NovelToon NovelToon

Suami Bayangan

Pertolongan

“ Tolong .. " Jerit wanita paruh baya yang kini tersudut di antara ujung jembatan penyebrangan orang. Baik dari depan maupun belakang nya dua sosok pria bertubuh kekar dan berwajah sangar telah menghadang jalannya.

Suasana mencekam itu membuat Diana tak lagi berharap akan melihat matahari esok pagi. Di tengah hujan deras dan gelapnya malam Diana hanya bisa menekuk tubuhnya menanti ajal mendatangi.

Tama yang saat itu hendak pergi kerja sift malam dengan terpaksa melewati jalur sepi yang tak biasanya dia lewati karena ini merupakan jalur pintas agar lebih cepat menuju pabrik tempatnya bekerja. Di tengah perjalanan menembus hujan deras, samar terdengar suara wanita meminta tolong. Awalnya Tama bergidik ngeri dalam suasana sepi dan gelap mendengar suara aneh namun begitu kepalanya menengadah ke arah JPO di lihatnya dua orang pria yang hendak melakukan tindak kekerasan pada seorang wanita. Segera Tama turun dari sepedah motornya dan berlari hendak memberi pertolongan.

“ Berhenti, apa yang kalian lakukan berengsek. Berani nya pada wanita tak berdaya. " Ucap Tama sambil menarik baju salah seorang pria.

“ Jangan ikut campur ! Pergi selagi kau tak ingjn kehilangan nyawa .. " Ancam pria bertubuh kekar itu.

“ Cih, aku akan menjadi banci jika hanya berlari pergi. Kemari bu larilah dan cari pertolongan " Titah Tama yang sudah terlebih dulu mengamankan Diana di belakangnya.

Diana mengikuti titah Tama dan berlari secepat mungkin turun menuju tempat dimana mobilnya terparkir di ujung jalan sepi itu. Diana segera menaiki mobilnya dan mengunci diri di dalam, dengan tangan yang gemetar Diana menghubungi Polisi dan Putranya Bian.

“ Tolong mami Bi ! Mami kirim lokasi, mami di hadang dua pria. Cepat kesini Bi " Ucap Diana suara nyaris tak jelas namun Bian di sebrang suara masih bisa mendengar Ibu nya yang meminta pertolongan dalam keadaan panik.

Bian memacu mobil sport nya dalam kecepatan tinggi dengan membawa beberapa pengawal di belakagnya. Pikiran Bian sudah kacau, jantung nya berdegup cepat. 10 menit berselang Bian sampai dan menemukan mobil yang dikenalnya sebagai mobil Diana, ibunya.

“ Mami .. " Bian mengetuk kaca mobil berulang kali membuat Diana tersentak kaget.

“ Astaga Bian tolong mami Bian "

“ Ada apa Mi ? Dimana mereka ? " Tanya Bian menuntut.

“ Disana ! Diatas sana. Dengan seorang pemuda yang menolong Mami. Pergi dan selamatkan dia. " Pinta Diana masih dengan tubuh yang bergetar.

Bian meninggalkan Ibunya bersama beberapa pengawal dan membawa sebagian lagi bersamanya menyusul untuk memberi pelajaran pada orang orang yang lancang menyakiti Ibunya. Sesampainya di JPO orang yang dicari tak nampak batang hidungnya, yang ada hanyalah seorang pria muda yang terkapar dengan luka sobek menganga di perutnya yang mengeluarkan darah segar.

“ Astaga, panggil ambulans. Cepat ! " Perintah Bian pada pengawalnya.

Dengan cekatan Bian melepaskan jaket yang di pakai untuk menekam luka yang di derita Tama akibat tikaman kedua orang itu. Tama sudah dalam keadaan tak sadarkan diri namun masih bernyawa.

“ Bertahanlah dude ! " Ucap Bian begitu ambulans datang, membiarkan paramedis membawa Tama sedangkan Bian dan Diana menyusul menggunakan mobil mereka.

“ Bian bagaimana keadaan anak muda tadi ? " Tanya Diana khawatir.

“ Luka tusuknya cukup parah Mi. Semoga saja dia selamat "

“ Ah Tuhan, mami berhutangnya padanya Bi. Jika bukan karena dia mungkin mayat mami yang kamu temukan .. " Isak Diana penuh penyesalan.

