"Begitu kamu menyadari bahwa kamu pantas mendapatkan masa depan yang cerah, melepaskan masa lalu yang kelam adalah pilihan terbaik yang pernah kamu buat."
- Roy Bennett -
***
Juni 2002
Langit gelap sore itu. Hujan badai, petir bersahutan sejak siang tidak membuat seorang gadis bernama Diandra gentar. Ia berusaha tetap fokus menyetir motor bebeknya dengan hati-hati meski jalanan becek dan penuh lubang. Tak peduli pula pada kilatan cahaya menyambar di langit gelap sana. Andra meyakinkan diri bahwa dia akan baik-baik saja selama perjalanan menuju rumah Nathan.
Semangatnya begitu menggelora sejak tahu namanya masuk dalam daftar mahasiswa yang berhasil lolos seleksi ujian nasional dan diterima di PTN pilihannya. Andra sudah tak sabar ingin memberitahukan kabar baik itu secara langsung pada Nathan. Karena ia tahu kekasihnya itu pun lolos seleksi ujian nasional dan mereka akan masuk ke universitas yang sama. Hatinya berbunga-bunga membayangkan akan bersama lagi setelah sebelumnya bersekolah di SMA yang sama pula.
Motor akhirnya terparkir di depan pagar rumah Nathan yang tinggi. Hujan masih cukup deras. Andra berjalan tergesa-gesa tanpa melepaskan helm. Rumah Nathan nampak sepi seperti biasa. Kedua orang tuanya selalu sibuk bekerja. Sementara dia anak semata wayang. Hanya tinggal berdua dengan pembantu rumah tangga.
Pintu depan diketuk dua kali. Tak ada yang membuka pintu dengan segera. Diketuk beberapa kali lagi. Masih belum terbuka juga.
Entah karena gemuruh hujan dan petir membuat ketukan di pintu rumah Nathan tidak terdengar oleh penghuninya ataukah karena tidak ada siapa pun di dalam. Dengan inisiatif sendiri, Andra membuka pintu itu perlahan dan ternyata pintu rumah tidak dikunci sama sekali. Ruangan dalam benar-benar terlihat sepi dan sunyi. Bahkan lampu juga tidak dinyalakan di sore yang gelap itu.
"Nathan ...," seru Andra memanggilnya pelan.
Tak ada sahutan.
"Nathan kamu di rumah?"
Masih tak ada sahutan juga.
Andra terus berjalan perlahan ke dalam rumah. Ia naik ke anak tangga. Kamar Nathan ada di lantai dua. Ia dekati kamar tidur kekasihnya yang tak jauh dari tangga. Terlihat ada seberkas cahaya dari bawah pintu.
'Nathan pasti lagi tidur,' pikir Andra.
Tangannya yang masih basah meraih gagang pintu itu. Didorongnya ke dalam dengan hati-hati. Daun pintu terbuka. Andra bergerak maju tak sabar.
Lalu sepasang mata cantiknya terbelalak begitu masuk. Mulutnya menganga secara refleks. Sepasang insan muda tengah duduk berduaan di atas ranjang. Keduanya terperanjat melihat ada sosok lain di depan mereka.
"Nathan?!" teriak Andra.
Pemuda itu terkesima melihat Andra sudah ada di dalam kamar. Begitu juga dengan gadis yang bersamanya. Secepatnya gadis itu merapihkan kaos yang semula tersingkap.
"Andra?! Kamu ngapain ke sini?" tanyanya gugup.
"Apa yang kalian lakukan berduaan di sini?" tanya Andra bingung. Ia memandangi gadis di sebelah Nathan yang kini wajahnya memucat.
"Yang, tenang dulu. Jangan berpikir macam-macam. Aku dan dia gak ngapa-ngapain," tukas Nathan menjelaskan. Ia berusaha setenang mungkin seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, Andra tak percaya begitu saja. Diliriknya gadis asing itu lagi. Ia tampak duduk gelisah di sisi tempat tidur. Rambutnya acak-acakan. Bahkan ada noda merah di lehernya. Wajahnya tersipu malu dan salah tingkah saat mata Andra terus menatapnya sinis. Hatinya seketika itu seperti teriris. Dadanya sesak seolah oksigen enggan mengisi paru-parunya. Jantungnya berdebar lebih kencang. Otak Andra mencerna cepat bahwa Nathan telah mengkhianatinya.
"Siapa kamu?!" hardik Andra pada gadis itu.
"A-aku pacarnya Nathan," jawabnya gugup.
"Jangan percaya, Sayang!! Dia bukan pacarku. Kami cuma teman," bantah Nathan buru-buru. Kini gadis itu yang terkejut dengan ucapan Nathan. Ia memelototinya.
"Kok teman sih?" protesnya kecewa.
"Kan kita emang cuma teman," balas Nathan dingin.
"Teman dari Hongkong?! Waktu kamu bilang cinta setahun lalu itu artinya apa?" Kini gadis berambut ikal panjang itu pun ikut berang. Nathan jadi gelagapan ketika dua gadis itu kompak menatapnya tajam dalam aura emosi yang sama.
"Teman tapi mesra kan?!" teriak Andra sambil melotot dan berkacak pinggang.
Nathan mengangguk cepat lalu ia geleng-geleng kepala mengoreksi kesalahannya.
