NovelToon NovelToon

Dibuang Seperti Sampah

Part 1

#Dibuang_Seperti_Sampah

"Sha, ibu minta uang tujuh juta. Katanya kemarin itu bayar uang jaminan rumah sakit pake uang ibu hasil menggadaikan emasnya."

Dadaku terasa begitu sesak mendengar ucapan mas Zaka.

"Ya Allah mas, aku ini masih nggak berdaya di rumah sakit, kok tega kamu sudah meminta uang!." Bibirku bergetar mencoba menahan tangis.

"Soalnya besok ibu ada kondangan, malu katanya kalo kondangan tapi nggak pake perhiasan." Ucapnya lagi tanpa merasa bersalah.

"Astaghfirullah..." Batinku.

"Kamu jual aja motor yang kamu pakai, itu kan aku yang beli."

Aku ingat bagaimana mas Zaka membujukku untuk membelikannya motor. Alasannya, daripada suntuk di rumah sebelum mendapat pekerjaan, mas Zaka memutuskan untuk bekerja sebagai ojek motor sementara waktu.

"Sha, gimana kalo mas ngojek aja. Daripada bengong aja di rumah, Azka kan sudah ada mba Tuti yang jagain."

"Ooh ya udah, bagus mas kalo gitu. Biar kamu punya kesibukan."

"Tapi..."Ucapnya terhenti.

"Tapi apa mas?."

"Motornya kan udah tua, takut nanti mogok pas bawa penumpang, kemarin aja mogok pas jemput kamu."

Lagi-lagi aku hanya bisa meng-iya-kan kemauan mas Zaka.

"Ooh ya udah, beli aja mas."

"Kamu punya tabungan nggak Sha?."

"Loh, kok aku sih mas? Tabungan kamu kemana? Selama kamu kerja di Medan, kamu nggak pernah loh transfer gaji kamu." Tanyaku sambil menatap mata mas Zaka, berusaha mencari tahu kebenaran kemana gajinya selama ini.

"Hutangku sama ibu kan banyak Sha... Itu kan juga buat kamu..."

Aaaah itu lagi... Hutang itu lagi yang selalu dijadikan mas Zaka alasan untuk tidak pernah memberiku nafkah lahir.

Ketika menikah dengaku, mas Zaka memberiku sejumlah uang tunai, beberapa gram mas kawin , dan isi rumah lengkap. Seperti tv, kulkas, tempat tidur, lemari, meja rias dan lainnya. Tidak mewah, tapi sudah lebih dari cukup untuk pasangan baru menikah, pikirku.

Padahal aku tidak pernah memintanya, tapi mas Zaka yang memberikan. Sontak aku melambung tinggi terbuai dengan usaha mas Zaka ketika ingin menikahiku.

Tetapi ketika aku masih melambung tinggi, aku langsung terperosok ke dasar jurang setelah mengetahui kebenarannya.

Semua yang mas Zaka berikan kepadaku itu, hutang kepada Ibunya. Apalagi aku baru mengetahuinya setelah menikah, semua gaji mas Zaka habis untuk membayar hutang kepada ibunya. Tidak ada sepeserpun yang mas Zaka berikan kepadaku.

Aneh, itu yang pertama kali terlintas di benakku. Bagaimana mungkin ketika seorang anak ingin menikah, orang tuanya bukan membantu si anak, tetapi malah memberikan pinjaman. Seandainya saat itu mas Zaka jujur belum ada uang, akupun tidak keberatan dengan apa yang dia berikan seadanya, tanpa perlu berhutang kepada ibu.

Lagi-lagi aku naif, berfikir kalo sudah berumah tangga, rezeki bisa datang dari mana saja, bisa dari suami, istri, ataupun anak.

Jadi selama menikah, semua biaya keperluan rumah tangga, seperti listrik, belanja bulanan, air, membayar mba Tuti, membayar asisten rumah tangga, semua aku yang bayar. Selama itu pula aku tidak mengeluh.

"Sha, jadi gimana? Ada gak uangnya? Nanti aku cicil deh dari uang hasil ojek." Bujuknya sambil menaik turunkan kedua alisnya bersamaan.

Lagi-lagi aku menyerah. Keesokan harinya, aku langsung membelikan motor keluaran terbaru untuk mas Zaka. Meskipun kenyataannya, tidak pernah sedikitpun dia berniat mengembalikan uangku.

"Terus nanti aku pake apa?." Bentaknya membuyarkan lamunanku.

"Mas, aku ini masih sakit, baru kemarin aku masuk rumah sakit. Itupun karena kamu. Masa kamu tega mas? Aku juga belum tau berapa lama di rumah sakit. Kamu kan bisa pake motor yang lama." Aku menghela nafas panjang, berusaha mengenyahkan rasa sesak di dada.

"Aaargggh, motor yang lama sudah aku jual!. Nyusahin aja kamu jadi orang!." Ucapnya sambil berlalu meninggalkanku di ruang perawatan.

"Astaghfirullah... Kuatkan aku ya Allah." Tak terasa air mataku mengalir tanpa permisi. Baru beberapa hari aku di rumah sakit, sudah begitu banyak perubahan sikap suami dan keluarganya.

Karena belum mendapatkan pekerjaan, kemarin seperti biasa mas Zaka menjemputku pulang kerja. Setiap jam lima sore, jalanan memang terlihat selalu padat. Mungkin karena hampir semua pegawai kantoran pulang di waktu yang bersamaan, sehingga semua berlomba untuk cepat sampai ke rumah.