“ Jangan katakan itu lagi Mi. Dia menolong mami tentu dia tahu resikonya. Lebih baik sekarang kita pastikan keadaannya dan kita juga harus memeriksa keadaan mami " Bian menggenggam tangan Diana memberi ketenangan untuknya.

Sesampainya di rumah sakit, mereka berlari menuju IGD. Para petugas yang jaga pun di buat kaget karena Diana dan Bian datang dalam keadaan yang kacau, ternyata Diana adalah pemilik Rumah Sakit itu.

“ Bu Diana ? Ada terjadi sesuatu ? Duduklah " Titah Dokter Rama yang sedang berjaga malam.

“ Aku baik baik saja, anak muda yang baru saja masuk dengan luka tusuk apa sudah di tangani ? " Tanya Diana.

“ Sedang dalam perawatan Bu, namun keadaannya kritis. Kami sedang menyiapkan ruang operasi dan menunggu dokter spesialis bedah untuk menangani nya. "

“ Menunggu katamu ? Apa dia bisa menunggu ? " Sungut Bian yang memang di kenal tempramen dan tegas.

“ Tenang Pak kami sedang berusaha menghentikan pendarahannya namun ada organ yang rusak sehingga membutuhkan operasi lanjut "

“ Segera lakukan ! " Perintah Bian tegas.

“ Baik Pak, kami akan segera membawanya. " Dokter Rama berlari menghampiri dokter dan perawat yang menangani Tama.

Berkat tuntutan Bian, ruang operasi di siapkan lebih cepat dan Tama pun mendapat tindakan pembedahan.

“ Mami lebih baik ganti baju, mami basah lalu istirahat di ruang VIP. Bian yang akan berjaga disini sampai operasi nya selesai lalu mengabari mami ya ? " Bujuk Bian yang mengkhawatirkan keadaan Ibu nya.

“ Betul Bu, biar saya antar Ibu ke ruangan. Saya sudah siapkan baju ganti disana mari bu .. " Ajak seorang perawat yang sebelumnya sudah Bian perintahkan untuk merawat Diana.

“ Baiklah, tapi janji kabari mami ya Bi ? "

“ Tentu Mi, Bian juga sedang mencari informasi keluarganya. Bian akan segera mengabari keluarganya dan membawanya kemari. "

“ Terimakasih Bi, lakukan sebaik mungkin " Diana mengusap lengan putra kesayangannya itu lalu berlalu meninggalkannya.

Dalam waktu 30 menit Bian sudah mendapatkan kabar tentang identitas Tama dan keluarganya, menurut informasi orangnya Tama merupakan buruh pabrik yang mengontrak rumah tidak jauh dari tempat kejadian bersama adik perempuannya. Bian segera memerintahkan untuk menjemput dan mengabarkan keadaan Bian pada adiknya, Renata.

Renata berjalan gontai menyusuri lorong rumah sakit menuju ruang tunggu di depan ruang bedah. Renata hanya mengikuti langkah pria di depannya, hingga akhirnya ia menemukan ujung dan bertemu dengan Bian.

“ Halo dek saya Bian, saya anak dari ibu yang kakak mu tolong. Saya juga yang membawa nya kemari. " Bian memperkenalkan diri sebelumnya.

“ Bagaimana keadaan kak Tama ? Dia baik bukan ? Dia akan selamat " Cerca Renata dengan terisak.

“ Saya belum tahu, tapi kami pasti berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan nya " Jawab Bian tenang.

“ Ya Tuhan, jawab kenapa kakak ku bisa begini ? Harusnya kakak ku pergi bekerja bukan malah menyelamatkan seseorang dan berakhir menyedihkan begini. " Racau Renata yang sedikit menyakiti perasaan Bian.

“ Tenanglah, siapa namamu ? Kakakmu begitu berbesar hati menolong ibuku. Jangan buat dia bersedih karena pengorbanannya kamu pertanyakan. "

“ Persetan dengan pengorbanan ! Bagaimana jika kakak ku mati hah ? Aku akan hidup sebatang kara ! " Jerit Renata yang mulai kehilangan kendali, menjatuhkan tubuhnya yang kini terasa lemas lalu perlahan kehilangan kesadaran.

“ Bawa dia ! Berikan dia perawatan. Dia sepertinya shock " Ucap Bian pada seorang perawat yang berjaga tak jauh dari sana.

Kepala Bian terasa berat kini, semua terjadi begitu cepat. Bian meraih bungkus rokok di saku jaketnya yang di lumuri darah.

