NovelToon NovelToon

Bantu Aku Cerai

Jodohkan Saja

Setiap  pagi dan sore selalu terdengar ocehan dari kedua orang dewasa. Rumah besar  dengan dinding yang di cat putih serta pilar kokoh yang diberi warna emas.

Belum lagi benda yang ada di dalamnya. Lampu hias gantung, pot keramik berukuran besar, lukisan yang menempel di dinding, tirai kain yang mewah serta kursi dan meja dengan kayu antik super mahal.

Pemiliknya sebuah keluarga beruntung karena mereka diberkahi kemewahan. Hal itu tidak didapat dengan mudah. Mereka bekerja keras untuk semuanya.

Awalnya mereka hanya tukang sayur yang berubah pangkat menjadi konglomerat. Hidup di rumah sederhana, kursi sofa yang sobek di mana-mana serta tidur di lantai dengan alas tikar. Dengan kegigihan, sepasang suami istri itu mendapat balasannya.

Bermodal nekat, sepetak tanah satu-satunya warisan dijual. Sepasang suami istri itu pergi ke Ibukota Jakarta. Keduanya memulai bisnis pakaian, toko kelontong, yang lama kelamaan berubah menjadi butik dan supermarket yang tersebar di seluruh daerah nusantara.

Kebahagian itu terasa lengkap ketika mereka dikarunia seorang putri yang mampu meneruskan usaha orang tua, bahkan membuatnya semakin berkembang.

Apalagi yang kurang? Semua sudah didapatkan. Rumah tempat berteduh yang sangat layak. Kendaraan roda empat yang bisa membawa mereka ke mana pun. Uang cukup bahkan berlebih untuk keluarga itu mengisi perut. Namun, mereka merasa ada yang kurang.

Sepasang suami istri itu hanya mempunyai putri tunggal yang kini berusia dua puluh lima tahun. Jika putri mereka pergi bekerja, tinggallah sepasang suami istri paruh baya di rumah. Keduanya berbincang mengenai putri mereka yang belum juga menemukan pasangan. Umur tidak ada yang tahu. Mereka ingin melihat sang putri bersanding dengan seorang pria baik sebelum dipanggil oleh semesta.

"Kapan kamu mau menikah, Nak? Umurmu sudah dua puluh lima tahun," ucap Santi.

Santi adalah ibu dari wanita yang tengah duduk sembari menatap roti bakar yang belum disentuh. Tidak heran, wanita itu akan menghabiskan sarapannya setelah siraman rohani ini kelar.

"Liberti! Ayah dan Ibu  sudah tua. Sebelum kami dipanggil, kamu cepat menikah," sambung Ilham. Ayah dari Liberti yang sudah berusia enam puluh tahun.

"Berti baru dua puluh lima tahun. Di luar sana banyak wanita lebih tua, tapi belum menikah," bantah Liberti.

"Kamu tidak malu apa kalau ada acara ditanya kapan nikah?" ucap Santi.

"Jelas Berti merasa terganggu. Apalagi Ibu sama Bapak tiap pagi dan sore selalu ceramah tentang masalah ini. Begini saja. Karena Bapak dan Ibu mau Berti cepat nikah, mending cariin Berti jodoh saja. Sama siapa saja Berti mau. Yang penting baik dan setia."

"Kamu serius dengan ucapanmu?" tanya Ilham.

"Serius, Ayah. Berti terima saja siapa pun jodoh pilihan Ayah dan Ibu."

"Kalau kamu serius, Ayah bisa carikan."

"Pokoknya terserah Ayah dan Ibu. Nah, pembicaraan cukup sampai di sini. Berti mau sarapan dengan tenang."

******

Liberti Siswantoro, perawan berusia dua puluh lima tahun. Berperawakan tinggi sekitaran seratus enam puluh lima sentimeter, mata bulat, berambut panjang hitam, hidung mancung, bibir tipis, dan membuat sempurna adalah berkulit kuning langsat.

Dalam hal berbisnis sangat pandai, tetapi dalam hubungan asmara, wanita itu berada dititik memprihatikan. Sejak usia remaja sampai sekarang, Berti hanya pernah menjalin hubungan dua kali. Keduanya kandas ditengah jalan. Parahnya hal itu disebabkan oleh orang ketiga.

"Wajahmu suntuk?" kata Sari.

