"Aku menyerah Ran. Aku sudah gak sanggup. Kita akhiri saja ya."
"Loh ... jangan gitu lah, Shen. Aku minta maaf ya."
Aku menarik pergelangan tangan yang di pegang erat oleh Randy, pacarku.
Aku dan Randy memulai hubungan ini dari semenjak masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas.
Randy adalah sosok laki-laki tampan yang populer di sekolah kami. Latar belakang Randy yang berasal dari keluarga kaya, menambah popularitasnya di sekolah. Entah apa yang membuat dia bisa jatuh hati pada gadis sederhana sepertiku.
"Sudahlah, Ran. Aku sudah benar-benar gak sanggup."
"Shen, kumohon. Dengarkan penjelasan aku dulu."
"Penjelasan apalagi, Ran? Kamu sudah sering kali selingkuhi aku. Aku gak sanggup, aku menyerah."
"Shen ... dengerin aku dulu. Kamu cuma salah paham."
Aku menghempaskan tangan Randy yang menggenggam erat tanganku. Perlahan buliran air mata mulai menetes melintasi pipi.
Aku sebenarnya tak sangup mengatakan perpisahan ini. Tapi apa daya, hati ini terlalu lelah. Bertahun-tahun sikap Randy tak pernah berubah. Dia sering gonta-ganti selingkuhan, tapi aku tidak tahu mengapa sampai saat ini, dia tidak mau memutuskan aku.
"Aku mohon Randy. Jangan buat ini semakin sulit untukku. Kita akhiri saja, ya."
"Tapi Shen ... aku gak mau putus sama kamu."
"Mau sampai kapan kamu begini, Ran? Lima tahun sudah kita jalani. Aku bosan melihat ulahmu yang tidak pernah berubah."
"Dengar, Shen. Aku janji tidak akan mengulangi ini lagi." Randy memegang erat kedua ujung bahuku.
"Janji, dan janji terus. Aku muak dengan janjimu."
Randy berusaha menenangkan aku dalam pelukan nya. Aku mendorong dada bidang Randy yang mencoba mendekatiku.
Entahlah lima tahun kami merajut kasih, tapi Randy selalu saja bermain dengan perempuan lain di belakangku. Katanya aku selalu sibuk, tak punya banyak waktu untuknya.
Itu alasan yang paling sering aku dengar keluar dari bibirnya. Dia berusaha untuk mencari kebenaran sikapnya dari kesibukanku. Tidak begitu seharusnya, jika dia memang benar-benar mencintaiku maka dia mampu setia padaku.
Sering kali dia tertangkap basah sedang bermesraan dengan wanita lain. Dan lebih parahnya, wanitanya selalu berganti-ganti.
Memang aku mencintainya, tapi aku juga tidak sanggup jika harus menahan segala sikapnya ini. Mau sampai kapan sikapnya terus sesuka hati begitu? Dia sama sekali tidak pernah memikirkan perasaanku.
Cinta, lama-lama juga akan terkikis. Jika pemilik dari cinta itu terus menggoreskan batu di atas pahatan. Bagaimana jika sampai menikah nanti, sifatnya akan terus begitu? Ya Tuhan, aku mungkin tidak akan sanggup.
Aku Shena. Saat ini umurku baru 21 tahun. Aku sempat masuk Universitas, namun harus cuti panjang pada semester ke-3. Aku hanya gadis biasa yang lahir dari keluarga sederhana.
Ayahku hanya seorang satpam komplek di perumahan mewah yang tak jauh dari tempat tinggalku. Sedangkan ibuku, hanyalah ibu rumah tangga. Ya memang terkadang ibu menerima jahitan kalau ada tetangga yang meminta.
Aku memiliki sepasang adik kembar yang kata orang-orang lucu, tapi tidak begitu juga. Mereka sedang duduk di bangku sekolah menengah atas saat ini.
Namanya Shine dan Shima. Kembar berbeda gender, pastinya juga wajah mereka tidak terlalu mirip. Shine dan Shima saat ini sedang berada di kelas dua SMA.
Mereka anak yang baik, Shine punya sifat penurut, pendiam dan juga lembut. Sedangkan Shima, sifatnya lebih keras dan lebih banyak berbicara, di bandingan saudara kembarnya itu.
"Kamu itu gak sadar diri ya, Shen. Banyak cewek-cewek yang ingin di posisi kamu. Kamu itu gak tahu di sayang, ya." Nada bicara Randy yang mulai terdengar kesal.
