"Selamat datang kembali di perusahaan Sir. " sapaan dari kepala manager menjadi awal pembuka dipagi hari.
Aldre Jevenus Skholvies, pengusaha muda berusia 24 tahun itu turun dari mobil mewahnya. Sorot mata tajam dan ekspresi dingin senantiasa terpasang diwajah tampannya. Sosoknya selalu menjadi sorotan dimanapun dia berada.
"Lihat deh, tuan Aldre ganteng banget ya.. " bisik salah satu karyawan pada temennya.
"Iya, coba aja kalau dia bisa suka sama aku. Aku pasti beruntung banget. " ucap yang lainnya.
"Dalam mimpimu."
Bisikan bisikan yang lain bersahutan silih berganti. Yang dibicarakan hanya terus melanjutkan langkahnya dengan acuh.
Lelaki tampan itu masuk kedalam lift khusus miliknya. Aroma mint bercampur maskulin miliknya tertinggal disana. Membuat para karyawan wanita semakin histeris.
"Apa jadwal saya hari ini, Brend? " tanyanya pada sang asisten begitu kakinya melangkah keluar dari lift.
"Tidak ada rapat khusus hari ini sir, anda hanya harus memeriksa beberapa laporan pembangun yang sedang berjalan dan laporan keuangan yang baru direvisi " Brendon Maxwell, asistennya menjelaskan dengan cepat dan lugas.
"Oh iya sir, kaka kedua anda baru saja menghubungi sekertaris anda, beliau meminta anda untuk hadir di acara makan malam hari ini " lanjutnya lagi. Aldre mengangguk, langkahnya ia bawa untuk duduk di kursi kebesarannya.
"Kau boleh pergi "
"Kalau begitu saya permisi, sir" asisten berusia 27 tahun tersebut melangkah mundur keluar dari ruangan atasannya itu.
'Makan malam ya? ' tidak penting, tidak terlalu penting baginya untuk hadir disana.
Aldre memulai pekerjaannya. Tangannya meraih salah satu map berisi laporan keuangan. Memeriksanya dengan teliti memastikan tak ada lagi kesalahan.
Tubuh Aldre tersentak begitu mendengar nada dering ponselnya. Merogoh ponsel disaku celananya, tertera nama kaka pertamanya disana, Ardion.
"Hm" deheman singkat keluar dari mulutnya.
"Dingin seperti biasa " ucap Dion.
"Ada apa? Aku sibuk. " tanyanya dingin
"Selalu seperti itu. Kau akan datang? "
"Kenapa? "
"Aku tutup. " Aldre mematikan sambungn telponnya sepihak.
Dion berdecak sebal menatap ponselnya. "Anak ini. " jari jarinya bergerak lincah kembali menghubungi sang adik.
"Ck" aldre berdecak sebal.
"Ada apa lagi? " kesalnya. Dia tidak suka di ganggu saat jam kerja.
"Tidak sopan mematikan sambungan begitu saja, boy. "
"Jangan menggangguku. " ujarnya tajam.
"Kalau begitu kau harus datang atau kaka akan terus merecokimu." ancam Dion
"Yayayaya bawel! "
"Baiklah kaka tutup telponnya, ingat jangan lupa untuk datang " si bungsu berguman pelan sebagai jawaban.
"Good boy" sekali lagi Aldre memustukan begitu saja sambungannya. Melempar ponselnya ke sofa.
Dion terkekeh, merasa gemas dengan sang adik. Dia bisa membayangkan ekspresi adik bungsunya itu.
"Mengerjainya adalah kewajiban.. " Gumamnya sambil terkikik geli.
.
Pukul 5 sore, Aldre menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Membalikan kursi kebesarannya menghadap jendela. Menatap langit yang berubah.
Suara ketukan pintu terdengar, pintu terbuka. Brendon masuk, "apa anda akan datang malam ini tuan? "
"Ka Galih menghubungimu? " tebak Aldre. Lelaki itu masih belum mengalihkan pandangannya.
"Iya tuan. Beliau marah karena anda tidak bisa dihubungi. "
"Katakan saja aku akan datang. "
Brendon dengan sigap mengeluarkan ponselnya, menghubungi putra kedua keluarga Skholvies.
Assistant tampan itu kembali menutup telponnya begitu pembicaraan selesai. Matanya menatap ragu bosnya, "anda--tidak akan datang kan tuan? " tanyanya ragu.