Sari adalah sahabat Berti. Wanita modern yang tidak ingin menikah kecuali bersama pria kaya. Wanita itu bekerja sebagai manager hotel ternama di Jakarta. Cantik, tubuhnya tinggi dan ramping. Rambutnya panjang dan sengaja diwarnai cokelat, dan suka berpakaian yang menunjukan lekuk tubuh.

Saat ini keduanya berada di restoran hotel tempat Sari bekerja. Berti sengaja datang menemui sahabatnya di jam istirahat siang.

"Biasa. Orang rumah suruh aku nikah," jawab Berti.

"Begitu lagi. Cari cowok saja."

"Memangnya selama ini aku tidak mencarinya. Rasanya susah wanita sepertiku mendapat jodoh. Wanita dengan kemandirian memang bagus, tetapi cowok malah takut mendekat. Mereka menganggap untuk mendekatiku harus sederajat. Padahal aku mau saja terima mereka asal bertanggung jawab," tutur Berti.

"Kalau pengusaha muda selera mereka tinggi semua. Kayak artis begitulah," tambah Sari.

"Kayaknya aku harus rajin merawat diri biar ada yang tertarik."

"Kamu sudah cantik. Hanya penampilanmu saja yang harus diubah," kata Sari.

"Maksudmu? Aku harus operasi plastik?"

"Haish! Postur tubuhmu seperti jam pasir. Tunjukan saja itu. Pakai pakaian yang sedikit menonjolkan kelebihan tubuhmu," saran Sari.

"Itu sengaja mengundang perhatian," kata Berti.

"Tujuannya memang itu. Dasar!"

"Lupakan soal itu. Aku sudah minta bapak dan ibu buat cari jodoh untukku," kata Berti.

"Serius?"

Berti mengangguk. "Seriuslah. Pokoknya, siapa pun itu, aku terima sebagai suamiku."

Sari menyedot jus jeruk dari gelas miliknya. Di saat itu pandangannya tanpa sengaja mengarah ke pintu masuk dan ia tersedak minuman.

"Minum saja kamu sampai tersedak."

"Lihat siapa yang datang. Ganteng banget itu cowok," kata Sari.

Liberti menoleh ke belakang. Dua orang pria tampan berjalan menempati meja yang tidak jauh dari keduanya. Kedua pria itu memakai jas serta dasi, dan pastinya Berti tahu bahwa keduanya telah selesai meeting.

"Bukannya kamu manager di sini. Kenapa tidak tau orang yang menyewa tempatmu?" tanya Berti.

ini"Kamu kira tugas manager mengecek satu per satu siapa tamu yang datang? Aku enggak mungkin juga melihat wajah setiap tamu yang menyewa tempat di sini," jawab Sari.

"Benar juga. Apa dia masuk kriteriamu?" tanya Berti.

"Wajahnya sangat tampan, tapi enggak tau statusnya. Aku cuma ingin pria kaya."

"Dasar matre!" ledek Berti.

"Aku hanya ingin pernikahan realistis. Makan cinta doang enggak bikin kenyang," ucap Sari.

Liberti tertawa kecil, ia mencuri lirik ke arah meja yang ditempati kedua pria tadi. Memang tampan. Satunya terlihat berwibawa. Tubuhnya tinggi kekar, alisnya melengkung tebal, hidung mancung. Tampak dari samping tulang yang menonjol. Sayangnya Liberti tidak bisa melihat secara jelas pahatan sempurna itu.

Sementara pria satunya memakai kacamata. Liberti juga yakin jika dibalik jas itu terdapat tubuh yang sudah lama berlatih angkat beban. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan sepertinya sangat sopan.

Liberti duga jika pria berkacamata itu adalah bawahan si pria yang mengenakan jas berwarna krem. Sesekali pria dengan mata empat itu menganggukkan kepala seperti meminta maaf ketika bicara.

Tidak tahu status dari keduanya. Wajah tampan seperti itu pasti sudah punya pasangan. Wanita mana yang tidak jatuh hati atas ketampanan keduanya. Sari saja sampai tergiur, tetapi sahabatnya itu tidak memandang tampan saja. Materi lebih penting baginya.

Bersambung

Bertemu Lagi

Liberti merasa ada yang aneh ketika ia sampai di rumah. Tidak ada suara yang membuat telinganya berdengung tentang masalah jodoh. Ke mana ibu dan ayahnya? Biasanya Berti tidak akan bisa masuk ke kamar sebelum mendengar ceramah dari keduanya.