"Iya, terus kenapa? Kenapa sampai sekarang kamu masih saja pertahanin aku?" tanyaku yang masih berusaha menahan emosi.
"Kamu itu ... ah." Randy menggempalkan tangannya.
"Aku? Kenapa? Gak tau diri?" sambungku kesal.
"Yasudah ... kamu ingin putuskan? Oke. Kita putus!" ucapnya dengan wajah yang memerah karena menahan emosi.
Aku hanya terdiam terpaku mendengar ucapan terakhir itu.
"Jangan pernah menyesel, dan jangan pernah memohon untuk kembali padaku," timpalnya dengan sombong, ia memalingkan badannya, melangkah pergi.
Memang kata-kata ini yang aku harapkan dari tadi. Tapi kenapa air mata ini terus mengalir membasahi wajahku?
Randy pergi tanpa menoleh kearahku sedikitpun.
Aku yang meminta perpisahan ini, lalu kenapa aku berharap dia menoleh dan kembali berlari kearahku?
'Dasar aneh kamu, Shena,' gerutuku dalam hati.
Melupakan kisah cinta masa remaja memang tidak semudah memejamkan kelopak mata. Apalagi cinta yang terjalin sudah memakan waktu yang lumayan lama. Aku hanyalah orang munafik, jika saat ini aku bilang hatiku baik-baik saja.
Tidak mungkin ada hati yang baik-baik saja karena sebuah perpisahan. Walaupun perpisahan itu dibuat menjadi perpisahan paling indah sekalipun, tetap akan ada air mata yang menetes. Akan selalu ada sayap yang patah, dan akan selalu ada kisah yang tidak terselesaikan.
Kususuri jalan setapak di taman itu. Suasana remang dari lampu taman, dan suasana angin malam yang begitu sejuk, membuat perlahahan air mataku mulai hadir menjelajahi pipi.
Aku mencari tempat yang lumayan sepi dan duduk di kursi taman yang ada di pinggir kolam.
Menikmati semilir angin yang membawa pikiranku kembali ke masa-masa indah zaman sekolah dulu. Ada senyum getir saat mengingat kejadian dulu, tapi semua sirna saat ini.
"Nih hapus air matamu."
Seorang laki-laki berbadan tinggi besar, dengan senyum semanis candu, hidung yang mancung dan bangir, dengan kelopak mata sayu yang begitu teduh.
Sosok yang pernah kukenal dulu. Menyodorkan sebuah sapu tangan ke depan wajahku.
"Kenapa nangis disini malam-malam? Gak takut?" Dia bertanya.
Aku mengambil sapu tangan itu tanpa menjawab pertanyaannya. Kuhapus sisa bulir air mata. Kembali, lelaki itu menyodorkan tangannya. Kali ini bukan sapu tangan, tapi sebotol air mineral.
"Sebaiknya kamu minum dulu air ini, terus kamu cuci wajah kamu. Biar cantiknya kelihatan."
Aku tersenyum pahit mendengar lelucon itu. Sebenarnya itu tidak lucu, tapi kata-katanya sedikit menghibur kegalauan hatiku. Mungkin aku memang butuh seseorang untuk menghiburku saat ini. Tapi dia?
Tidak, walaupun aku tidak banyak memiliki seorang teman, bukan berarti aku harus mengungkapkan ini pada sembarangan orang. Aku juga tidak semenyedihkan itu juga, sampai harus curhat ke orang asing.
"Aku duduk disini, boleh?" Suaranya terdengar lembut, tapi gaya bicaranya masih berdialeg Inggris.
Aku hanya menganggukan kepala, pria itu tersenyum sambil meletakan bokongnya di sebelahku. Perlahan embusan angin, membawa aroma parfume yang ia gunakaan menembus hidungku.
Aroma ini sangat lembut dan juga hangat. Bahkan hanya bau dari parfumenya saja mampu membuat hatiku sedikit lebih baik. Siapa dia? Lenapa dia jadi sok akrab denganku?
"Ehm, by the way. Kamu masih ingat gak sama aku?" tanyanya hati-hati.
Aku hanya mengangguk kecil. Bibirku masih terasa kelu, sakit hati ini masih begitu baru. Bahkan belahannya saja masih mengeluarkan bau darah segar.
