Semarang
“Bu, Ibu!. Ibu dimana?” seorang gadis berpakaian sederhana tampak berlari ke dalam rumah seraya berteriak.
Ia adalah Syafadilla Aini alias Dilla, gadis berusia 19 tahun yang terkenal cerdas, tegas dan baik hati.
Dilla baru saja menerima surat pemberitahuan kelulusannya dalam Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri dari salah satu kampus terbaik yang ada di Jakarta.
Dilla tampak mencari sosok ibunya kesana kemari.
“Ada apa nak?, ibu disini!” terlihat ibu sedang berdiri di pekarangan belakang rumah.
Saat melihat ibunya, Dilla berlari dan langsung berhambur ke dalam pelukan ibunya,
“Bu, Dilla ke Jakarta, Bu. Dilla lulus SMPTN di UNJ, Bu!” ucap Dilla dengan logat medok khasnya.
Dilla melompat kegirangan sambil memegangi sepucuk surat di tangannya.
Ibu pun membaca surat tersebut seraya tersenyum bahagia saat melihat putrinya dapat meraih mimpi untuk kuliah di ibukota.
“Alhamdulillah. Selamat ya nak, kapan rencana kamu berangkat?”
“Hmmm, seminggu lagi bu. Soalnya mau pendaftaran ulang di Jakarta.”
“Kalau gitu kamu harus siap-siap dari sekarang. Ayo!” ajak ibu.
“Tapi bu….” Dilla terlihat cemas.
“Tapi apa nak?” sahut ibu heran.
“Bagaimana biaya berangkatnya ke Jakarta?, kita kan tidak punya uang, bu!” ucap Dilla sedih.
“Soal itu kamu tenang saja, ibu ada uang simpanan. Insya Allah, uang itu cukup buat biaya keberangkatan kamu ke Jakarta bahkan untuk keperluan kamu sehari-hari nantinya disana,” jawab ibu menenangkan anaknya.
“Alhamdulillah, baik bu kalau begitu." Dilla akhirnya tersenyum lega.
Mereka pun masuk ke dalam rumah yang terlihat sangat sederhana dan tertata rapi, lalu bergegas mempersiapkan keperluan sebelum keberangkatan ke Jakarta.
“Kak Dilla mau kemana sih?” tanya seorang gadis remaja bernama Syifa yang tak lain adalah adik kandung Dilla.
“Minggu depan kakak mau ke Jakarta dik, kakak lulus di UNJ,” jawabnya tersenyum
“Wah, selamat ya Kak. Kak Dilla memang hebat.” Mengacungkan jempol ke arah kakaknya.
“Iya dong.” Dilla tertawa sambil memeluk adiknya.
Keesokan harinya, ibu Dilla berjalan ke sebuah rumah dengan membawa sebuah map di tangannya. Map yang berisi surat tanah peninggalan dari almarhum suaminya.
Ia berniat menggadaikan surat tanah tersebut kepada lintah darat yang ada di desa. Ia terpaksa menggadaikan surat tanah peninggalan suaminya tercinta untuk biaya Dilla selama Dilla kuliah di Jakarta.
Meski hatinya merasa tidak yakin akan sanggup membayar semua pinjaman pokok beserta bunganya setiap bulan tetapi membayangkan wajah Dilla yang tersenyum meraih mimpinya membuat hatinya mantap untuk melanjutkan niatnya tersebut.
----------------
Jakarta
Terlihat seorang pria sedang duduk di kursi merapatkan kakinya dan menundukkan wajahnya dalam.
“Kamu ini gimana sih, Za. Masa udah setahun tapi kamu masih belum juga menulis satu buah novelpun. Kalau begini terus, kamu berhenti saja jadi penulis!” bentak pria bertubuh tinggi didepannya.
Pria bernama Riza Rifky itu pun, hanya terduduk diam membisu dan memasang wajah datar saat mendengar pria didepannya membentak dan memakinya.
“Saya sedang berusaha. Beri saya waktu. Saya pasti akan merilis novel yang spektakuler. Saya harap mas bisa bersabar!” jawabnya tenang.
Pria bertubuh tinggi itu pun mendengus kesal, “Baik, saya kasih kamu waktu.”
