Sebuah ambulans melaju kencang dari sebuah lahan pertanian menuju rumah sakit. Seorang gadis muda yang terbaring penuh dengan darah masih memejamkan mata. Denyut nadinya melemah dan napasnya hampir tidak terasa. Di sisinya, dua orang perempuan menangis tanpa henti sambil meneriakkan namanya.
Ruang Instalasi Gawat Darurat menjadi sibuk dalam seketika. Para suster hilir mudik membawa peralatan medis. Sementara itu, dua orang dokter sibuk memberikan pertolongan pertama. Dari balik kaca yang tertutup tirai, dua perempuan yang tadi menangis menyaksikan proses tersebut dengan panik dan khawatir. Air mata masih mengalir. Suara keduanya sudah parau.
Satu jam kemudian, pintu ruang IGD baru terbuka. Dua dokter keluar dengan wajah lelah dan murung. Beberapa suster juga keluar. Wajah mereka juga sama murungnya dengan dua dokter tadi. Mereka langsung diburu dengan pertanyaan dari dua orang tersebut.
"Bagaimana keadaannya?"
"Apa dia baik-baik saja?"
Sebelum menjawab, salah seorang dokter menghela napas terlebih dahulu.
"Organ dalam pasien rusak berat. Racun dari pestisida yang masuk ke tubuh pasien sudah mencapai otak," terang dokter yang tadi menghela napas.
"Apa maksudnya? Maksudmu, dia tidak akan selamat?"
"Sifat toksin dari pestisidanya merusak organ vital. Kemungkinan hidup pasien sangat kecil. Maaf, kami tidak bisa berbuat lebih."
Kedua perempuan itu terduduk lesu. Harapan, apakah harapan itu benar-benar ada? Kejadian tadi sungguh berada di luar dugaan. Keduanya tidak menyangka kalau teman sekelas mereka akan keracunan pestisida dan berakhir di rumah sakit. Bahkan, nyawanya saja entah bisa terselamatkan entah tidak.
Wanita yang sedang terbaring di dalam IGD itu bernama Wei Linglong. Dia akrab disapa Linglong. Terkadang juga dipanggil Weiwei. Dia adalah seorang mahasiswi jurusan pertanian yang tengah menempuh studi di tingkat akhir. Dia mengalami kecelakaan kerja ketika melaksanakan tugas lapangan yang diberikan oleh dosennya.
Matahari bersinar terik ketika Wei Linglong menuangkan sebotol pestisida ke dalam ember berisi lima liter air bersih. Agar pestisidanya larut, dia mengaduk ember tersebut dengan sebuah tongkat kayu sepanjang delapan puluh sentimeter. Setelah dirasa semuanya sudah larut, dia kemudian menuangkan cairan tersebut ke dalam semprotan otomatis hingga tangkinya penuh.
Lahan yang belum selesai diberi pestisida masih luas. Perlu waktu sekitar satu setengah jam jika Wei Linglong benar-benar ingin menyelesaikan semuanya. Di beberapa tempat yang tidak jauh darinya, lima orang temannya juga sedang sibuk mengaduk dan menyemprotkan pestisida ke tanaman-tanaman hijaubyang tumbuh di lahan ini.
Di musim panas seperti ini, dia dan lima teman sekelasnya diminta untuk praktek penyemprotan pestisida pada tanaman dan mengukur efektivitasnya dalam membasmi hama sebagai tugas akhir perkuliahan pada semester kali ini. Tidak tanggung-tanggung, lahan perkebunan tanaman yang harus mereka sirami adalah seluas satu setengah hektar dengan berbagai jenis tanaman hijau yang berbeda di setiap tiga ratus meter persegi luasnya.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang baik, dia dan teman-temannya tentu harus memberikan teladan yang baik untik para adik tingkat mereka. Mereka dengan sukarela tanpa komentar atau keluhan melaksanakan prakteknya pada hari ini, pada pertengahan musim panas yang seharusnya dipakai untuk hari libur.
Wei Linglong dan teman-temannya mulai bekerja pada pagi hari. Selain mengukur kadar pestisida, mengaduk, menyemprotkan dan mengamati pertumbuhan tanaman, dia dan timnya juga harus menganalisis seberapa jauh pengaruh pestisida terhadap hama dan kualitas tanaman itu sendiri. Hasil akhirnya harus dilaporkan dalam bentuk portofolio dan laporan praktek, kemudian jika sempat, juga harus disusun dalam bentuk jurnal terindeks yang bisa dipublikasikan di ranah nasional dan internasional.
Meskipun sudah terbiasa, tetapi rasa kesalnya tetap saja ada. Pasalnya, dosennya itu tidak hanya otoriter, tapi juga killer dan anti kritik. Sekali saja berkomentar, maka nilai akan menjadi taruhannya. Wei Linglong tidak ingin nilainya jelek hanya karena dia mengeluh sesaat. Dia harus menuntaskan studinya dengan nilai sempurna. Dengan begitu, dia akan menjadi seorang sarjana pertanian yang hebat, mendapatkan beasiswa lalu melanjutkan studinya ke tingkatan yang lebih tinggi.
Tetapi, yang membuatnya kesal seribu kali kesal sebenarnya bukan hanya praktek dari dosen ini saja. Wei Linglong kesal karena di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga, yang kebetulan bertepatan dengan hari ini, kedua orang tuanya malah pergi keluar kota untuk berbisnis. Entah karena lupa atau memang disengaja, Wei Linglong merasa hari ini akan menjadi ulang tahun terburuk untuknya.