Aku ingat, ya mungkin aku ingat sedikit tentangnya. Seseorang yang hanya sekedar bersapa ramah denganku dulu.
Dulu, aku memang tidak terlalu memperhatikan dia. Namun aku sering mendengar beberapa kisah tentang hidupnya dari bapak.
Lalu apa maksudnya dengan dia yang hadir di sebelahku saat ini?
Aku masih terduduk di bangku taman tanpa bergeming. Tak menghiraukan ia yang berada di sebelahku. Selama beberapa menit kami hanya terdiam tanpa berbicara sepatah katapun.
Sesekali ia melihat jam yang melingkari tangan kirinya.
"Aku antar kamu pulang ya, Shen. Ini sudah malam, gak baik kamu di sini sendirian."
"Gak usah Mas, nanti aku pulang sendiri saja."
"Ayolah Shen ... tidak baik anak perempuan pulang malam-malam."
"Gak apa-apa, Mas. Aku sudah biasa pulang malam sendiri kok," tolakku dengan lembut.
Dia menghela napas panjang, dan mengacak rambutnya.
"Apa wajahku seperti seorang kriminal ya?"
"Apa? Eh ... enggak kok, Mas."
"Aku gak tega ninggalin kamu sendiri di sini. Aku gak ada niat lain kok. Cuma antar kamu pulang saja," jelasnya.
"Duh ... gimana ya, Mas?"
"Aku gak bakalan apa-apain kamu kok. Sumpah deh." Dia mengancungkan dua jarinya sehingga membentuk huruf v.
Wajahnya menatapku penuh harap.
"Baiklah," ucapku mengalah.
"Tapi sebelum pulang kita makan dulu ya."
Aku kembali menatap wajahnya, kunaiki sebelah alis mataku.
"Aku gak ada maksud lain, ini sudah malam. Pasti kamu laparkan?"
Bohong juga sih kalau aku bilang, aku gak lapar. Dari sepulang kerja tadi aku belum memakan apapun. Tapi, aku tidak mungkin juga makan bareng dia, kan?
"Sekalian kamu tenangi hati juga. Aku takutnya, Bapak kamu salah paham sama aku lagi."
Ya benar juga sih apa yang dia bilang, mungkin wajahku saat ini sudah tidak karuan kacaunya.
Aku mengangguk menjawab ajakannya. Sepanjang perjalan menuju rumah makan aku terus mengingat beberapa hal tentang dia.
Dia adalah seorang anak dari komplek perumahan kaya yang dijaga oleh bapakku.
Aku bertemu dengannya sekitar lima tahun yang lalu. Tapi aku tidak sering berbicara padanya, hanya beberapa kali saja.
Itupun kalau aku datang membawa makan siang, ataupun camilan untuk Bapak. Kalau tidak salah ingat, namanya Leon. Dia keponakan dari tante Ranti. Orang yang paling ramah di komplek tempat Bapak bekerja.
Tante Ranti itu orang yang ramahnya over banget. Dia sering bercerita panjang lebar tentang apapun padaku. Kadang kalau sudah mendengerkan ceritanya, aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam. Bibirnya selalu terbuka, seperti tidak lelah untuk berbicara.
Sebenarnya tante Ranti bukan orang yang menyebalkan juga, hanya saja dia terlalu banyak menyita waktu jika terus diladeni.
Kata bapak, Leon adalah seorang mahasiswa kedokteran. Menurut cerita Bapak, dia itu blasteran Indonesia dan Prancis. Karena adiknya tante Ranti menikah dengan pria asal Prancis dan membawa adik tante Ranti tinggal disana.
Saat dia berumur 13 tahun kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan pesawat.
Setelah itu tante Ranti tidak tahu bagaimana kehidupannya di Prancis. Setelah 9 tahun pasca kecelakaan itu, tante Ranti baru menemukan keberadaan dia. Leon adalah keponakan satu-satunya tante Ranti. Jadi tante Ranti terkesan lebih menyayangi Leon di bandingkan tiga anak kandungnya.
Leon telah pindah ke Indonesia sejak umur 18 tahun dan menjadi salah satu mahasiswa kedokteran di Universitas ternama di kota kami.
Dulu bahasa Indonesianya tidak sebagus sekarang. Karena tidak mengerti bahasanya, dulu aku jarang sekali berbicara dengannya.