Mas Zakapun seolah tak mau telat sampai rumah, dia memacu kuda besinya dengan cepat. Berkali-kali aku mengingatkannya untuk mengurangi kecepatan, tetapi hanya di anggap angin lalu.

"Mas, naik motornya jangan terlalu kencang, inget Azka di rumah nungguin kita." Ucapku agak sedikit berteriak, karena motor yang melaju terlalu kencang membuat suaraku seperti terbawa angin, nyaris tidak terdengar mas Zaka .

"Pegangan aja, gak usah bawel!. Ini aku cepet juga karena kasian Ibu cape jagain Azka di rumah."

Astaghfirullah... Kenapa ibumu harus cape? Aku sudah minta tolong mba Tuti untuk menjaga Azka. Mba Tuti itu kakak iparku, dia istri dari Kakak pertamanya Mas Zaka.

Mas Zaka sendiri merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, Kakak laki-laki pertamanya bernama Yusuf, kakak perempuannya yang nomor dua bernama Ima, dan kakak perempuannya yang nomor tiga bernama Ika.

Waktu itu aku berniat mencari pengasuh untuk Azka, tapi ibu mertuaku bilang, biarlah mba Tuti yang menjaga Azka, karena suaminya saat itu masih pengangguran. Bukankan lebih baik saudara sendiri yang mengasuhnya, daripada orang tak dikenal? Begitu kata ibu mertua meyakinkanku. Akupun menyetujui usul ibu mertuaku, kupikir...hitung-hitung bantu saudara juga.

Sedangkan mas Zaka, dia menjadi pengangguran baru enam bulan terakhir, sebelumnya dia bekerja di kota Medan, tapi dengan alasan rindu anak dan tidak bisa jauh dari keluarga, dia memutuskan berhenti kerja.

Saat itu aku tidak keberatan, karena aku juga bekerja, dan kurasa gajiku cukup untuk keluarga kecilku. Sungguh naif memang pemikiranku saat itu.

Aku hanya menarik nafas, sambil melafazkan zikir-zikir dan doa sepanjang sisa perjalanan ke rumah.

Tapi naas, saat mas Zaka mau menyalip, ada mobil angkot dari arah belakang dan menyerempet motor mas Zaka. Alhasil aku terjatuh ke sisi kanan jalan, sedang mas Zaka jatuh ke sisi kiri jalan.

Celakanya ketika aku jatuh, di belakang ada mobil pick up melaju kencang. Karena tidak sempat menghindar, akupun tertabrak mobil pick up tersebut.

"Aisha!!!."Teriak mas Zaka menghampiriku, kemudian menepuk pipi kanan dan kiriku, mencoba membuatku tetap tersadar.

Setengah sadar, aku merasa banyak orang berkerumun, yang aku ingat hanya wajah mungil Azka...anakku.... Hingga akhirnya semua menjadi gelap.

***

"Suamimu mana Dek?." Aku melihat kak Yanti datang sambil membawa 2 tas plastik besar, yang entah apa isinya.

"Mungkin pulang ke rumah ibu mandi dulu kak." Ucapku berkilah.

"Halah...kamu dek, suami malas begitu masih aja di bela." Setelah sibuk menata barang yang di bawa, kak Yanti membantu memiringkan badanku ke kanan.

Setelah kecelakaan, badanku memang sulit di gerakkan, jangankan untuk duduk, untuk miring ke kanan dan ke kiri saja harus di bantu.

"Operasinya jam berapa dek?."

"Jadwalnya sih jam 10, doain lancar ya kak."

"Iya, semoga lancar operasinya nanti, dan kamu sehat seperti semula." Kak Yanti membelai rambutku lembut, seakan memberi semangat.

Akibat kecelakaan kemarin, mengakibatkan kakiku patah dan mengalami pergeseran. Ujung tulang yang patah bergeser, karena adanya tarikan otot dari tungkai yang bersangkutan.

Karenanya, sebelum memasang pen, dokter terlebih dahulu melakukan pemanjangan tulang, agar setelah pemasangan pen, panjang kedua tungkai kaki tetap sama.

Langkah pertama adalah dilakukan operasi untuk memisahkan tulang yang over lap dan dilakukan penarikan menggunakan beban tertentu dan dilakukan penambahan beban secara berkala hingga tercapai panjang tungkai yang diharapkan.

Saat itu aku nggak peduli kalau nanti akhirnya aku akan sedikit pincang, karena panjang kaki yang nggak sama akibat kecelakaan. Yang kupikirkan saat itu, bagaimana caranya aku bisa cepat sembuh, bisa jalan seperti biasa, dan bisa menggendong Azka, anakku yang baru berusia 7bulan.

***

Setelah siuman, aku hanya melihat kak Yanti yang masih setia di samping ranjangku.

"Mertua sama suami lo ada di taman rumah sakit, karena Azka gak boleh masuk ruang perawatan." Kak Yanti berkata, seolah tau apa yang aku fikirkan.

Akupun hanya tersenyum mendengar ucapan kakakku.

"Terus, mertua lo juga bilang. Azka di rawat sama gue aja, katanya Mba Tuti sibuk!" Kudengar ucapan kak Yanti agak kesal.

"Gue rasa ya, mertua lo takut, kalo nanti loe gak bisa bayar ipar loe yang jagain Azka." Lanjutnya semakin emosi.