Wei Linglong kembali melanjutkan aktivitasnya. Semakin cepat, maka semakin baik. Dia menekan tombol power pada penyemprot otomatis, kemudian memutar tombol pengatur kecepatan ke angka lima. Penyemprot yang tangkinya berisi cairan pestisida tersebut kemudian berputar menyemburkan air. Daun-daun dan tangkai tanaman yang ada dalam jangkauan putaran penyemprot tersebut basah bagian atasnya, kemudian mengering dan sisa ainya menjadi putih. Daun-daun yang semula hijau bersih menjadi putih pada beberapa bagian.
Wanita yang hari ini genap berusia dua puluh tiga tahun tersebut mengistirahatkan diri di bawah sebuah pohon yang rindang. Cuaca memang panas, tetapi angin juga berhembus. Wei Linglong meneguk minuman dinginnya. Tenggorokannya yang semula kering sekarang terasa basah kembali.
“Mengapa rasanya sedikit pahit?” Wei Linglong bertanya pada dirinya sendiri. Rasa minuman jeruk itu seharusnya manis dan asam, bukan asam pahit. Dia tidak berani berpikir macam-macam. Mungkin, si pedagang terlalu banyak memasukkan sari jeruknya atau mungkin biji jeruknya ikut tercampur hingga rasanya sedikit pahit.
Beberapa saat kemudian, Wei Linglong kembali melarutkan pestisida ke dalam dua liter air. Pekerjaannya akan selesai ketika tangka penyemprot otomatis ini terisi penuh kembali. Setelah prakteknya selesai, dia berencana pergi ke toko kue. Wei Linglong akan merayakan ulang tahunnya sendirian.
Awalnya semua terlihat baik-baik saja. Namun, setengah jam kemudian, Wei Linglong merasakan sakit yang luar biasa di bagian perutnya. Tenggorokannya terasa panas dan terbakar, mulutnya kering. Kepalanya pusing. Dunia seperti berputar dengan cepat. Rasa sakit itu bercampur menjadi satu.
Menyadari ada yang tidak beres dengan tubuhnya, Wei Linglong mencoba bersuara. Rintihannya terdengar oleh salah satu temannya. Ketika menoleh, temannya itu berteriak sangat keras. Hidung Wei Linglong mengeluarkan cairan merah yang kental. Tidak lama kemudian, gadis itu muntah. Namun, yang keluar dari lambungnya bukan makanan, tetapi darah kental yang bergelambir. Kesadarannya perlahan hilang hingga dia dilarikan ke rumah sakit.
Sementara itu, di dalam ruang IGD, Wei Linglong yang sedang terbaring merasakan seluruh tubuhnya sangat sakit. Ribuan jarum terasa sedang menusuk dirinya berulang kali. Terutama di bagian perut, tenggorokan dan kepala. Matanya masih tertutup, namun ajaibnya dia masih bisa mendengar suara di sekitarnya.
“Apa aku akan mati di hari ulang tahunku?”
“Tidak, aku belum mau mati. Aku belum mengunjungi perkebunan anggur di pedesaan Perancis, belum mengunjungi kebun jeruk Florida, belum pergi tamasya ke Kawasan agrowisata Bagus Agro Pelaga Bali, Shangira Leisure Farm, dan banyak tempat lainnya. Aku belum mau mati…”
Tiba-tiba, dia tidak bisa lagi melihat, mendengar atau merasakan apapun. Seluruh rasa sakitnya terasa hilang dan tubuhnya seperti melayang di lautan kapas yang empuk dan ringan. Suara-suara tangisan yang asing terdengar. Dia mungkin sudah sampai di alam baka.
Wei Linglong ingin membuka matanya. Dia sangat penasaran pada suara tangisan asing yang sepertinya ditujukan kepadanya. Ah, apakah di pemakamannya ada seorang teman lama yang datang dan menangis? Ataukah itu suara ayah dan ibunya yang sudah lama tidak dia dengar? Tapi, mengapa kata-kata di sela-sela tangisan itu terdengar sangat aneh dan klasik? Apa yang sebenarnya terjadi?
Wei Linglong mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka mata. Hal pertama yang dia lihat ketika berhasil adalah sebuah langit-langit berhias kain hijau muda, ditambah pilar kayu kokoh berbentuk limas segi empat yang gelap. Wei Linglong mulai merasakan keanehan. Apa ini alam baka? Tetapi, mengapa di alam baka ada kain dan pilar seperti itu?
Tunggu, mengapa suara tangisan asing itu terasa begitu dekat?
Dia menoleh ke asal suara. Di sampingnya, seorang gadis muda berpakaian biru muda tengah duduk dengan kepala tertunduk. Gadis muda tersebut menangis hingga sesenggukan. Wei Linglong memicingkan mata. Dia bangkit, kemudian kembali memperhatikan gadis muda tersebut.
Pergerakan Wei Linglong rupanya disadari oleh Si Gadis. Gadis itu mengangkat kepala, barulah terlihat wajahnya yang putih dan tampak polos dengan linangan air mata di kedua pipinya. Ekspresi yang semula sedih berubah menjadi terkejut dan senang di waktu yang bersamaan.
“Nona! Akhirnya kau bangun!”
Dahi Wei Linglong berkerut.
“Nona?”
Wei Linglong berusaha mengingat sesuatu. Mengapa gadis muda itu memanggilnya dengan sebutan itu? Suaranya, suara tangisannya, sama persis dengan suara tangisan asing yang didengar oleh Wei Linglong saat dia berada di alam bawah sadarnya. Mungkinkah suara tangisan asing yang telah membangunkannya adalah milik gadis muda ini?