Hanya beberapa bulan saja dia tinggal di rumah tante Ranti. Menurut kabar dia melanjutkan studinya keluar negeri dengan jalur beasiswa. Bisa dibayangkan, bagaimana pintarnya otak dia.
Tidak berapa lama berselang, kami pun tiba di cafe yang tak jauh dari rumahku. Hidangan tersaji dengan rapi dan cantik dihadapanku.
Tanpa banyak mengobrol kami melahap makanan itu. Aku tidak terlalu kenal dengannya, hanya sekedar bersapa ramah saja dulu. Jadi terasa canggung jika harus berhadapan dengannya seperti ini.
"Enak makanan nya?"
" Iya. Enak, Mas."
"Syukurlah jika kamu suka." Dia tersenyum manis sambil mengunyah makanannya. Pipinya terlihat sedikit mengembung, memberikan kesan lucu pada senyumnya.
"Kamu kapan kembali kesini, Mas?" tanyaku sambil mengaduk isi di dalam piring, tak sanggup jika menatapnya terlalu lama.
"Sudah agak lama. Sudah 2 tahun aku di sini."
"Berarti sekarang Mas sudah menjadi Dokter, ya?"
"Ya ... begitulah."
Dia melempar senyum kepadaku, Menampilan sederet gigi putihnya yang tersusun rapi.
Ya Tuhan ... begitu indah senyumnya itu, aku tak mampu melepaskan sedetikpun pandangan darinya. Begitu mempesonanya dia.
"Shen, maaf ya tadi aku gak sengaja lihat kamu berantem sama pacar kamu."
"Iya. Gak apa-apa, Mas. Lagian aku berantam di tempat umum."
Mendadak suasana jadi hening. Perasaan canggung kembali terasa di antara kami berdua. Hampir sepuluh menit kami habiskan hanya saling diam saja.
"Shen." Suara lembut memanggil namaku, memecah keheningan suasana.
"Iya," jawabku singkat.
"Aku mau bilang sesuatu, boleh?" tanyanya hati-hati.
"Mau bilang apa, Mas?" tanyaku bingung.
"Shen, sebelum nya aku minta maaf jika ini terdengar tiba-tiba ... hmmm--" Ia menggantung kalimatnya. Terlihat keringat dingin mengalir dari salah satu sudut pelipis mata nya.
"Ada apa ya, Mas?" Ku beranikan diri untuk bertanya. Karena melihat wajahnya kebingungan untuk berbicara.
"Hmmm ... begini, Shen ... hmm ..."
"Ada apa sih sebenarnya, Mas? Kok seperti bingung begitu?"
"Mungkin ini terdengar tiba-tiba, tapi semakin cepat aku pikir semakin baik."
Aku mengernyitkan dahi. Tak paham dengan pembicaraannya.
"Hmmm ... begini, kamu mau tidak menikah denganku?"
Deg ... rasa jantungku berhenti berdetak. Apalagi ini, ya ampun apa aku lagi bermimpi?
Demi apa? Seorang laki-laki yang asing, datang melamarku.
Seperti dia? Bahkan dalam anganku pun, aku tidak berani membayangkan bisa dilamar laki-laki sekeren dia.
Memang banyak yang bilang aku tak mirip ibu dan bapakku.
Aku punya kulit yang putih mulus seperti salju, hidung mancung yang agak tebal, alis mata tebal dan mata besar, bulat sepeti bola.
Banyak yang bilang aku seperti keturunan Arab. Tapi aku tak secantik itu juga, wajahku tak pernah berlapis bedak mahal, tak pernah masuk salon. Boro-boro ke salon dimaskerin juga gak pernah.
Aku juga tidak memiliki tinggi badan yang bagus, bisa dibilang aku ini pendek. Bentuk badan juga gak terlalu cantik, semampai enggak, dibilang langsing, juga gak langsing-langsing amat. Karena badanku sedikit berisi.
Dari SMA aku sibuk belajar dan bekerja. Sepulang sekolah aku bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Waktuku banyak tersita untuk belajar dan bekerja. Tidak sempat mengurus diri.
Kenapa juga laki-laki tampan, tinggi, dan pintar seperti dia bisa menaruh hati padaku?
Aku yang bisa dibilang biasa banget ini, apa ada sesuatu yang berbeda dariku? Sampai laki-laki seperti Randy dan mas Leon bisa jatuh hati padaku?