"Maksudku kami emang beneran cuma teman. Gak lebih," sanggah Nathan berusaha meyakinkan. Ia tak peduli ketika gadis berambut panjang ikal itu tersentak dan sebuah tamparan keras mendarat di wajahnya yang tampan. Nathan terperangah.
Andra mendengus kesal. Gemuruh di dada makin bertalu-talu mengetahui perselingkuhan itu benar adanya.
"Pacar rahasia atau selingkuhan? Teman macam apa sampai begituan seperti tadi? Elo pikir gue bego?" hardiknya.
"Please, Ndra percaya sama aku. Kita cuma ...."
Plaaakkk!!! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah tampan Nathan lagi. Ia sampai melongo. Pipinya terasa panas perih. Kali ini oleh Andra.
"Tadinya gue ke sini mau kasih kabar baik buat elo, buat kita. Tapi ternyata malah gue yang dapat kabar buruk dari elo. Sialan!! Kita udahan!!!" hardik Andra marah. Ia langsung balik badan. Pergi.
"Ndra, tolong dengar dulu!" Nathan mengikuti langkah cepat Andra.
"Jangan ikutin gue!!! Gue benci sama elo!!! Dasar pembohong tukang selingkuh!" Ia menepis tangan Nathan yang berusaha menahannya pergi.
"Ndra, please ...." Nathan memohon.
Sayangnya, Andra benar-benar sudah tak mau tahu lagi. Ia lebih percaya dengan matanya sendiri dibandingkan mulut lelaki itu.
Kakinya terus melangkah keluar rumah dengan tergesa-gesa. Rupanya hujan masih lebat di luar sana. Ia tetap memilih pulang dan segera menyalakan motor. Ketika motornya siap pergi, Nathan sudah berdiri menghalangi dengan tangan membentang.
"Andra, jangan pergi! Masih hujan gede. Mendingan kita obrolin masalah kita dulu."
"Ngobrolin apa lagi? Gue udah liat jelas. Elo selingkuh di belakang gue sama anak SMA lain. Selama setahun pula Mendingan urus tuh cewek."
"Gue bakal mutusin dia, Ndra," ungkapnya. Berharap hati Andra bisa luluh.
"Percuma. Gue mau kita putus aja!" balas Andra galak.
"Kalau gue gak mau?"
"Bodo amat!"
Motornya digas lebih kencang dan langsung melesat cepat. Tak peduli nyaris menabrak lelaki yang pernah membuat hati dan harinya penuh warna.
"Andraaaaa!!!" teriak Nathan dari belakang.
Sambil berderai air mata yang tersamarkan derasnya hujan, motor bebek itu melesat kencang. Genangan air pun diterabas. Hingga airnya muncrat mengenai pejalan kaki yang sedang berteduh di depan ruko.
Sepanjang perjalanan Andra terus menangis tersedu-sedu. Hatinya perih dikhianati. Tiga tahun setia bersama lelaki itu ternyata berakhir sia-sia. Air matanya seperti hujan deras sore itu. Mengalir tanpa bisa ditahan. Walaupun mampu menyamarkan air matanya, tapi tidak untuk luka di hati yang baru saja tertoreh begitu dalam.
***
Saat motornya sampai di rumah, hujan rupanya masih saja belum berhenti. Seolah mengerti suasana hati Andra yang tersayat. Ia langsung berjalan cepat ke teras rumah, membuka pintu dengan keras dan masuk tanpa memberi salam.
Ibunya yang sedang duduk menjahit di dekat ruang tamu terperanjat mendengar suara pintu dibuka keras-keras. Matanya kebingungan melihat anak gadisnya yang masuk dan basah kuyup kehujanan.
"Kalau masuk rumah salam dulu dong, Dian," ujar ibunya mengingatkan.
Tak menggubris seruan sang ibu, Andra terus saja masuk ke dalam sembari menahan air mata. Ningsih -- ibunya -- terkesima melihat sikap aneh anak bungsunya. Apalagi saat mata Andra memerah dan sembab. Tentu saja membuat dirinya bertanya-tanya. Ia mengekor diam-diam langkah Andra. Namun, seolah tahu diikuti sang ibu, gadis itu memilih masuk ke dalam kamar mandi alih-alih ke kamarnya sendiri.
"Diandra, kamu baik-baik aja?" tanya Ningsih cemas di depan pintu kamar mandi.
"Iya, Ma."
"Yakin gak ada masalah?" tanya Ningsih ragu.
"Iya. Aku cuma kehujanan aja tadi," balas Andra berusaha meyakinkan.
"Tapi mata kamu kok merah sih? Kamu habis nangis ya?"
Andra menatap bayang dirinya di dalam cermin kamar mandi. Baru tersadar jika kedua matanya memang sangat merah dan sembab. Pantas saja ibunya curiga. Ia segera membasuh wajah itu.
"Aku gak apa-apa, Ma. Tadi hujannya deras banget sampai airnya masuk ke mata," dalihnya.
"Ya sudah kalau gitu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan cerita sama Mama ya!" pinta Ningsih masih khawatir.
"Iya, Ma," jawab Andra cepat.
