“Kamu sudah berumur. Sudah saatnya menikah,” ungkap pak Sean pada putra semata wayangnya.
Angga memijat keningnya setelah menyimak celotehan ayahnya itu. Lalu berkata, “Anabel belum siap menikah pa. Dia lagi sibuk-sibuknya mengejar karier.”
Pak Sean pun meletakkan vapenya agar bisa fokus berbincang dengan Angga. “Anabel itu pacar kamu ya?”
“Iya, pa.”
“It is okay kalau dia sibuk berkarier, yang akan kamu nikahi juga bukan dia.”
Angga mengernyitkan alis kirinya. “Maksud papa apa?”
“Kamu akan kunikahkan dengan anaknya sahabatku.”
“What? Dijodohkan? How come pikiran papa bisa sekolot itu?”
Pak Sean menatap tajam ke arah Angga. “Kamu hanya boleh menikah dengan anaknya Radit,” tuturnya dengan penuh penekanan.
“Tidak bisa pa, saya cuma cinta sama Anabel. Sampai kapan pun, saya tidak akan pernah mau dijodohkan dengan anak sahabat papa itu.”
“Kamu boleh menolak untuk dijodohkan dengan anak sahabatku. Tapi jangan harap perlakuanku akan sama lagi seperti dulu. Semua aset keluarga kita juga akan kuhibahkan ke panti asuhan saja.”
“Hah? Terus aku dapat apa pa?”
“Dapat Anabel. Silakan kamu angkat barang-barangmu sekarang juga. Bawa ke rumah pacarmu itu. Saya tidak sudi memiliki anak pembangkang seperti kamu.”
“Yang, kamu bicara apa sih? Kenapa tega sekali mengusir anak sendiri?” tegur bu Salsa.
“Semua ini salahmu, dia jadi pembangkang begini karena kamu selalu memanjakannya. Kalau dia tetap kukuh pilih pacarnya, suruh dia cepat-cepat tinggalkan rumah ini.”
Pak Sean kembali menikmati vapenya dengan begitu santainya, seolah sedang tidak ada masalah yang terjadi di rumah itu. Keputusannya sudah bulat untuk menjalankan janjinya bersama Radit waktu masih muda dulu.
Bu Salsa mendekatkan diri pada anak yang sangat dicintainya. “Dengar kata papamu ya sayang!” bujuknya.
Apa boleh buat, mau tidak mau aku harus menikah dengan gadis pilihan papa. Daripada hidup melarat seumur hidup. Angga pun mengangguk.
“Angga setuju yang,” ucap bu Salsa pada suaminya.
“Baguslah, siapkan baju yang rapi untuk dia pakai ke rumah Radit besok. Jangan sampai tatonya kelihatan!”
Bu Salsa pun memilihkan jas yang cocok untuk anaknya pakai. Besoknya, mereka bertiga berkunjung ke rumah Radit.
“Bilang ke Amanda, tamu yang kita tunggu sudah datang. Suruh dia keluar sekarang,” bisik Radit pada istrinya.
Bu Renata berjalan ke kamar anak sulungnya. “Tamunya sudah datang sayang.”
Mereka berdua pun melangkah ke ruang tamu. “Angga?”
“Hey Amanda. Long time no see. How are you?”
“Fine, you look so handsome now bruhh.”
“Bisa aja kamu Amanda, nanti atapnya bocor loh.”
“Kalian sudah saling kenal?” tanya pak Sean.
“Iya, Amanda ini teman kelasku waktu di SMA pa.”
Di saat yang bersamaan, Alisha yang baru saja pulang dari kampus pun memasuki rumah. Bu Renata langsung menyuruhnya untuk duduk di samping Amanda. “Ini Alisha, adiknya Amanda. Baru bisa gabung karena baru pulang kuliah.”
Senyum Angga memudar saat melihat Alisha ada di depannya, karena pikirannya jadi flashback pada kejadian delapan tahun yang lalu. Ini saatnya aku balas dendam pada kamu Alisha.
“Angga, kamu mau menikahi yang mana?”
“Alisha pa,” jawab Angga cepat.
“Kak Amanda saja kak. Kalian kan sangat cocok untuk jadi suami istri, chemistry kalian juga sangat dapat. Kalau saya belum mau menikah.”
“Amanda sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Agak aneh kalau dia yang kunikahi.”
Ulasan demi ulasan Alisha sampaikan, tapi tetap saja ditolak Angga. Pada dasarnya, apa pun yang dilontarkan Alisha akan dia tolak. Karena satu-satunya alasannya menikahi Alisha adalah demi membalaskan dendamnya delapan tahun yang lalu.