“Nona, mengapa kau tidak bersuara?”
“Kau memanggilku?”
Gadis muda mengangguk dengan cepat.
“Kau bukan malaikat maut?”
Dahi Si Gadis Muda berkerut. Ekspresinya berubah bingung.
“Nona, apa yang kau bicarakan?”
Wei Linglong memejamkan mata. Pikirannya sudah tidak menentu.
“Tidak, ini tidak nyata. Aku pasti sedang bermimpi. Alam baka seharusnya tidak seperti ini. Ini hanya khayalan, ini hanya ilusiku. Jika aku membuka mata semuanya pasti akan kembali. Ini hanya ilusi, ini hanya ilusi.”
Dia membuka mata. Namun, semua yang dilihatnya tetap sama. Lokasi anakronistik, gadis muda yang menangis, kain penutup hijau muda, pilar kayu kokoh, semuanya masih sama. Tidak hilang, tidak lenyap. Wei Linglong kembali mengerutkan dahi. Alam ilusi seharusnya hilang, bukan tetap seperti ini.
“Nona, ada apa denganmu?”
Beberapa detik kemudian, Wei Linglong baru menyadari sesuatu.
Tanpa bertanya apapun, dia melompat dari atas ranjang. Dengan pakaian seadanya, Wei Linglong berlari sekencang mungkin. Dia keluar dari sebuah bangunan tua yang tampak sepi dan tidak terawat. Sepuluh anak tangga dia turuni, kemudian dia kembali berlari tanpa alas kaki.
“Nona, jangan berlari! Kakimu bisa terluka!”
Si Gadis Muda menyusulnya. Wei Linglong semakin panik. Dia berlari semakin kencang, berputar-putar di halaman bangunan tua tersebut tanpa henti. Orang aneh itu terus mengejarnya. Dia tahu ini bukan sedang proses syuting film karena Wei Linglong tidak melihat satupun kamera atau kru atau sutradara atau yang lainnya. Rumput yang dia pijak adalah rumput asli, bangunan yang dia lihat adalah bangunan asli dan orang yang mengejarnya adalah manusia asli, bukan setan ataupun makhluk halus. Semuanya asli.
“Gadis kecil, mengapa kau sangat berisik?”
Dari samping bangunan tua, muncul seorang pria yang pakaiannya lebih aneh dari Si Gadis Muda. Pria itu bertopi hitam panjang ke atas, berbaju panjang hijau tua dan membawa sebuah tongkat kecil.
“Cepat bantu aku menangkap nona! Kakinya bisa terluka jika dia terus berlari!”
“Haish, merepotkan sekali!”
Tadi hanya satu orang aneh, sekarang bertambah satu orang aneh lagi. Wei Linglong terus berlari dan berlari. Adegan kejar-kejaran tersebut berlangsung hampir setengah jam lamanya. Baik Wei Linglong maupun kedua orang aneh itu, mereka sama-sama tidak bisa mundur.
“Hei, aku hanya seorang petani. Jika kalian menginginkan uang, mintalah pada orang yang lebih kaya! Jangan menindasku dan mengejarku seperti ini!”
“Apa nonamu sudah gila?”
“Sssttt… Dia tidak gila, dia hanya linglung sesaat!”
Langkah Wei Linglong terhenti di depan sebuah pintu gerbang kokoh yang cat entah apa namanya, sudah kusam dan mengelupas. Pintu gerbangnya tertutup rapat seperti sengaja dikunci dari luar. Dia terdiam sejenak, memikirkan kembali semua yang terjadi. Di belakangnya, dua orang aneh yang tadi mengejarnya berhenti dengan napas ngos-ngosan, serupa dengan ikan yang kehabisan napas ketika berada di daratan.
“Ini pasti pintu gerbang kematian,” ucapnya pelan, menatap lurus ke arah pintu yang tertutup rapat.
“Nona, kau baru bangun. Jangan berlari lagi!”
Wei Linglong masih terdiam. Dia sedikit lelah setelah berlari. Tubuhnya ambruk di depan pintu.
“Nona! Tolong, nonaku pingsan lagi!”
...***...
...Halo para pembaca kesayangan otor! Otor balik lagi nih bawa cerita baru. Kisahnya masih time travel ya, cuma rencananya yang ini bakal dibikin agak beda sama kisah Jiman-Anlan, Yue-Yunxi. Nah kalau mereka kan mulus-mulus tuh jalan cintanya, kalau yang ini bakal ada bumbu-bumbu kecil biar manis ceritanya. Eits, tapi tenang, nggak berat kok konfliknya. Seperti biasa, otor juga nggak suka konflik yang berat hehe. So, enjoy with the story, stay tune terus ya! ...
...Salam hangat dari Otor yakss! ...
Wanita bermarga Wei, bernama depan Linglong alias Wei Linglong itu baru saja terbangun esok harinya. Gadis muda di sisinya masih menangis hingga matanya sembab dan kulit di pipinya kusam. Tidak jauh dari tempat gadis muda itu duduk, sebuah meja kecil berisi cangkir teh yang sudah kering tertutup debu.
Wei Linglong, atau yang kini dipanggil Nona Wei oleh gadis muda di sampingnya, hanya dalam hitungan satu kali dua puluh empat jam sudah bisa menyadari realitas dirinya. Dia mengingat kejadian ketika dirinya keracunan pestisida, kritis di rumah sakit, lalu tiba-tiba terbangun di tempat asing. Jika ini hanya mimpi, semuanya akan hilang ketika dia memjamkan mata. Jika ini hanya ilusi, semua yang dia lihat di sini tidak akan terasa begitu nyata.