Pria itu melunak dan menepuk pelan bahu Riza.
“Baik, terima kasih!” jawab Riza singkat.
Pria bertubuh tinggi itupun pergi meninggalkan Riza.
Riza menghembuskan nafas lega, sesaat setelah kepergian Irfan.
Riza merupakan seorang penulis berusia 27 tahun yang introvert, pendiam dan senang menyendiri. Ia memiliki wajah dan IQ di atas rata-rata.
Riza tidak suka berbicara banyak, tidak suka berkumpul dengan banyak orang, tidak suka mencampuri urusan orang lain dan tidak memiliki banyak teman. Orang-orang yang baru mengenalnya akan menyebutnya sombong dan jutek karena gaya bicaranya yang terkesan ketus dan tajam.
Bahkan setiap tingkah dan tindakan Riza selalu terkesan aneh bagi orang lain. Riza seperti hidup di dunianya sendiri.
Baginya berada di tempat ramai dan berkumpul dengan banyak orang sangat menguras energi. Jika berkumpul dengan banyak orang ia hanya diam, diam dan diam.
Sudah hampir setahun Riza tidak kunjung merilis novel barunya. Entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia mengalami kebuntuan ide dan inspirasi setiap kali mulai menulis novel.
Alhasil, ia hanya berdiam dan menyendiri di rumah berharap ide-idenya muncul. Untuk keluar rumah mencari inspirasi merupakan hal yang mustahil ia lakukan.
-------
Seminggu kemudian, hari yang ditunggu-tunggu Dilla pun tiba.
Hari ini ia akan berangkat ke Jakarta.
Dilla pun berpamitan kepada ibunya.
Dengan perasaan bahagia bercampur haru, ia memeluk ibunya yang sudah paruh baya itu dengan erat. Air mata mengalir deras dari kedua pipinya.
“Ibu baik-baik ya. Jangan lupa makan, istirahat dan minum obat.” Dilla menggenggam tangan ibunya.
“Kamu juga ya nak, baik-baik disana. Jangan lupa makan walaupun nantinya kamu sibuk sempatkanlah beristirahat dan makan yang teratur ya.” Ibu mengusap lembut pipi Dilla yang telah basah karena air mata.
“Insya Allah bu. Dilla berangkat ya bu. Assalamu’alaikum.” Dilla mencium lembut punggung tangan ibunya yang sudah mengeriput itu.
Dilla melangkahkan kakinya menuju seorang tukang ojek yang akan mengantarkannya menuju terminal bus.
Dilla melambaikan tangan kearah ibunya.
“Hati-hati ya nak. Ya Allah jaga dan selamatkanlah putri ku dari segala mara bahaya,” batin ibu melepas keberangkatan Dilla.
Tiga puluh menit kemudian, Dilla telah tiba di terminal bus yang akan mengantarkannya ke Jakarta.
Dilla menaiki bus kemudian duduk di kursi yang berada didekat jendela.
Sepanjang perjalanan, Dilla memikirkan bagaimana nanti kehidupan kampus saat ia menempuh kuliah di Jakarta, sedangkan ia tidak kenal siapapun disana.
Didalam hati, ia berharap menemukan seseorang yang akan menemaninya melewati suka dan dukanya nanti selama kuliah di sana.
Setelah kurang lebih sepuluh jam menempuh perjalanan, akhirnya Dilla tiba di Jakarta. Kota yang penuh sesak dengan hiruk pikuk kehidupan glamour dan yang pasti tempat sarangnya kejahatan.
Benar saja, saat Dilla baru saja turun dari bus, tas Dilla dijambret. Semua uang dan barang-barang miliknya amblas di bawa kabur si penjambret.
Dilla meminta tolong kesana kemari sambil berteriak, namun tidak ada satupun orang yang peduli.
Ditengah jalan Dilla terengah-engah karena mengejar penjambret yang membawa kabur tas miliknya.
Dilla menangis sesegukan di jalan. Ia tidak tahu harus pergi kemana dan apa yang harus ia lakukan di kota asing itu.
Dilla melihat sebuah Pos Polisi diseberang jalan, ia bermaksud melaporkan peristiwa tadi kepada pihak yang berwajib.
