*
*
Rama mengendarai mobil dinasnya dengan kencang. Meski mendapat peringatan dari rekannya di bangku penumpang, namun pria itu tak mau mendengar. Seseorang harus menghentikan kriminal di depan sana yamg pasti aka membahayakan keselamatan semua orang di kota.
"Stop Ram! ini bukan tugas kita." Alan berteriak untuk mengingatkan.
"Tidak akan ada penjahat yang lolos jika dia beraksi di depan mataku." Rama balas berteriak.
"Tapi tidak seharusnya kita tangani, sudah ada petugas yang mengejarnya." Alan menoleh ke belakang di mana dua motor petugas dan satu mobil polisi melakukan hal yang seperti mereka lakukan. Mengejar segerombolan perampok bank yang dengan nekatnya beraksi di siang bolong.
"Yeah, .. tapi mereka ada di belakang kita." ucap Rama yang masih tak mengurangi kecepatan mobilnya.
"Ini tugas mereka, bukan kita!" teriak Alan lagi.
"Pers*tan dengan tugas, mereka tidak bisa melakukannya seperti aku." pria itu malah menambah kecepatannya.
"Ram!"
"Kau ambil alih kemudi, aku akan menghentikan baj*ngan-baj*ngan ini!" Rama hampir melepaskan tangannya dari stir.
"Tapi ...
"Ambil alih kemudinya atau aku lakukan sendiri sambil menembaki mereka!" pria itu mengeluarkan revolver dari dashboard.
"Kau gila!" Ucap Alan, namun tak urung juga dia melaksanakan perintah rekan kerjanya tersebut.
"Memang, sejak dulu kau sudah tahu." jawab Rama, yang kemudian menjulurkan kepalanya dari jendela yang terbuka lebar, kemudian mengarahkan pistol di tangannya ke belakang mobil sedan hitam yang di tumpangi empat pria bertopeng tokoh kartun asal negri Jiran.
Dia menarik pelatuknya sambil memicingkan mata, kemudian menembakkan benda tersebut ke arah ban belakang sebanyak tiga kali, membuat mobil di depan sedikit oleng.
"Cukup Ram!" Alan mengingatkan.
"Tidak, mereka belum berhenti." tolak Rama yang kembali mengarahkan pistolnya ke mobil sedan tersebut.
"Seseorang akan menghentikan mereka!"
"Tidak ada," ucap Rama lagi yang kembali menembakkan senjatanya ke ban yang satunya lagi.
Namun hal tersebut membuat salah satu penumpang di depan melakukan perlawanan. Yang kemudian mengarahkan AK-47 nya ke arah mobil yang di tumpangi Rama. Lalu di saat yang bersamaan mereka menembakan senjatanya masing-masing.
Rama menembak ke arah kaca, yang kemudian mengenai salah satu penumpang, sementara pria bertopeng itu mengarahkan tembakanya kepada Rama, namun meleset mengenai atap mobil.
"Sial!" teriak Alan. "Kau akan membuat kita terbunuh Ram!"
"Tutup mulutmu da kendalikan mobilnya dengan benar!" Rama balas berteriak.
Pria di depan kembali mempersiapkan senjatanya untuk memberondong Rama, sementara pria itu tetap mengarahkan senjatanya dengan mata memicing. Mengunci sasaran dengan pasti, dan di detik berikutnya revolver di tangannya memuntahkan dua buah peluru yang melesat menebus kaca sedan.
Satu bersarang di kepala penumpang, dan satu lagi menembus kepala si pengemudi. Membuat mobil tersebut oleng ke samping dan seketika terguling beberapa kali kemudian berhenti setelah menabrak pagar pembatas jalan bebas hambatan tengah kota.
*
*
Sang komandan menggelengkan kepala sambil menatap wajah bawahannya tersebut dengan raut tidak percaya. Meskipun ini bukan pertama kalinya Rama mangkir dari tugasnya dan malah beraksi mengambil alih tugas orang lain, namun itu cukup membuatnya gusar juga.
"Padahal ini kesempatan terakhirmu, Ram." ucap Fandi dengan raut kecewa.
"Tapi saya tidak bisa membiarkan mereka masuk ke tengah kota dan membahayakan orang-orang." pria itu menjawab.