Aku berusaha menarik tangan kak Yanti, tapi sia-sia. Karena tangan kak Yanti agak jauh dari jangkauanku.

"Kak..." Kataku lirih... "Sabar aja." Cuma itu yang bisa keluar dari mulutku.

Kak Yanti mulai membenci mas Zaka, saat mas Zaka memutuskan berhenti kerja. Menurut kak Yanti, mas Zaka terlena dengan penghasilanku, jadi mereka mau hidup seenaknya dengan menggantungkan semuanya padaku.

Aku masih ingat saat mas Zaka menelponku, merajuk pulang ke Jakarta.

"Sha, mas pulang ke Jakarta ya... Semenjak Azka lahir, mas nggak konsen kerja. Kangen kamu juga Azka terus."

"Nanti mas janji, sampai di Jakarta, mas akan giat nyari kerjaan." Lanjutnya meyakinkanku.

Aku sebagai istri, saat itu hanya bisa mengiyakan kemauan suamiku. Karena aku tau, dengan atau tanpa izinku, dia tetap akan berhenti kerja. Karena selalu saja begitu, setiap keinginannya selalu harus terpenuhi.

Setibanya di Jakarta, mas Zaka memang semangat mencari kerja, mengirimkan surat lamaran kerja ke beberapa perusahaan. Tapi sayang, keberuntungan belum berpihak kepadanya.

"Tuh, suami lo dah dateng. Kakak pulang ya, mungkin nanti mas Dika yang jenguk kamu. Karena kakak jaga Azka di rumah." Setelah mencium dahiku, kak Yanti meninggalkanku, dan mengacuhkan mas Zaka yang berpapasan dengannya.

Mas Zaka langsung menarik kursi dan duduk di sebelah ranjangku. Hening. Tak ada satupun kata yang keluar dari bibir mas Zaka. Bahkan, sekedar menanyakan bagaimana keadaanku setelah operasipun tidak.

Bagaimana bisa, orang yang dulu selalu meyakinkanku akan ketakutanku menjalin hubungan dengan laki-laki, sekarang bisa begitu acuh.

Apakah dia lupa dengan perjuangannya dulu meyakinkanku untuk menikah dengannya? Lupa dengan perjuanganku untuk mendapatkan restu dari ibunya?

Atau semua telah menguap setelah melihat kondisiku?. Entah...hanya mas Zaka dan Tuhan yang tahu jawabannya.

"Sha...". Ucapannya terhenti ketika aku berusaha menatap matanya.

"Hmm... Ibu bilang, aku boleh menceraikan kamu. Pokoknya semua terserah aku, maunya gimana ke depannya sama kamu."

Astaghfirullah...

🌺🌺🌺

Kritik dan sarannya ya...

Kalo banyak yang like dan comment nanti di lanjut.

Part 2

#Dibuang_seperti_sampah

#part_2

Kalau saja aku bisa mengikuti saran pembaca KBM di sini, mungkin mas Zaka sudah aku tendang saat itu juga. Hahahaha

***

Sudah jatuh tertimpa tangga pula, mungkin itu peribahasa yang tepat menggambarkan keadaanku sekarang.

Bagaimana bisa, mas Zaka dengan mudahnya mengucapkan kata-kata seperti itu di saat kondisiku masih lemah.

Meskipun mungkin itu kemauan ibunya, tidak bisakah mas Zaka menahan diri untuk tidak mengatakannya kepadaku? Menunggu aku sampai sembuh?

Ataukah mungkin, dia sependapat dengan ibunya, setuju untuk menceraikanku?

Lagi-lagi air mataku tak kuasa kutahan.

"Terus, kalo maunya kamu gimana mas?." Isakku sambil memandang mas Zaka

Mas Zaka mengalihkan pandangannya ke jendela. Dia menghela nafas sebelum akhirnya berkata.

"Aku ikut kata ibu aja Sha, mungkin ini yang terbaik. Aku pernah melawan perintah ibu dengan menikahimu, aku nggak mau lagi salah mengambil keputusan." Mas Zaka bangkit dari duduknya dan berlalu keluar meninggalkanku.

Seketika tangisku pecah, tak ada yang dapat aku lakukan selain menangis. Meluapkan segala sesak di dada, menumpahkan semua rasa kecewaku terhadap ibu mertuaku, terutama terhadap mas Zaka.

Bukannya aku hendak mengungkit apa yang saja yang sudah kulakukan untuk mas Zaka dan keluarganya. Hanya saja, bisakah mereka memikirkan sedikit saja perasaanku, mengingat sedikit saja apa yang sudah aku lakukan di keluarga mereka. Pernahkah aku menentang kemauan mereka?

Masih kuingat jelas, bagaimana baiknya ibu mertuaku menyambutku d rumahnya. Sampai sekarang, aku tidak tahu apa yang mas Zaka katakan kepada ibunya, sehingga beliau menerimaku sebagai menantunya.

Aku tinggal di rumah sederhana, tepat di belakang rumah ibu mertuaku. Ibu mertuaku bilang, rumah itu memang sudah di persiapkan untuk mas Zaka dan istrinya.

Tak lama setelah menikah, aku benar-benar bahagia. Bagaimana tidak, mereka memperlakukanku layaknya anggota keluarga baru. Mas Zakapun tak henti-hentinya memberiku perhatian-perhatian kecil yang mebuatku semakin melambung ke awan.

Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa sudah 3minggu aku menikah dan Mas Zaka. Mungkin karena terlalu bahagia, aku sampai tidak sadar kalau selama itu pula, semua kebutuhan rumah tangga memakai uangku. Akupun tidak pernah mempersalahkannya.

Sampai suatu ketika, setibanya kami di rumah, akupun menanyakan perihal gajinya. Bukannya aku meminta semua gajinya, hanya saja...bukankah sebagai istrinya aku berhak mendapatkan nafkah lahir, meskipun aku mempunyai pendapatan sendiri?

"Mas, kamu sudah gajian ya?." Tanyaku kala itu, saat sedang menonton tayangan di salah satu stasiun televisi.

"Sudah habis Sha." Ucapnya acuh, matanya tetap fokus melihat tayangan di televisi.

"Kok bisa mas? Emang buat apa?."

"Kamu pikir, uang yang kemarin aku kasih ke kamu, mas kawin, beli perabotan rumah tangga, dan ***** bengek lainnya uang darimana?." Ucapnya sedikit emosi sambil menunjuk semua perabotan yang ada di dalam rumah.

"Loh, bukannya pake uang tabungan kamu mas?." Ucapku masih bersabar.

"Mimpi kamu! Gajiku kan cuma 900rb!." Ucap mas Zaka sambil berlalu masuk ke kamar.

Ah, mungkin ini pentingnya pendekatan sebelum menikah. Bodohnya, aku tidak pernah bertanya berapa pendapatan mas Zaka saat itu, yang kutahu, mas Zaka sudah bekerja. Dan itu cukup. Aku berangan-angan ingin mulai dari nol bersama mas Zaka, jadi tidak terlalu kuperdulikan berapa penghasilannya, dan kerja dimana.

Aku menikah dengan mas Zaka yang sudah ku kenal selama kurang lebih 5 tahun. Mas Zaka sendiri teman semasa kuliahku saat itu, kami sama-sama mengambil kelas karyawan saat itu.

Aku dan mas Zaka hanya sebatas teman kuliah saat itu, tidak lebih. Tetapi aku bisa merasakan, kalau mas Zaka mempunyai perasaan lebih terhadapku.

Aku sering mendapatinya menatapku, memberiku perhatian kecil, menawariku tumpangan pulang ke rumah, ketika pulang kuliah yang larut malam. Sampai akhirnya Mas Zaka menyatakan perasaannya.

Saat itu aku masih abai terhadap semua perhatian mas Zaka, tetapi mas Zaka meyakinkanku akan menungguku.

Lambat laun, akupun akhirnya luluh dengan apa yang telah mas Zaka lakukan demi mendapat perhatian dariku.

***

Setelah perihal gaji, akupun melihat perubahan sikap mas Zaka, dia terlihat mudah marah, cuek, dan tidak segan untuk membentakku, meskipun aku hanya melakukan kesalahan kecil.

Saat itu aku mengira, mungkin mas Zaka merasa tersinggung karena aku menanyakan gajinya, padahal bukankah dari semua uang yang dia dapat, ada hak aku juga sebagai istrinya?

Atau mungkin, mas Zaka merasa minder, karena uang gajiku lebih besar dari uang gajinya? Entahlah...

Bahkan mas Zakapun tak segan berbuat kasar dan memaksa saat menggauliku. Sungguh bodoh, meskipun begitu aku tetap saja melayani mas Zaka dengan baik.

Pernah satu waktu aku sedang sakit, mas Zaka meminta haknya sebagai suami kepadaku.

"Maaf mas, aku lagi pusing mas. Besok aja gak apa-apa ya?." Pintaku memelas. Sungguh, saat itu aku merasa badanku agak demam.

"Dosa kamu kalau nolak permintaan suami! Lagipula, kalo kita melakukannya, nanti sakitmu bisa cepet sembuh, karena pindah ke badanku."

Jujur aku jijik mendengar ucapan mas Zaka kala itu, tapi lagi-lagi aku sungguh perempuan bodoh, aku menyanggupi permintaannya. Aku beranggapan, beginikah yang dilakukan istri sholehah? Ataukah, beginikah yang dilakukan istri yang buta akan cinta?

Sejak itu aku tidak pernah berani mengungkit masalah gaji, selama aku mampu, biarlah... Aku saja, ah... sungguh bodoh aku saat itu.

***

"Suamimu kemana dek?." Tanya mas Dika, suami kak Yanti begitu tiba di rumah sakit.

"Mungkin beli makan siang kak" ucapku dengan suara bergetar.

Akupun langsung menyeka air mataku kasar, khawatir kak Dika menanyakan perihal air mataku. Tapi naas, mataku terlihat begitu sembab seperti habis menangis.

"Kamu habis nangis dek? Ada masalah?." Tanyanya lagi sambil memperhatikan raut wajahku.

"Nggak kak, aku cuma lagi berasa sakit bekas operasi tadi." Ucapku berbohong.

"Perlu kakak panggilin dokter?." Tanyanya khawatir.

"Eh..nggak usah kak, nanti habis minum obat pereda nyeri juga hilang."

Seharian itu, mas Dika lah yang menemaniku di rumah sakit. Karena sampai sore, mas Zaka tidak menampakkan batang hidungnya.

"Dek, kamu telepon suamimu deh, ini sudah sore. Biasanya kalo sore bukannya waktunya dia ngelap badan kamu? Lagipula, maaf dek...kalau kamu buang air besar, bukan kakak gak mau membantu, tapi rasanya kamu juga bakal risih."