Baiklah, jika Randy itu seorang playboy. Dia tidak peduli seperti apa wanita yang di pacarinya, jika wanita itu cantik di matanya, maka pasti akan ia dekati.
Tapi mas Leon ini, dia bisa dibilang kategori perfect. Mungkin dia sudah cukup mapan dan matang. Tidak mungkin jika saat ini, tidak ada cewek yang di dekatnya kan.
Atau jangan-jangan dia sudah punya istri, dan aku mau dijadikan istri simpanannya?
Oh ya ampun, mungkin saja. Mau dipikiri bagaimana pun gak mungkin mas Leon bisa jatuh cinta sama aku yang biasa ini. Jauh lebih cantik dari aku saja mungkin bisa di gandeng olehnya.
"Shen." Suara lembutnya menyadarkan lamunanku.
"Iya," jawabku kaget.
"Bagaimana menurut kamu?"
"Hah, apa?"
"Kamu mau menikah denganku?"
Serius?
"Mas ... kamu--" Belum sempat aku menyelesaikan kalimat.
"Aku serius, Shena," ucapnya serius.
"Tapi, Mas. Aku kan, maksud aku, kita ..." Duh bingung mau bilangnya bagaimana?
Mas Leon menarik napas panjang. Napasnya terdengar sangat berat. Aku hanya terdiam, tak bisa kucerna kata-katanya. Bahkan di mimpi pun aku tak pernah membayangkan hari ini terjadi.
"Aku tahu kita tidak terlalu mengenal satu sama lain. Aku juga tidak meminta kamu untuk menjawabnya sekarang."
"Tapi Mas, apa kamu gak salah?"
"Aku beneran serius, Shena. Aku sudah suka padamu dari dulu, waktu pertama kali kita ketemu."
"Mas a-a-aku ... aku." Aku tak tahu mau menjawab apa. Kacau, itu yang kurasakan saat ini.
Hati yang sedang tak karuan dan dihadapkan kenyataan seperti ini. Andai yang di hadapanku adalah Randy dengan cepat aku pasti menjawab 'Ya', tapi pada kenyataannya yang di hadapanku saat ini adalah orang lain.
Kenapa juga aku mengharapkan dia? Ia juga bukan lelaki yang baik kan. Sadarlah, Shena. Jangan butakan pikiranmu karena cinta.
"Jangan kamu jadikan ini beban, Shena. Apapun jawabanmu kelak, aku akan terima."
Ya kali dia ngomongnya gampang. Nah aku ini gimana?
Perasaan aku gimana?
Hati aku juga gimana?
"Aku cuma ingin menyampaikan rasa yang sudah aku simpan selama bertahun-tahun, Shen."
Aku melihat wajah mas Leon yang begitu sendu. Tak sengaja mata kami saling bertatapan. Sejenak suasana semakin menjadi canggung.
Hening, itu lah suasana di antara kami bedua.
"Yasudah ... kita pulang yuk, Shen."
Aku mengangguk dan beranjak dari kursi cafe. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai kerumahku. Tapi entah kenapa suasana di dalam mobil membuat jarak rumahku terasa sangat panjang.
Sepanjang perjalanan aku hanya memandang keluar jendela mobil, mas Leon juga tak mengatakan sepatah kata pun.
Ku buka pintu mobil dan langsung menjejaki jalan bebatuan di depan rumahku. Ingin rasanya segera masuk ke kamar dan tidur, berharap semoga besok pagi semua kembali seperti semula. Belum sempat aku masuk, aku mendengar percakapan ibu dan adik kembarku.
"Bu," panggil Shima lembut kepada wanita yang sedang duduk didepan mesin jahit.
"Opo, Nduk?" tanya Ibu yang matanya masih berkutat dengan kain yang terbentang di atas mesin jahit.
"Tahun depan Shima lulus kan. Shima mau masuk Universitas tempat Mbak kuliah, ya, Bu."
Terdengar suara helaan napas dari ibu.
"Gimana ya, Nduk. Ibu dan bapak gak sanggup kalau harus membiayai kuliah kalian berdua." Wajah Shima mulai cemberut mendengar jawaban Ibu.
"Jadi aku cuma lulus SMA saja dong, Bu?"
"Gak apa ya, Shima. Nanti lulus sekolah aku akan cari kerja biar kamu bisa kuliah," ucap Shine, saudara kembar Shima.