Di dalam kamar mandi, ia melanjutkan bersih-bersih badan dari air hujan. Namun, saat kepalanya diguyur air dingin lagi teringat kembali pemandangan tak pantas yang membuatnya sakit hati. Terasa begitu perih. Baru kali ini ia merasakan sakitnya dikhianati cinta. Nathan adalah cinta pertamanya. Segala rasa sayang ia curahkan untuk pemuda itu. Namun, kini seolah tak ada artinya lagi. Tak ayal air mata Andra langsung menggenang di sudut mata. Ia kembali terisak-isak. Dadanya terasa seperti dihantam godam.
"Apa salahku sampai kamu tega berselingkuh?" ujar Andra lirih.
Ia jongkok di bawah guyuran air shower yang dingin. Kedua tangannya menelungkup menutup kedua matanya yang menangis. Hatinya hancur berkeping-keping. Seperti pecahan kaca yang berserakan.
***
"Ndraaa ... buruan dong! Lama banget sih nyarinya?!" teriak Widia tak sabaran dari luar kamar.
"Masih belum ketemu juga, Ndra?" tanya Ivane ikut-ikutan.
"Kalau emang udah ketemu gue gak bakal selama ini nyarinya kali," balas Andra kesal, "lagian kenapa sih kalian bisanya teriak-teriak doang nyuruh gue cepet. Bukannya bantuin cari dompet gue kek. Siapa tahu kan kalau dibantuin jadi cepet ketemu," gusarnya sembari terus mencari-cari dompet kesayangannya di seluruh sudut kamar kos.
"Bukannya kita gak mau bantuin, Ndra. Cumaaaa kita males aja cari-cari dompet elo yang butut itu," balas Ivane.
"Untung orangnya gak ikutan butut," tambah Widia.
Keduanya cekikikan.
"Iya tuh. Kita malah lebih senang kalau dompet itu hilang beneran. Kan jadi bisa beli yang baru," cetus Widia. Mereka malah makin semangat tertawa.
Mendengar kalimat-kalimat nyinyir itu hati Andra jadi makin dongkol. Ia segera keluar kamar menemui dua orang sahabatnya yang kali pertama dikenalnya sejak awal kuliah.
Dengan wajah kesal dan siap ngomel-ngomel, Andra justru terkejut begitu melihat Widia memegang sesuatu di tangannya sambil terkekeh-kekeh. Seketika itu juga kedua sahabatnya berhenti tertawa dengan mulut masih menganga.
"Kok dompet gue bisa ada di tangan elo sih?" tanya Andra heran. Matanya menatap tajam. Ia rebut dompet itu.
"Eh?!"
Widia dan Ivane malah nyengir kuda dengan wajah tanpa dosa.
"Sialan! Kalian aslinya emang mau ngerjain gue ya?" Andra berang.
Dua gadis itu malah tertawa-tawa lagi seolah keusilan mereka sesuatu yang lucu.
"Pantes dari tadi cuek-cuek aja gak mau bantuin gue. Awas ya kalian berdua!!" hardik Andra makin kesal sambil merebut dompet itu dari tangan Widia.
"Sorry, Ndra. Kita cuma bercanda lagi. Jangan dimakan hati dong. Makan daging aja lebih enak lho," ujar Widia tak bisa serius. Ia terkekeh.
Tapi Andra malah cuek. Ia malas meladeni kelakuan iseng temannya lagi. Tangannya mengunci pintu kamar kost dan pergi meninggalkan keduanya begitu saja.
Widia dan Ivane saling pandang karena tak biasanya keusilan mereka diabaikan Andra. Lalu keduanya bergegas menyusul. Ketika Andra sampai di garasi kostan, ada beberapa motor bebek terparkir di sana. Salah satunya yang berwarna biru metalik dan abu-abu berplat D milik Andra sendiri. Tapi ia melewatinya begitu saja.
"Lho, Ndra motor lo kok dicuekin? Motor lo rusak lagi ya?" tanya Ivane bingung.
"Yah ... jadi kita gak bisa cenglu (bonceng telu) lagi nih ke kampus? Padahal kan gue lagi program ngirit buat nabung beli sepatu baru. Sedih deh gue," ungkap Widia kecewa.
"Lagian siapa juga yang mau ke kampus, Mbak? Gue kan mau ke Mall," balas Andra sambil berjalan santai diikuti terus dua sahabatnya. Mereka saling pandang.
"Ke Mall?!" ucap keduanya kompak.
"Yup!"
"Tapi sekarang jam berapa? Emangnya Mall udah pada buka? Ini kan masih pagi. Mending ke pasar aja yuk," cetus Widia.
"Yeee ngapain ke pasar? Emangnya kita emak-emak. Ngaco aja deh lo." Ivane menyikut pinggang Widia gemas.
"Hehehe ya kali aja mau sekalian belanja sayuran. Emangnya lo gak kuliah? Sebentar lagi kan kuliah Pak Ridwan mau dimulai, Ndra," ujar Ivane mengingatkan, "mana dia orangnya suka on time lagi."
"Tau gak, hari ini tuh gak ada kuliahnya Pak Ridwan. Tadi malam dia SMS gue, katanya untuk kuliah lansekap hari ini ditiadakan karena ada urusan mendadak dan akan digantikan hari Jumat pagi," terang Andra yang kini sudah berdiri di pinggir jalan menunggu angkot.