“ Sial ! " Gerutu Bian begitu melihat rokoknya menjadi basah bercampur air hujan dan darah.

Kabar Buruk

Bian sedang asik menyesap rokoknya ketika ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari seorang pengawal harus mengacaukan ketenangannya.

“ Gimana ? " Tanya Bian dengan nada malas.

“ Operasi sudah selesai bos. Tapi dokter minta bicara langsung ke bos. " Jelasnya.

“ Ok gue kesana ! " Bian segera bangkit dari smoking area di taman samping rumah sakit.

Bian berjalan cepat, sesuatu pasti telah terjadi pikir Bian karena jika yang datang kabar baik dan operasi nya berhasil tentu saja Bian tidak akan sampai diminta bertemu dengan dokter. Sesampainya disana dokter sudah menunggu dengan raut menggelap.

“ Ada kabar buruk apa ? " Tanya Bian dengan nada sarkasnya.

“ Bagaiaman anda tau Pak ? Itu .. "

“ Ck .. Dari wajahmu saja saya bisa lihat kegagalan. Katakan ! " Titah Bian setelah memotong kata kata dokter bedah.

“ Pendarahannya sudah terkendali begitupun organ yang rusak sudah kami perbaiki semaksimal mungkin, tapi keadaannya kritis kehilangan banyak darah dan terjadi kegagalan di beberapa organ. Saya rasa pasien tidak akan bisa bertahan lebih lama. ” Jelas dokter panjang lebar.

“ Bawa dia ke ruang perawatan dan perhatikan. Pastikan dia sadar sebelum menemui ajalnya ! Jika tidak maka karir mu akan mati bersamaan kematiannya "

“ Baik Pak kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk membuat pasien stabil " Jawab Dokter itu segera karena merasa ngeri akan ancaman Bian.

Bian menarik nafas panjang, lalu berjalan perlahan menuju ruang Ibunya beristirahat. Seperti janjinya, Bian akan datang mengabari Diana secara langsung meski sekarang masih pagi buta.

“ Mi .. apa sedang tidur ? " Tanya Bian yang melihat Diana meringkuk di atas ranjang perawatan.

“ Enggak Bi. Kemari " Jawab Diana seraya membalikkan tubuhnya memperhatikan putranya yang terlihat berekspresi datar itu.

“ Maaf Mi, Bian kesini tidak untuk mengabarkan kabar baik .. " Bian menunduk.

“ Lantas ? " Diana bangkit untuk memperhatikan apa yang akan putranya bicarakan.

“ Orang itu tidak akan bertahan lebih lama lagi " Sesal Bian.

“ Apa dia memiliki keluarga Bi ? Mami ingin bertemu dengan siapapun keluarganya. " Pinta Diana dengan suara serak.

“ Ada seorang adik perempuan, tapi lebih baik mami tidak menemuinya. Dia gadis yang kurang ajar ! " Sungut Bian.

“ Bian jaga bicara mu. Dia tentu bersedih kita harus memaklumi jika dia berkata yang kurang menyenangkan "

“ Bagaimana mami aja .. " Bian membantu Diana turun dari ranjang lalu memapah nya berjalan menuju ruangan Renata di rawat setelah pingsan.

Kaki Diana terasa lemas, kepalanya pun sedikit pusing mungkin karena lelah berlari semalam dan juga kehujanan di tengah malam. Diana kini duduk di sofa samping ranjang Renata, menunggu gadis muda itu sadar dari pingsan nya. Di samping Diana juga di temani Bian yang sedang terlelap karena lelah berjaga semalaman.

“ Emh kakak .. " Panggil Renata masih dengan mata terpejam.

“ Bangun nak, ada saya disini " Seru Renata yang merasa iba pada gadis itu.

“ Siapa anda ? " Tanya Renata begitu sadar sepenuhnya.

“ Saya Diana, yang kakak mu tolong semalam. "

“ Oh jadi Ibu yang sudah membuat kakak ku celaka ? " Cerca Renata.

“ Maaf sayang, saya juga tidak mau seperti ini. Maafkan saya " Diana terisak memohon ampun pada Renata.

“ Apa hati mu sedingin itu ? Kamu tidak lihat mami ku pun sangat menderita ? Mami ku tidak meminta kakak mu menolongnya. Tapi kakak mu dengan sadar menolongnya sendiri. Jadi berhenti bersikap seolah kami yang mencelakai kakak mu ! " Bentak Bian yang terbangun mendengar keributan di depan matanya.