Kak Dika benar, dia hanya kakak iparku, seharusnya Mas Zaka lah yang menjagaku, merawatku saat aku sakit.

"Kakak pulang aja, sebentar lagi mas Zaka sampe kok." Ucapku berbohong lagi. Entah berapa banyak kebohongan yang sudah ku ucapkan.

"Oh..ya sudah, kakak pulang sekarang ya, anakmu Azka lagi aktif banget."

"Azka rewel gak kak?" Sungguh aku sangat rindu dengan anakku.

"Tenang aja, pokoknya kamu fokus sehat aja ya. Kakak pamit dulu, cepet sembuh ya." Kak Dika berlalu dari ruanganku

Sampai malam, mas Zaka tetap tidak datang, berkali-kali aku telepon dan sms, tapi tetap tidak ada jawaban.

Ya Tuhan, aku harus bagaimana?

Kembali air mataku luruh... Badanku terasa demam, aku baru ingat, semenjak kecelakaan, aku tidak pernah memerah ASIku, mungkin karena aku merasakan sakit di bagian kakiku, jadi aku lupa nyeri di bagian payudaraku.

Aku menahan nyeri, hingga tanpa sadar aku terlelap.

***

"Dok, asiku boleh aku perah gak, untuk anakku di rumah?." Tanyaku kala itu saat dokter mengecek keadaanku.

"Ooh, ibu masih asi ya anaknya? Di perah aja gak apa-apa bu, tapi nanti asinya di buang. Soalnya ibu banyak minum obat dan antibiotik. Kalau gak di perah, nanti ibu nyeri. Kalau tetap di perah, nanti ibu bisa menyusui lagi kalau sudah sembuh." Ucapnya sambil tersenyum.

Aku hanya mengucapkan terima kasih sambil tersenyum getir. Sepihak aku memutuskan untuk menghentikan ASIku, aku hanya mengompres dengan air hangat yang aku minta pada perawat saat memberikan obat untukku. Aku juga meminta bantuan kepada perawat membantuku meminum obat.

Dengan susah payah mengompres payudara kulakukan sendiri, meskipun akhirnya semua badanku basah. Bagaimana mungkin aku bisa dengan baik mengompres payudaraku, untuk miring ke kanan dan ke kiri saja aku sulit.

Sampai siang, mas Zaka tetap tidak menampakkan batang hidungnya. Aku bingung harus berbuat apa, belakang badanku rasanya panas sekali, karena biasanya aku di bantu miring ke kanan atau ke kiri, agar kulit belakangku tidak luka, karena lembab, panas terkena alas kasur rumah sakit.

Beberapa teman kantorku yang menjengukku heran, kenapa tidak ada yang menjagaku di rumah sakit. Ah aku sampai bingung harus memberikan alasan apa lagi. Saat siang, teman kantor yang menjengukku yang membantuku makan siang dan minum obat.

Akhirnya aku memberanikan diri menelpon kakakku, aku beralasan, mas Zaka sudah di terima kerja, jadi tidak ada yang menjagaku di rumah sakit.

Beruntung ada tante Sukma, dia adik ayahku paling bungsu. Kebetulan dia Janda tanpa anak, suaminya meninggal 4 bulan setelah menikah, karena kanker paru-paru. Usianyapun hanya terpaut 3tahun lebih tua dariku.

Ketika kakakku meminta bantuannya, dia dengan senang hati datang untuk menjagaku. Dia juga yang rajin mengelap badanku, membantu badanku miring ke kanan atau ke kiri agar tidak panas, membersihkan kotoranku saat aku buang air besar, bahkan membersihkan darah mesntruasiku.

Semua dia lakukan tanpa risih dan jijik kepadaku. Aku sungguh sangat berterima kasih kepadanya.

Selama hampir 2 minggu, tante Sukma lah yang merawatku sampai aku selesai makan malam dan meminum obat, setelahnya, sesekali Kak Dika yang menjagaku hingga subuh. Karena mas Dika harus pulang ke rumah, dan bersiap-siap untuk kerja. Sedang mas Zaka? Entah kemana dia, aku sudah tak mau ambil pusing.

Sampai suatu siang, ibu mertuaku datang bersama tetangga dekat tampat tinggalku, keluarga besarnya dan mas Zaka. Mereka datang seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Dapat kulihat, bagaimana ibu mertuaku sangat manis, menceritakan kondisiku kepada tetanggaku. Aah ibu...kalau saja aku lupa cara menghormati orang tua, mungkin saat itu sudah aku ceritakan keadaan yang sebenarnya kepada semua tetangga dan keluarga besarmu.

Tapi semua tidak aku lakukan ibu, masih ada sedikit rasa hormatku kepadamu, ibu dari suamiku, nenek dari anakku.

Tante sukma yang melihatnya, sungguh emosi. Tapi aku berusaha meredam emosinya dengan memegang tangan tante Sukma.

Setelah berbincang-bincang, akhirnya tetangga dan keluarga besar ibu mertuaku pamit pulang, mereka mendoakan aku tetap sabar, dan cepat sembuh. Tak ada yang dapat ku ucapkan selain kata terima kasih, sambil menangis haru, bahwa masih ada yang perduli kepadaku.

Kamarku kembali sunyi, dikamar hanya ada aku, tante Sukma, mas Zaka yang acuh, serta ibu mertuaku. Hening...tak ada sepatah kata yang keluar dari semua yang ada di ruangan ini. Seakan sibuk pada pikiran masing-masing.