Namun, saat ia hendak menyeberang, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang ke arahnya.
Dilla membelalakkan matanya. Sepersekian detik, tubuh Dilla pun terpental ke tanah. Darah mengalir dari pelipis matanya. Tak lama ia pun pingsan tak sadarkan diri.
Dilla tergeletak bersimbah darah di tengah jalan.
Seorang pria yang tak lain sang pengendara mobil pun keluar dengan raut wajah panik. Ternyata itu Riza, si penulis novel yang introvert.
Riza kemudian membawa Dilla ke rumah sakit. Jelas terlihat dari gerak geriknya, Riza memang seorang yang sangat pendiam dan tidak banyak bicara.
Riza hanya duduk diam membisu di kursi. Memandang ke arah ruang operasi yang ada di depannya dengan tatapan cemas.
Saat perawat bertanya kepadanya mengenai identitas gadis yang ia tabrak, Riza hanya menggeleng tanpa berkata apapun.
Dokter akhirnya keluar dari ruangan operasi.
“Bagaimana keadaannya, Dok?” Riza terlihat cemas dan khawatir.
“Dia sudah melewati masa kritisnya, kepalanya mengalami geger otak ringan. Untung saja anda cepat membawanya kesini, kalau tidak entah apa yang akan terjadi padanya!” ucap dokter memberikan penjelasan panjang lebar.
Riza menghela nafas lega kemudian mengucapkan terima kasih kepada dokter.
“Syukurlah gadis itu baik-baik saja!” batin Riza.
Dua hari kemudian.
Riza menemani Dilla yang masih tertidur pulas di ranjang pasien. Tak lama Riza pun akhirnya ikut tertidur.
Terlihat Dilla menggerak-gerakkan matanya pelan.
Perlahan Dilla membuka mata. Ia menyapu seluruh ruangan bercat putih itu. Merasa asing dengan tempat dimana ia berada saat ini.
Dilla memegangi kepalanya yang terbalut perban putih. Terdengar ia mengaduh menahan rasa sakit dikepalanya.
Ranjang Dilla terdengar berdecit, Riza pun terbangun dari tidurnya.
“Bagaimana keadaan kamu?” Riza mengucek-ngucek matanya.
“Aku kenapa?. Kenapa aku ada disini?” gumam Dilla bingung.
“Dua hari yang lalu kamu kecelakaan. Aku yang membawamu kesini!” jawab Riza datar.
“Terima kasih sudah membawa saya kesini!" sahut Dilla.
Riza berinisiatif mengambil air minum untuk Dilla, karena sejak kemarin Dilla belum meminum seteguk air pun.
Riza mengulurkan tangannya memberikan gelas berisi air kepada Dilla. Dilla mengulurkan tangannya meraih gelas dari tangan Riza.
Tanpa sengaja jari-jari mereka bersentuhan singkat. Riza merasakan sesuatu yang aneh.
Namun, ia tidak tahu apa itu.
Dilla mencoba bangkit dari tidurnya. Dengan sigap Riza membantu Dilla untuk duduk. Dilla meminum gelas yang ada ditangannya dengan sangat terburu-buru karena ia memang sudah sangat haus.
“Ahh... Alhamdulillah. Terima kasih ya mas, sudah mau menolong saya.”
Riza mengangguk mengiyakan.
“Ngomong-ngomong mas namanya siapa?”
Saat Dilla menyodorkan gelas yang telah kosong kepada Riza, tanpa sengaja jari-jari mereka bersentuhan kembali untuk kedua kalinya. Hal aneh yang tadi dirasakan Riza pun muncul kembali.
“Aku Riza. Riza Rifky,” jawabnya singkat.
“Kenalkan mas, nama saya Syafadilla Aini. Panggil saja saya Dilla. Saya asal Semarang,” Dilla mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
Riza melihat ke arah tangan Dilla sejenak. Ia terlihat ragu untuk menjabat tangan Dilla.
Dengan cepat Dilla menarik tangan Riza untuk menjabat tangannya.
Saat jemari mereka berjabatan erat, Riza melihat benda-benda aneh mengelilingi kepalanya dan visual-visual berisi ide pun bermunculan. Otaknya bekerja.