Seketika Renata pun terdiam, Renata akhirna ikut terisak menumpahkan segala rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Tanpa sadar Renata pun memeluk Diana, pelukan yang terasa begitu nyaman. Pelukan seorang ibu yang telah lama tak Renata rasakan.

“ Bisakah saya menemui Kak Tama ? " Tanya Renata begitu merasa tenang.

“ Sebentar .. " Jawab Bian yang segera mengambil ponsel untuk mencari tau kabar Tama.

“ Ayo ! Biar aku antar .. " Ajak Bian yang hendak membantu Renata turun.

“ Tidak perlu ! Saya bisa sendiri. "

“ Baiklah terserahmu saja ! "

Renata berjalan menyusuri lorong rumah sakit di temani Bian di sampingnya. Bian pun bukan ingin mengantar gadis keras kepala ini, hanya saja itu permintaan Diana dan Bian tak kuasa menolaknya. Mereka berjalan dalam kesunyian, baik Renata maupun Bian memilih bungkam.

“ Pakai dulu ini .. " Bian memberikan pakaian khusus yang harus di kenakan ketika akan memasuki ruang intensif.

Tanpa suara Renata pun mengambilnya lalu segera mengenakannya. Begitu masuk, Renata melihat Tama yang dipasangi seluruh alat penunjang hidup di sekujur tubuhnya. Tangis Renata kembali pecah, di genggamnya tangan Tama lalu menangis di atasnya.

“ Kak bangun .. Rere gak bisa kalo gak ada kakak. Rere hidup sama siapa kak ? " Isak gadis itu.

Bian hanya bisa mendengar dan memperhatikan Renata dari belakang, Bian meraih ponsel di saku nya lalu memerintahkan Alvin asistennya untuk mencari tau latar belakang Tama dan Renata. Bian ingin memastikan apa kah benar mereka hanya hidup berdua dan tidak mencoba untuk menipu keluarganya agar menjadi iba.

Waktu berlalu, jam di dinding pun menunjukkan pukul satu siang. Alvin baru saja datang dari Jakarta. Ya sebelumnya Diana dan Bian ke kota ini hanya untuk kunjungan kerja. Mahesa Hospital memiliki lima cabang di seluruh Jawa-Bali dan salah satunya yang berdiri di kota kelahiran Renata.

“ Kok bisa gini sih Mi ? " Tanya Alvin khawatir, Diana sudah Alvin anggap seperti ibu nya begitu pun sebaliknya.

“ Polisi masih mengusut motif nya, Mami juga belum tau Vin. "

“ Alvin udah bilang biar Alvin aja yang kesini tapi mami bersikeras kesini. Lantas korban penusukan itu udah baikan Bi ? " Tanya Alvin pada Bian.

“ Masih kritis, gimana Lu udah dapet kabar identitas Tama sama adiknya ? "

“ Menurut orang kepercayaan gue disini mereka udah cari tau dan kabar itu valid. Sejak 8 Tahun yang lalu orangtua mereka sudah meninggal karena kecelakaan dan Tama satu satunya tulang punggung sekaligus keluarga yang Renata punya. " Jelas Alvin pada Bian.

“ Om ? Tante ? Kakek ? Nenek ? Yakin mereka cuman berdua ? " Tanya Bian semakin heran.

“ Gak ada Bi, orangtua mereka anak tunggal. Kakek nenek mereka juga udah lama meninggal. " Tambah Alvin

“ Malang sekali nasibnya Bi .. Kalo kakak nya gak selamat dia akan sangat menderita. "

Bian menjatuhkan tubuhnya di sofa lalu menarik nafas panjang, Bian berpikir Diana pasti akan meminta untuk membawa gadis itu pulang setelah tau bagaimana keadaannya jika nanti Tam benar benar tidak dapat diselamatkan.

“ Bagaimana pun caranya selamatkan lelaki itu ! Berapapun perawatan nya dan kalo perlu bawa dia keluar negeri gak masalah saya yang akan menanggung semua perawatannya. " Titah Bian pada dokter yang menangani Tama.

“ Kondisi pasien tidak stabil untuk di bawa ke luar negeri Pak, terlebih keadaannya pun semakin menurun. "

“ Saya tidak peduli. Saya menggaji mu mahal untuk memastikan kerja mu bagus dok ! " Intimidasi Bian.