"Bi Inah!" panggil Berti.

"Iya, Non," sahut wanita dewasa sekitar empat puluh tahunan.

"Kok, sepi. Ke mana Ayah dan ibu?" tanya Berti.

"Bapak sama ibu lagi pergi. Katanya mau ketemuan sama teman."

Berti mengangguk. "Pantas saja hari ini telingaku libur dari omelan."

"Nona mau makan? Biar Bibi siapkan."

"Enggak perlu, Bi. Aku mau keluar malam nanti," ucap Berti.

Sampai pada pukul tujuh malam, kedua orang tua Berti belum kembali. Berti mencoba mengirim pesan bahwa ia akan pergi dan orang tuanya tidak perlu mengkhawatirkan.

Sang ibu membalas pesan dari Berti yang mengatakan kalau mereka akan kembali dan memberi pesan agar sang anak tidak pulang terlalu malam.

"Tumben ibu enggak marah aku keluar malam. Apa sengaja membiarkanku mencari jodoh di luar sana? Ibu sama bapak pergi ke mana memangnya? Dari tadi sore enggak balik-balik," gumam Berti. "Sudahlah, lebih baik aku pergi sama Sari."

Berti menekan tombol pada remote yang membuat kunci mobil terbuka. Ia meraih kenop pintu, lalu masuk ke dalam. Menghidupkan mesin, membunyikan klakson agar penjaga rumah membuka gerbang lebar, lalu segera mengendarai kendaraan roda empat itu keluar.

Sekitar tiga puluh menit, Berti sampai di tempat yang ditentukan. Sebuah restoran yang menyediakan bar di dalamnya. Setidaknya datang ke sana bisa mengisi perut Berti yang memang berkunjung untuk makan malam bersama sahabatnya.

Berti keluar dari dalam mobil, dan saat itu juga sebuah kendaraan mewah berhenti di samping mobilnya. Seorang pria berkacamata keluar bersama rekannya.

Mata Berti terbelalak melihat keduanya, lalu ia segera memalingkan diri dengan bergegas masuk ke dalam restoran. Berti ingat dua orang pria tadi, dan ia sangat terkejut melihat wajah dari pria yang memakai jas berwarna krem.

Sepertinya keduanya belum sempat berganti pakaian. Mungkin keduanya sibuk, lalu makan malam di restoran yang sama dengan Berti.

Sungguh sial bagi Berti yang harus menunggu lift turun, dan lebih tidak beruntungnya lagi, dua orang pria berdiri di sampingnya menunggu kotak kubus yang masih belum terbuka.

Berti menenangkan hatinya. Kenapa ia harus gugup dengan mereka? Kenal saja tidak, lalu kenapa ia harus salah tingkah? Sungguh tidak masuk akal kalau ia gugup karena wajah tampan. Berti sudah banyak melihat pria lebih ganteng, bahkan idolanya seratus kali lipat dari lelaki yang memakai jas berwarna krem.

Lift akhirnya terbuka, Berti menunggu orang di dalamnya keluar dulu setelah itu ia masuk bersama dua pria tadi. Berti langsung memencet lantai nomor tujuh karena restoran itu berada di atas sana.

"Tujuan kita sama, Nona."

Berti terkesiap, lalu ia memaksakan senyum untuk menjawab, "Kebetulan sekali."

"Kami memang pergi untuk makan malam," ucap pria yang memakai kacamata.

"Saya juga," sahut Berti.

Kotak besi bergerak itu sampai mengantarkan ketiganya ke restoran. Berti keluar lebih dulu, lalu berjalan cepat menuju restoran.

"Sepertinya dia terburu-buru."

"Mungkin lapar, Tuan," ucap Ariel.

"Mendengar kamu bicara seperti itu, aku juga lapar," sahut Cakra.

*****

Selepas makan malam bersama Sari, Berti langsung pulang ke rumah. Rupanya kedua orang tuanya masih belum tidur dan waktu masih menunjukkan pukul sembilan malam. Belum terlalu larut, bahkan sebagian orang penyuka wisata malam. Pukul sembilan adalah waktu yang cocok untuk keluar.

"Syukurlah kamu pulang cepat. Ibu enggak sabar buat kasih berita baik," ucap Santi.

"Berita apa?" Berti jadi penasaran.

"Kami sudah mendapatkan jodoh untukmu."

"Secepat itu?" tanya Berti.