"Dan kau pikir telah berbuat benar dengan menembakkan senjatamu secara sembarang di jalan raya?" Fandi bersedekap.
"Saya tidak menembakan senjata sembarangan pak, dua dari mereka mati, dan saya menghentikan kebut-kebutan tersebut. Membuat tim URC bisa menangkap mereka dengan mudah." Rama membela diri.
"Dan kau kira itu bagus?"
Rama terdiam.
"Kau tahu, kami berusaha menangkap para perampok itu hidup-hidup agar bisa menginterogasi mereka. Dan mengorek keterangan untuk siapa saja mereka bekerja. Apa kau tak tahu itu?"
"Siap pak, saya tahu."
"Lalu mengapa kau malah menembaki mereka seolah kau tak tahu?" Fandi dengan gusar.
"Lagi pula kenapa juga kau harus ikut campur. Ini bahkan bukan tugasmu, kau hanya kebetulan saja ada di sana. Kenapa kau tidak pergi saja?"
"Siap pak, maaf. Saya hanya merasa rekan-rekan kesulitan menangkap para perampok itu."
"Tahu apa kau soal kesulitan kami? kami hanya sedang berusaha untuk hati-hati agar bisa menangkap mereka hidup-hidup. Tapi kau datang dan malah mengacaukan semuanya." Garin muncul dengan rasa kesalnya. Tentu saja, misinya kali ini gagal total karena aksi dari rekan sekaligus rivalnya yang telah Fandi pindahkan ke bagian lain.
Rama terdiam.
"Kau tahu, kami sedang memperbaiki citra kepolisian agar lebih baik di mata masyarakat. Tapi orang sepertimu malah mengacaukannya, seperti biasa." lanjut Garin, dan dia berbicara tepat di depan wajah Rama.
"Aku rasa seharusnya kau mengundurkan diri dari kepolisian agar tak ada lagi yang mencoreng citra lembaga dengan aksi brutalnya. Kau tahu, seharusnya polisi itu sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Bukannya ugal-ugalan sepertimu."
"Tutup mulutmu! tentu saja caramu dan caraku berbeda. Aku tidak bisa bergerak lambat sepertimu dengan alasan menjaga citra kepolisian. Aku hanya tidak bisa membiarkan kejahatan berjalan mulus di depan mataku." sergah Rama dengan suara yang keras.
"Hey, ini pertarunganku bukan pertaunganmu. Jadi biarkam aku yang melalukannya dengan caraku. Kau tahu, masamu sudah habis sejak kau memutuskan untuk tak menjalankan tugasmu sesuai perintah."
"Aku akan menjalankan tugasku sesuai perintah jika itu tepat, tapi jika ...
"Ini bukan ajang balas dendam, Ram. Tapi penegakkan keadilan. Jangan samakan semua penjahat dengan mereka yang telah membumuh adikmu. Karena jelas mereka berbeda."
"Jangan bahas adikku!" Rama memperingatkan.
"Kau tahu, seharusnya kau lupakan kejadian itu agar dendammu tak semakin besar. Dan tidak mengacauka kami. Suka atau tidak adikmu sudah mati, dan kau harus menerimanya."
"Aku peringatkan kau, dan ini tidak ada hubungannya dengan adikku."
"Sudah jelas kau mengaitkan segala hal dengan kematian adikmu, jadi ..
"Kau sudah ku peringatkan!" Rama melayangkan tinjunya ke wajah Garin hingga pria itu terjengkang ke belakang.
Ketidak siapannya menerima pukulan Rama membuat Garin segera tumbang, dan itu membuat Rama dengan leluasa memukulnya lagi. Jika saja Fandi tak menghentikannya sudah bisa di pastikan Garin babak belur karenanya.
"Hentikan kalian ini, astaga! kalian ini petugas, pelayan masyarakat. Tidak seharusnya seperti ini!" pria berusia 40 tahun itu memperingatkan saat Garin mampu melawan, dan terjadilah perkelahian di ruangannya. Hingga akhirnya beberapa orang petugas lain muncul untuk memisahkan mereka yang bertikai.
"Stop! Rama, Garin! berhenti atau kalian dipecat secara tidak hormat!" Fandi berteriak, yang berhasil menghentikan perkelahian tersebut.
"Keluarlah, Garin. Kau mengacaukan semuanya." ucap Fandi.