"Kau jelas tau jawabannya Brendon. "
'Benar kan! Setelah ini aku akan mendapatkan hujan rohani lagi dari bos besar. " Brendon mendumal dalam hati.
"Katakan saja pada ayah jika aku pergi tanpa supir. " seolah tau apa yang dipikirkan sang assistant, Aldre berucap dengan tenang.
"Baik tuan. " Brendon mengangguk patuh.
"Kau boleh pulang. "
"Kalau begitu saya permisi dan selamat malam, tuan. "
"Mm. "
-------
"Anak itu tidak akan datang ayah, aku yakin. " kata Daniel.
"Kau tidak dengar yang Assistennya katakan? " ucap Tuan Rayyan.
Daniel terkekeh sini, "ayah percaya? " kepalanya mendongak, menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Jangan seperti itu Daniel. " lerai Dion.
" Brendon tidak mungkin berani berbohong pada kita. " ucapnya lagi.
"Bukan Brendon, tapi adikmu. Ka-- Aku mengenal Aldre sejak emosinya mulai terbentuk. Kau mungkin saudara kandungnya, tapi kau tidak pernah memperhatikkannya dengan baik. "
"Aldre membencinya ka, usaha apapun yang kita lakukan itu tidak akan pernah berhasil. Selama rasa benci itu ada dalam hatinya. Semuanya tidak berguna."
Tepat setelah mengucapkan itu, Daniel pergi dari sana. Meninggalkan Dion yang termangu dengan perkataannya. "Apa aku terlalu sibuk dengan diriku sendiri? "
Perkataan Daniel menyentil perasaannya. Dia merasa tidak berguna menjadi seorang kaka. "Bagus jika kau sadar sekarang. " sindir Galih.
Dion menatap adik pertamanya dengan pandangan yang sulit di artikan. "Kau hanya harus lebih peka pada sekitarmu ka Dion. " Nasehat Kevin.
------
Waktu tidak menyembuhkan semua luka; hanya jarak yang bisa mengurangi sengatannya.
------
Halo.... ini cerita pertama aku!! mohon maaf kalau masih ada salah kata dan beberapa yang gak nyambung
semoga kalian suka sama cerita ini ya...
bagi kritik dan saran kalian ya... supaya aku bisa lebih banyak dapat evaluasi dari kalian.... ☺️😊
boleh juga untuk ide ide cemerlang kalian untuk kelanjutan cerita ini 😊
para pembaca biasanya punya banyak fantasi yang keren, jadi kasih tau aku bagaiman kalian mau cerita ini berjalan kedepannya... 🤔
okay?? 👌
salam sayang author - Annisa Fazlina🥰🥰
Keluarga Courtland tengah sibuk menyiapkam makan malam. Semua makanan yang telah matang, langsung ditata sebaik mungkin di atas meja panjang yang menampung 20 orang.
"Selesaikan sisanya Margareth. Aku akan bersiap lebih dulu. " nyonya Sofia menyerahkan sisa pekerjaannya pada kepala pelayan.
"Baik nyonya. "
Leandra menghampiri sang mamah, "dimana adikmu Leandra? " tanya nyonya Sofia pada putri ketiganya.
"Dikamar mah, sedang bersiap. Dia ingin tampil secantik mungkin. " jelas Leandra.
Nyonya sofia tersenyum lembut, "dia pasti sangat bahagia. Penantiannya akan segera berakhir. "
Leandra mengangguk setuju, "dia bahkan tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Aku jadi khawatir. "
"Kamu ini, ada ada aja. "
Di sebuah kamar berukuran sangat luas dengan warna peach yang mendominasi, terlihat seorang gadis tengah berputar putar di depan kaca.
"Gaunnya sangat cantik. Dia pasti senang melihat ku memakai gaun ini. " senyum manisnya terpatri.
"Dia benar benar akan datang kan? " ada keraguan dalam hatinya. "Dia pasti datang. Aku yakin dia datang. " ucapnya yakin.
"Ara... " panggilan itu membuat sang gadis menoleh. "Wahh, adik kaka cantik sekali. " puji Charles.
Ara tersenyum malu, kepalanya menunduk. "Berapa jam kamu merias diri, hmm" goda lelaki 39 tahun itu.
"Kaka~~" Ara merengek, merasa malu digoda sang kaka.
"Turunlah setelah ini, oke. Dan, jangan lupa rapihkan kamarmu! " Ara menatap sekeliling kamarnya yang berantakan. Memasang cengiran polosnya.