"Beneran tuh?" tanya Widia dengan mata berbinar-binar. Serasa baru saja mendapatkan kiriman uang bulanan.
"Terserah elo deh percaya apa enggak."
"Tapi kok bisa sih Pak Ridwan SMS elo, Ndra? Elo sering ya SMS-an sama dia? Hiks... gue aja yang ngarep gak pernah tuh dihubungi beliau," ucap Ivane sedih.
"Ngapain lo ngarep dihubungi dosen itu?" cibir Widia heran.
"Pak Ridwan kan dosen paling cakep, masih muda, lajang gitu lho. Siapa tau lagi cari jodoh."
"Yeee! Dasar jomblowati!!"
"Yeee elo juga," balas Ivane tak mau kalah.
"Diandra juga. Emang kita Trio Jomblowati. Baru nyadar?" tukas Ivane lagi membela diri, "ah gue jadi iri sama elo, Ndra."
Bibir Ivane merengut.
Tiba-tiba Andra tertawa terbahak-bahak membuat kedua sahabatnya saling pandang untuk kesekian kalinya.
"Kenapa elo, Ndra? Ada yang lucu?" tanya Widia heran.
"Ada orang bego kena tipuuu...."
"Maksudnya?!" tanya mereka kompak lagi.
Bukannya menjawab, Andra malah tertawa lagi. Setelah beberapa menit akhirnya mereka baru sadar Andra baru saja mengerjai mereka.
"Ah sialan nih. Jadi lo bohong ya, Ndra? Pantesan dari tadi gue udah curiga sama elo. Kayaknya gak mungkin banget tuh Pak Ridwan SMS macam itu ke elo," hardik Widia.
"Eh mungkin aja lagi. Cuma masalahnya emangnya Pak Ridwan tau nomer HP gue? Kan enggak. Eh tapi bisa aja sih nyari di bagian administrasi kampus kalau mau atau nanya ke mahasiswa lain."
"Jadi itu bohong kan ya? Udah gue kira. Alhamdulillah Ya Allah. Sainganku berkurang," ucap Ivane penuh syukur. Ia menengadah kedua tangannya sambil bibirnya komat kamit lalu mengusap ke wajah
"Udah deh soal itu lupain aja. Sekarang kalian mau ikut gak ke Java Mall?" ajak Andra.
"Elo beneran mau bolos?" tanya Widia memastikan. Ia masih tak percaya.
"Iya lah ... gue lagi males kuliah nih. Kalian mau ikut gue enggak?" tanyanya lagi.
"Mau sih. Tapi kenapa harus ke Java Mall? Kita ke Ciputra Mall aja kan lebih gede," usul Widia.
"Gue ke Mall bukan buat jalan-jalan atau belanja temanku, Sayang. Tapi gue mau liat pameran pendidikan di sana. Terutama stand kampus kita. Ngerti?"
"Ooh gitu ...," balas keduanya terperangah.
Tak berapa lama sebuah mobil angkutan umum berhenti di depan mereka.
"Arep numpak angkot, Mbak?" tanya si supir dari dalam mobil.
"Enggak, Pak. Maunya sih naik pesawat," jawab Ivane dingin.
"Yen arep numpak montor ora neng kene. Mrana menyang bandara. Aneh," sahut si supir jutek.
"Ya ora bisa numpak montor mabur ing pinggir dalan, Pak," balas Widia sambil terkekeh.
"Ah, udah. Ayo cepat naik!" seru Andra sambil masuk mobil. Ia berpikir bakalan panjang urusannya kalau terus diladeni.
"Jarene... kok malah numpak angkot, Mbak? Iki dudu arah menyang bandara sampeyan ngerti?" Si supir bingung.
"Dereng wonten montor mabur dhateng Java Mall, Pak. Ayo maju!" sahut Widia gemas.
Ketiganya sudah masuk mobil angkot. Sementara si supir melaju dengan wajah kebingungan.
"Wis ngerti arep numpak angkot nggo takon maneh," gerutu Widia kesal.
***
Lima belas menit kemudian ketiga sahabat baik itu sampai di Java Mall. Saat mereka tiba di sana Mall-nya baru saja buka karenanya masih nampak lengang.
"Masih sepi nih," komentar Ivane begitu kaki mereka menjejakkan di lobby Mall.
"Gak apa-apa. Yang penting Mekdinya udah buka. Gue mau sarapan dulu. Udah laper nih. Kalian mau ikut gak?" ungkap Andra tak kuasa menahan perutnya yang mulai perih. Tadi pagi ia tak sempat sarapan gara-gara sibuk mencari dompet.
Tapi Widia dan Ivane cuma bengong.
"Kenapa kok diem aja? Kalian lagi bokek ya?" Andra terkikik. "Ketauan deh biasa makan di warteg juga sih," sindirnya senang mengejek dua temannya yang suka usil itu. "Untung kiriman uang bulanan gue dikirim lebih cepat."
"Siapa bilang kita bokek? Siapa bilang juga kita suka makan di warteg walaupun emang kadang-kadang sih. Orang kita maunya makan di pizza. Iya gak, Van?" Widia membela diri sambil menyikut lengan Ivane.
"Serius lo mau ke PH? Gue belum dikirim duit nih untuk bulan ini. Bayarin dulu ya!" bisik Ivane pada Widia cemas.