"Kenapa? Bukannya kamu setuju mau menikah dan dijodohkan."

"Sebenarnya Ibu dan Ayah sudah lama pengen anak muda itu jadi suamimu," sambung Ilham.

"Jelas Berti kaget, Bu. Baru pagi tadi diomongin, malamnya langsung dapat jodoh," kata Berti.

"Kan Ayah sudah bilang barusan. Sebenarnya sudah lama kami berniat mau menjodohkanmu, tapi Ibumu bilang biar saja kamu memilih calon sendiri. Karena tadi pagi kamu bilang mau dijodohkan, maka kami langsung mendatangi rumah calon mertuamu," tutur Ilham.

"Memang keluarga mana?" tanya Berti.

"Keluarga Aditama," jawab Santi.

Berti mencoba mengingat nama keluarga Aditama. Ia merasa pernah mendengar nama itu, tetapi lupa apakah dirinya sempat bertemu dengan pemilik nama keluarga tersebut.

"Istri pak Aditama, teman Ibu arisan. Ibu Widya."

"Oh, ibu Widya. Berti kenal."

"Nah, itu dia. Putra sulungnya belum menikah. Umurnya dua tahun lebih tua dari kamu," ucap Santi.

Berti mengangguk-angguk. "Begitu. Terserah, deh. Ibu dan Bapak atur saja mana baiknya."

"Besok malam, kamu siap-siap. Dandan yang cantik. Kita ada pertemuan keluarga. Kalian berdua harus saling kenal dulu."

"Cepat amat, Bu," sela Berti.

"Kami pengennya cepat. Biar kamu cepat nikah dan kami dapat cucu," sahut Ilham.

"Iya, deh. Besok malam Berti usahakan pulang sore."

"Bagus! Ayah senang kamu patuh begini. Sekarang istirahat. Dengar kata Ibumu. Dandan yang cantik," kata Ilham.

"Iya, Pak."

Berti beranjak meninggalkan kedua orang tuanya menuju kamar tidur yang terletak di lantai satu. Memang benar kalau ucapan itu adalah doa. Baru tadi pagi mengatakan setuju untuk menikahi siapa pun, dan akhirnya, semua itu terkabul.

"Apa aku harus senang, ya?" gumam Berti. "Aku hubungi Sari saja. Minta pendapat sama dia."

Berti masuk ke dalam kamar dan tanpa berganti pakaian, ia segera menghubungi Sari melalui video. Beberapa saat sambungan video tersambung.

"Aku tidak boleh jauh darimu. Baru ketemu sudah kangen," ucap Sari.

"Aku ada masalah serius," kata Berti.

"Tiba-tiba ada masalah serius."

"Besok aku bertemu sama calon suamiku," ungkap Berti.

"Apa? Perasaan tadi pagi kamu bilang baru minta dijodohkan, malamnya sudan ketemu. Cepat amat."

Berti tertawa, "Kamu kaget, apalagi aku."

"Seriusan?"

"Iya," jawab Berti. "Kata ibu umurnya enggak jauh beda sama aku."

"Jangan-jangan, tuh, cowok lumpuh. Atau cowok itu cacat mental dan butuh seseorang untuk merawatnya."

"Kenapa kamu jadi menakutiku?" ucap Berti kesal.

"Aku tidak menakutimu. Menurut novel yang kubaca seperti itu. Cowoknya lumpuh, pura-pura buta."

"Berhentilah berhalu. Aku ini serius. Pokoknya kamu datang saja, deh, besok malam," kata Berti.

"Oke, besok malam aku datang. Aku juga penasaran."

Berti memutus sambungan telepon videonya. Apa yang diucapkan Sari cukup menganggu pikiran, tetapi Berti percaya jika kedua orang tuanya pasti memilih pasangan yang baik untuknya.

"Jangan-jangan benar lagi apa yang dikatakan Sari," Berti berdecak, "enggak mungkin. Sari hanya menakutiku saja. Jika aku harus merawat pria lumpuh, lalu siapa yang mengurus butik dan supermarket? Lihat saja besok malam, dan semoga calon suamiku sesuai yang kuinginkan."

Bersambung

Ternyata Dia

Sore setelah mengurus laporan keuangan bulanan supermarket dan butik, Berti menyempatkan diri untuk berbelanja pakaian serta ke salon. 

