NovelToon NovelToon

Putri Matahari & Pangeran Salju

Episode 1 - The Demon Loan Shark

Nasi goreng, segelas susu khusus untuk usia emas alias kalangan lanjut usia dan potongan pisang telah tersedia di meja makan. Avelia menatap puas sambil meletakkan gelas berisi air mineral hangat, untuk melengkapi sarapan khusus untuk Papa. Semua yang terhidang ini adalah kesukaan Papa.

Semoga dengan menyediakan semuanya, mood Papa yang mudah melayang ke sana ke mari itu akan bergerak menuju ke arah yang akan memudahkan rencana Ave. Ia sudah menanti cukup lama untuk sampai ke titik ini. Setelah mengikuti semua keinginan Papa dan sebentar lagi... saat Lily, sahabat sekaligus iparnya melahirkan nanti, semuanya akan lengkap.

My Little Kingdom Cafe

Nama yang sudah dipilih Ave untuk cafe yang akan dibangunnya nanti. Sebuah cafe dengan tema kerajaan dengan target untuk keluarga. Ia bahkan sudah berkonsultasi dengan beberapa temannya saat di Sydney dan juga di Jakarta, juga mengumpulkan berbagai lay-out ruang cafe yang menarik dari berbagai cafe yang ia survei saat berkunjung ke berbagai negara. Selama di Sydney, Ave juga sengaja mengambil pekerjaan paruh waktu di beberapa cafe untuk mempelajari jenis usaha ini. Tak lupa ia mengikuti dua kursus singkat menjadi Barista.

Tapi namanya juga rencana, untuk mewujudkan sudah pasti ia perlu dana. Papa adalah investor utama yang ia pilih. Berbulan-bulan menunggu dengan sabar, sambil berusaha mengambil hati Papa, dan sekaranglah waktunya.

"Waaah, harumnya! Masak apa, Ve?" tanya Papa sambil memasuki ruang makan dengan wajah sumringah. Wajah Papa sedikit memerah setelah berjalan kaki di sekitar komplek perumahan.

Ave menoleh. "Kesukaan Papa. Nasi goreng!" sahutnya.

Papa mendekat dan duduk di depan hidangan yang dibuatkan Ave itu. Ave memang jago memasak. Sejak ia remaja, gadis ini suka sekali berada di dapur. Kelezatan masakannya sudah tak usah diragukan. Sejak ia pulang, Ave memasak sendiri semua makanan untuk Papa dan abangnya, sebelum Ajie menikah.

Papa menatap nasi goreng. Mulutnya sedikit terbuka. Seleranya langsung menggelora. Tapi kemudian keningnya berkerut. "Telor Papa mana, Ve?"

Ave yang baru hendak duduk di seberang Papa terpaku diam. Otomatis menjawab, "Ya sama Papalah. Ave kan cewek, gak punya telor." Lalu ia duduk di depan Papa. Ia sudah makan tadi, langsung dari wajan penggorengan.

"Sembarangan!!" Lap di atas meja melayang dan hinggap di kepala Ave. "Telor buat nasi gorengnya, Little Monkey!"

Ave tertawa, mengangguk-angguk. "Maunya telor apa, Pa? Dadar, Mata sapi, omelet, scramble, benedict, rebus atau panggang? Setengah matang atau full-cooked?"

Papa bengong. Itu apa? Hidangan telur semua?

Bicara sama anak yang kursus memasak puluhan kali memang membingungkan. Hanya minta telur goreng saja, Papa harus memutar otak untuk memahami menunya.

"Mata sapi, setengah matang aja deh. Pusing Papa dengerin yang lain," kata Papa akhirnya sambil meraih gelas berisi air putih hangat. Menyesapnya. Menghadapi satu anak perempuan itu melelahkan. Sungguh melelahkan.

"Ok, Big Monkey!" sahut Ave penuh semangat sambil berdiri.

Air menyembur dari mulut Papa yang sedang minum. Matanya mendelik kesal. Punya anak gadis satu-satunya, tapi mulutnya pahitnya nauzubillah. Didikan luar negeri membuat gadis cantiknya terlalu berani bahkan terhadap Papanya sendiri.

"Ve, udah ada rencana nerusin di mana?" tanya Papa sembari bersandar di kursi. Sudah lama ia ingin membicarakan rencana pendidikan Ave. Mumpung mood anaknya sedang bagus, rasanya inilah saat tepat untuk membicarakan.

Ave menoleh sedikit. "Nah, Pa... kebetulan Ave mau ngomong soal itu juga. Bentar Pa!" Ave menuju kulkas, mengambil sebutir telur dan kembali ke depan kompor. Tangannya bergerak lincah mengambil penggorengan dan menyalakan kompor.

"Papa rasa mending kamu ambil di UI aja, dekat juga dari rumah. Jurusan Susastra tuh selaras sama jurusanmu di Sydney. Ambil itu aja!"

"Tapi Pa, Ave gak pengen kuliah dulu. Ave capek."

"Maksudmu?" Kening Papa berkerut.

"Ave ingin mulai usaha dulu, Pa. Kerja yang menghasilkan uang."