“ Tapi seberapa mahal pun Bapak menggaji kami, kita tidak bisa melawan kehendak Tuhan ! "

Bukan karena iba atau tanda terimakasih Bian melakukan semua ini, tapi Bian tidak mau terikat lebih jauh dan akhirnya di manfaatkan oleh orang orang yang bahkan baru saja di kenalnya dalam semalam.

Angin Lalu

Sudah hari ke lima semenjak kejadian, Tama masih belum menunjukkan akan tersadar dari koma nya. Bian, Diana dan Alvin pun masih setia menemani mereka di Rumah Sakit meski sejujurnya Bian sudah sangat muak dan ingin kembali bekerja di kantornya.

“ Mi apa gak bisa Alvin aja yang disini ? " Tanya Bian memelas.

“ Ko gitu sih Bi ? Kamu dari awal gak kelihatan ada rasa bersalah atau gimana gitu .. " Gerutu Diana pada putranya.

“ Bukan gitu Mi, Bian kan harus balik kerja. Perusahaan kita di Jakarta siapa yang mau urus ? Alvin juga kan dibawa kesini. "

“ Sehari ini lagi saja ya Bi ? Mami mohon temenin Mami "

“ Ok .. Ok Mi sehari " Lagi lagi Bian tak bisa menolak kehendak Diana.

Dengan perasaan kesal Bian berjalan menuju rooftop yang menyediakan smoking area. Tak berapa lama Alvin pun menyusul kesana.

“ Bi .. " Panggil Alvin sambil menepuk pundak Bian, atasan yang sudah di anggap adiknya sendiri. Ya usia Alvin saat ini 31 tahun selisih 2 tahun dengan Bian.

“ Hmm "

“ Kenapa Lo ? Kaya kesel gitu " Tanya Alvin yang kini ikut menyesap rokok.

“ Gue pengen balik, tapi Mami minta sehari lagi di temenin. Buang buang waktu "

“ Kejam banget Lo, udah seharusnya kita tanggung jawab sama mereka Bi "

“ Ini kan gue udah tanggung jawab. Gak perlu berlebihan lah Vin. Lagian dari awal gue gak suka sama bocah itu. Mereka kalo di manja yang ada manfaatin kita " Gerutu Bian.

“ Jangan semua Lo nilai dari uang Bi. "

“ Jangan muna Vin, jaman sekarang yang manusia cari ya duit ! " Bian menyesap rokoknya dalam lalu menghembuskan nya sambil memejamkan mata, mencari ketenangan.

Alvin hanya bisa menggelengkan kepala, bagaimana pun Bian atasannya selain itu status Alvin hanya lah anak angkat yang di percaya Diana untuk ikut mengelola perusahaan setelah Batara Mahesa ayah dari Bian meninggal dunia dua tahun yang lalu. Alvin tak bisa banyak bicara ataupun menentang keputusan Bian, bagi Alvin cukup memberi Bian masukkan jika Bian tak menerima maka Alvin akan memilih diam.

“ Pak pasien sudah sadar " Dokter Rama menghampiri Bian memberikan sebuah angin segar saat kepala Bian begitu pening.

“ Saya kesana ! Ayo Vin .. " Ajak Bian mereka bersama berjalan cepat menuju ruangan dimana Tama di rawat.

Samar terdengar suara isak Renata yang bersimpuh di lengan Tama.

“ Re .. Rawat dirimu dengan baik. Manfaatkan uang tunjangan dan tabungan kakak untuk melanjutkan kuliahmu ya " Ucap Tama lemah.

“ Jangan banyak bicara dulu Kak, jangan berpikir yang enggak enggak. Kakak pasti sehat lagi "

“ Benar nak Tama, jangan pikirkan apapun. Ibu janji akan merawat kalian seperti anak Ibu sendiri. Nak Tama harus sehat kembali demi Rere. " Jawab Diana yang sudah terlebih dulu di kabari sebelum Bian dan Alvin.

“ Saya akan memegang janji Ibu meski nanti saya tidak selamat. Tolong rawat dia bu. Rere hanya punya saya " Suara Tama tenggelam dalam tangisnya.

Bian hanya membeku di depan ruangan, kabar baik yang di nanti ternyata hanya angin lalu. Babak baru dalam hidup mereka telah di mulai dan mereka akan benar benar terikat seumur hidup karena janji Diana pada Tama.