"Ya sudah Sha, ibu juga pulang. Sudah sore." Ucapnya sambil menarik lengan mas Zaka yang sedang duduk di pojok kamar.

Tak ada sedikitpun rasa khawatir di raut wajahnya, bahkan tak ada kata-kata bahwa dia rindu Azka cucunya. Dia langsung beranjak pergi meninggalkan ruanganku.

Tetapi, langkah mereka terhenti ketika tante Sukma berkata.

"Bu, maaf. Uang yang tadi di titipkan sama tetangga dan keluarga ibu, bukannya itu hak Aisha? Kenapa ibu bawa? Setidaknya kalau anak ibu tidak bisa memenuhi kebutuhan Aisha, seharusnya jangan merampas apa yang menjadi hak Aisha." Tanteku berkata tegas.

Dapat kulihat raut wajah mertuaku merah menahan emosi.

"Terserah ibu dong, ini kan uang dari tetangga dan keluarga besar ibu, berarti ini juga hak ibu dan Zaka, anak ibu!."

Astaghfirullah bu... Jadi ibu datang menjengukku, bukan karena khawatir dengan keadaanku? Tapi ibu khawatir dengan amplop yang menurutku tidak seberapa, yang di berikan tetangga dan keluarga besar ibu?? Batinku sambil berusaha menahan desakan air mata sialan di pelupuk mata.

💞💞💞

Jangan emosi ya... 😘😘😘

Part 3

#Dibuang_Seperti_Sampah

#part_3

***

Amplop lagi..amplop lagi!!! Rasanya aku mau meneriakkan kata-kata tersebut sekencang-kencangnya. Tapi apa daya, aku hanya berteriak dalam hati.

Kenapa harus selalu berurusan dengan amplop yang membuatku kecewa? Bukan masalah jumlah uang yang berada di dalam amplop tersebut, bukan!. Tapi, bagaimana bisa mereka masih memikirkan hal serendah itu disaat kondisiku yang tak berdaya.

Ya Tuhaaaan... Terbuat dari apa hati ibu mertuaku dan suamiku itu?

Masih kuingat betul, setelah perhelatan pesta pernikahanku dengan mas Zaka, keesokan harinya mertuaku memberikan sejumlah uang dan barang-barang. Beliau berkata itu adalah uang amplop dan kado dari teman-temanku dan mas Zaka.

Aku hanya melongo begitu ibu mertuaku menyerahkan uang dan barang-barang tersebut. Sebenarnya aku kecewa, kenapa ibu mertuaku tidak mengajakku atau mas Zaka saat membuka amplop dan kado tersebut? Bukan aku tidak percaya, hanya saja, saat itu aku merasa semua uang dan kado tersebut adalah hutang yang harus dikembalikan saat teman-temanku menikah nantinya.

Saat mengetahui jumlah uang yang diberikan oleh mertuaku, yang menurutku tidak seberapa, lagi-lagi aku tidak mempermasalahkannya. Meskipun dengan jabatanku di kantor, banyaknya nasabah dan teman-temanku yang menghadiri pesta, aku merasa jumlah yang di berikan ibuku jauh dari semestinya.

Sabar... Batinku. Apalagi aku baru menjadi bagian dari keluarga ini, jadi aku tidak mempermasalahkannya. Biarlah, toh kalau masalah uang masih bisa dicari, jangan sampai karena masalah uang, keluarga jadi ribut. Apalagi saat itu ibu mertuaku menyambut baik kehadiranku di keluarganya.

Bodoh, kuakui aku bodoh.

Sekarang aku masih menangis tak henti-henti setelah ibu mertuaku dan mas Zaka pulang. Berkali-kali tante Sukma menenangkanku sambil memeluk, mengusap rambutku, dan menggenggam tanganku, tetap tidak dapat menghentikan tangisku.

Akhirnya tante Sukma membiarkanku meluapkan semua kesedihanku. Saat itu rasanya ingin sekali aku menceritakan semua tentang perlakuan ibu mertuaku dan mas Zaka kepada tante Sukma. Tapi...lagi-lagi aku tidak menceritakan hal tersebut. Aku masih berharap ada itikad baik dari mas Zaka, apalagi ada Azka, buah cinta kami.

Semuanya aku pendam sendiri, sambil terus berdoa semoga ibu mertuaku dan mas Zaka kembali bersikap baik, bukankah Tuhan maha membolak-balikkan hati hambanya?Apalagi, bukankah aib rumah tangga tidak boleh diumbar? Bodoh, masih saja aku berfikir, mungkin seperti ini yang seharusnya dilakukan istri sholehah!

Setelah dilihat aku mulai sedikit tenang, tante Sukma pamit pulang, karena hari sudah semakin malam. Sebelumnya aku sudah sms mas Dika, agar dia tidak perlu menjagaku malam ini. Karena saat ini, aku hanya ingin sendiri.

Aku hanya butuh waktu berfikir. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?. Apakah harus bercerai?. Bagaimana nasib Azka?. Dia masih terlalu kecil. Apa akibatnya jika Azka kehilangan sosok ayahnya diusianya yang masih terlalu dini?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seakan-akan berputar-putar di kepalaku.