Sepekan kemudian, pernikahan Angga dan Alisha berlangsung. Demi menutupi tato di tubuhnya, sahabat-sahabat Angga berdatangan dengan memakai jas.
Di pesta pernikahan itu, Angga lah yang tampak sangat bahagia. Dia tersenyum manis selama acara itu berlangsung.
Tak ada yang tahu kejahatan yang bersembunyi di balik senyum itu. Selamat menjadi istriku Alisha. Mulai hari ini, akan kubalas perbuatanmu yang dulu. Kamu akan merasakan sakitnya perasaanku seperti apa.
Usai perhelatan resmi itu, bu Renata meminta Alisha untuk mengajak Angga beristirahat di kamar. “Mari kak,” ajak Alisha dengan ekspresi datarnya.
“Ayo sayang,” balas Angga lalu menggenggam tangan Alisha dengan mesra.
Pengantin baru itu pun ke kamar. Seusai melepaskan pakaian pengantinnya, Alisha bergegas keluar.
“Mau kemana?” tanya Angga yang berhasil menghentikan langkah Alisha.
Alisha berbalik dan berujar, “Mau makan. Kak Angga mau ikut?”
“Saya mau makan di sini,” jawab Angga seraya menepuk ranjang Alisha.
“Oh, iya. Nanti saya ambilkan makanan kak.”
“Sepiring saja ya. Kita makan sepiring berdua.”
“Hah?” Alisha sebenarnya mendengar dengan baik ucapan Angga. Hanya saja dia tidak habis pikir Angga bisa semanja itu padanya.
“Cepat sana ambilkan makan sayang! Saya lapar sekali.”
Alisha pun bergegas ke dapur untuk mengambil makanan. “Suamimu tidak lapar?” tanya bu Renata saat mendapati anaknya itu hanya datang seorang diri.
“Kak Angga mau makan di kamar ma.”
“Terus kenapa cuma bawa satu piring?”
“Katanya mau makan sepiring berdua.” Alisha yang tak ingin dibully cepat-cepat kembali ke kamar.
“Menantu kita ternyata sweet sekali pa,” ungkap bu Renata pada pak Radit yang tengah duduk di sampingnya.
“Iya, alhamdulillah ma. Tidak salah kita jodohkan Alisha dengan Angga.”
Mereka terus memuji Angga. Wajar saja, acting Angga memang sangat bagus. Sampai-sampai mertuanya mengira dia adalah lelaki yang tepat untuk Alisha.
Sesampainya di kamar, Alisha meletakkan makanan di depan Angga. Membiarkan suaminya itu makan duluan sampai kenyang.
“Suap,” perintah Angga yang membuat Alisha melongo tidak percaya.
Tak ingin cekcok di hari pertama menikah, Alisha langsung menyuapi suaminya itu. Suapan pertama tidak Angga habiskan. “Kamu juga lapar kan? Silakan makan.”
Alisha bergeming, “Kamu jijik ya makan sisaku?” tanya Angga dengan raut muka sedih.
“Tidak.” Dengan cepat Alisha memakan bekas Angga. Begitu seterusnya sampai makanannya habis.
Saat minum, Angga juga menjulurkan lidahnya berkali-kali ke dalam gelas. Setelah itu, dia meminta Alisha untuk meminumnya.
Alisha kembali terdiam, “Diminum dong sayang!” ucap Angga dengan intonasi yang sangat lembut.
Alisha kemudian meneguk air itu sampai habis. Meski menuruti semua ucapan Angga, Alisha sebenarnya tidak sebodoh itu. Dia bisa merasakan kelicikan di balik sikap mesra yang Angga tunjukkan padanya.
“Kemasi barang-barangmu! Mulai hari ini kita tinggal di rumah pribadiku.”
“Lain kali saja ya kak. Saya capek, jadi belum bisa beres-beres. Kakak duluan saja, nanti saya menyusul.”
“Biar kubantu kemasi barang-barangmu.”
“Jangan! Kakak pasti capek kan duduk seharian? Begini saja, kakak pulang duluan. Nanti kalau sudah berkemas, saya menyusul.”
“Tidak bisa sayang. Mana ada suami malam pertama tanpa istrinya,” bisik Angga di telinga Alisha.
Ini pasti akal-akalan kak Angga. Dia mau saya cepat-cepat ikut, supaya dia bisa balas dendam dengan cepat. Sedendam itu kah kak Angga ke saya?
Semua barang Alisha kini sudah masuk di koper. Dia dan Angga lalu pamit ke ayah dan ibunya.
“Sini, biar barangmu saya yang bawa. Kamu tidak boleh angkat yang berat-berat sayang!”