Jadi, ketika dia sampai berhenti di depan pintu gerbang yang tertutup setelah berlari, Wei Linglong hanya dapat menyimpulkan satu hal: dirinya telah melakukan perjalanan waktu ke masa lalu!
Sulit dipercaya. Melintasi waktu ke masa lalu hanyalah sebuah mitos yang sering didongengkan oleh para remaja pecinta cerita fantasi. Manusia tidak bisa kembali ke masa lalu, bahkan melihat masa depan yang belum dijalani saja tidak bisa. Tetapi, betapapun tidak masuk akalnya ini, Wei Linglong benar-benar mengalami semuanya sendiri.
“Katakan, apa ini Istana Pengasingan?”
Gadis muda di depannya mengangguk. Wei Linglong menyandarkan tubuhnya di kepala ranjang kayu. Entah ini adalah berkah atau bencana baginya. Dia sekarat karena meminum pestisida, kemudian terbangun di tubuh seorang wanita istana yang dikurung di Istana Dingin. Sependek pengetahuannya, Istana Dingin adalah tempat pengasingan bagi wanita istana baik dari kalangan selir yang bersalah dan berdosa selama ratusan tahun. Bukan hanya letak istananya yang terpencil, tetapi pelayanan dan perlakuannya juga sangat jauh berbeda.
Istana Dingin adalah tempat yang sepi. Tempat seperti ini lebih cocok disebut sebagai tempat untuk orang mati, karena biarpun penghuninya hidup, dia akan diperlakukan tidak lebih dari seorang pesakitan atau orang yang sudah mati. Para kasim dan dayang pengurusnya berhati licik dan kejam. Banyak dari mereka yang tidak tahan hingga memilih untuk bunuh diri.
Wei Linglong benar-benar memastikan kalau dugaannya ternyata benar. Sejak dia membuka mata, dia sudah menduga kalau tempat sepi ini adalah tempat pengasingan. Bukan hanya dari bentuk bangunan dan suasananya saja, tetapi dari segi sumber daya manusia yang ada di tempat ini. Jika ini istana lain, mungkin akan ada puluhan kasim dan pelayan. Sejauh ini, Wei Linglong tidak melihat siapapun selain gadis muda di depannya dan satu kasim yang ikut mengejarnya saat itu.
“Tahun berapa sekarang?”
“Sekarang adalah tahun 1300. Nona, kenapa kau bertanya seperti itu? Apa jangan-jangan kau lupa? Nona, apa kau juga melupakanku?”
Tahun 1300? Itu artinya, Wei Linglong terlempar ke masa 721 tahun yang lalu. Perbedaan tahunnya sangat jauh sekali. Hati Wei Linglong mulai terasa gelisah. Jika benar ini adalah tahun 1300, maka dia berada di sebuah
kerajaan besar. Fakta sejarah memberitahunya kalau tahun 1300 adalah tahun yang masih termasuk ke dalam era Dinasti Yuan, dinasti yang didirikan oleh bangsa Mongolia. Dinasti ini berdiri dari tahun 1271 hingga tahun 1368 Masehi. Pendirinya adalah Kubilai Khan, cucu dari Jenghis Khan, sang pendiri Kekaisaran Mongolia.
“Siapa pemimpin kerajaan sekarang?” tanyanya lagi, tanpa menjawab pertanyaan gadis muda itu terlebih dahulu.
“Nona, ada apa denganmu? Pemimpinnya tentu saja Yang Mulia,” jawab gadis muda.
“Maksudku, siapa namanya? Atau gelarnya?”
“Tentu saja Yang Mulia, Kaisar Mingzhu. Nona, ada apa denganmu?”
Gadis muda tersebut menangis semakin keras. Wei Linglong merenung sejenak. Kaisar Mingzhu? Siapa dia? Seingatnya, tidak ada yang namanya Kaisar Mingzhu dalam pelajaran sejarah. Apakah ini adalah Dinasti Yuan yang sama dengan yang ada di dalam sejarah? Ataukah ini adalah Dinasti Yuan yang lain? Mungkinkah ini adalah era distopia dari Dinasti Yuan?
Wei Linglong harus memverifikasinya terlebih dahulu. Jika ini adalah Dinasti Yuan yang lain, maka dia bisa bernapas lega karena itu berarti dirinya masih berkemungkinan untuk hidup nyaman. Tetapi, jika ini benar Dinasti Yuan yang tercatat dalam sejarah, maka dia harus memikirkan cara untuk kembali ke dunia modern karena Wei Linglong tahu betul pada enam puluh delapan tahun yang akan datang, dinasti ini akan runtuh.
“Kaisar Mingzhu, ya. Bagaimana keadaan rakyat? Apa mereka hidup sengsara? Apa perekonomian sedang ambruk? Apa bencana terjadi di mana-mana?”
“Nona, kau ini aneh. Yang Mulia adalah pemimpin yang hebat. Rakyat hidup makmur dan damai. Tidak ada bencana apapun. Negara sangat aman dan sentosa.”
“Begitu ya. Eh, apa kau pernah mendengar tentang bangsa Mongolia?”
Si Gadis Muda menggelengkan kepala sambil mengerutkan kening. Wei Linglong menghembuskan napas lega. Dia rasa, sudah cukup sampai di sini. Dia sudah memastikan kalau ini adalah Dinasti Yuan yang lain, yang berbeda dengan yang tercatat dalam sejarah. Entah ini adalah sebuah kebetulan atau bukan, tetapi yang harus Wei Linglong syukuri adalah dia bisa kembali sadar meskipun dirinya bukan lagi dirinya yang dulu.