"Ibu memang ada simpanan uang, tapi Ibu mau pakai uangnya untuk terusin kuliah Mbak kamu dulu. Gak apa-apa, ya," bujuk Ibu lembut.
"Gak apa-apa lah, Shima. Aku nanti usaha kerja buat biaya kamu kuliah, ya." Hibur Shine.
Ya Tuhan tak tega rasanya jika harus melihat kedua adik kembarku harus bekerja dan tidak melanjutkan kuliah. Cukup aku saja yang putus kuliah dan bekerja, jangan kedua adik kembarku. Mereka harus kuliah dan hidup lebih baik dari pada aku.
Kubalikan badan dan masih kulihat mobil mas Leon terparkir di jalan depan rumahku. Entah kenapa rasanya langkah ini ringan menuju kesana.
Ku ketuk kaca jendela mobilnya, dan ku bungkukkan badan. Mas Leon menurunkan kaca jendela dan mengeluarkan sedikit wajahnya. Membuat wajahnya berhadapan denganku dari jarak yang sangat dekat. Bahkan wangi gel rambutnya dapat tercium olehku.
Masya Allah ... begitu indah ciptaanmu ini ya Tuhan. Setiap inchi wajahnya Kau ciptakan dengan keindahan. Aku bahkan dapat melihat warna bola matanya yang agak kebirun. Hidung yang begitu mancung bagai perosotan, bibir atas yang tipis dan dagu yang terbelah. Wajahnya yang lebih dominan Eropa di bandingkan Asia menambah pesona tersendiri dari wajahnya.
"Ada apa, Shen? ada barang yang ketinggalan ya?"
"Bukan mas. Tapi--" Aku menggantungkan kalimatku.
"Ada apa?" tanyanya bingung.
Kembali aroma dari parfumenya mengusik ketenangan hidungku. Membuat aku terus masuk dan terjebak oleh harumnya itu.
"Kamu ... kamu ... Mas, kamu berani gak ngomong langsung sama bapak soal niat kamu, Mas?" Aku menutup mulutku dengan kedua tangan. Apa yang aku katakan barusan?
"Baiklah,"jawaban mas Leon ringan tanpa beban.
Oh Tuhan apa yang baru saja aku katakan? Sejenak aku terpana oleh wajah mas Leon. Bau harum dari tubuh mas Leon yang senada dengan wangi gel rambutnya semakin membuat aku masuk kedalam pesona dia.
Seperti ada sihir dari aroma tubuhnya yang membuat aku tidak sadar dengan ucapanku.
Mas Leon menarik napas dan segera turun dari mobilnya. Seperti dia sudah mempersiapkan segalanya.
Aku mengikuti langkah cepat mas Leon yang menjejaki bebatuan halaman rumahku. Bagaimana ini? Hatiku terus bertanya-tanya, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Mas Leon mengucapkan salam begitu sampai di depan pintu rumah. Terdengar sahutan dari dalam rumah dan tak lama Ibu keluar dan mempersilahkan mas Leon masuk.
Sementara aku menyusuli bapak yang sedang santai di meja makan, meminta untuk ikut bergabung sama ibu dan mas Leon.
Kusiapkan teh hangat dan beberapa kue kering. Terdengar suara bapak dan mas Leon mengobrol ringan. Tak kusangka bapak dan mas Leon seakrab itu.
Kusajikan teh dan kue kering di meja. Suasana hening ketika aku datang. Mas Leon meneguk sedikit teh itu, kulihat kedua lututnya sedikit bergetar.
"Ada apa ini, tumben nak Leon main kesini?" tanya Bapak, saat melihat ekspresi wajah mas Leon yang mulai tegang.
"Saya mau silatuhrahmi saja Pak, maaf jika waktunya kurang tepat," jawabnya sopan.
"Tidak apa, toh Bapak juga lagi santai. Bukan nya kemaren itu nak Leon kuliah ke luar negeri ya? Kemana itu namanya? Lando, Lando apa gitu?"
"London, Pak."
"Iya itu, maklum Bapak orang kampung Nak, jadi gak ngerti."
Mas Leon tersenyum kecil, tapi wajahnya masih terlihat sangat tegang.
"Kapan kamu pulang, Nak?" sambung Bapak. Kebiasaan, Bapak memang sering banyak tanya sama orang.
"Sudah ada dua tahun yang lalu, Pak."
"Oh, njeh. Gimana kabar tante kamu?"