"Yasudah, kaka keluar ya. " Charles melangkah menuju pintu. Ara merapihkan kembali pakainnya, menyusunnya rapih di dalam lemari.
Sekali lagi mematut dirinya di cermin, memastikan tidak ada yang kurang dalam penampilannya.
------
Pukul 7 tepat Aldre keluar dari gedung perusahaannya. Mengendarai mobilnya menuju club.
Masih terlalu dini untuk pergi ke club memang, tapi daripada kembali ke apartment dan beresiko kedatangan sang kaka. Lebih baik bersenang senang.
Aldre mengendarai Rolls-Royce Phantom hitamnya, dengan sebatang nikotin di bibir. Membuka kaca mobilnha, menghembuskan asap yang berkumpuk di mulut.
"Tunggulah, dan aku tidak akan pernah datang. " kekehnya sinis.
"Bodoh, benar-benar bodoh. "
30 menit Aldre tiba di salah satu club terkenal di pusat kota. Menunjukan member cardnya pada penjaga.
"Silahkan masuk tuan Aldre. " ucap salah satu penjaga.
"Mm. "
Masih terasa sepi didalam, hanya ada para bartender yang merapihkan minuman dan gelas.
Lelaki itu duduk disalah satu kursi. Grey, bartender paling terkenal di club itu tertawa heran melihat pelanggan setia mereka sudah berada disana. "Kau bercanda. Ini bahkan masih sore bung, dan kau sudah bertengger manis disini. " menggelengkan kepalanya.
Aldre berdecih, "buatkan saja minumanku. " ketusnya.
"Kabur lagi, heh? " tanya grey, dengan kedua tangan yang terus bergerak lincah meracik minuman.
"Mmm. "
"Menghindari masalah tidak akan menyelesaikan apapun bung. "
"Diamlah! Urus saja botol botol kesayanganmu. "
Grey marlin. Dia adalah teman dekat Aldre saat SHS dulu. Satu satunya orang selain keluarga dan sahabatnya yang tau tentang masa lalunya.
Grey yang membantu Aldre mencari bukti kejadian 6 tahun lalu. Kejadian yang membuat putra bungsu keluarga Skholvies mengasingkan dirinya selama 6 tahun.
Kejadian yang membuatnya bahkan terus menghindari keluarganya sampai detik ini.
"Dia datang kesini beberapa minggu lalu. " perkataan bartender tampan itu menghentikan Aldre yang tengah menenggak champagne.
"Dia--"
Grey mengangguk, menatap lurus temannya. "Bersama kaka iparmu. Mereka tau kau sering keluar masuk club, mereka mencarimu. Tapi kau tidak perlu khawatir, informasimu aman disini. " ucapnya.
"Aku sudah bilang kan, temui dia dan bicaralah padanya." Lanjut Grey.
"Never! "
"Terserahlah, aku lelah menasihatimu. "
Grey pergi dari sana, menuju ruang penyimpanan untuk menukar beberapa botol kosong dengan yang baru.
Beberapa pengunjung mulai berdatangan. "Persetan! "
-------
Sudah lebih dari setengah jam dari jadwal seharusnya, tapj yang ditunggu belum juga tiba.
"Kemana anak itu? " gumam tuan Rayyan. Pria paruh baya itu sudah memastikan apartment dan kantornya. Tapi putranya itu tidak ada disana.
"Masih belum datang? " tanya Kevin pada sang istri. Galih menggeleng, ada kekhawatiran diwajahnya.
"Kita mulai makan malamnya. Mungkin dia akan terlambat. " Tuan Revano selaku pemilik rumah bersuara.
Sampai makan malam itu usai, yang ditunggu masih belum juga menunjukan batang hidungnya.
Ara meremat kedua tangannya, perasaannya tak menentu. Lagi? Lelaki itu menghindarinya lagi!
Dion menggeram marah, dia terus bolak balik menempalkan ponselnya ketelinga. "Kemana bocah itu sebenarnya? " geramnya. Adik bungsunya itu tak juga mengangkat telponnya.
"Sudahlah ka Dion, tidak ada gunanya. " ujar Daniel. Semua orang menoleh kearahnya.
"Sudah aku katakan bukan, bahwa dia tidak akan datang. Sudahlah! usaha kalian tidak akan ada gunanya. "
Galih menatap tajam adiknya, "Daniel!! " ucapnya memperingatkan.