Dulu setelah perkara masalah gaji, aku pernah berniat mengajukan cerai. Apalagi aku sudah tidak tahan dengan sikap mas Zaka yang kasar. Sebenarnya kalau saja saat itu dia jujur, tetap bersikap baik kepadaku, aku tidak mempermasalahkan soal gaji dia dan nafkah lahir.

Tetapi seakan takdir Tuhan berkata lain, saat aku hendak mengajukan cerai, aku dinyatakan positif hamil, akupun mengurungkan niatku untuk bercerai. Mas Zakapun perlahan mulai perhatian lagi, seperti sekedar membantuku di dapur, atau menyapu halaman rumah ketika hari libur, sudah membuat hatiku berbunga-bunga. Akupun sangat bersyukur, seolah Tuhan menjawab semua doa-doaku.

Mas Zakapun mulai semangat mencari pekerjaan yang lebih baik lagi. Sampai akhirnya, dia di terima di sebuah perusahaan bonafide di daerah Jakarta Selatan.

Meskipun sudah bekerja di perusahaan bonafide, mas Zaka tetap tidak memberikan uang sepeserpun kepadaku. Ya..lagi-lagi menurut mas Zaka, hutangnya kepada ibunya belum lunas.

Akupun tidak keberatan, selama mas Zaka masih bersikap baik layaknya seorang suami, toh selama ini aku masih bisa memenuhi semua kebutuhan keluarga kecilku. Menurutku cukup, yang terpenting mas Zaka sudah kembali seperti dulu.

Beberapa bulan bekerja di daerah Jakarta Selatan, mas Zaka di mutasi ke Medan. Awalnya aku keberatan, apalagi saat itu kehamilanku sudah mulai membesar. Mas Zaka meyakinkanku, kalau kesempatan untuk naik jabatan semakin terbuka kalau dia bersedia di mutasi ke Medan. Lagipula, mas Zaka juga bilang, dia ingin segera terbebas dari hutang ibunya.

Akhirnya dengan berat hati aku melepas mas Zaka kerja di Medan. Semenjak mas Zaka bekerja di Medan, Mas Zaka tetap perhatian, selalu memberi kabar dan menanyakan kabarku dan calon bayi kami.

Hanya saja, aku merasa semenjak kepergian mas Zaka ke Medan, aku merasa ibu mertuaku dan kakak iparku bersikap seenaknya kepadaku, mereka seperti lintah yang menghisap darahku perlahan-lahan.

Ada saja yang mereka minta dan mereka ambil seenaknya dariku. Bodohnya saat itu aku seakan sulit untuk sekedar menolak, atau mengatakan tidak atas apa yang mereka lakukan. Untuk berkeluh kesah kepada mas Zaka tentang kelakuan mereka, aku sungkan. Aku takut menambah beban pikiran mas Zaka. Apalagi saat ini hubunganku dengan mas Zaka sedang baik-baik saja.

Menurutku mas Zaka pria yang baik, hanya saja, terkadang dengan dalih bakti terhadap ibunya, mas Zaka tidak dapat memilah mana yang harus di lakukan, dan mana yang seharusnya tidak perlu dilakukan.

Pikiranku seperti benang kusut, aku bingung harus memulai darimana untuk menguraikan benang kusut tersebut. Kepalaku rasanya mau pecah. Ya Tuhan...bantu hamba...

🌺🌺🌺

Esok harinya, aku kaget ketika mba Tuti datang menjengukku, dari kejauhan aku melihat matanya yang sudah berkaca-kaca. Seakan sulit di bendung, airmatanya luruh begitu duduk di samping ranjangku.

"Ya Allah Sha... Kok sampe kaya gini? Maafin mba, baru bisa jenguk... Ini aja mba bohong sama ibu." Tangisnya pecah sambil terus memperhatikan keadaanku.

"Maaf ya Sha, mba bukan gak mau jagain Azka, tapi ibu melarang. Tau sendiri kan, mba gak bisa apa-apa, karena mas Yusuf masih pengangguran, dan keluarga mba masih numpang makan sama ibu."

"Dari awal mba kan sudah memperingatkan kamu, jangan terlena sama sikap baik ibu, tapi kamu nggak percaya."

"Maaf mba..." Gumamku lirih...

Lagi-lagi aku menangis, menyesal rasanya baru percaya semua ucapan mba Tuti. Dulu berkali-kali mba Tuti memperingatkanku perihal ibu mertua, tapi dulu aku tak pernah menggubris ucapannya, hanya ku anggap angin lalu.

"Maaf Sha, mba bukan marah sama kamu, mba cuma sedih melihat kamu seperti ini. Mba pikir, cukup mba aja yang mendapat perlakuan seperti itu, jangan kamu." Ucapnya sambil menghapus air mataku.

Masih ku ingat bagaimana ibu mertuaku memperlakukan mba Tuti sudah seperti layaknya pembantu, bukan menantu. Bahkan, acapkali mba Tuti makan makanan sisa dari ibu mertuaku.

Tapi tak pernah sedikitpun aku melihat mba Tuti mengeluh, pernah aku menanyakan perihal perlakuan ibu mertuaku kepada mba Tuti. Dia bilang, apa yang bisa mba lakukan? Sementara mba sudah nggak punya orang tua, nggak punya saudara, karena mba Tuti anak tunggal. Bahkan satu-satunya warisan peninggalan orangtuanya pun, di kuasai oleh ibu mertuaku.

Sungguh hatiku sangat teriris mendengarnya. Terlebih, anaknya mba Tuti, acapkali hanya menatap aneh pada makanan yang selalu aku berikan kepadanya. Mba Tuti bilang, maklum saja, mungkin karena Fika jarang makan enak.

