rasanya ia tidak ingin terbangun dari mimpi indahnya ini. Pandangannya beralih pada lukisan besar yang tergantung di atas ranjang. Wanita anggun dalam lukisan itu sangat mirip sekali dengan dirinya yang ada di dalam cermin.
Cantik bukan?
“Siapa itu?!” jihan terjingkat saat suara itu muncul kembali seakan berbisik di telinganya, “Dasar pengecut! Keluar!” serunya antara merasa marah dan takut.
"Anda tidak bisa melihatku Nona Luna, atau lebih akrab lagi saya panggil … Jihan?
“Kamu kenal aku siapa??” Jihan berjalan tak tentu arah di dalam kamar, seolah ingin mencari sosok suara yang sedang berbicara dengannya.
"Sangat kenal. Bagaimana masih mau marah-marah denganku, Nona Jihan?"
“Cepat bilang sekarang, aku di mana, kenapa dan untuk apa aku ada di sini??!”
"Sudah dijelaskan tadi oleh pelayan anda yang cantik. Nona Jihan sedang berada di kota Zena, Negara Trivenuz bgian timur."
“Di mana itu, sejak SD aku belajar IPS dan Geografi tidak ada nama negara itu?”
"Selamat datang di dunia novel Violet milik Tuan Muda Barra." Suara tawa yang menjengkelkan menggelegar.
Novel Violet milik Tuan Muda Barra? Bercanda! Jangan bilang novel yang biasa dibaca sama lidia. Pantas dari tadi rasanya tidak asing nama-nama ini.
"Benar sekali, Nona."
Heh? Apa dia bilang? Dia bisa baca pikiranku?
"Bisa. Saya tahu anda tidak percaya bahkan merasa jika ini settingan atau prank, dan sekarang anda sedang merencakan melarikan diri dengan melompat dari jendela, bukan? Silahkan lakukan Nona, jika tidak ingin kembali lagi ke dunia nyata."
“Apa maksudmu?!”
"Anda sudah menertawakan cerita novel Violet milik Tuan Muda Barra dan anda harus mempertanggungjawabkannya."
“Emang ceritanya ga asyik kok, aduuh!” Jihan memegang telinganya yang terasa memanas seolah ada yang menariknya dengan keras, “Kamu yang tarik telinga saya?”
"Lalu menurut Nona bagaimana cerita yang asyik itu?"
“Novel itu terlalu membosankan, protagonis wanitanya terlalu lemah kerjaannya menangis terus karena suaminya menikah lagi. Lemah tak berdaya seolah ingin mengundang simpati pembaca. Meskipun begitu, ujung-ujungnya tetep aja protagonis wanita menang dari si antagonis. Mau pintar dan selicik apapun, si antagonis selalu kalah dan dicaci. Sudah bisa ditebak alurnya kemana,” papar Jihan seraya mentertawakan alur novel kesayangan sahabatnya itu.
"Buktikan."
“Maksudnya?”
"Buktikan jika anda menjadi Luna sebagai si antagonis jauh lebih baik dari Violet sang protagonis."
Sial! Bagaimana ia bisa lupa sekarang dirinya ada dalam tubuh Luna yang licik dan kejam.
"Anda bisa kembali ke dunia nyata, jika anda bisa meyakinkan Tuan Muda Barra, bahwa andalah yang terbaik. Bukan Violet, wanita kesayangan calon suami anda." Suara itu terdengar seperti ancaman.
“Bagaimana jika aku gagal?”
"Anda sudah tahu jawabannya. Ucapkan selamat tinggal Jihan, dan selamat datang Luna se ... la ... ma ... nya."
"Jika anda tahu jalan ceritanya, pasti anda juga tahu bagaimana nasib Luna di ujung cerita itu."
Tiba-tiba seluruh persendian Jihan melemah, ia jatuh terduduk di atas ranjang. Semua kesombongan dan keangkuhannya seketika menguap entah kemana.
"Ayolah kemana Jihan yang punya kepercayaan diri yang tinggi." Suara itu seolah menghiburnya sekaligus mengejeknya.
“Aku ga tau harus bagaimana. Aku ga ngerti jalan cerita novel itu,” keluh Jihan. Ia hanya sekilas saja mendengar cerita Lidia, itupun tidak ia ambil peduli segala ocehan sahabatnya.
"Tugas saya di sini untuk membantu anda, Nona. Asal anda menurut dan percaya pada saya semua akan aman."
“Siapa kamu?”