“Baiklah. Gadis muda, siapa namamu? Dan siapa aku?”
Sekali lagi, Wei Linglong membuat gadis muda kebingungan.
“Karena nona lupa, aku akan memberitahukannya padamu. Namaku Xiaotan. Aku adalah pelayanmu, nona sendiri yang memberiku nama ini.”
“Ceritakan lebih detail!”
Xiaotan pun mulai bercerita. Katanya, Wei Linglong adalah Wei Linglong, seorang putri dari Jenderal Yun, Wei Yun. Dia adalah gadis pintar yang cantik dan disegani di seluruh kota. Kakaknya adalah Wei Shiji. Orang lebih mengenalnya sebagai Adipati Jing. Namun, Wei Wei Linglong ditinggalkan calon suaminya di hari pernikahan hingga reputasinya menjadi buruk dan para tuan muda di ibukota tidak ingin menikahinya.
Jenderal Yun yang sangat penyayang kemudian memohon pada Kaisar Mingzhu agar putrinya diizinkan masuk istana. Permohonan itu disetujui dengan syarat bahwa Jenderal Yun harus menyerahkan setengah kekuasaan militernya kepada Kaisar Mingzhu. Karena Jenderal Yun adalah orang yang sangat setia, dia dengan sukarela memberikan plakat perintah militer miliknya kepada Kaisar Mingzhu, bahkan diberikan sepenuhnya. Kemudian, Jenderal Yun memutuskan untuk pensiun dan pulang ke kampung halaman bersama keluarganya. Dia meninggalkan putrinya dan menyuruh kakaknya yang menjaganya jika terjadi apa-apa.
“Tapi, kenapa aku dikurung di sini?”
“Nona, saat baru dua hari masuk istana, Ibu Suri datang ke istanamu. Tapi, kau menyinggungnya dan membuatnya marah. Ibu Suri kemudian mengirimmu ke Istana Dingin.”
“Bagaimana caraku menyinggung Ibu Suri saat itu?”
“Kau dengan terang-terangan mengatakan kalau Ibu Suri adalah rubah tua yang licik. Saat itu dia datang untuk mempertanyakan kekuasaan militer Jenderal Yun. Ibu Suri kemudian memasukanmu ke sini karena kau bersikap tidak sopan.”
“Hm. Menarik sekali. Baru dua hari masuk istana tetapi sudah menciptakan masalah sendiri.”
“Nona, asal kau tahu, Ibu Suri itu tidak baik. Dia mencarimu pasti karena merencanakan sesuatu. Meskipun kau cantik dan sedikit berbakat, tapi kau ceroboh dan tidak bisa berpikir dengan matang. Kau memang dikagumi, tapi tidak sedikit juga yang membencimu. Kalau bukan karena calon suamimu kabur di hari pernikahan, kau tidak perlu menderita hingga seperti ini.”
Pelayan ini, apa dia sedang memuji dan menjelekkan Wei Linglong di waktu yang bersamaan?
Mata Xiaotan kembali berair. Pelayan muda tersebut benar-benar menyayangi Wei Linglong. Hubungan majikan dan pelayan ini pasti sangat dalam sekali. Karena sekarang Wei Linglong adalah pemilik tubuh, maka secara otomatis Xiaotan juga menjadi pelayannya. Wei Linglong memutuskan untuk menggunakan identitas barunya untuk bertahan. Setidaknya, hanya itu yang bisa dia lakukan jika dia benar-benar tidak bisa kembali ke dunia modern.
“Jangan menangis lagi. Mataku sudah jemu dan telingaku sudah gatal mendengar tangisanmu.”
Wei Linglong sebenarnya masih tidak percaya pada semua yang telah terjadi. Melintasi waktu ke zaman kuno hanya karena dia keracunan pestisida sungguh tidak masuk akal. Selain itu, orang masuk ke zaman kuno menjadi nona terhormat atau permaisuri, tapi dia malah masuk ke tubuh seorang gadis kesepian yang ditinggalkan calon suami di hari pernikahan dan masuk istana setelah mengorbankan kekuasaan militer ayahnya sendiri.
Syok, tentu saja jangan dikatakan.
Perut Wei Linglong tiba-tiba berbunyi. Bunyinya sangat keras, hingga Xiaotan yang sedang menunduk langsung mendongakkan kepala. Wajahnya memerah. Dia baru ingat kalau perutnya hanya terisi jus pestisida sebelum sekarat hari itu. Sekarang perut barunya sudah keroncongan minta diisi.
“Apa di sini ada makanan? Aku lapar,” tanya Wei Linglong pada Xiaotan.
“Nona, tahanlah sebentar. Istana Dingin tidak seperti istana biasa. Di sini, kau hanya bisa makan satu kali sehari. Makananmu akan datang saat matahari hendak terbenam.”
Wei Linglong melirik meja kecil berdebu. Wajahnya tiba-tiba sayu. Di Istana Dingin ini, mana mungkin ada makanan dan minuman enak. Lihat, bahkan segelas teh hangat saja tidak ada. Orang-orang zaman dulu memang tak tanggung-tanggung saat memberikan hukuman. Mengapa tidak langsung menghukum mati saja? Sekali tebas semuanya sudah beres.
Dia ingin mendengar lebih banyak cerita tentang realitasnya dari Xiaotan. Tetapi, mengisi perut adalah masalah terpenting yang harus ditangani sekarang. Di sini tidak ada makanan, maka dia harus mencarinya sendiri. Wei Linglong yang masih mengenakan pakaian tidur keluar dari kamar Istana Dingin, kemudian berjalan tanpa alas kaki menyusuri tanah basah nan lembab yang ditumbuhi banyak rumput.