"Garin!" dia berteriak saat bawahannya itu masih berada di sana.
"Bawa dia keluar!" perintahnya, kepada bawahannya yang lain.
Mereka pun menyeret Garin hingga akhirnya pria itu pun keluar dari ruangan tersebut.
"Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan kepadamu, Ram." Fandi memijit pelipisnya yang terasa nyeri.
"Kau tahu, berapa kesempatan sudah aku berikan kepadamu dengan harapan kau mampu memperbaiki diri. Tapi ternyata aku salah."
"Ke mana Rama yang dulu? pria hebat yang membuatku bangga karena menjadi lulusan akademi kepolisian termuda?"
"Kemana dirimu menghilang hingga menjadi seperti ini Ram?" Fandi memegang kedua bahu bawahannya itu.
"Aku kecewa Ram. Mengapa sebuah peristiwa membuat seorang perwira sepertimu berubah drastis seperti ini?"
Rama bergeming. Kelebatan bayangan kejadian dua tahun yang lalu melintas di pelupuk mata. Ketika adik perempuan satu-satunya di temukan sudah tak bernyawa setelah tiga hari menghilang. Dalam kondisi mengenaskan dengan bekas cekikan dan kegadisannya yang direnggut paksa. Namun sang pelaku belum di temukan hingga kini.
"Kau aku skors, Ram." ucap Fandi setelah terdiam beberapa saat, membuat Rama terhenyak.
"Pak?"
"Sudah aku sarankan kau untuk mengambil cuti dan memulihkan kesehatanmu tapi kau tak mengindahkannya, jadi aku terpaksa mengskorsmu. Terlebih kau telah beberapa kali melanggar tugas."
"Tapi tugas iti tidak sesuai dengan saya, dan lagi ...
"Aku tahu. Tapi itu hukuman untuk pelanggaran lainnya. Aku pikir kau akan mengerti tapi tetap saja, ...
"Pak, saya mohon ...
"Tidak Ram. Kali ini aku tidak bisa mengabulkan permohonanmu. Satu-satunya jalan aku harus memberhentikanmu sementara sampai kau benar-benar bisa mengendalikan diri."
"Pak."
"Maaf Rama. Sebenarnya kesempatanmu sudah habis, dan seharusnya aku memecatmu dan mengeluarkanmu dari kesatuan tapi aku masih menpertimbangkan prestasi dan pengabdianmu kepada negara, jadi aku putuskan untuk memberikanmu skorsing saja." pria itu menyerahkan surat-surat kepada Rama yang berisi keterangan pemberhentian dirinya untuk sementara yang telah di tanda tangani oleh petinggi kepolisian setempat di mana dia bertugas.
"Senjatamu, lencana dan semua peralatan?" Fandi meminta segala hal yang ada pada Rama.
"Rama!"
Dengan terpaksa pria itu menyerahkan segalanya, kecuali seragam yang menempel di tubuhnya.
"Sekarang pulanglah, dan pergilah berlibur. Atau kerjakan apapun yang tidak berhubungan denga kepolisian."
Rama bungkam.
"Dan sembuhkan dirimu, temui psikiater, psikolog atau apa pun."
"Saya tidak gila pak."
"Menemui para ahli buka karena kau gila, hanya saja sepertinya kau butuh pertolongan.."
Rama mendengus kasar.
"Pergilah, Ram." ucap Fandi lagi, membuat Rama dengan terpaksa meninggalkan gedung tersebut, dan sepertinya untuk waktu yang cukup lama.
*
*
*
Bersambung ...
siap untuk petualangan baru?
kirim dulu like komen sama hadiahnya. Vote kalau ada, dan jangan lupa klik love biar kalian dapat notifikasi kalau novel ini up lagi.
meet Mas Rama Hadinata 😍😍
*
*
"Kakak!" suara gedoran di pintu kamar mandi menginterupsi kegiatan Rama pada pagi itu. Bersamaan dengan dirinya yang telah menyelesaikan urusannya.
"Jangan teriak-teriak terus! kamu berisik." pria itu keluar sambil mengusak rambut basahnya. Celana pendeknya pun sudah dia kenakan di dalam kamar mandi tadi, karena di pastikan sang adik sudah berada di kamarnya, seperti biasa.