"Panggil saja saya B."
...❤❤...
Mau promoin karya teman, ramaikan di sana ya
“B?”
"Yup cukup B saja."
Tok … tok … tok
Suara ketukan di pintu dan kemunculan Millie masuk ke dalam kamar dengan segelas air putih di atas nampan, membuat Jihan terdiam.
“Nona, mengapa anda belum bersiap? Tuan Muda Barra dan keluarga sudah menunggu di depan.” Millie segera mengambil peralatan make up yang tadi dilempar oleh Jihan ke atas meja rias, lalu ia segera membantu Nona mudanya berhias.
“Mari Nona saya antar ke ruang depan.” Millie menuntun Jihan ke luar kamar. Langkah Jihan sedikit ragu, matanya melirik ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu.
B : "Saya di sini Nona, anda tidak perlu khawatir. Tidak ada yang bisa mendengar saya selain Nona."
Mata Jihan terbelalak kagum saat berjalan menyusuri lorong panjang rumah Luna. Setiap sudut rumah mewah itu membuatnya sangat kagum. Luar biasa imajinasi penulis, ini kalo di dunia nyata Luna benar-benar anak sultan yang sesungguhnya.
“Mmm, Millie … Luna, eh saya tinggal sama siapa saja di sini?” pertanyaan Jihan itu membuat Millie tertawa kecil.
“Nona masih mabuk sepertinya? Nona Luna tinggal berdua dengan Tuan Besar, dan beberapa pelayan juga penjaga rumah ini.” Jihan ber-O panjang mendengar penjelasan Millie.
Tidak heran banyak wanita yang berseragam menunduk padanya saat mereka melintas. Dari dalam rumah ia juga bisa melihat beberapa pria berseragam berjalan mondar- mandir di pekarangan, mungkin itu yang dimaksud Millie penjaga rumah.
“Calon suami saya, Tuan Barra … bagaimana orangnya?” Pertanyaan Jihan kali ini membuat kening Millie berkerut dalam.
“Nona ga mungkin lupa dengan Tuan Muda Barra bukan? Pria itu cinta sejati Nona, sampai Nona depresi saat Tuan Muda Barra menikahi Nona Violet.”
“Jika dia cinta sejati saya, mengapa pria itu menikahi wanita lain?” tanya Jihan tak mengerti.
Langkah Millie terhenti dan menatap Nona mudanya dengan sedih, “Karena cinta Nona bertepuk sebelah tangan. Tuan Muda Barra sangat mencintai Nona Violet.”
Mantap. Saya di sini seorang pelakor yang tidak dicintai. Malangnya kamu Luna. Jihan menarik nafas panjang dan berat.
“Tapi, sekarang impian Nona terwujud. Hari ini Nona Luna akan menikah dengan Tuan Muda Barra berkat Tuan Besar Jose, Ayah Nona.” Wajah Millie kembali ceria dan bersemangat. Rupanya pelayan muda ini sangat menyayangi Nona mudanya.
“Dia sudah mencintaiku?” tanya Jihan penuh harap.
“Mmm, iya. Saya yakin Nona bisa meyakinkan Tuan Muda Barra,” sahut Millie dengan senyum terpaksa. Sungguh jawaban yang menyesakkan hati.
Millie terus menggiringnya sampai pada dua bilah pintu kayu yang sangat besar. Dua orang penjaga bertubuh besar, membukakan pintu untuk mereka.
Saat ia mulai masuk, Jihan merasakan suasana di dalam ruangan tidak seperti akan ada acara pernikahan, malah lebih terlihat seperti suasana duka.
Walaupun tiap sudut ruangan berhiaskan warna-warni bunga hidup yang mahal, suasana tetap hening dan mencekam.
Saat Ia berjalan lurus melewati barisan para undangan, pandangan yang ia terima sama sekali bukan tatapan kagum melainkan ada rasa benci dan juga kecewa. Hanya satu raut wajah bahagia yang ada di sana, pria dewasa yang marah-marah di kamarnya tadi pagi. Tuan besar Jose, ayahnya.
Jihan merasa menyesal tidak mendengarkan sungguh-sungguh saat Lidia bercerita. Ia jadi kurang mengerti situasi dan cerita yang ada di dalam novel, tapi setidaknya ada si B yang bisa membantunya.
J : "Di Mana dia. Mengapa diam saja … B!"
B : "Saya di sini Nona, jangan cerewet cepat menikahlah."
J : "Sialan, kau pikir kondisinya semudah itu?"