Daniel menatap sang kaka, seolah menantangnya. "Apa? Memang benarkan? Kalian bertingkah seperti dia adalah buronan. "
Ana menarik lengan suaminya, memberikan isyarat untuk berhenti. "Dan--" lelaki itu mengangkat tangannya, meminta sang istri untuk diam.
"Apa maksudmu Daniel? " tegur tuan Revano.
"Kalian mengejarnya, memaksanya untuk memaafkan putri kalian. Tapi kalian lupa siapa yang sebenarnya salah disini."
"Aku tidak bermaksud menghakimi Ara, tapi bukankah Ara yang harusnya berjuang mendapatkan maafnya? "
"Ka! Kita tau bahwa Ara sedang berjuang untuk itu. " seru Verel.
"Berjuang apa? Hah?? Apa yang dia perjuangkan?? "
"Yang dia lakukan hanya duduk manis dan kita yang bekerja!" Daniel berteriak marah.
"Ka--"
Ucapan Verel terhenti dengan amarah Daniel yang semakin menjadi jadi. "Apa kau tau bagaimana perasaan adik ku Ver? Apa kau tau bagaimana kacaunya dia? Kalian mencecarnya seolah kesalahan ini adalah ulahnya! " murkanya.
"Aku tidak bisa lagi mengenali adikku! Setiap kali berbicara dengannya aku tidak tau siapa yang ada dihadapanku!! "
"Kau tidak mengerti Ver, kau tidak mengerti. Adikku hancur, dia mati, dia sudah mati... " Daniel mulai terisak. Sangat sakit mengingat bagaimana adiknya saat ini.
"Kalian menghakiminya tapi melindungi yang salah."
Ana mengelus punggung suaminya, dia mengerti perasaan sang suami. Dia menyaksikan sendiri bagaimana hancurnya anak yang dulu sangat manis itu.
"Dia berusaha mati matian berdiri dengan kakinya sendiri. Tidak ada yang menopangnya, tidak ada yang menjadi pegangan untuknya! Tidak ada yang memeluknya saat dia benar-benar butuh!"
"Ayah melarang kami menemaninya. Aku harus membuat seribu macam alasan untuk bisa menemui adik ku. Dia menghukum dirinya sendiri, menyalahkan apa yang terjadi seakan itu memang kesalahannya. "
"APA KALIAN TIDAK PERNAH BERPIKIR HAH??!! "
"PERSETAN DENGAN KALIAN SEMUA!! AKU AKAN MENJADI ORANG PERTAMA YANG TIDAK AKAN PERNAH MEMBIARKAN KAU MENYENTUH KEMBALI ADIKKU, ARA! KAU DENGAR ITU!! " Daniel mengamuk seperti orang kesetanan. Ana mengejar sang suami.
Semua orang terdiam. Tuan Rayyan tersentil, pria paruh baya itu baru menyadari betapa egoisnya dia.
Ara terisak kencang. Seandainya saja dia tidak egois, seandainya dia mau mendengarkan orang lain, sendainya dia tidak keras kepala.
------
Dalam interval waktu ini, aku mungkin menyesal telah mencintaimu. Tapi untukmu, engkau akan menyesal telah kehilangan diriku sepanjang hidupmu.
------
Sinar matahari menerobos masuk melalui celah celah jendela. Membangunkan seorang lelaki tampan yang tertidur tak karuan di atas sofa.
Kepalanya menggantung dipinggir sofa, tangan yang merentang, dan kedua kakinya berada diatas ranjang. Sepertinya si tampan ini melakukan kayang sebelum tidur!
Aldre mengerang, merasakan sakit dikepalanya. Terlalu banyak alkohol.
"Ssshh.. Kenapa aku tidur seperti ini? Haishhh. " Aldre bersusah payah untuk bangkit. Lelaki itu terjengkang, kepalanya menghantam lantai lebih dulu.
"Akkhh. Lantai sialan! " Aldre mengumpat kesal. Memukul lantai dengan keras, menyalahkan benda mati itu yang menciumnya sembarangan.
"Lapar... " ucapnya memelas.
Lelaki itu bangkit menuju kamar mandi. Dia harus membersihkan dirinya, agar kadar ketampanannya tidak merosot.
"Gua gak mungkin masak sambil mabok kan? " Aldre menatap heran sepiring omelette dan sosis di hadapannya.
"Masih anget. Masa iya gua masak pas mabok? " lelaki itu masih asik bergumam, tidak menyadari sama sekali sosok yang sedang menyilangkan tangan didada.