Livia memang tak mengijinkannya mengunci kamar, pasalnya pria itu memang agak sulit bangun pagi dan memang kebiasannya yang selalu mengurus segala keperluan sang kakak sejak orang tua mereka meninggal.
"Habisnya kakak lambat!"
"Masih pagi Liv." Rama melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 6.30 pagi.
"Udah siang tahu! nanti aku terlambat!" ucap Livia yang telah siap dengan seragam putih abunya. Hari itu dia akan pergi ke sekolah dan melihat pengumuman kelulusannya.
"Apa kakak harus ikut?"
"Nggak usah, cuma lihat pengumuman kok. Antar aku aja sampai depan sekolah." Livia menyerahkan satu stel pakaian dinas sang kakak lengkap dengan hal lainnya, dan pria itu tertegun menatapnya untuk beberapa saat.
"Nanti kalau aku udah kuliah kakak harus bisa kerjain semuanya sendiri." ucap gadis manis bermata bulat itu.
"Memangnya kamu benar mau kuliah?" Rama meraih pakaian dari tangan sang adik.
"Iya lah."
"Memangnya kamu lulus?"
Livia terdiam sebentar.
"Bagaimana kalau kamu tidak lulus?"
"Kakak ih ngomongnya gitu? doain adiknya biar nggak lulus gitu?"
Rama kemudian tertawa.
"Aku udah daftar ke UNPAD, jurusan kedokteran persis seperti yang ayah mau."
"Kenapa harus ke UNPAD?"
"Kenapa nggak ke UNPAD?"
"Kebiasaan, membalikkan pertanyaan." Rama menepuk kening sang adik.
"Ish!! kakak juga kebiasaan!"
"Yakin mau jadi dokter?" pria itu sambil mengenakan pakaian dinasnya.
"Yakin."
"Kuliah kedokteran itu susah lho,"
"Nggak ah, siapa bilang? masih bisa aku pelajari kok."
"Tapi nanti prakteknya banyak hal yang tidak akan kamu bisa ikuti."
"Kenapa?"
"Banyak hal menakutkan."
"Misalnya?"
"Harus praktek autopsi mayat, visum, praktek operasi, bedah ..."
"Tergantung ambil jurusannya dokter apa."
"Kamu kamu ambil spesialis apa?"
"Umum aja."
"Kenapa ambil yang umum?"
"Biar bisa bantu banyak orang."
"Belum apa-apa sudah memikirkan mau bantu orang lain?"
"Bagus kan? lagian aku ingat ayah, waktu lagi sakit dan nggak bisa apa-apa karena nggak punya biaya. Mau di rawat di rumah sakit aja banyak syaratnya, padahal nyawa udah terancam. Gara-gara kita nggak punya uang." ucap Livia, kembali mengenang masa-masa terakhir ketika ayah mereka masih ada.
"Kakak nggak tahu sih, kan lagi di akpol. Aku kan yang bawa ayah ke rumah sakit sama tetangga. Mereka nggak bisa menangani pasien gara-gara belum mengurus biaya administrasinya. Padahal waktu itu ayah lagi sekarat."
"Jangan mulai Liv!"
"Lagi ingat ayah, kak."
"Kalau ingat ayah, doakan. Untuk ibu juga. Jangan di ingat kejadian sedihnya."
"Ah, iya. Suka lupa." gadis manis itu tertawa pelan.
"Oh iya, hari ini kakak dinas di kantor?" mereka menyempatkan untuk sarapan bersama.
"Tidak."
"Terus?"
"Ada penanganan kasus narkoba, kakak harus ikut. Mungkin nanti malam tidak pulang."
"Oh, oke. Aku nggak akan masak kalau gitu."
"Tidak apa-apa kakak tinggal sendiri?"
"Nggak apa-apa. Harus terbiasa kan? nanti pas kuliah juga aku ngekost di Bandung."
"Iya juga. Tapi kalau malam mungkin kamu menginap saja di rumah bu Maryam, nanti kakak titipkan."
"Kayak ke anak tk aja dititip? aku sebentar lagi kuliah lho." Livia kembali tertawa.
"Buat kakak kamu masih kecil." Rama mengusap puncak kepala sang adik yang usianya terpaut 7 tahun darinya itu.
"Dih, awet muda dong?"
"Terserah kamu."