Malam ini, adalah malam istimewa di mana ia akan bertemu dengan pria yang dijodohkan bersamanya. Sebenarnya dari tadi pagi bangun tidur, Berti merasa gugup. Jantung berdetak kencang menantikan pertemuan ini. Ia ingin lekas bertemu karena penasaran dengan calonnya, tetapi ia ingin menunda karena merasa belum siap. 

Perasaan apa pun yang campur aduk di dalam benaknya, Berti harus bisa menghadapi semua itu. Ia tidak peduli asal pria yang menjadi calonnya adalah pria bertanggung jawab dan saat itu juga Berti akan menerimanya sebagai pasangan hidup. 

Sekitar satu jam, Berti selesai mempersiapkan diri. Ia memakai gaun berwarna putih gading berlengan setengah siku dan panjang di atas lutut. Wajahnya dirias tipis, sedangkan rambutnya dibuat lurus mengembang. 

"Sudah mau pukul enam. Aku harus bergegas pulang. Jam tujuh malam keluarga calon bakal datang," gumam Berti. 

Berti bergegas keluar dari salon setelah membayar biaya perawatan diri. Ia membuka kunci mobil, masuk, lalu mengendarai kendaraan baja itu menuju kediaman Ilham Hartawan. 

Pukul setengah tujuh malam, Berti sampai di rumahnya. Tumben sekali gerbang dan pintu depan dibuka lebar. Mungkin juga keluarga dari Aditama akan segera datang karena tadi saat di perjalanan, sang ibu menelepon Berti untuk segera pulang. Berti juga tidak menyangka kalau mobil sahabatnya telah berada di rumah. Entah kapan Sari datang, tetapi Berti senang sahabatnya dapat hadir. 

"Bu! Berti  pulang," serunya.

"Syukurlah kamu sudah balik. Bapak kira kamu mau lari dari pertemuan ini," sahut Ilham. 

"Kok, lari, sih, Pak. Kan, Berti yang mau nikah." 

"Dari mana, sih? Aku datang malah kamu enggak ada," sela Sari. 

"Salon. Enggak lihat penampilanku?" tanya Berti sembari memutar tubuh, menunjukkan dirinya. 

"Pantes pulang telat. Tapi malam ini, kamu cantik. Yakin, deh. Calon suamimu pasti jatuh cinta," kata Sari. 

"Syukurlah, Nak. Kamu sudah pulang. Sekarang kamu sembunyi dulu di kamar. Kalau tamunya sudah datang, nanti Ibu panggil," ucap Santi. 

"Tenang, Bu. Sari jagain Berti biar enggak ngintip." 

Sari segera mengajak Berti menuju kamar yang berada di lantai satu. Keduanya akan berdiam diri di sana sambil menunggu tamu kehormatan yang akan datang. 

"Tubuhku dingin. Apa volume pendingin ruangannya terlalu besar?" tanya Berti

"Kamu gugup. Tenang saja, kalau ada mobil datang, aku akan mengintip calonmu dan memberitahu parasnya," kata Sari. 

"Boleh juga. Kalau sudah terlihat, mau bagaimanapun bentuknya, aku siap." 

"Siap apa? Kamu enggak mungkin main terima begitu saja, kan?" kata Sari. 

Berti tersenyum. "Aku sudah janji kepada orang tuaku. Siapa pun pilihan mereka, aku akan menerimanya." 

"Yang menjalani kamu, Bert. Orang tua cuma mau anaknya bahagia. Siapa tau, tapi aku berharap, sih, enggak terjadi apa-apa. Semoga pernikahan kalian sesuai, seperti yang diharapkan. Maaf, aku bukan menakutimu," tutur Sari. 

"Aku tau, Sar. Di dunia ini, mana ada pernikahan yang baik-baik saja. Permasalahan pasti ada. Hanya nanti bagaimana caranya dua insan yang sudah bersatu dalam ikatan pernikahan menghadapinya," kata Berti. 

"Iya, deh. Kamu memang bijak. Aku doakan kamu bahagia dan calon suamimu tampan." 

"Amin," balas Berti. 

Sari mengintip di balik tirai mobil yang akan masuk ke halaman rumah Berti. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan, sudah pukul tujuh malam, tetapi belum ada tanda tamu itu akan datang.

"Kok, belum datang?" tanya Sari. 

"Sebentar lagi kali," jawab Berti. 

Apa yang diucapkan oleh Berti benar adanya. Dua mobil sedan masuk ke halaman rumah Ilham Hartawan.  Sari memasang mata agar dapat melihat secara jelas empat orang dewasa yang keluar dari dalam mobil. 