Bu Renata dan pak Radit tersenyum bahagia melihat perlakuan Angga yang tampak sangat sayang pada Alisha.
Angga segera mengemudikan mobilnya. Sesampainya di rumah, satpam mengangkat barang-barang milik Alisha. “Biarkan dia bawa sendiri pak!” cegah Angga.
Satpam itu pun beranjak dari hadapan Alisha. Membuat Alisha mendongkol karenanya. Tadi di rumah dibawakan, di sini suruh bawa sendiri. The real manusia bermuka dua.
Alisha akhirnya berhasil memasukkan semua barang-barangnya ke kamar. Keringat yang bercucuran di sekujur tubuhnya adalah bukti betapa terkurasnya tenaganya karena mengangkat barang.
Seharian duduk pengantin, bolak-balik mengangkat barang setelahnya, membuat Alisha sangat lelah. Dia langsung membaringkan tubuh di atas ranjang.
Angga yang baru saja keluar dari kamar mandi mendekat ke arahnya. Dia lalu menindih tubuh perempuan di bawahnya itu.
“Kak Angga mau apa?” teriak Alisha yang ketakutan.
Angga semakin tertantang saat melihat ekspresi Alisha yang seperti itu. “Menurutmu? Seorang lelaki normal akan berbuat apa kalau posisinya begini?”
“Jangan sekarang kak Angga, saya capek.”
Angga tetap tak mengubah posisinya. Ia bahkan semakin mendekatkan wajahnya. Alisha yang ketakutan karena berpikir akan dicium menutup matanya.
“Ternyata ada yang tidak sabar mau malam pertama,” ledek Angga lalu mengambil gawainya yang berada di samping kepala Alisha. Sesudah itu dia memperbaiki posisinya dengan duduk.
“Siapa juga yang mau malam pertama sama kamu?” tanya Alisha sewot. Dia yang ketakutan akan ditindih lagi juga langsung duduk.
“Tadi kamu tutup mata. Kamu pasti berpikir saya mau cium kamu kan? Hayolah, mengaku saja. Jangan sok jual mahal.”
Belum puas menakut-nakuti Alisha, Angga kembali mendekatinya. “Jangan mendekat kak!” tutur Alisha seraya memegang guling. Dia bersiap-siap memukuli Angga yang semakin dekat dengannya.
Tiba-tiba, bunyi keroncongan terdengar dari perut Angga. Saking besarnya suara keroncongan itu, Alisha juga mendengarnya. Dia bahkan menertawakan Angga karena suara perut itu.
“Kenapa ketawa? Kamu pikir ini lucu?” tanya Angga kesal.
“Maaf, tapi memang lucu kak. Kakak masih lapar ya? Padahal kita baru saja makan tadi di rumah. Kenapa perut kakak masih keroncongan?”
“Makan seporsi berdua mana bisa kenyang? Sana kamu ke dapur, masak yang enak untukku.”
“Saya masih capek kak, harus istirahat. Malah disuruh masak.”
“It is okay kalau kamu tidak mau masak. Tak ada makanan di meja, makanan di ranjang pun jadi.”
Alisha mencoba menelaah kembali ucapan Angga barusan. Di sini kan tidak ada makanan. Jangan-jangan maksud kak Angga dia mau memakanku.
“Aaaaa, dagingku tidak enak kak.”
“Body berisi begini masa’ tidak enak? Sini biar kucoba!”
“Saya masak sekarang kak.”
Alisha yang kelelahan terpaksa ke dapur untuk memasak. Mending masak lah, daripada aku yang dimakan.
Mbok Murni ingin membantu Alisha, tapi dicegah oleh Angga. “Biarkan dia masak sendiri mbok. Siapkan saja bahan-bahan makanan kesukaanku yang sering mbok buat.”
“Baik tuan.” Mbok Murni kemudian mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas. Lalu meletakkannya di hadapan Alisha.
“Kak Angga suka makan pare mbok?”
“Iya, nyonya.”
“Tapi saya tidak bisa masak pare mbok.”
“Biar saya ajar nyonya.”
“Jangan diajar mbok, biarkan dia buat resep sendiri. Mbok ke kamar saja istirahat. Tadi malam mbok sampai bergadang karena menyiapkan seserahan untuk dia. Sekarang biarkan dia membalas budi.”
Dengan berat hati mbok Murni kembali ke kamar. Kondisinya memang tidak begitu fit saat ini, tapi dia juga tidak enak hati melihat nyonya barunya memasak sendiri.
Mau tidak mau, Alisha yang tidak suka makan pare harus memasak pare untuk Angga. Dari banyaknya makanan, kenapa harus pare sih yang jadi makanan favoritnya? Jadi repot kan kalau begini, hadeuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!