"Kalau masih kecil berarti nggak boleh pacaran?"
"Tidak boleh, sampai lulus kuliah dan kamu jadi dokter."
"Yaaah, ..." Livia dengan kecewa.
"Kenapa? memangnya kamu sudah punya pacar?"
Gadis itu tersenyum.
"Awas ya, kamu kalau berani pacaran?" Rama memasang wajah garang.
"Tapi aku udah suka sama cowok."
"Siapa?"
"Eh, ... kan di larang pacaran ya?"
"Awas!"
"Nggak jadi ah ..." gadis itu menghabiskan makanannya.
"Siapa Liv?"
"Apanya?"
"Laki-laki yang kamu suka?"
"Nggak jadi ah, kan nggak boleh pacaran."
Rama mendengus kasar.
"Kakak sarapannya udah selesai belum?"
"Sudah."
"Ya udah, anter aku ke sekolah yuk?" Livia bangkit.
"Baiklah." kemudian mereka pun bergegas pergi.
***
"Apa teman sekelas kamu?" mereka sudah tiba di depan gerbang sekolah yang sudah ramai.
"Apanya?" Livia bersiap untuk keluar.
"Laki-laki yang kamu suka?"
"Bukan."
"Terus, siapa?"
"Ada deh."
"Livia, kita sudah janji apa pun akan saling terbuka. Kakak tidak akan merahasiakan apa pun dari kamu, begitupun sebaliknya."
"Iya, aku tahu."
"Terus, kenapa kamu tidak mau mengatakannya kepada kakak soal laki-laki yang kamu suka?"
"Aku takut nanti dia kakak pukul."
"Lho, kok kakak pukul?"
"Kan katanya nggak boleh pacaran?"
"Memangnya kalian sudah pacaran?"
"Belum. Lagian baru suka aja kok."
"Terus?"
"Nggak ada terusannya. Bunga cinta aku udah layu sebelum berkembang." gadis itu turun dari mobil dinas sang kakak.
"Apa?"
"Belum apa-apa udah kakak larang kan?"
"Tapi Liv, ...
"Udah ya, aku masuk dulu." sang adikpun meninggalkannya masuk ke dalam area sekolah sambil menerima panggilan di ponselnya.
*
*
Rama terus mencari ke setiap tempat yang dia tahu, dan berharap akan menemukan Livia dalam keadaan bagaimanapun. Rekan-rekannya di kesatuan bahian ikut mencari, namun setelah tiga hari sejak hari kelulusan itu sang adik tak pernah kembali. Hanya pesan video saja yang menjadi hal terakhir yang Livia kirim kepadanya . Saat gadis itu melihat papan pengumuman dan menerima kelulusan dengan tulisan kata lulus yang cukup besar.
Livia dan beberapa temanya tampak menjerit-jerit kegirangan, mereka sangat bahagia karena akan kembali bersama menempuh pendidikan di kampus yang sama walau dengan jurusan yang berbeda.
"Kakak, jangan lupa hadiahnya ya pas besok kakak pulang!" begitu pesan suara terakhir dari sang adik.
Namun di keesokan harinya hingga tiga hari kemudian Livia malah menghilang.
Sampai pada akhirnya merekavmemdapat kabar memilukan tentang penemuan mayat terbungkus karung di sebuah gorong-gorong pinggir kota.
Mayat gadis belia dalam keadaan terikat dan tanpa busana, dengan bekas cekikan membiru di leher dan hasil visum yang menunjukkan bahwa kegadisannya sudah direnggut secara paksa.
Livia, sang adik yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan di sertai pemerkosaan brutal tepat di hari kelulusannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Rama membuka matanya setelah kembali mengalami mimpi yang sama selama dua tahun belakangan. Setelah kematian sang adik yang cukup membuat frustasi. Apa lagi kerena hingga hari ini pelakunya belum juga di temukan.
Dia melirik jam dindingnya yang terdengar berdetak begitu kencang. Baru ja 2 dini hari, namun bisa di pastikan dirinya tak akan bisa lagi memejamkan mata setelah ini. Padahal sebelum tidur tadi Rama sudah menelan dua butir obat tidur agar dia bisa mengistirahatkan tubuh dan pikirannya dengan baik. Namun mimpi buruknya tentang Livia tidak mampu dia enyahkan.