"Tenang aja kita gak beneran ke PH kok. Cuma pura-pura doang," balas Widia berbisik di telinga Ivane.
"Yaah ... kirain beneran. Gue udah seneng banget," ucap Ivane kecewa.
"Ya udah bagus deh kalau gitu. Gue gak perlu keluar banyak duit nih. Padahal kan rencananya tadi mau traktir kalian makan. Mumpung lagi banyak duit nih. Hehehe...," ungkap Andra sambil menepuk-nepuk dompet bututnya.
Dua sahabatnya saling pandang lagi. Bingung antara tetap mau berpura-pura atau mengakui kalau mereka sedang bokek akhir bulan.
"Untung aja dompet butut yang suka kalian hina ini isinya jauh lebih baik daripada dompet kalian yang bagus tapi sering kosong duitnya," sindir Andra merasa menang.
Dua gadis itu mendengus sebal. Mau protes pun percuma karena itu memang kenyataannya.
"Jadi gimana kalian tetap mau makan sendiri ke PH?" Andra mengedipkan matanya. Menggoda kedua temannya itu yang nampak terpancing.
"Bilang kek dari tadi!" protes Widia menyerah akhirnya.
"Siapa suruh gengsi-gengsian. Rugi sendiri kan. Udah deh kita kan sobatan, nyantai aja lagi."
Widia dan Ivane kini tertawa malu.
"Ayoooo ...!!!" ajak Andra sambil melangkah ke pintu masuk gerai Mekdi. Diikuti dua temannya dengan senyum sumringah.
Kira-kira setengah jam kemudian Trio Jomblowati itu menyelesaikan makannya dengan lahap. Lalu mereka kembali ke hall utama Mall di mana digelar stand pameran pendidikan yang berisi kampus-kampus berbagai jurusan dan fakultas dari berbagai universitas di seluruh Semarang.
Kebetulan posisi stand kampus Teknik Arsitektur mereka tak jauh dari Mekdi. Jadi saat mereka masih makan di sana, ketiganya bisa melihat stand kampus yang mulai ramai dikunjungi pengunjung.
"Wah keren ya maketnya," komentar Ivane saat melihat maket karya senior angkatan paling atas di stand kampus.
"Gimana gak keren. Desain TA-nya (Tugas Akhir) aja udah keren," ucap Widia menimpali.
"TA gue bisa sekeren ini gak ya nanti?" gumamnya.
"Elo lagi nonton apaan sih, Ndra?" tanya Widia penasaran saat diliriknya Andra tengah asyik sendiri di depan layar TV. Ivane ikutan beralih ke samping Andra.
"Bukan apa-apa. Cuma lagi nonton film independen tentang kehidupan kampus kita karya senior 2001," balasnya tanpa menoleh ke arah mereka.
Akhirnya keduanya ikutan sibuk menonton film tersebut.
"Boleh juga nih. Senior kita keren-keren ya. Eh maksudnya kreatif gitu," puji Ivane.
"Ya iya lah anak arsitektur harus kreatif dong," cetus Widia.
"Eh barusan yang tadi siapa sih tokoh utamanya? Ndut begitu perutnya. Gak ada yang lebih baik apa senior kita? Yang six pack gitu kayak roti sobek," komentar Ivane blak-blakkan. Ia kecewa selama penayangan lebih banyak senior gendut itu yang jadi modelnya.
Untung saja saat itu yang jaga stand adalah teman seangkatan mereka sendiri, bukan senior angkatan 2001. Kalau enggak pastilah Ivane sudah dipelototi.
"Iya juga ya. Padahal senior kita banyak juga yang bisa dijadikan pencuci mata." Widia menambahi.
"Pencuci mata?! Kayak boorwater dong," sahut Ivane terkekeh-kekeh. Widia pun terkikik.
"Wid, yang itu siapa ya?" tanya Andra yang sejak tadi tak banyak bicara. Ia menunjuk pada layar.
"Yang mana? Yang pake kacamata maksud lo?" Widia memicingkan matanya agar lebih fokus. Karena orang yang dimaksud berada di antara banyak mahasiswa.
"Iyalah. Di sana yang pakai kacamata kan cuma dia."
"Ooh kalau dia sih gue tau. Kalau gak salah namanya ..." Widia berusaha mengingat-ingat, "duh siapa ya? Sering lihat sih. Kayaknya gue belum kenalan sih sama senior itu. Nanti kalau sudah kenalan gue kenalin juga sama elo deh. Gimana?"
"Yeee kirain tau. Enggak ah. Gue cuma iseng aja pengen tau namanya doang. Gak usah seserius itu."
"Yeee bilang aja malu kenalan sama senior. Pura-pura nih Andra," goda Ivane, "kan makin banyak kenalan makin banyak gebetan. Hehehe ...."
"Itu mah kalian bukan gue. Sorry aja ya. Gue males punya gebetan. Urusan tugas aja sudah menyita waktu gue."
Widia dan Ivane ngakak. Dua cewek itu emang paling suka menggoda Andra. Mereka tahu Andra belum mau punya pacar lagi. Ia takut patah hati lagi.