Karena terkejut, Riza langsung menyudahi acara perkenalan mereka.
Riza langsung bergegas pergi meninggalkan Dilla tanpa berkata sepatah katapun. Dilla menatap kepergian Riza dengan tatapan aneh.
Beberapa saat kemudian, Riza kembali ke kamar Dilla dengan membawa bungkusan plastik berisi buah-buahan. Saat ia memasuki kamar, Dilla tengah tertidur.
Riza melihat nampan berisi makan siang milik Dilla belum tersentuh. Riza melihat ke arah Dilla yang terlelap. Tak lama Dilla pun membuka matanya.
Dilla duduk di tempat tidur. Karena perutnya terasa lapar, Dilla menarik nampan kemudian mulai memakan makan siangnya.
Melihat Riza yang sedari tadi diam saja, membuat Dilla bingung.
“Mas, mas kenapa?. Dari tadi saya perhatikan diam saja. Mas tidak makan?” ucap Dilla sambil memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.
“Aku sudah makan,” jawab Riza singkat.
Riza berjalan menuju sofa yang berada di sudut ruangan. Mencari remote lalu menyalakan televisi. Riza terlihat sibuk menggonta-ganti siaran.
Dilla terkekeh pelan menutup mulutnya saat menyadari kalau sedari tadi Riza menggonta-ganti siaran hanya untuk mencari acara kartun.
Sangking asiknya menonton acara itu, Riza tidak menyadari saat dokter dan perawat masuk ke ruangan untuk memeriksa keadaan Dilla.
“Selamat siang, ibu Syafadilla Aini. Bagaimana keadaan anda sekarang?, ada keluhan?, apa kepala anda masih sering terasa sakit?” Dokter mengajukan pertanyaan dan dijawab dengan gelengan kepala oleh Dilla.
“Baiklah kalau begitu, saya permisi dulu. Semoga cepat sembuh ibu.”
“Terima kasih, Dok,”sahut Dilla.
“Serius sekali mas Riza menonton acara kartun itu, sampai tidak sadar kalau ada dokter disini, hi..hi..hi,” Dilla membatin.
“Mas Riza!” Dilla memanggil Riza yang sedari tadi asik sekali menonton acara kartun di televisi.
Riza yang mendengar namanya di panggil langsung menoleh ke arah Dilla,
“Ada apa?. Kamu butuh sesuatu?” ucapnya datar.
“Hmm… anu, mas .. hmm, itu. Hmm.. Saya kebelet mas, mau ke kamar mandi. Mas, bisa tolongin saya?. Soalnya saya takut jatuh mas.”
Tampak Riza terdiam sejenak. Ia terlihat ingin menolak permintaan Dilla. Namun, ia tidak tega melihat kondisi Dilla yang masih lemah.
Dengan malas dan terpaksa Riza akhirnya berdiri dari sofa dan menghampiri Dilla. Memajukan tangannya memegang lingkar pinggang Dilla lalu memapahnya ke kamar mandi.
Riza tampak sedikit gugup ketika Dilla melingkarkan tangannya di pinggang Riza.
Riza yang seorang introvert, memang tidak pernah sedekat ini dengan seseorang, karena ia adalah salah satu tipe orang yang sangat merasa risih apabila bersentuhan intens dengan orang lain.
Ia hanya mau bersentuhan sebatas berjabat tangan saja.
Sampai didepan pintu kamar mandi, Dilla masuk kedalam. Dengan sabar Riza menunggu Dilla keluar dari kamar mandi lalu kembali memapah Dilla menuju ranjang.
“Makasih mas,” Dilla membaringkan tubuhnya.
“Hmm..,” jawab Riza singkat.
“Mas, kira-kira saya boleh pulang kapan ya? Soalnya dua hari lagi, saya harus daftar ulang di UNJ. Kalau tidak nanti nama saya bisa dicoret pihak kampus.” Dilla menatap Riza.
“Nanti aku tanya dokter,” jawab Riza tanpa menatap wajah Dilla.
“Terima kasih lho mas sebelumnya, sudah mau menolong saya. Ngomong-ngomong, mas ini tinggal dimana?, trus kerja apa mas?”