“Nona, kau mau ke mana?”
“Mencari makan.”
“Pakai alas kakimu dulu!”
“Tidak. Aku tidak suka sepatu Aladin itu!”
Wei Linglong mengelilingi Istana Dingin diikuti Xiaotan. Matanya melebar ke mana-mana, menyusuri setiap pohon dan dedaunan yang dia lalui. Setelah berputar-putar, Wei Linglong berhenti di bawah sebuah pohon rindang yang daunnya sangat lebat. Meskipun lebat, tetapi buah yang menggantung di setiap rantingnya begitu ranum dan terlihat menggiurkan.
Meskipun lingkungan ini sangat asing, urusan perut tidak bisa ditunda. Pikirkan cara mengenyangkannya dulu, baru berpikir cara untuk kabur dari sini dan kembali ke dunia modern. Dia tidak bisa terus berada di zaman kuno sementara tubuhnya masih terbaring koma di rumah sakit. Orang di sana mungkin akan mengira kalau dia sudah meninggal dan akan segera menguburkannya.
Dia mulai memanjat pohon yang tingginya mungkin sekitar delapan meter lebih. Batang pohonnya yang kasar memudahkan kaki Wei Linglong hingga wanita itu bisa memanjat tanpa hambatan. Angin sepoi-sepot berhembus, menepuk pelan tubuhnya saat ia sudah mencapai puncak. Di bawah sana, Xiaotan menengadahkan kepala, berteriak pada majikannya.
“Tolong! Nonaku mau bunuh diri!”
Wei Linglong melempari pelayannya sebuah buah kecil yang baru dia petik. Bukankah sudah dikatakan kalau dia hanya ingin mencari makan? Bunuh diri apanya! Wei Linglong tidak ada niatan untuk mengakhiri hidup. Selain itu, pohon ini juga tidak terlalu tinggi. Kalau mau bunuh diri di sini, bukan kematian yang dia dapat, tapi rasa malu karena tidak jadi mati.
“Berisik. Aku mau makan! Aish, buah apa ini? Kenapa rasanya asam?”
Wei Linglong memuntahkan daging buah yang dia petik. Rasanya manis dan asam, tetapi dominasi asam lebih kentara. Sial, ternyata dia memakan asam kranji, asam Tiongkok dengan nama latin Dialium indum atau sinonimnya Dialium chocinchinense pierre! Pantas saja rasanya begitu asam.
“Sial! Xiaotan, kenapa orang-orang ini menanam asam kranji di sini?”
“Nona, turunlah dulu. Pelayanmu ini khawatir Kasim Du akan marah padamu!”
“Cih, hanya seorang kasim, tapi berani memarahiku?”
Wanita itu perlahan turun dari atas pohon. Baju putihnya menjadi cokelat terkena getah dan goresan kulit kayu. Dia berjalan lagi, mencari sesuatu yang bisa mengganjal perutnya. Di sini banyak pohon, tetapi tidak ada satu pun yang buahnya bisa dimakan. Ada sebuah pohon persik yang seharusnya berbuah, tetapi malah tinggal rantingnya saja yang meranggas.
“Apa aku harus menderita kelaparan seperti ini?”
Wei Linglong mengeluh. Dia mengusap perutnya yang malang, memberitahu cacing-cacing peliharannya agar bersabar beberapa waktu lagi.
...***...
...(Kasian ya Linglong baru masuk ke cerita udah diasingkan di Istana Dingin, kelaparan lagi. Ada yang mau sumbang makanan buat Linglong nggak?) ...
Sejak dia tersadar dan mengalami kelaparan beberapa hari lalu, Wei Linglong selalu memikirkan cara agar dia bisa segera pulang ke tempat asalnya. Lingkungan yang sepi dan asing serta tidak nyaman ini sangat bertolak belakang dengan kepribadiannya yang menyukai warna-warna cerah dan suasana yang ramai.
Di sini, dia hidup hanya bersama seorang pelayan. Tidak ada teman, tidak ada kenalan yang lain. Tempat tinggalnya begitu terpencil dan sunyi, terutama di malam hari. Hanya lampu temaram dan suara cicak di dinding kayu yang bobrok yang menemani tidurnya. Jatah makan yang biasa tiga kali sehari kini hanya bisa sehari sekali hingga Wei Linglong kerap merasa lapar.
“Xiaotan, sebelum aku bangun, apa yang terjadi?” tanya Wei Linglong pada Xiaotan. Sejak dia bangun, dia belum tahu apa yang terjadi pada pemilik asli tubuh ini sampai dia dan ‘dia’ yang lain menempati tubuh yang sama. Lebih tepatnya, Wei Linglong yang menempati tubuh ‘Wei Linglong’ yang lain.
“Nona sakit saat baru sampai di Istana Dingin. Kita tidak punya kenalan, maka tidak ada tabib yang datang dan memeriksa kemari. Aku juga sudah melapor pada Kasim Du, tapi dia bilang pelayanan mewah seperti itu tidak berlaku untuk para wanita yang dibuang ke Istana Dingin.”
Bibir Wei Linglong otomatis mengerucut. Cih, zaman ini benar-benar kejam. Wanita yang dibuang ke Istana Dingin bukankah tetap manusia? Mengapa mereka begitu kejam sekali? Bahkan jika kesalahan wanita tersebut sangat fatal, apakah dia tidak pantas diperlakukan sebagai manusia? Di masa depan saja ada pengadilan banding untuk meminta keringanan hukuman, apa di zaman ini perlindungan hukum bukan hak semua orang?