"Masalahnya ya gaes beberapa hari lalu gue ngeliat dia sama temen-temennya Kak Robi lagi di-shoot di tangga kampus. Jadi gue tebak mereka sedang membuat film dokumenter tentang kampus dan ternyata bener tebakan gue," ungkap Andra mencari alasan.
"Ooh begitu ...," sahut dua sahabatnya kompak lagi sambil manggut-manggut. Mereka tertawa lagi.
"Padahal kalau dia beneran tertarik dengan senior kacamata itu juga gak apa-apa ya. Pake ngeles segala," bisik Widia pada Ivane.
"Iya. Masih jaim aja tuh bocah." Ivane geleng-geleng kepala.
Sementara orang diobrolinnya mulai beralih ke tempat lain. Keduanya mengekor.
"Emangnya kenapa sih dia gak mau punya pacar lagi?" tanya Ivane diam-diam pada Widia.
"Bukan gak mau punya pacar. Tapi gak mau jatuh cinta lagi. Dia takut sakit hati," balas Widia pelan.
"Tapi kan gak semua cowok itu brengsek, Wid."
"Masalahnya bukan di cowoknya tapi di diri dia sendiri, Van. Dia masih trauma tau."
"Emang gak bisa ya traumanya hilang?"
"Yang bisa ngehilangin trauma itu ya diri mereka sendiri. Butuh waktu yang bervariasi tiap orang. Paham, Nak?"
"Paham Bu Guru," jawab Ivane setengah bercanda.
***
Pagi hari itu nampak cerah setelah semalaman tanah dihujani derasnya air tanpa henti. Di kampus jurusan Teknik Arsitektur yang asri dan banyak ditumbuhi pohon rindang itu beberapa bangku tamannya mulai didatangi para mahasiswa satu per satu. Sebagian di antaranya ada yang menunggu kelas dimulai dengan bersantai di bangku taman atau tangga teras depan gedung. Ada juga yang memilih untuk menunggu di kantin kampus sembari sarapan bagi yang belum sempat.
Terlihat sekelompok mahasiswi tengah mengobrol membahas segala hal yang bisa dibicarakan. Mulai dari acara sinetron, drakor, acara televisi yang sedang viral, gosip artis, tugas kuliah, jajanan, hingga teman dan senior. Mereka akan tertawa bersama jika ada hal yang lucu dibicarakan salah satu temannya.
Diandra atau biasa disapa Andra, duduk tak jauh dari mereka. Gadis berumur 22 tahun itu lebih memilih asyik sendiri membaca novel favoritnya yang baru saja dibeli saat bolos kuliah kemarin. Sesekali telinganya ikut mendengar obrolan teman-temannya itu. Walaupun agak berisik tapi ia berusaha tetap fokus membaca.
"Gila nggak sih kalau omongannya dia seperti itu ke istrinya sendiri. Itu sih namanya merendahkan harga diri dan martabat kaum wanita. Suami apaan tuh? Bagus deh akhirnya Farida menuntut cerai suaminya. Gue juga bakal kayak gitu kalau suami gue berani berlaku kurang ajar. Kayak gak ada cowok lain aja. Iya nggak?" ceriwis Merry panjang lebar -- si Ratu Gosip Kampus -- ketika ia membeberkan gosip perceraian salah satu artis sinetron dari acara infotainment.
"Masa sih suaminya setega itu sama istrinya sendiri? Mana baru nikah lagi, eh udah mau cerai lagi. Sedang hamil pula," tambah Utari -- teman akrab Merry -- tak percaya.
"Ya udah deh terserah elo. Nanti sore elo tonton sendiri aja acara gosip di tipi. Kayak gak tau gue aja segala hal tentang artis gue tau duluan," ujarnya sewot.
"I-iya deh. Cuma masalahnya kenapa...."
"STOP!!!" teriak Merry tiba-tiba. Membuat teman-temannya terkejut.
"Apaan sih?! Gue kan belum selesai ngomong tau," protes Utari dengan bibir manyun.
"Ntar aja! Itu liat ke arah jam 3, ada yang jauh lebih penting di sana," sela Merry. Telunjuknya mengarah ke arah parkiran motor mahasiswa.
Kompakan mahasiswi penggosip itu menengok ke arah yang dimaksud. Andra pun ikut penasaran. Ia ikutan melihat ke arah yang mereka tuju.
"Ini dia nih. Benar-benar kumbang kampus. Calon gue yang baru. Asyiiikkk ...," jerit Merry senang bukan main saat seorang mahasiswa berwajah imut, tinggi, berkulit putih, menggendong tas ranselnya di bahu kanan datang dari arah parkiran menuju halaman kampus, berlalu melewatinya dengan santai.
"Ya ampuuun Merry .... Elo udah kayak tante girang aja deh sukanya daun muda. Itu kan angkatan baru, Mer. Elo sama dia bedanya mungkin 3 tahun," komen Utari blak-blakkan.
Teman-temannya membenarkan ucapan Dian.
"Eh bodoh amat ya. Baru beda 3 tahun aja kok belum 5 atau 10 tahun. So what gitu loh?" kilah Merry percaya diri.
Andra yang mendengar percakapan itu terkekeh sambil geleng-geleng kepala. Di mata Andra, Merry termasuk cewek pemakan segala cowok cakep. Gak peduli umur maupun status. Yang penting dia suka, sikat. Kemudian Andra melanjutkan membaca novelnya. Tak mau lebih kepo lagi urusan mereka.