"Kau seperti orang gila jika berbicara sendiri little brother. " Aldre melompat kaget. Matanya melotot horor sang kaka.
"Apa? Kamu pikir kakakmu ini hantu. " gerutu Daniel.
Matanya memicing, "sejak kapan kaka disini? "
"Kepo. "
"Ck "
"Kau mabuk lagi bocah nakal? Berapa kali kaka bilang berhenti mabuk. " Daniel berucap jengkel.
Aldre mengibaskan sebelah tangannya. "Iyaiya. Nanti, kalau gak gabut. " guraunya.
Daniel melempar sepotong sosis, yang ditangkap tepat oleh Aldre.
Daniel menatap lekat sang adik. Ada perasaan lega melihat sang adik masih mau bercanda dengannya.
"Al--" panggil Daniel. "Mm" Aldre menyahut dengan deheman singkat.
"How do you feels? "
Aldre terdiam sesaat, kunyahan di mulutnya melambat. "Why? " tanyanya. Suaranya terdengar berbisik.
"Mulai sekarang, kaka mau kamu katakan apapun yang kamu rasakan pada kaka. Bisakah? " pinta Daniel.
Aldre menatap sang kaka, tersenyum tipis. "Akan aku coba. "
"Baiklah, kaka harus menjemput kaka iparmu sekarang. Jangan mabuk lagi ingat! "
"Mmm. Sampaikan salam ku pada ka Ana. "
Daniel mengangkat tangannya, memberikan tanda ok.
"Kau bukan kaka kandungku, tapi kenapa yang paling perduli? Terimakasih sudah hadir dalam hidupku, ka. Aku tidak tau bagaimana aku tanpamu. " Aldre merasa sangat bersyukur karena memiliki sosok seperti Daniel dalam hidupnya.
Ara termenung di dalam kamarnya. Semua ucapan Daniel tadi malam, masih terngiang jelas diotaknya.
"Ka Daniel benar, aku memang egois. Gak seharusnya aku mengandalkan keluarga karena masalah yang aku buat. " Gadis itu bermonolog.
"Maafkan aku, aku terlalu meremehkanmu. Maaf. " air matanya luruh sekali lagi. Tubuh mungilnya kembali bergetar.
"Bodoh Ara, kenapa kau begitu bodoh. "
Isabella menatap sendu adik bungsunya. Dia tidak bisa berbuat lebih banyak. Adiknya sudah dewasa, dia harus bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Tubuhnya berbalik keluar, menutup pintu perlahan. Mengusap perutnya yang besar. "Apa kau khawatir pada bibimu sayang? Kau terus menendang perut bunda sejak tadi. "
Wanita hamil itu tersenyum kecil, "jangan marah pada bunda sayang. Mmm, akan bunda adukan pada ayah nanti ya? Kau nakal sekali. "
Bibirnya mengerucut lucu mendapati sang suami yang berdiri tak jauh darinya. Pria yang lebih tua tujuh tahun darinya itu tertawa kecil melihat sang istri yang berbicara dengan perut besarnya.
"Mmm, kaka menertawakan aku! " rajuknya.
"Hahaha, maaf sayang. Tapi lucu melihatmu mengajaknya berbicara seperti itu. " seru Justin.
"Dia terus menendang perutku sejak tadi. " Isabella menunjuk perut besarnya, mengadu pada sang suami.
Justin perlahan mendekat, berjongkok dihadapan perut besar sang istri. "Kau marah pada bundamu, nak? " Justin bertanya sambil mendekatkan telinganya pada perut buncit Isabella.
"Apa? Kamu marah karena ayah tidak mengunjungimu? Ohh anakku, maafkan ayahmu ini ya. Bukannya ayah tidak merindukanmu, tapi apalah daya jika bundamu tidak mengijinkan. Ayah bisa apa nak? " Justin berucap dramatis.
Isabella merengut kesal, menarik telinga sang suami dengan kencang. "Jangan mengada-ngada ya kak! " peringatnya.
Justin meringis, "aku hanya mengatakan apa yang dia mauuu. Siapa yang mengada-ngada. " belanya.
"Aku masih sanggup meremukkan kebanggaanmu dengan ibu jari kakiku jika kaka masih menyebalkan seperti ini. " Justin memasang cengirannya.
Ara tertawa geli melihat sang kaka dan kaka iparnya. Dia yang hendak keluar kamar, mendapatkan hiburan gratis.