"Alhamdulillah baik, Pak. Loh ... bukan nya Bapak masih jadi satpam disana ya?"
"Ha... ha ... ha. Iya yah, Bapak lupa." Ampun dah Bapak, masa gitu banget sih pikunnya.
Aku menepuk dahi dan menggeleng. Basa-basi Bapak terlalu basi sepertinya.
"Eh, silahkan diminum teh nya, Nak. Lupa Bapak jadinya."
Mas Leon meneguk sedikit tehnya, dan ku lihat tangannya sedikit gemetaran.
"Maaf sebelumnya, Pak. jika saya tidak sopan, maksud saya kesini ... hmmm ... hmmm--" Mas Leon menatap kearahku, serasa berhenti jantung ini saat menatap matanya.
"Ada apa toh, Nak? Kok bingung gitu?" Terlihat wajah Bapak juga ikut bingung.
"Saya kesini niat baik, ingin melamar putri Bapak."
Seketika tanganku mendingin. Seperti ada air yang menghujani hatiku, aku tahu maksud mas Leon, tapi aku tidak menyangka dia seserius ini.
Kulihat wajah Bapak dan Ibu mulai bingung bercampur kaget. Mereka saling berpandangan, aku tahu mereka tak kalah bingungnya denganku. Mereka telah lama mengenal Randy sebagai pacarku. Mengapa malah orang lain yang datang melamarku?
"Begini Nak, Bapak terserah Shena saja. Toh dia yang akan menjalaninya, tapi Bapak gak tahu, jika selama ini Shena ada hubungan dengan Nak Leon?"
"Enggak Pak, saya dan Shena tidak pernah berhubungan. Saya baru ketemu Shena hari ini, setelah lima tahun, Pak."
Wajah Bapak semakin terlihat bingung setelah mendengar pernyataan mas Leon. Bagaimana mungkin mas Leon melamar wanita yang bahkan tidak dia kenal dengan dekat?
"Begini, Nak. Apa Nak Leon tahu? Shena itu sudah punya pacar? Ya Bapak gak mau nanti ada masalah antara kamu dan pacar Shena."
"Shena, sudah putus sama Randy, Pak," sahutku. Menjelaskan keadaan ini.
"Sebenarnya dari dulu saya sudah suka sama Shena, Pak. Tapi saya sadar dulu saya hanyalah mahasiswa. Tidak ada yang bisa saya berikan untuk anak, Bapak."
Mas Leon meneguk sedikit teh nya. Mengambil napas dan melanjutkan kalimatnya.
"Karena dari itu, dulu saya tidak pernah bilang apa-apa, Pak. Sekarang saya sudah bekerja dan ada penghasilan sendiri. Walaupun tidak banyak, tapi Insha Allah cukup untuk menghidupi Shena, Pak."
Bapak menarik napas cukup panjang. Bapak melihatku seakan ingin menanyakan pendapatku tentang masalah ini.
Ibu mengambil kedua tanganku yang dari tadi kuremas-remas. Seperti mengerti akan kecemasanku.
"Nduk." Suara lembut Ibu menyadarkanku.
Bagaimana ini? Itu yang dari tadi ada di dalam pikiranku. Haruskah aku terima?
"Ummm ... Pak, Bu. Tidak perlu terburu-buru--"
"Aku terima, Pak," ucapku memutuskan kalimat mas Leon.
"Aku setuju menikahi mas Leon," sambungku.
Aku harus konsekuen sama ucapan. Jelas tadi aku yang mengundang mas Leon masuk. Aku harus bertanggung jawab dengan umpan yang aku lempar sendiri.
kulihat wajah Bapak dan Ibu terkejut, jelas aku pun tak kalah kaget. Tapi ini sudah terlanjur, aku sudah tidak bisa mundur lagi.
"Alhamdulillah." Suara haru terdengar dari mulut mas Leon.
Bibirnya menyeringai, tersenyum dengan puas. Sementara Ibu dan Bapak hanya tersenyum kaku. Dan tak lama kemudian mas Leon pamit pulang. Karena malam sudah semakin larut. Dia akan kembali Minggu sore nanti untuk melamarku secara resmi.
Aku merebahkan badan diatas tempat tidur. Menatap langit-langit kamar, masih teringat jelas kejadian hari ini.
Seperti tak masuk dalam akal pikiranku.
Hatiku yang saat ini sedang terluka pun, seperti sudah tak mengeluarkan rasa perih lagi.