"Andraaaa ....!!"
Terdengar teriakan Ivane yang memecahkan kembali konsentrasinya. Ia menoleh ke asal suara, nampak Ivane baru saja datang dengan langkah cepat dan wajah memerah. Mata Andra membulat melihat ke arahnya. Dia tertegun. Bukan karena wajah merah Ivane yang lelah berlari, tapi seorang mahasiswa yang baru saja datang bersamanya juga tengah berjalan menuju Gedung Kampus A.
Mahasiswa itu bertubuh jangkung, berkulit agak kecoklatan, berkacamata dengan bingkai hitam, dengan tas hitam Adidasnya bertengger di bahu kiri. Ia memakai celana biru dongker, kaos bergaris-garis, dirangkap kemeja putih lengan pendek. Nampaknya ia sedang asyik mendengarkan lagu melalui earphone yang terselip di telinga, terhubung ke Ipod-nya di genggaman tangan kanan. Dialah cowok yang Andra lihat di film independen saat berkunjung ke Pameran Pendidikan di Mall. Pemuda itu langsung tersenyum manis menyapa teman-temannya yang sudah lebih dulu hadir.
'Aneh! Udah dua tahun gue kuliah di kampus ini tapi kenapa baru nyadar sekarang-sekarang ini ada seorang senior itu ya?' pikir Andra takjub dalam hati.
"Adaaaawww!!!" Andra memekik kesakitan saat kepalanya mendadak nyeri.
Seseorang baru saja menjitaknya hingga terpaksa mengusap berkali-kali.
"Apa-apaan sih? Sakit tau!" protesnya pada Ivane.
"Yeee salah elo sendiri. Dari tadi gue manggil-manggil malah bengong kayak patung kuda Diponegoro. Mikirin apa sih lo?" tanyanya sebal.
"Nggak ada apa-apa kok."
"Ah bohong. Ketauan deh kalo lagi boong mata lo tuh suka kedip-kedip gak jelas. Ayo lagi mikirin apa atau lagi mikirin siapa?" Ivane memaksa Andra mengakui.
"Ih elo tuh ada-ada aja deh. Masa iya mata gue kudu melotot terus tanpa berkedip sih? Perih iya. Udah ah gue mau masuk kuliah," balas Andra sembari memasukkan novelnya ke dalam tas.
Tapi sebelum gadis berambut sebahu itu benar-benar beranjak dari tempatnya, Ivane sudah menariknya duduk kembali.
"Ada apa lagi?" tanya Andra kesal.
"Gue belum selesai perlunya sama elo, udah mau pergi aja."
"Ya udah apaan?" Andra mulai tak sabar.
"STUPA* udah sampe mana?" bisik Ivane cemas.
"STUPA?! Jd cuma mau STUPA gue doang? Kalau gitu udah ya. Dadah ...," jawab Andra sembari ngeloyor pergi.
"Eh, tunggu dong! Belum jawab malah pergi. Andra nyebelin nih," teriak Ivane kesal sambil mengikuti langkahnya dengan terpaksa.
"Hari ini anak-anak jadi asistensi STUPA? Ajakin mereka dong biar mundur jadwalnya jadi besok. Maket gue belum selesai," pinta Ivane gelisah.
"Tadi malam gue ketiduran, gak kuat begadang soalnya kekenyangan. Ada pepatah bilang gini, 'Habis Kenyang Terbitlah Ngantuk'. Iya kan? Udah gitu gue belum dapat ide lagi. Gue udah lama bertapa di kamar mandi, tapi ide tetap aja gak nongol. Gue sampai nonton drakor dulu, tetap aja ide gak nongol Gimana nih, Ndra?" Ivane terus saja bicara sendiri dibelakang sahabatnya dengan perasaan cemas sampai anak-anak kampus keheranan.
Namun, Andra acuh tak acuh seraya menyeringai nakal. Membuat Ivane makin panik bukan kepalang dengan nasib tugasnya.
"Andra, bantuin gue napa!" seru Ivane panik.
"Sorry ya gue sibuk," balasnya lempeng.
"Andraaaa, gue benci sama elo!!! Gue gak mau traktir elo es teh manis lagi," teriaknya kesal setengah mati.
***
Pukul 14. 55 siang akhirnya Andra selesai juga mempresentasikan maketnya di depan dosen pembimbing. Setelah sebelumnya harus menunggu giliran dengan mahasiswa lain selama satu jam lebih yang menjenuhkan. Dia memang mendapatkan giliran terakhir. Sementara Ivane yang satu kelompok dengannya sudah lebih dulu pulang. Bukan karena sahabat baiknya itu tak mau menunggu dia selesai, tapi Ivane memang bolos untuk asistensi STUPA kali ini. Tak lain karena maketnya benar-benar belum dikerjakan. Jadi daripada kena semprot dosen lebih baik menghindar, pikir Ivane.
Bukannya merasa senang beres asistensi, wajah Andra terlihat masam. Ia melangkah gontai sambil menenteng maket dan paper case-nya. Masih teringat jelas tadi Pak Gilang -- dosen pembimbing STUPA -- mengkritisi habis-habisan maket buatannya.