"Ka justin ini, sudah tua juga. " ujar Ara. "Tuh dengerin adik iparmu. Kamu itu sudah tua ka. T-U-A" Isabella menyambar cepat.
"Nyenyenye.... Bodo amat bodo amat. " Justin melengos tidak perduli, meninggalkan sang istri dan adik iparnya.
"Kaka iparmu tuh. " Isabella mengeluh. Ara menatap geli sang kaka. "Lohh, itu kan suami kaka. "
"Aku mau tuker tambahhh.. " Isabella memanyunkan bibirnya kesal.
"AKU DENGER YA BEE!! " Isabella melotot horor, sedangkan Ara kembali tertawa kali ini lebih keras.
Suaminya itu, kenapa telinganya seperti gajah. Peka sekali dengan perkataannya. Gagal deh tuker tambah.
Kedua kaka adik itu berjalan beriringan menuju lantai bawah. Setelah keluar dari lift, Isabella berpapasan dengan sang suami yang sedang berbicara dengan kaka keduanya, Javin.
Justin menatap sinis istrinya, sedangkan Isabella hanya melengos acuh. "Tingkah apa lagi yang kau buat hingga suamimu merajuk hah? " sewot Javin.
Isabella menatap abangya tanpa dosa, "skip baperannnn. " ujarnya santai. Tawa Ara meledak, kakaknya ini pandai sekali memancing. Terutama memancing emosi orang.
Javin menggeram, dia tidak mau menjadi pelampiasan sahabatnya itu jika sedang kesal dengan adiknya yang sangat menyebalkan ini. "Isabella!! "
"Apasi ah! Berisik!! "
"Minta maaf pada suamimu! " Javin berseru gemas.
"Ada apa sih? Pagi-pagi udah ribut. " nyonya Sofia datang dari dapur. "Ini loh mah. Isabella, seneng banget mancing emosi Justin. Siapa nantj yang kena imbasnya? " Javin mengadu pada sang mamah.
Nyonya Sofia menatap heran putrinya, "Isabella! Apa lagi kali ini? "
"Ka Bella bilang mau tuker tambah suami mah. " adu Ara. Nyonya Sofia melotot, "Isabella!! "
"Ka Justin udah tua mah, Isabella pengen berondong. " lempeng sekali mulut wanita satu ini.
"Heh!! " Justin berseru kencang. Sekali lagi tawa Ara meledak. Justin benar-benar gemas dengan sang istri. Jika wanita itu sedang tidak hamil sudah dia unyeng-unyeng kepalanya.
"Pahh.. Liat anakmu nih! Ampun dehh." Nyonya Sofia mengadu pada sang suami yang baru saja tiba. "Ini baru anak papah. " ucap tuan Revano bangga.
Javin berdecak, sudah dia duga papahnya ini pasti mendukhng putri kesayangannya. "Kan kan ketauan kan ajar ajaran sape! "
Ara benar-benar tidak bisa menghentikan tawanya. Gadis itu sampai bercucuran air mata. Semua orang tersenyum, Isabella memang selalu bisa mencairkan suasana.
Justin melepaskan sepatunha, menyambit adik iparnya. Lemparan mengenai tepat punggung gadis itu. "Seneng bener lu ya? Hah, pengen tak hihh.. " sewotnya.
"Ka Justin harus liat muka ka Justin tadi. Kaya ditagih utang ama mantan. " ledek Ara.
"Heh!! Yang sopan ye aman orang kaya! "
"Apaan sih boo. Buaya lo lepas onoh ege, tangkep buru, ntar bangkrut lohh.. " Isabella kembali meledek sang suami.
"Kok bangkrut? " tanya tuan Revano bingung.
"Lahh papah lupa? Usaha suami aku kan penangkaran kadal berkedok buaya. " ujar Isabella polos.
Kali ini Javin yang tertawa keras. Lelaki itu bahkan sampai berguling di lantai. Para pelayan yang sejak tadi mendengar tak lagi bisa menahan taws mereka.
Justin menatap geram istrinya. "Gua tinggal pas lahiran kelar hidup lo. " ancamnya.
Isabella langsung merengut. "Ahhh, aku bercandaaa... " rengeknya.
"Bodo amat...bodo amat..."
"Kaka ihhh... "
"Kakaaaa... "
"Aku bilangin Jeven nihhh... "
"Ora urussss... Ora urusss... "
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!