"Enggak kelihatan," ucap Sari. "Cuma kelihatan kepala sama pakaian saja." 

"Sudahlah, kita tunggu ibu atau bibi yang panggil saja," kata Berti. 

Sari mengangguk lemah dan terpaksa menunggu seseorang yang akan memanggil mereka turun saja.  Setengah jam berlalu semenjak tamu itu datang, belum ada tanda-tanda panggilan dari bawah. 

"Ibu sama bapak lupa, kali, ya. Malam ini pertemuan keluarga," kata Berti. 

"Lah, kamu juga enggak sabaran rupanya." 

Berti tertawa kecil. "Aku penasaran." 

"Bentar, aku intip dulu." 

"Jangan!" sanggah Berti. "Tunggu sebentar lagi." 

Baru saja disebut, terdengar suara langkah kaki mendekat. Sebuah ketukan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Sari lekas membuka pintu, menarik Berti untuk keluar kamar. 

"Orangnya cakep, Bu?" tanya Sari. 

"Jaga sikap kalian. Lihat saja di bawah. Pokoknya Ibu setuju Berti nikah sama dia," kata Santi. 

Sari menepuk pundak sahabatnya. "Selamat." 

"Ucapanmu terdengar angker," kata Berti. 

"Memangnya aku hantu. Ayo, kita turun." 

Ketiganya turun secara bersamaan. Berti berjalan seraya menundukkan kepala. Ia malu terlebih saat sofa tamu mulai dekat. Kegugupan semakin menjadi, kedua tangan Berti dingin, tubuhnya terasa hawa panas. Seperti seorang insan yang baru pertama kali mengenal cinta. 

"Nak, kenalkan. Ini Pak Adhitama dan Bu Widya. Kamu pasti sudah kenal sama Ibu Widya," kata Santi. 

Berti mengangkat kepalanya, lalu mengulurkan tangan. "Berti, Pak, Bu." 

"Kita sudah lama enggak ketemu, Bert. Kamu sibuk terus," kata Widya. "Sini duduk dekat Ibu. Nah, kenalin calon suamimu, Cakra Adhitama." 

Berti tersenyum, lalu mengulurkan tangan dan melihat pria yang menyambutnya. Seketika Berti terpaku dengan calon suaminya. 

"Cakra," ucap pria itu. 

"B-berti." 

Pria itu tersenyum sembari menarik jabatan tangannya. "Dia adikku, Daffa." 

"Halo Daffa," sapa Berti. 

"Kita sering ketemu, Kak, waktu antar Mama arisan." 

Berti mengangguk. "Iya." 

"Kita lanjut makan malam dulu. Setelah itu baru bahas masalah pernikahan," kata Ilham. 

Semuanya setuju untuk makan malam bersama. Berti merasa takdirnya dipermainkan. Bukankah pria yang bernama Cakra adalah sosok yang semalam satu lift bersamanya. Memang dunia begitu sempit. 

"Sebentar, Bert," hadang Sari. 

"Apa? Kita mau makan malam." 

"Kok, wajah calon suamimu terasa familiar, ya? Rasanya pernah ketemu." 

"Cowok itu yang di restoran," jawab Berti. 

"Oh, iya!" 

Berti segera menutup mulut Sari, lalu berbisik, "Pelankan suaramu." 

Sari mengangguk. "Serius, Bert. Calon suamimu ganteng abis." 

Rambut hitam lebat. Alis hitam memanjang dengan sorot mata tajam. Hidung mancung, rahang tegas. Bahu lebar, tubuh tegap terlihat dari posisi pria itu duduk. Penuh wibawa dan terkesan angkuh. 

"Memang sangat tampan," ucap Berti. 

"Tapi, aku merasa dia sedikit sombong." 

Rupanya bukan Berti sendiri yang merasakan itu, sahabatnya juga sama. Cakra seperti sosok pria yang tidak tersentuh. Pria yang terkesan menjaga jarak. 

"Kita saja baru kenalan. Belum tentu orangnya begitu," kata Berti. 

"Benar juga. Tapi Cakra memang tampan. Apa wajahnya yang membuat aura menakutkan?" 

"Aku dengar, ayah dari Bu Widya keturunan belanda," bisik Berti. 

"Pantesan. Lebih baik kita cepat menyusul ke ruang makan," kata Sari. 

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!