Untung saja dia yang terakhir, kalau tidak betapa malunya Andra saat itu. Padahal butuh waktu cukup lama dan pemikiran yang matang untuk membuatnya. Bahkan ia merasa yakin jika desainnya yang sekarang adalah desain terbaik tapi rasa optimis dan antusiasnya menjadi surut kala Pak Gilang menyebut karyanya 'konsep kacangan'.
Sebelum kembali ke kostannya, Andra mampir sejenak ke warnet (warung internet) untuk menghilangkan rasa kesal yang belum juga sirna.
Setelah turun dari angkot, Andra berjalan kira-kira 10 meter menuju warnet langganan. Dari arah yang berlawanan di seberang jalan, tampak senior yang tadi pagi ia lihat di kampus. Pemuda itu berjalan sendirian sambil menenteng kresek hitam kecil.
Mungkin dia baru aja beli makan, pikir Andra.
Untuk beberapa puluh detik mata Andra terpaku memandanginya sambil tetap melangkah. Hingga keduanya berjalan sejajar hanya terpisah lebar jalan 8 meter. Sementara pemuda itu tak sadar seorang juniornya tengah memperhatikannya diam-diam. Ia sendiri terus saja berjalan lurus tanpa melirik ke manapun.
Akhirnya tanpa ingin tahu lebih banyak lagi, Andra mempercepat langkah, segera masuk ke warnet yang sudah ada di depan.
Seorang pemuda berjenggot tipis dari balik meja operator menyapa ramah saat Andra masuk.
"Selamat siang. Mau pakai, Mbak Andra?" tanyanya. Ia sudah hapal dengan rupa Andra yang sering bolak balik ke sana.
Andra mengangguk dengan malas.
"Silakan yang kosong di bilik nomor 3, 6, 7, 10 dan 15," ungkapnya sambil memperhatikan layar monitor.
"Mas Jo, gue nitip maket ya di sini. Ribet kalau dibawa ke dalam. Kegedean," ujar Andra pada penjaga warnet. Ia meletakkan maketnya di tempat penitipan barang di depan meja operator.
"Monggo, Mbak."
Setelah itu, segera saja kakinya melangkah masuk. Di dalam ruangan itu terdapat banyak bilik-bilik kecil berukuran 1 x 1 meter yang berdinding triplek setinggi 1,5 meter.
Ia memilih memakai komputer di bilik nomor 7, sesuai dengan tanggal lahir. Lalu langsung duduk, meletakkan tas dan paper case di sampingnya.
Sebelum mulai berselancar di dunia maya, ia diminta mengetik user name dan password untuk log in. Setelah itu mulailah ia mengetikkan kata kunci guna mencari ide lagi untuk tugasnya di Google, lalu membuka Friendster, dan tak lupa chatting online via MiRC.
***
Satu jam kemudian.
Andra melempar tas kuliahnya ke atas kasur begitu masuk ke kamar kosan yang hanya berukuran sembilan meter persegi itu. Sebelum merebahkan raganya yang lelah di atas kasur nyaman itu, diletakkan barang bawaan yang banyak di atas meja belajar. Lalu Andra menghela napas berat. Matanya menerawang kosong memandangi plafon kamar berwarna putih.
Tiba-tiba sesosok bayangan lelaki melintas dalam benaknya. Wajah itu hadir kembali. Ia sendiri tak mengerti mengapa hari ini seniornya itu berhasil menyita perhatiannya dan yang makin membuatnya bingung, kenapa baru kali ini menyadari kehadirannya setelah 5 semester berlalu. Apa mungkin dia lelaki tak kasat mata, pikir Andra ngaco.
Pikiran gadis itu makin mengawang-awang. Ia baru sadar sebenarnya ada begitu banyak lelaki lain di sekitarnya yang bisa saja melupakan kenangan pahit di masa lalu.
Menggantikan sosok si mantan yang hingga kini masih menorehkan luka mendalam. Mungkin saja. Tapi sayangnya, Andra tak pernah mengijinkan hatinya terbuka lagi untuk siapa pun. Fokus kuliah adalah satu-satunya cara untuk menekan rasa sakit itu. Begitulah yang ia pikir benar. Itulah mengapa ia tak pernah benar-benar peduli terhadap perhatian teman atau senior lelakinya. Hanya dianggap teman biasa. Tak lebih. Bahkan seringkali ia bersikap dingin dan galak bila ada yang mendekati.
Namun, nyatanya hal itu tampaknya perlahan mulai berubah sejak dia melihat film independen itu. Rasanya ada yang berbeda kali ini. Rupa-rupanya perhatiannya masih bisa teralihkan oleh seseorang yang bahkan namanya saja Andra belum tahu. Dialah senior berkacamata itu.
Andra menghela napas. Ia tidak mau mengingat masa lalunya dan seniornya itu. Bangkit dari ranjang dan bersiap mandi.
***
*STUPA : Studi Perancangan Arsitektur. Salah satu mata kuliah Jurusan Arsitektur. Dalam prosesnya, mahasiswa dilatih untuk memiliki keterampilan merancang ruang-ruang arsitektonik berdasarkan kajian tapak dan fungsinya. Ditampilkan dalam bentuk maket 3D dan desain perancangan 2D/3D.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!