Riza menjadi salah tingkah saat Dilla bertanya, terlihat Riza merasa tidak nyaman.
Dilla yang mengerti dengan gerak-gerik Riza pun kemudian berkata, ”Hmm, ya sudah mas, kalau begitu saya tidur dulu.” Dilla menarik selimut kemudian memejamkan mata.
Riza pun hanya terdiam di sofa yang ia duduki, kemudian kembali menonton acara
kartun kesukaannya.
drrrt…drrrt…drrrt
Ponsel Riza bergetar, lalu menggeser tanda berwarna hijau di sana.
“Halo!,” sapanya.
“Halo. Riza loe dimana?, dua hari ini kagak kelihatan, loe kemana?,” terdengar suara pria dari balik ponsel.
“Ada apa?,” jawab Riza.
“Loe dicariin si Irfan noh, kangen katanya. Ha..ha..ha,” terdengar kekehan dari teman Riza tersebut.
“Bilang saja sama dia, aku sedang mencari inspirasi.”
“Tumben banget cari inspirasi. Loe cari inspirasi apaan sih, Bambang?. Udah deh lebih bagus loe dateng ke kantor sekarang. Sebelum si Irfan semprul itu ngamuk. Udah dulu yee. Bye.” Niko menutup panggilan teleponnya.
Riza hanya terdiam kemudian memasukkan ponselnya kembali kedalam saku celananya. Ia mendesah pelan dan melangkahkan kaki ke luar kamar.
Riza pergi menemui dokter untuk menanyakan apakah Dilla sudah bisa dibawa pulang, dokter pun mengatakan bahwa kondisi Dilla sudah sedikit membaik sehingga bisa dibawa pulang, namun Dilla masih harus menjalani rawat jalan untuk memastikan bahwa geger otak ringan dikepalanya sudah sembuh total.
Riza pun tersenyum lega mendengar perkataan dokter saat itu.
--------------------
Desa
Terlihat ibu Dilla sangat merasa khawatir, perasaannya gelisah tidak menentu. Sedari tadi ia memikirkan Dilla, “Kok perasaan ku tidak enak yoo, aku kepikiran Dilla terus. Ya Allah lindungilah anak hamba dimana pun ia berada..,” Ibu Dilla membatin.
Adik Dilla-Syifa menghampiri ibunya yang sedari tadi termenung dan melamun di teras depan rumahnya.
“Bu, ibu kenapa?" suara Syifa membuyarkan lamunan ibunya.
“Ibu kepikiran sama kakak mu, nak. Sejak dua hari yang lalu, perasaan ibu tidak enak. Ibu takut kakak kamu kenapa-kenapa di Jakarta”, terdengar kegelisahan dari suara ibunya.
Syifa pun kemudian mengusap pelan pundak ibunya, “Sudah lha bu, jangan terlalu dipikirkan. Kak Dilla pasti baik-baik saja di Jakarta, kak Dilla kan gadis hebat bu. Mungkin kak Dilla kangen sama ibu makanya ibu kepikiran terus disini. Ibu berdoa saja, Insya Allah kak Dilla baik-baik saja, bu,” ucap Syifa menenangkan ibunya.
“Iya, ibu juga berharap seperti itu.” Ibu mencoba menenangkan pikirannya namun terlihat tatapan yang sangat khawatir terpancar dari sorot matanya.
-----------------------
Jakarta
Ternyata di rumah sakit Dilla pun tidak tenang dan gelisah. Didalam tidurnya, ia bermimpi melihat ibunya sedang menangis dan memanggil namanya.
Dilla mendekati ibunya, ibu pun memeluk Dilla erat dan membelai rambut Dilla lembut.
Tangis Dilla pecah didalam pelukan ibunya. Seketika Dilla membuka mata dan menyadari bahwa ia sedang bermimpi.
Ia kemudian menghapus jejak air mata yang membasahi pipinya.
Dilla melihat Riza masuk ke dalam kamar. Tanpa basa basi, Riza pun mengatakan kepada Dilla bahwa Dilla sudah bisa pulang besok.
Mendengar itu, Dilla pun segera mengucap syukur dan tersenyum gembira. Akhirnya ia bisa keluar dari rumah sakit dan mendaftarkan namanya di kampus impiannya.