Dia bangkit lalu duduk di tepi ranjang, menyugar rambutnya yang berantakan.
Hal ini menjadi semakin membuat frustasi, karena masalah Livia membuatnya ta mampu mengendalikan diri lagi. Ketidak mampuannya mengungkap kasus ini menjadikan penyiksaan batinnya bertambah-tambah. Bagaimana sebagai aparat dirinya ternyata tak mampu memberikam keadilan bagi adiknya sendiri.
Telah banyak penyelidikan dan pencarian dia lakukan, namun masih belum mampu mengungkap siapa pelakunya. Tampaknya sang pelaku merupakan seorang profesional, karena dia tak meninggalkan jejak sedikitpun pada tubuh Livia.
*
*
*
Bersambung ...
gimana ya kisah selanjutnya dari Mas Rama Hadinata? terus ikuti ya, readers. jangan lupa like komen sama hadiahnya di kirim biar karya ini naik ke permukaan. oke?
Lope lope segudang😘😘
*
*
"Sampah, tidak berkualitas, pasaran!" Frans melemparkan beberapa foto yang di serahkan Kaysa ke atas meja.
"Dan apa lagi ini? di mana kau mencari berita semacam ini? di got? di TPA?" terakhir dia menatap foto seorang anak kecil di antara tumpukan sampah yang menggunung.
"Kisahnya menyedihkan, pak. Dan menginspirasi juga. Tapi keseluruhan dari semua itu adalah bagaimana cara dia bertahan hidup tanpa orang tuanya yang sudah meninggal. Dia hidup dari hasil memulung barang bekas dan ...
"Dan kau ingin aku menayangkan berita klise semacam ini? yang menjual air mata dan kemiskinan demi rating televisi?" tukas Frans dengan nada tidak suka.
"Bukan begitu pak?"
"Lantas apa? masyarakat kita selalu mudah terenyuh dengan potret kehidupan semacam ini, dan itu hal standar. Hampir di semua stasiun televisi nasional menayangkannya. Tapi tidak di sini." ucap pria itu yang lagi-lagi melempar hasil jepretan kamera Kaysa dengan kasar.
"Pak, saya mohon. Setidaknya ambil salah satu dari berita yang sudah saya dapatkan dan menayangkannya, ...
"Kau tahu Kay, kau harus punya berita yang berbobot yang layak aku tayangkan. Bukannya berita-berita semacam ini. Kau tahu TV 7 itu seperti apa. Kita kantor pemberitaan paling di perhitungkan di Indonesia, dan aku harus menayangkan berita murahan semacam itu? di mana pikiranmu?"
"Setidaknya pertimbangkanlah salah satunya, saya mohon. Sementata saya akan mencari bahan berita lain yang lebih layak. Tapi saya membutuhkan pembayaran dari berita sebelumnya, pak."
"Kay, Kay ... sudah berapa lama kau bekerja di sini?"
"Enam bulan. Tapi sebenarnya bukan bekerja, saya hanya wartawan lepas, seperti yang bapak tahu."
Pria itu bangkit dari kursi kerjanya, kemudian mendekati Kaysa yang duduk di seberangnya.
"Aku sudah memberikan penawaran yang cukup bagus, bekerja penuh waktu di sini sebagai sekertarisku, tapi kau tidak mau." pria itu menyandarkan bokongnya di pinggiran meja.
"Saya tidak bisa, dan bapak tahu alasannya."
"Another klise thing, Kaysa. Bagaimana kau akan maju jika terus memikirkan hal lain selain dirimu sendiri?"
"Saya tidak bisa tidak memikirkan anak saya, dia butuh mamanya."
"Kau bisa menitipkannya di rumah orang tuamu, dan itu hal paling mudah untuk di lakukan, sementara kau bekerja kepadaku. Dan kau tahu, bayarannya cukup untuk menghidupimu dan anakmu."
Kaysa terdiam.
"Ditambah, ..." pria itu menatapnya dengan pandangan aneh. "Kau juga bisa mendapatkan hal lainnya jika kau bersedia melakukan sesuatu untukku." ucap Frans dengan pandangan tak dia lepaskan dari wajah cantik Kaysa. Mata bulat berwarna cokelat dengan hidung bangir dan bibir sensual, tentu saja menarik perhatiannya sejak pertama kali perempuan itu mengirimkan berita pertamanya di kantor berita TV 7 sekitar enam bulan yang lalu.