Suara sensor dari monitor hemodinamik yang terhubung pada tubuh Tama bersuara memekikkan telinga dan mengalihkan fokus mereka. Tak berapa lama tubuh Tama menegang kejang, para perawat segera menarik tubuh Renata dan Diana untuk menjauh karena akan memberikan tindakan.

Terdengar tangis histeris dari Renata yang berada dalam pelukan Diana. Renata hanya bisa terisak kala tak berapa lama dokter menyatakan bahwa Tama sudah menghadap Sang Khalik tepat pada pukul 10 pagi.

“ Kakak .. Enggak ini mimpi kakak ayo bangun kak. Kak Tama, kakak cuman tidur kan ? " Racau Renata sambil mengguncang tubuh Tama yang sudah terbujur kaku tak bernyawa.

“ Re ikhlas ya nak ikhlas. Tama udah gak ada Re " Diana terus mengusap punggung gadis yang tak berdaya itu.

“ Enggak bu ! Kak Tama cuman tidur, lihat kan bu ? Kak Tama tidur sambil senyum hiks .. hiks " Renata menjatuhkan kepalanya di dada Tama dengan putus asa.

Pikiran Renata kini melayang, tatapannya kosong dan semua pun menggelap. Renata jatuh di saat yang tepat Bian datang menangkap tubuh Renata menahannya agar tidak membentur lantai.

“ Astaga gadis ini " Keluh Bian

“ Bawa dia Bi, biarkan dia istirahat. Kita harus urus pemakaman kakaknya " Pinta Diana.

“ Ya Mi " Bian mengangkat tubuh Renata ke ruang VIP seorang diri, meski perawat meminta Bian menurunkan tubuh Renata ke kursi roda namun Bian menolak karena setelah melihat adegan mengenaskan tadi hati Bian sedikit tersentuh untuk memperhatikan Renata.

Bian menurunkan tubuh Renata di bed dan meminta dokter dan perawat yang telah memeriksa Renata untuk meninggalkan mereka berdua.

“ Malang sekali nasibmu bocah keras kepala. Tapi kamu akan mendapat keuntungan karena Mami ku akan mengurus dan memperhatikan mu mulai saat ini lebih daripada memperhatikan aku " Gerutu Bian pada gadis yang bahkan tak bisa mendengarnya itu.

“ Rasanya aku ingin membencimu tapi untuk saat ini aku akan menahannya. Semoga kamu tidak sama seperti kebanyakan orang di luar sana yang hanya memanfaatkan kebaikan mami ku " Tambah Bian.

Bian memang cukup selektif untuk membangun hubungan dan dekat dengan orang karena trauma, saat usianya masih remaja Bian hampir saja putus sekolah. Diana dan Batara di tipu habis habisan oleh saudaranya sendiri dan membuat mereka nyaris menjadi gelandangan. Namun berkat kemampuan Batara dan bantuan sahabatnya, Batara mampu membangun kembali perusahaannya yang kini bergerak semakin besar di tangan Bian. Kenangan itu membekas di ingatan Bian membuatnya sulit mempercayai orang lain dan sering meremehkan mereka yang taraf ekonominya di bawahnya. Bian merasa kalangan bawah itu sering memanfaatkan kebaikan mereka.

Bian pun meninggalkan Renata begitu saja dan menitipkan nya pada para perawat, setelah berkordinasi dengan pihak RW di tempat Tama dan Renata tinggal, mereka memutuskan untuk menguburkan Tama di TPU tempat kedua orangtuanya juga di semayamkan.

“ Rere bangun nak .. " Panggil Diana lembut pada Renata yang masih belum sadarkan diri.

“ Ibu ? " Jawab Renata pelan.

“ Kita harus mengurus pemakaman Kakak mu nak. Ayo bangunlah kita antarkan ke tempat peristirahatan terakhirnya "

“ Jadi tadi bukan mimpi bu ? " Tangis Renata pecah kembali begitu melihat Diana menggelengkan kepalanya.

Hati Renata masih belum ikhlas menerima, namun bagaimanapun sudah kewajibannya mengantarkan Kakak satu satunya itu ke peristirahatan terakhirnya. Dengan di papah oleh Diana Renata mengikuti keranda yang di pangku oleh masyarakat sekitar, langit sore yang mendung di sekitar tempat pemakaman Tama seolah ikut berduka akan kepergiannya. Tama memang di kenal pemuda yang baik di lingkungannya, karena itu juga banyak yang menyayangkan kepergiaannya di usia muda dan ikut mengantar sebagai penghormatan terakhir.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!