“Besok kita akan keluar dari rumah sakit jam satu siang.” suara lembut Riza memecah lamunan Dilla.
“Baik mas. Terima kasih.”
“Mmm…” Riza mengangguk mengiyakan.
“Aku mau istirahat. Kalau ada perlu panggil saja.” Riza melangkahkan kakinya menuju ke arah sofa yang ada di sudut ruangan.
Dilla kemudian mengangguk pelan sembari tersenyum.
Tiga puluh menit kemudian, Dilla merasa kandung kemihnya telah penuh.
Namun, ia tidak mau membangunkan Riza yang saat itu tertidur sangat pulas dan terlihat lelah sekali.
Dilla pun memaksakan diri turun dari ranjang kemudian melangkahkan kakinya menuju ke kamar mandi.
Bruuukkkk……..
Baru selangkah berjalan, lutut Dilla yang terbalut perban tepat menabrak pinggiran meja yang ada di depannya.
Seketika Dilla terjatuh, ia merintih dan mengaduh kesakitan memegangi lututnya.
Riza yang mendengar suara dentuman keras seketika membuka matanya. Ia berdiri dan berjalan mendatangi sumber suara. Tampak Dilla tergeletak di lantai memegangi lututnya.
Riza pun membantu Dilla berdiri dengan satu tangan merangkul pinggang Dilla sementara tangan yang satunya lagi menggenggam jari-jemari Dilla melingkari belakang kepalanya.
Saat Riza menggenggam jemari Dilla, ia kembali melihat benda-benda aneh mengelilingi kepalanya dan seketika visual-visual berisi ide pun bermunculan. Otaknya bekerja.
Riza langsung melepaskan genggaman tangannya dari jemari Dilla, lalu meletakkan tangan Dilla melingkar di pinggangnya.
Seketika visual-visual aneh itu pun menghilang.
Riza menggeleng pelan untuk menghilangkan pikiran aneh di kepalanya.
"Apa aku sudah tidak waras?" batin Riza.
“Kamu mau kemana?” Riza bertanya kepada Dilla.
“Saya mau ke kamar mandi, Mas,” jawab Dilla meringis kesakitan.
Riza pun memapah Dilla menuju kamar mandi.
Riza mematung melihat kearah telapak tangannya sambil memikirkan kejadian-kejadian aneh yang terjadi padanya sejak kemarin.
“Ada apa sebenarnya denganku?” Riza menggumam pelan.
Esok harinya, tepat jam 13.00 siang Riza menemui Dilla di Rumah Sakit. Dilla pun telah bersiap-siap menunggu kedatangan Riza.
“Ayo!” ajak Riza saat memasuki kamar Dilla tanpa menatap ke arah Dilla.
Dilla mengangguk pelan kemudian berjalan mengikuti Riza dari belakang.
Ketika berjalan, Dilla bertanya kepada Riza berapa biaya perawatannya selama di rumah sakit karena ia ingin membayarnya, namun Riza hanya diam membisu dan terus melangkahkan kakinya.
Akhirnya mereka tiba di parkiran, Riza menyuruh Dilla masuk ke dalam mobil.
“Aduh ngapain dia nyuruh aku masuk mobilnya?, kalau dia mau nyulik aku gimana, aku kan nggak tau dia siapa. Aku harus hati-hati, aku tidak boleh percaya begitu saja sama orang kota.”
Dilla membatin sembari menggerak-gerakkan bola matanya menatap Riza.
Riza yang sadar sedang ditatap oleh Dilla langsung memalingkan wajahnya.
“Jangan takut, aku bukan orang jahat,” kata Riza singkat tanpa ekspresi.
“Emm, bukan begitu mas. Saya bisa pulang sendiri kok. Mas tidak perlu repot-repot.”
Dilla menolak halus ajakan Riza karena ia merasa harus waspada dengan orang-orang asing yang ada di kota.
Tak lupa Dilla menanyakan nomor ponsel Riza agar kelak dia dapat menghubungi Riza dan mengembalikan uang Riza yang dipakai untuk membayar biaya perawatan Dilla selama di rumah sakit.