Ditambah rambut hitamnya yang selalu terurai menggoda meski dia menatanya dengan asal-asalan.
"Melakukan apa?" Kaysa mendongak.
"Pertama, makan malamlah denganku, lalu kau akan tahu selanjutnya." jawab Frans, dengan seringaian di wajahnya.
Perempuan berusia 26 tahun itu menghembuskan napas kasar. Lagi dan lagi pria di depannya melancarkan bujuk rayu seperti yang sudah-sudah. Dia tahu hal ini akan terjadi, tapi dirinya tak bisa pergi ke tempat lain. Karena hanya di tempat inilah dia mendapatkan pekerjaan yang tidak terlalu menyita waktunya sebagai seorang ibu tunggal dengan satu anak berusia 7 tahun yang sangat membutuhkan perhatian.
"Maaf pak, kalau begitu lebih baik saya mencari bahan berita lain saja." Kaysa bangkit.
"Benarkah?" Frans bereaksi.
"Iya. Sepertinya saya memang harus bekerja lebih keras dari ini."
Frans mendengus pelan. Idenya untuk menjerat perempuan ini rupanya tidak berjalan mulus. Dia tetap teguh dengan pendiriannya, seperti biasa. Walau berbagai macam cara dia lakukan untuk membuatnya bertekuk lutut. Mempersulit Kaysa dengan menolak semua bahan pemberitaan yang di bawanya, padahal layak untuk di tayangkan dan membuatnya mendapatkan bayaran. Tapi rupanya dia memang wanita tangguh yang kuat menahan godaan.
"Kau kurang bersyukur Kay, padahal aku menawarkan kemudahan untukmu."
Namun Kaysa menggelengkan kepala. Kali ini dia tak ada minat untuk berdebat. Lebih baik segera pergi dan berusaha untuk mencari bahan pemberitaan lagi agar hidup dirinya dan putra semata wayangnya tetap berlangsung.
"Terimakasih pak, tapi ... maaf saya tidak bisa." jawabnya dengan tegas. "Permisi." katanya, yang kemudian pergi.
***
"Hai, sayang ... maaf mama terlambat." Kaysa berlari menghampiri sang putra yang telah menunggunya di pos satpan sebuah sekolah sd negri.
"Mama lama! hampir aku pulang sendirian." Aslan cemberut sambil bersedekap.
"Iya, maaf. Tadi mama harus bertemu pak Frans dulu untuk menyerahkan pekerjaan." jawabnya dengan ceria.
"Oh ya?"
"Iya."
"Berarti hari ini mama dapat uang?" bocah itu dengan polosnya.
"Mm ... soal itu ...
"Aku mau ke jagonya ayam!" Aslan dengan antusias.
"Aslan, mama pikir ...
"Mama udah janji kalau udah dapat uang kita akan kesana. Sekaliiiii aja, please." bocah itu menghiba.
"Tapi nak, mama hanya punya ...
"Setelah ini aku janji nggak aka minta lagi. Janji deh, sekaliiiii aja." ucap Aslan dengan wajah imut menggemaskan namun membuat Kaysa terentuh. Hatinya merasa tak tega jika harus menolak keinginannya.
Dia membuka tas selempangnya di mana ada beberapa lembar uang hasil penjualan cincin terakhirnya beberapa saat yang lalu. Yang harus dia relakan demi menyambung hidupnya dan Aslan, setelah uang honornya sebagai wartawan lepas di TV 7 keluar namun tidak dapat memenuhi semua kebutuhan mereka. Yang akhirnya memaksanya untuk kembali menjual satu-satunya perhiasan terakhir yang dia punya.
"Please, Ma. Setelah ini aku nggak akan minta lagi. Udah lama nggak ngerasain kesana, kalau ada papa pasti aku nggak akn minta sama mama." Aslan dengan nada sendu.
"Eh, ... kenapa jadi bilang begitu?" Kaysa berjongkok untuk mensejajarkan tinggi badan mereka.
"Ya kalau papa bisa, aku nggak akan minta sama mama. Tapi sayangnya papa nggak bisa."
"Ck, kalau cuma makan di sana kenapa mesti minta sama papa? mama juga bisa." akhirnya Kaysa menyerah. Dia tak sudi putranya harus mengingat pria itu lagi.