"Ngapain lagi keluarga gak tau diri dateng ke sini? Cari amplop?." Ucapan tante Sukma dari depan pintu membuyarkan lamunanku, kulihat raut wajah mba Tuti pun terlihat kikuk.

"Tante!." Ucapku sambil melirik tajam kepada tante Sukma.

"Kalo gitu mba pamit aja Sha, takut ibu curiga." Ucapnya sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya.

"Mba cuma bisa bawa ini." Mba Tuti meletakkan kotak perhiasanku di sisi ranjangku.

"Kemarin mba lihat ibu agak emosi setelah pulang jenguk kamu. Makanya mba bawa ini, takut kejadian seperti mba dulu, susah meminta hak kita kalau sudah di tangan ibu." lanjutnya sambil tertawa yang dipaksakan.

"Makasih mba." Jawabku lirih.

Mba Tuti segera meninggalkan ruang perawatanku, dan sedikit menganggukkan kepala begitu berpapasan dengan tante Sukma. Kulihat tante Sukma merasa bersalah.

"Gak apa-apa tante... Mba Tuti pasti maklum kok". Ucapku sambil tersenyum.

***

Menurut dokter, setelah pemasangan beban kemarin, dirasa cukup baik perkembangannya. Alhamdulillah, dokter bilang panjang tungkai kakiku sudah sama. Sehingga, akan dilakukan operasi lanjutan yang kedua, dan alhamdulillah operasinya berjalan dengan baik.

Setelah operasi kedua, badanku perlahan bisa di gerakkan miring ke kanan dan ke kiri tanpa bantuan orang lain, meskipun terkadang masih terasa nyeri, tapi aku tetap berusaha. Aku harus semangat demi Azka.

Kak Yanti rajin mengirim foto dan video Azka, aaah bayi mungil itu...sungguh menggemaskan!. Ummi juga setiap hari menelfon, memberikan semangat kepadaku.

Ummi, bukannya dia tidak mau ikut bergantian menjagaku di rumah sakit. Sebelum ayahku meninggal, ummi terkena penyakit Glukoma, yang mengakibatkan beliau mengalami buta permanen.

Semakin hari, alhamdulillah keadaanku semakin membaik, aku sudah mulai bisa duduk. Meskipun masih perlu di bantu. Tak terasa sudah sudah hampir 2 bulan aku di rumah sakit.

Aku bersyukur kantor tetap membayar gajiku, sehingga aku masih bisa membayar semua keperluan Azka, keperluanku selama di rumah sakit, dan membayar beberapa tagihan rumah sakit yang tidak di cover asuransi.

Selama itu pula aku tidak pernah memikirkan mas Zaka, aku sudah bertekad untuk berpisah dengannya. Karena nyatanya, tidak ada itikad baik dari mas Zaka dan keluarganya.

***

Setelah keadaanku telah benar-benar pulih, aku memutuskan membeli rumah kecil, yang lokasinya dekat dengan kantor. Aku juga sudah menemukan asisten rumah tangga yang bisa menjaga Azka, mba Cici namanya. Bukannya kak Yanti sudah tidak mau mengasuh Azka, hanya saja, semenjak kak Yanti mengalami keguguran, aku merasa bersalah. Karena aku tahu kak Yanti sudah sangat mendambakan kehadiran buah hati yang keduanya, karena anak pertama kak Yanti sudah berusia 8 tahun.

Hari-hari ku lalui dengan sangat bahagia. Tidak terasa Azka sudah berusia 1 tahun. Ada saja tingkah lucunya setiap hari. Aku juga sudah mengajukan gugatan ceraiku di pengadilan agama Jakarta Barat. Hanya tinggal menunggu surat panggilan sidang saja.

Hingga suatu ketika, aku melihat kembali sosoknya berdiri di depan rumahku... Entah darimana dia tahu tempat tinggalku.

"Mas Zaka..." cicitku menyebut namanya.

"Ada perlu apa ke sini?"

"Boleh mas masuk dulu?" Dia bertanya tanpa menjawab pertanyaanku.

Setelah mempersilahkan mas Zaka masuk, aku memanggil Azka, biar bagaimanapun, mas Zaka adalah ayahnya. Entah mengapa, Azka menangis setelah di peluk mas Zaka. Akhirnya, mba Cici membawa Azka main keluar untuk meredakan tangisnya.

"Ada perlu apa mas?" Tanyaku mengulang pertanyaan yang belum di jawab.

"Aku kangen sama Azka... Juga kamu." Jawabnya sambil menatap mataku.

Kangen? Kemarin kemana aja mas? Tanyaku dalam hati. Aku memutar bola mataku jengah.

"Sebentar, aku buat minum dulu" ucapku sambil beranjak menuju dapur.

Tetapi, sebelum langkah kakiku sampai ke dapur, tanganku di tarik paksa menuju kamar.

"Mas Zaka!!!" Teriakku berusaha melepaskan cengkraman tangan mas Zaka. Tapi usahaku sia-sia. Mas Zaka langsung mendorong tubuhku ke atas kasur, dan mengunci rapat pintu kamar.

🌺🌺🌺

Kritik dan sarannya... Terima kasih 🙏.

Banyak yang comment Aisha ini bodoh 😂, bersyukurlah...mungkin readers di sini belum pernah merasakan buta karena cinta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!