Akan tetapi Riza hanya menatap Dilla datar kemudian mengatakan bahwa Dilla tidak perlu mengembalikan uangnya.
Setelah itu, Riza langsung masuk ke mobil dan melajukan mobilnya meninggalkan Dilla di parkiran.
Ditengah padatnya ibukota, terlihat Dilla berjalan menyusuri kota metropolitan itu tanpa tahu kemana arah dan tujuan.
Sesekali ia berdecak kagum dengan kemegahan kota yang asing baginya itu.
Namun, saat ia melewati sebuah jembatan, ia merasa miris melihat kondisi sungai yang kotor dan penuh dengan sampah berserakan dimana-mana.
“Begini toh Jakarta."
Akibat berjalan jauh, Dilla pun merasakan perutnya keroncongan.
Dilla berhenti sejenak memegangi perutnya yang sedari tadi kosong.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, Dilla melihat sebuah warung makan.
“Coba aku kesitu, siapa tau aku bisa bekerja di warung itu. Bismillah…” Dilla pun melangkahkan kakinya menuju warung tersebut.
“Aneh, kok sepi ya?” Dilla menggumam pelan.
Dilla melihat seorang wanita sedang duduk di dalam warung yang terlihat sepi pembeli itu, kemudian Dilla menghampirinya.
“Permisi mbak, anu saya mau melamar kerja disini. Boleh mbak?”
Wanita itupun kemudian berdiri dan berkata, “Aduh maaf, saya sedang tidak butuh pekerja. Kamu kan bisa lihat sendiri, kalau warung ini sepi pembeli. Jadi saya tidak punya pemasukan lebih untuk menambah pegawai."
“Oh, begitu ya. Begini mbak, sebenarnya saya habis berjalan jauh jadi saya lapar, saya boleh minta sepiring nasi tidak mbak buat mengganjal perut saya,” ucap Dilla.
“Oh, boleh, boleh. Mari duduk. Sebentar ya,” ucap wanita itu ramah dan disambut dengan anggukan pelan Dilla.
“Alhamdulillah, baik sekali si mbak itu.”
Tidak lama menunggu, wanita itu kemudian menghidangkan sepiring nasi beserta lauk untuk Dilla.
Dilla pun melahapnya hingga tak bersisa karena memang sedari tadi ia belum makan apapun.
Setelah Dilla selesai makan, wanita tadi menghampiri Dilla, “Nama kamu siapa?”
Dilla pun menyebutkan namanya, kemudian wanita itu pun memperkenalkan dirinya,
“Oh.. nama saya Laras. Kamu asli orang sini?”
“Oh, bukan mbak. Saya asli Semarang.”
“Beneran asli Semarang?” Wanita bernama Laras itu bertanya penasaran.
“Iya… memangnya kenapa mbak?” jawab Dilla heran.
“Kamu bisa masak soto Semarang?” sambung Laras lagi.
“Mmm… bisa,” jawab Dilla.
“Kalau begitu, kamu saya terima kerja disini,” ucap Laras sambil tersenyum.
“Bener mbak?”
Laras kemudian tersenyum sambil menganggukkan kepalanya.
Dilla akhirnya tahu alasan kenapa warung itu sepi pembeli, ternyata pekerja yang biasa meracik dan memasak soto Semarang di warung tersebut mengundurkan diri beberapa hari yang lalu, padahal soto Semarang adalah menu andalan di warung itu. Akhirnya sejak saat itu banyak pelanggan yang memilih makan di tempat lain.
“Kapan saya bisa mulai bekerja,mbak?”
“Kalau mulai besok saja gimana?. Bisa?”
“Bisa mbak, terima kasih banyak.”
“Sama-sama…, ngomong-ngomong kamu tinggal dimana?”
Dilla pun menceritakan hal yang terjadi padanya beberapa hari belakangan ini, Laras yang merasa iba melihat Dilla akhirnya menawarkan Dilla untuk tinggal bersamanya.
Dilla sangat bersyukur dan berterima kasih atas kebaikan Laras padanya.
Setidaknya dia tidak menjadi gelandangan di kota yang asing baginya itu.