Jihan terus berjalan mencoba mengabaikan tatapan-tatapan tajam yang menusuk. Ia mengangkat wajahnya tinggi, mencoba menantang semua wajah yang memandangnya sinis walaupun hati dan kakinya sedang bergetar.
Seorang wanita bergaun hitam dan berambut pirang bergelombang tampak tertunduk dan menangis.
Sepertinya itu yang namanya Violet, wanita kesayangan Tuan Muda Barra. Protagonis wanita yang manis tapi licik, mengasyikan untuk ditindas. Jihan terkejut dengan apa yang tiba-tiba terlintas dalam benaknya.
B : "Hahaha, jangan terkejut Nona. Dalam tubuh Nona Luna sekarang ada anda di dalamnya, jadi sisa kenangan dan perasaan Nona Luna masih tersimpan rapat di sana."
Seorang pria berpunggung lebar berdiri membelakanginya, dari tampak belakang pria ini sudah terlihat sangat tampan dan gagah.
Dia kah yang disebut Tuan Muda Barra, calon suamiku? Ah bukan, dia calon suami Luna.
Menyadari ada orang yang berdiri di belakangnya, pria itu membalikkan tubuhnya. Sorot matanya tajam menusuk langsung tepat di bola mata Jihan. Tatapan kebencian yang diterimanya di hari pernikahan.
Jihan menarik nafas pelan, menegakan kepalanya lagi dan mencoba menguasai keadaan.
“Hei,” sapa Jihan. Tak ada respon yang diharapkan seperti pelukan atau minimal senyuman, hanya dengusan nafas kasar yang ia terima.
B : "Good job, Nona. Ingat tugas anda membuat Tuan Muda Barra jatuh cinta pada anda, bukan semakin muak melihat anda." Peringatan suara gaib itu terdengar seperti menyindirnya.
Prosesi pernikahan langsung dimulai saat Jihan yang membawa tubuh Luna, sudah hadir di tengah-tengah ruangan.
Jihan melirik sedikit ke arah pria yang duduk di sebelahnya, sangat tampan dan berwibawa. Alis matanya yang tebal mendukung sorot matanya yang tajam dan dalam. Rahang dan pundaknya bagai terpahat sempurna. Jihan terkesiap saat pria itu juga meliriknya dengan tajam.
Acara resepsi yang mewah terhidang setelah prosesi pernikahan yang sakral. Saat ini Luna sah menjadi istri kedua dari Tuan Muda Barra. Suasana dalam ruangan masih mencekam, senyum yang ditebarkan para undangan saat memeberinya selamat, terlihat sangat palsu.
J : "B, bagaimana Luna sebenarnya?"
B : "Luna adalah bagaimana cara mereka melihatmu."
J : "Jawabanmu sangat tidak membantu, B."
B : "Aku tahu."
“Sayang, aku lelah.” Wanita bergaun hitam itu mendekati pria yang sudah sah menjadi suaminya itu, lalu bergelayut manja di lengannya.
“Baiklah, sebentar lagi kita pulang,” suara berat itu terdengar seksi.
Jihan menatap wanita itu kesal. Meski baru kali ini bertemu dengan Tuan Muda Barra, rasa egois dan memiliki itu tiba-tiba ada di hatinya. Mungkin ini perasaan Luna yang tersimpan.
“Jangan mengacau di acara pernikahanku, Violet,” tandas Jihan tajam.
“Kamu yang sudah mengacaukan kehidupanku, bit*ch,” bisik Barra di telinganya. Jihan terbelalak tak sanggup membalas kalimat Barra, ia hanya dapat membuka mulutnya tanpa berkata-kata, "Kamu memang memiliki aku tapi kamu tidak akan mendapatkan cintaku,” tambah Barra.
Kalau bukan karena aku ingin kembali ke dunia nyata, kalian berdua sudah aku tendang dari hadapanku. Baiklah mari kita mulai bermain. Batin Jihan.
“Maafkan aku, a-aku sungguh tidak bermaksud seperti itu. Tolong maafkan aku, Violet,” ucap Jihan dengan pandangan mengiba namun suaranya sengaja ia lantangkan, agar sapat mengundang simpati para undangan.
Percobaan pertama berhasil, Barra dan Violet tampak terkejut dengan jawaban Luna. Reaksi yang tidak disangka-sangka, Luna yang biasanya tidak pernah mau mengalah dan kejam, sekarang seolah wanita tanpa daya.
...❤❤...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!