***
Kulihat jam dinding kamar, menunjukan pukul setengah tiga sore. Terdengar suara ricuh dari luar rumah.
Kulihat dari jendela kamar, benar saja, suara cempreng tante Ranti dan keluarganya telah sampai.
Sesuai janji, mas Leon akan datang minggu sore ini untuk melamarku secara resmi.
Acara lamaran pun berjalan sesuai perkiraan. Tanggal pernikahan telah ditentukan, segala persiapaan pernikahan dan resepsi pernikahan, tante Ranti yang mengurusnya.
Kubereskan piring-piring kotor sisa acara tadi. Kurasakan lelah yang teramat sangat. Bukan hanya badan, hati dan pikiranku juga sangat lelah. Selama berhari-hari aku tidak bisa tertidur dan makan dengan baik. Peristiwa ini selalu mengganggu pikiranku.
Kuraih ponsel dan melihat jam yang tertera pada layar ponsel menunjukan pukul sepuluh malam. Tak ada satu pun pesan dan telepon dari Randy semenjak kami putus.
Mungkin dia sudah mendapatkan pengganti aku. Bukan hal yang besar putus dari aku, dia bisa mencari pengganti dengan cepat. Toh belum lagi putus, dia juga sudah dapat pengganti aku.
Apalagi yang ku harapkan? aku sudah di khitbah orang lain saat ini.
'Tolong lah, Shena. Kendalikan hati dan pikiranmu. Jangan sampai kamu mempermalukan Bapak dan Ibu nanti. Kamu harus bisa memantapkan hati untuk meninggalkan masa lalu kamu,' gumamku dalam hati.
Aku terus memarahi diri sendiri, sekadar untuk menenangkan perasaan gundah yang kurasakan beberapa hari belakangan.
Aku baru sadar bahkan sampai saat ini aku tidak ada menyimpan nomor ponsel mas Leon. Oh Tuhan pernikahan macam apa ini?
***
Keringat dingin telah mengucur deras membasahi kebaya hijau muda pengantinku. Kujejaki tangga mesjid yang indah nan mewah itu satu persatu.
Aku berjalan memasuki ruang masjid. Telah berkumpul semuanya di dalam masjid. Aku duduk dibagian para wanita.
Telah tersusun rapi sebuah meja dan beberapa bingkisan pernikahan di hadapanku. Sedangkan mas Leon, Bapak, Pak penghulu dan beberapa orang saksi duduk mengelilingi meja.
Bercengkrama ringan sembari mencairkan ketegangan mas Leon.
Kutatap dalam-dalam wajah mas Leon. Tak terasa bulir-bulir air mata jatuh membasahi pipi. Andai laki-laki itu Randy, mungkin aku akan menjadi pengantin yang paling bahagia.
Andai Randy hadir di sini, andai Randy ...
ah sudahlah, tak ada gunanya memikirkan dia lagi.
Kenapa aku harus selalu mengharapkannya? Jelas yang saat ini duduk di hadapanku jauh lebih baik fisiknya di bandingkan Randy. Tapi aku tidak tahu bagaimana dengan sifatnya, mungkin kah lebih baik? Atau malah lebih buruk.
Entahlah, semoga saja dia laki-laki yang baik. Selama ini dia tidak banyak berbicara padaku. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selama ini selalu lembut dan menyejukan. Semoga sifatnya tidak akan berubah setelah ijab nanti.
Siap dan tidak siap, namun apa yang bisa aku lakukan. Tidak mungkin aku menghentikan ini semua, bisa malu Bapak dan Ibu. Tapi, bagaimana jika nanti dia menyakiti aku?
Terlalu banyak hal yang aku pikirkan, membuat hatiku gelisah sendiri.
Ingin rasa hati berteriak mengucapkan aku belum siap. Tapi untuk apa aku menyesali? Toh ini keputusanku, kan?
Sudahlah jalani saja semuanya, setelah ini semua akan baik-baik saja bukan?
Semoga, semua akan baik-baik saja. Semoga aku tidak salah memilih pasangan hidup. Kata orang memilih pasangan hidup itu bukan hal yang mudah. Akan menyesal jika pasangan kita bukan lelaki yang baik.
Aku bahkan tidak sempat melakukan istikharah, aku terlalu terburu-buru menerima lamarannya. Ya Allah, akan kah aku menyesali pernikahan ini?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!