"Tapi mama kan nggak ada uang." Aslan dengan suara parau.
"Ada, kalau cuma buat makan ayam goreng kesukaan kamu."
"Masa?"
"Iya."
Wajah Aslan berubah sumringah.
"Jadi, tunggu apa lagi? ayo kita ke ke'efsi?" Kaysa bangkit kemudian meraih tangan sang putra.
"Beneran?" Aslan seakan tidak percaya.
"Iya dong, kapan mama bohong sama kamu?" mereka berjalan bergandengan.
"Nggak pernah."
"Makanya. Aslan percaya kan sama mama?"
"Hu'um." bocah itu mengangguk.
"Jadi kenapa harus memikirkan papa lagi?"
"Cuma kadang ingat aja."
"Nggak usah, mama akan memberikan semua yang Aslan butuh. Mama janji. Asalkan Aslan sabar, karena mama harus berusaha dulu, nggak kayak papa yag bisa langsung dapat. Oke?"
"Oke."
***
Satu porsi nasi dengan ayam goreng tepung kesukaan Aslan sudah habis dia lahap. Terakhir bocah itu meyesap minuman dingin bersoda di depannya dengan riang. Tidak lupa membersihkan mulutnya dengan tisyu seperti yang di ajarkan sang ibu kepadanya.
"Makasih mama, aku udah kenyang." ucap Aslan, setelah menyelesaikan kegiatan makannya.
"Sama-sama sayang, nah sekarang apa lagi yag Aslan mau?"
Bocah itu menggelengkan kepala.
"Yakin?"
"Iya. Bukannya kita nggak boleh boros-boros? uang mama kan sedikit, jadi jajannya nggak boleh banyak-banyak." lagi-lagi ucapan bocah itu membuat Kaysa merasa tenggorokkannya tercekat. Betapa bocah itu memahami keadaan mereka yang serba terbatas setelah perceraiannya dengan Radit yang menguras emosi dan meninggalkan luka yang cukup dalam hampir satu tahun lalu. Yang membuatnya kehilangan banyak hal, termasuk harta gono-gini yang seharusnya dia dapatkan. Namun dengan lapang dada Kaysa relakan untuk di tukar dengan putranya yang semula ada dibawah pengasuhan mantan suami.
Baginya, Aslan lebih berarti dari pada segudang harta yang akan habis di makan waktu. Dan dia rela kehilangan segalanya, asalkan Aslan ada bersamanya. Walaupun kini akhirnya mereka harus hidup serba kekuragan.
"Maaf ya, mama belum bisa memberikan yang lainnya?" perempuan itu mengusap puncak kepalanya.
"No, ..." Aslan menggelengkan kepala. "Mama udah ngasih Aslan makan, ini." tunjuknya pada bekas makanan di atas meja. "Dan Aslan senang." katanya, kemudian terkekeh. "Thank you."
Kaysa tersenyum getir, mendengar putranya yang selalu berbesar hati, malah membuatnya merasa sedih. Tapi dia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk kehidupan yang lebih baik.
"Mama, ayo kita pulang?" Aslan membuyarkan lamunannya.
"Aslan sudah mau pulang?"
"Hu'um. Aslan punya bayak pr."
"Baik, ayo kita kerjakan di rumah?" mereka bangkit bersamaan.
"Siaap!!"
Dan di saat yang bersamaan seorang pria dengan nampan makanannya muncul dari belakang. Membuat mereka hampir saja bertabrakan.
"Hati-hati Bu!" suara baritonnya memperingatkan.
"Oh, ... maaf-maaf." Kaysa menyingkir ke samping.
"Tidak apa-apa, silahkan." jawab si pria tanpa menoleh dan hanya melirik sekilas. Yang kemudian duduk di kursinya.
Kaysa memutar bola mata.
Nggak sopan! batinnya.
"Mama, ayo cepat?" Aslan kembali meraih tangannya dan menarik sang ibu keluar dari tempat tersebut.
*
*
*
Bersambung ...
Gimana gimana? mau di lanjut nggak?
like komen sama hadiahnya dulu dong biar terus semangat up nya. 😆😆
Meet Kaysa Mella, 26 tahun. Janda anak 1😆
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!