“Lalu apa aku bangun hari itu?”
Xiaotan mengangguk cepat.
“Nona sudah tidur selama beberapa hari. Aku pikir, aku pikir nona sudah tidak tertolong. Langit ternyata masih mempunyai mata. Dia membuat nona bangun kembali.”
Bukan langit yang punya mata, tapi jiwa dari dunia lain yang masuk ke tubuh wanita ini!
Tidak ada jalan lain. Dia harus kembali ke masa depan. Wei Linglong pernah mendengar kalau dua jiwa berbeda zaman yang mengalami perjalanan waktu dan bertukar tubuh bisa kembali ke dunia masing-masing saat mati atau berada di ambang kematian. Karena itulah, Wei Linglong meminta Xiaotan memberinya sebuah pisau.
Wei Linglong ingin memotong nadi tangannya, tapi dia ragu saat pisau di tangan kanannya menyentuh kulit pergelangan tangan kirinya. Memotong nadi pasti akan membuatnya kehilangan banyak darah. Wei Linglong tidak suka darah, dia punya trauma melihat darah saat bibinya kecelakaan beberapa tahun lalu. Tidak, cara ini terlalu ekstrim.
Saat Xiaotan pergi, Wei Linglong mencoba kembali dengan seutas tali kain. Dia menggantungnya di pilar langit-langit, kemudian naik ke atas kursi. Kain yang sudah diikat dia kenakan pada lehernya. Kedua tangannya menahannya hingga kain tersebut tidak bersentuhan langsung dengan kulitnya.
“Tidak. Gantung diri terlalu kejam. Nanti napasku jadi sesak.”
Wei Linglong melepas seutas tali kain dan melemparnya ke samping tempat tidur. Dia juga menggeser kursi kembali ke tempatnya. Dua cara yang dia coba sama sekali tidak cocok dengan gayanya. Lehernya bisa merah jika dia menggantungkan tubuhnya di sana.
Dia memikirkan cara lain. Di kamarnya, dia mencari benda yang bisa membuatnya mati tanpa rasa sakit. Wei Linglong menemukan sebuah belati tajam, kemudian menyimpannya kembali karena belati sama saja dengan pisau. Ah, bagaimana jika dia membenturkan kepalanya ke dinding atau tiang? Wei Linglong mengambil ancang-ancang. Dia berlari ke arah tiang, tapi berhenti saat kepalanya hampir menyentuh tiang tersebut. Tidak bisa. Kepalanya bisa benjol jika dibenturkan dengan keras dan pasti berdarah.
“Xiaotan! Xiaotan!” panggil Wei Linglong. Xiaotan muncul dari balik pintu.
“Ada apa, Nona?”
“Apa kita punya benda yang bisa membunuh orang?”
“Nona, kau mau membunuh siapa?”
“Bukan itu maksudku. Hanya untuk berjaga-jaga.”
“Hm. Kita tidak punya benda seperti itu. Tapi, mungkin ada satu benda yang fungsinya sama.”
Mata Wei Linglong berbinar. Ada sedikit harapan berpendar di hatinya.
“Benda apa itu? Cepat katakan padaku!”
“Beberapa hari lalu Kasim Du memberi sebuah botol berisi racun tikus. Dia bilang, di sini banyak tikus dan kecoak. Jadi, dia menyuruhku untuk menggunakannya.”
“Cepat berikan padaku!”
Xiaotan mengorek-orek laci di bawah meja tua. Sebuah botol tanah liat berwarna cokelat kemudian diserahkan kepada Wei Linglong. Botol tersebut adalah botol racun tikus dari Kasim Du. Isinya adalah bubuk berwarna putih yang diracik dari tumbuhan-tumbuhan beracun yang difermentasi dan dikeringkan lalu dikemas dengan hati-hati. Xiaotan belum sempat menggunakannya karena terlalu sibuk mengkhawatirkan kesehatan majikannya.
“Pergilah.”
Xiaotan yang polos meninggalkan Wei Linglong tanpa tahu apa yang akan dilakukan oleh majikannya itu. Di pikirannya sama sekali tidak terlintas prasangka kalau racun tikus tersebut akan digunakan untuk mengakhiri hidup. Xiaotan hanya mengira kalau Wei Linglong pasti membutuhkannya karena banyak tikus yang mengganggunya di malam hari.
Setelah menerima botol tersebut dari Xiaotan, Wei Linglong tanpa ragu langsung membukanya dan menaburkannya ke atas sebuah mantou jatah makannya hari ini. Baunya sangat menyengat hingga Wei Linglong terpaksa menutup hidung. Racun tikus ini memiliki aroma yang kuat daripada pestisida yang biasa digunakan untuk membasmi hama tanaman.
Pestisida? Wei Linglong tiba-tiba teringat pada kejadian yang membuatnya koma. Bukankah tikus termasuk hama yang biasa dibasmi? Kalau begitu, sifat dari racun ini juga sama dengan sifat dari pestisida. Wajah Wei Linglong tiba-tiba masam. Dia tidak mau merasakan sakit seperti saat keracunan pestisida di dunia modern.
“Tidak bisa. Aku sudah pernah merasakan sakitnya keracunan karena pestisida.”