------------------------------------------------
Sepulang dari rumah sakit, Riza menemui Niko. Niko adalah seorang pemimpin redaksi salah satu kantor penerbitan buku di Jakarta.
Tanpa mengetuk pintu, Riza memasuki ruang kerja Niko.
Niko menatap Riza heran.
“Kenapa loe?” tanya Niko.
Riza hanya diam saja. Tiba-tiba ia menarik tangan Niko lalu menggenggam jemarinya erat. Riza memejamkan matanya.
Niko langsung bergidik ngeri melihat tingkah Riza.
“Apa-apaan sih loe!!. Loe kesambet?”
Riza diam dan tampak berpikir, “Aneh, kenapa saat aku memegang tangan Niko barusan tidak terjadi apapun padaku.”
Tanpa berkata apapun, Riza bergegas pergi meninggalkan Niko dengan seribu pertanyaan dikepalanya.
Saat Niko berteriak memanggil nama Riza, Riza terus saja berjalan tanpa menoleh sedikitpun.
Niko tahu kalau Riza itu aneh, tapi melihat tingkah Riza kali ini dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan temannya itu.
Setelah Riza keluar dari ruangan Niko, ia berpapasan dengan salah satu karyawan wanita disana.
Seketika Riza pun menggenggam tangan wanita itu seperti yang ia lakukan pada Niko barusan, lalu ia memejamkan mata.
Wanita itu pun berteriak kencang hingga suaranya menggemparkan seisi kantor.
Niko langsung berhambur keluar ruangan.
Niko terbelalak kaget saat melihat Riza memejamkan mata sambil menggenggam tangan seorang wanita.
Kemudian wanita itu menarik tangannya dan langsung menampar wajah Riza, setelah itu ia pun pergi meninggalkan Riza yang mematung disana.
“Kenapa saat aku memegang tangan wanita barusan, tidak terjadi apapun padaku. Ada apa sebenarnya denganku?” batin Riza.
Niko pun menepuk pelan bahu Riza membuat Riza sedikit terkejut.
“Loe kenapa, Za?. Ada masalah?” Niko kemudian mengajak Riza masuk kembali kedalam ruangannya.
Terlihat Riza masih diam tanpa berkata apapun.
Lalu Niko menyodorkan sebotol air mineral kepada Riza, tanpa berkata sepatah katapun Riza langsung meneguk air tersebut.
Setelah Riza terlihat tenang, Niko pun memulai pembicaraan,
“Oke, sekarang loe cerita sama gue…”
Riza diam dan sedikit berpikir, ia menarik nafas panjang sebelum memulai kalimatnya.
“Aneh,.. ini benar-benar aneh…”
“Loe sih emang aneh,” sambar Niko.
“…. Setiap aku memegang tangan gadis itu, aku merasa ide-ide bermunculan dikepalaku, seketika otakku langsung bekerja,” Riza melanjutkan.
“Maksud loe apaan sih?” Niko heran mendengar perkataan temannya itu.
“……Dia seperti inspirasi bagiku, aku tidak mengerti apa ini.”
Niko hanya diam mendengarkan racauan demi racauan keluar dari mulut Riza.
“…..Apa yang harus aku lakukan?”
Niko yang sedari tadi bersandar terlihat sedikit memajukan posisi duduknya, kemudian ia berkata dan menatap Riza dengan tatapan serius, “Dia siapa, Za?”
Riza kemudian menceritakan tentang Dilla kepada Niko, Niko pun akhirnya paham apa yang melatarbelakangi temannya itu hingga bisa berbuat nekat seperti tadi.
Saat Niko bertanya dimana keberadaan Dilla saat ini, Riza pun menggeleng pelan.
Niko menyuruh Riza agar berpikir dengan keras dimana kira-kira mereka bisa menemukan Dilla.
Riza tampak berpikir lalu tiba-tiba ia teringat bahwa besok Dilla akan melakukan pendaftaran ulang di kampusnya.
“Oke, kita kesana besok,” gagas Niko.
Riza diam, kemudian pergi melangkahkan kakinya ke luar dari ruangan Niko tanpa sepatah katapun.
Niko yang melihat kelakuan temannya itu pun hanya menggumam pelan.
“Dasar Aneh!” Niko tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!