Wei Linglong membuang mantou berisi taburan racun tikus ke halaman lewat jendela. Matanya yang penuh keputusasaan menatap sayu pada pohon persik besar yang tumbuh di samping istananya. Pohon persik itu seperti sedang menertawakannya yang plin-plan memilih cara untuk mengakhiri hidup. Lebih tepatnya, pohon persik itu menertawakan harapan Wei Linglong yang mengira bisa kembali ke masa depan jika dirinya mati.
“Jika lompat dari pohon, nanti tubuhku hancur. Kalau membuat keributan dan dihukum pukul, nanti aku bisa cacat. Hah, kenapa ingin mati saja sangat sulit sekali?”
Wei Linglong sangat putus asak arena tidak dapat menemukan cara yang tepat untuk mati. Dia ingin kembali tanpa harus merasakan sakit di tubuhnya. Rupanya, Wei Linglong tidak punya keberanian yang besar untuk mencoba. Dia terlalu takut dan tidak percaya diri karena dia hanya manusia biasa di kehidupan masa depannya. Andai saja dia seorang tantara militer atau mafia, mati tidak akan menjadi persoalan yang sulit diatasi.
Untuk menenangkan pikirannya, Wei Linglong keluar dari kamarnya. Dia meminta Xiaotan untuk menemaninya jalan-jalan sebentar. Wei Linglong ingin menenangkan dirinya dulu setelah mengeluh sepanjang hari. Siapa tahu setelah dia berjalan-jalan, dia menemukan inspirasi cara bunuh diri yang bagus.
Wei Linglong dan Xiaotan mengelilingi halaman Istana Dingin yang luas ditumbuhi rumput liar. Tempat ini memang tidak pernah dibersihkan dengan baik hingga terlihat seperti bangunan terbengkalai yang sudah bertahun-tahun ditinggalkan. Rumput-rumput itu tumbuh subur di musim gugur, pertanda bahwa tanah tempat tumbuhnya sangat bagus.
Udaranya segar karena masih alami, tidak tercemari polusi seperti asap pabrik dan asap kendaraan. Paru-parunya terasa lebih nyaman dan tubuhnya lebih segar karena pasokan oksigen sangat cukup masuk ke dalam organ pernapasannya. Meski kesehariannya di masa depan tidak lepas dari tumbuhan dan sayuran, tapi suasananya benar-benar berbeda.
Sampai di tepi kolam yang airnya bening, Wei Linglong baru menghentikan langkahnya. Kolam di depannya cukup besar namun tampak tidak terawat. Di sekitar kolam tumbuh banyak teratai yang berbunga indah, seakan tidak mempedulikan lingkungan sekitar yang seperti mengejeknya.
Kolam bening tersebut cukup luas. Letaknya di belakang bangunan utama Istana Dingin. Tidak ada jembatan di atas kolam itu. Kemungkinan, danau ini adalah danau yang terbentuk secara alami dan airnya berasal dari hujan dan mata air yang muncul di bagian utara. Beberapa ekor burung walet terbang di atasnya. Sesekali meluncur untuk membasahi sayap dan bulu tubuhnya lalu terbang kembali.
Wei Linglong menemukan ide. Danau adalah tempat berair yang banyak diceritakan sebagai media bertukarnya jiwa dari alam yang berbeda. Mengapa dia tidak mencobanya saja? Jika Wei Linglong menceburkan diri ke dalam danau, mungkin dia hanya akan kehabisan napas dan kepalanya terisi air. Itu tidak akan terlalu sakit bila dibandingkan dengan menyayat nadi, gantung diri, membenturkan kepala atau minum racun tikus. Apalagi air di danau ini begitu jernih. Dia yakin tidak akan ada makhluk ganas yang akan memakan tubuhnya.
“Berapa kedalaman danau ini?” tanya Wei Linglong pada Xiaotan.
“Kasim Du bilang kedalamannya mungkin hanya setinggi lutut. Nona, kau tidak berpikir untuk bunuh diri di kolam dangkal ini kan?”
Sialan, dari mana Xiaotan mengetahui isi kepalanya. Wajah Wei Linglong berubah masam kembali. Ada cara paling mudah, tetapi malah mematahkan keyakinannya karena ternyata danau itu dangkal. Wei Linglong akan dikatakan anak kecil yang belajar berenang jika tetap memaksakan diri masuk ke sana.
Wei Linglong melemparkan batu ke danau sebagai bentuk frustasinya. Kematian mungkin bukan cara yang baik untuk kembali ke masa depan. Jalan terakhir yang bisa dia lakukan adalah bertahan hidup. Permukaan danau yang tenang jadi bergelombang. Daun-daun teratai ikut bergoyang.
“Xiaotan, apa kita punya uang?”
“Kita masih punya sedikit sisa tabungan di dalam. Ada apa, Nona?”
“Kau bisa berenang?”
“Ah?”
“Ambil beberapa akar teratai itu.”
“Untuk apa?”
“Berbisnis.”
Xiaotan mengangkat roknya hingga selutut. Kakinya berpijak pada dasar kolam yang dipenuhi bebatuan. Dia mulai mencabuti teratai yang sedang mekar, mengangkatnya ke udara untuk memastikan apakah ada akar yang bisa dia ambil. Sementara itu, Wei Linglong mengawasinya dari tepi kolam. Bibir wanita itu menjepit sebatang rumput kecil. Tampaknya, Wei Linglong sudah menemukan ide cemerlang untuk mempertahankan hidupnya.
Akar teratai yang terkumpul dibawa ke Istana Dingin. mata Wei Linglong berbinar cerah. Dia seorang petani masa depan, apapun yang dia temukan bisa menjadi makanan dan uang. Senyum licik tersungging di bibirnya. Biarkan dia membalas dendam atas perutnya yang keroncongan!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!