Oh, itu maksudnya. Papa berpikir sejenak lalu berkata, "Kalau begitu, mulai bulan depan kamu bisa ikut Abangmu kerja deh. Papa rasa kamu bisa belajar kerja di bagian General Affair atau Creative Dept. di kantornya. Itu sesuai dengan bidangmu kan?"

"Papaaa, Ave juga gak mau kerja di kantor Mas Ajie," seru Ave dari balik kitchen island.

"Lalu kamu maunya apa?"

"Ave ingin membangun Cafe, Pa. Kebetulan... " Ave mematikan kompor, mengambil sesuatu dari laci dapur, dan mendekati Papa dengan sebuah dokumen. Ia menyerahkannya ke Papa. "... Ave ada proposalnya nih, Pa. Papa lihat dulu deh!"

Papa memandangi proposal yang didominasi warna ungu, pink dan putih itu. Sebuah rencana Cafe bertema kerajaan. Dengan ragu, Papa membaca setiap lembaran proposal tersebut sebelum akhirnya ia menatap putrinya.

Lalu kepala Papa menggeleng dengan raut meremehkan. "Tidak! Kamu belum pengalaman, belum pernah kerja, belum pernah ngerasain kejamnya bisnis di kota ini. Kamu bahkan gak tahu susahnya nyari investor seperti Papa atau Ajie. Tidak! Pokoknya tidak!"

"Ayolah, Papa! Pengalaman itu kan bisa didapat saat kita mulai. Kalau gak mulai, Ave mau dapat dari mana? Ya paling enggak, sekarang Ave harus punya cafe dulu kan?" ujar Ave meyakinkan sambil duduk lagi.

"Kamu pikir bangun cafe itu hanya perlu proposal dan impian aja?"

"Ya enggaklah, Pa. Makanya Ave minta sama Papa. Sampe bikin proposal resmi begini. Ave pinjam dana ke Papa, nanti Ave bayar pelan-pelan. Bukannya Ave juga udah bikin perkiraan resiko juga?" Ave membuka bagian dari proposal yang memprediksi resiko.

Papa menggeleng-geleng. Lalu tangannya menunjuk-nunjuk proposal itu berulangkali. "Ini resiko di sini enggak realistis, Ave! Yang kamu survei ini cafe mana? Yang di Sydney, yang di mal-mal mewah sini? Kamu mau bangun di mana memangnya? Pokoknya tidak! Terlalu beresiko. Terlalu tinggi."

Bibir Ave mulai melengkung. Tapi ia terus berusaha. "Pa, Ave bisa perbaiki proposal ini. Kalo perlu Ave sendiri yang survei. Tapi... Papa harus setuju ya. Kalo enggak... "

"Enggak! Cafe kamu terlalu idealis. Coba kamu tanya teman-teman cowokmu? Apa mereka mau datang ke cafe feminim gitu? Walaupun sama anaknya. Itu memalukan, tahu! Mana ada bapak-bapak gagah nyinggahin cafe princess-princess gini!" kritik Papa lagi sambil menunjuk lay-out gambar di proposal Ave.

Mata Ave menyorot kesal. "Hanya karena Papa bukan bapak-bapak gagah yang gak pernah mau ngajak Ave, jangan disamain dong!"

Papa terdiam. Sebelum akhirnya ia mendesis pelan, "Papa... tidak... setuju... "

"Kalau begitu, Ave akan balik ke Aussie. Grandpa Wilson pasti mau bantu. Huh!" Ave berdiri.

"Tunggu! Apa maksudmu?" tanya Papa. Tatapannya begitu tajam.

Ave tak peduli. Ia membalas tatapan Papanya dengan berani. "Grandpa Wilson pasti mau bantu Ave. Ave hanya ingin minta bantuan Papa dulu baru ke Grandpa. Tapi kalo Papa gak mau... "

"Baik! Tapi Papa punya syarat!"

"Syarat apa, Pa?" tanya Ave penuh semangat.

Papa tersenyum licik. Matanya bersinar saat berkata, "Kamu menikah dengan Farhan... "

"TIDAK!"

"Atau kumpulkan uang 50 juta dalam setahun!" lanjut Papa tegas.

"Baik!"

"Tanpa fasilitas apapun dari Papa, bukan sebagai anak Papa atau keluarga dari semua orang yang ada dalam keluarga besar kita," tambah Papa lagi.

"Baik!"

"Itu termasuk Emak, Ayah, Lily, Ajie... " ujar Papa memastikan putri cantiknya ini agar tidak menganggap perjanjian ini mudah.

"Ada lagi?" tanya Ave menantang.

"Kamu harus rinciin setiap pemasukan uang itu asalnya dari mana? Juga termasuk pengeluaranmu!" kata Papa mengakhiri syaratnya.

"Oke! Tanpa bantuan siapapun! Perincian pemasukan? Oke, Ave paham, Papa. Sudah itu aja? Kapan kita bisa mulai?" tanya Ave dengan penuh keyakinan dan semangat tinggi.

"Mulai sekarang."

"Oke, setuju! Deal, ya. Papa gak akan ngerubahnya kan?"

Papa menggeleng. "Papa akan suruh pengacara bikin perjanjian notarisnya besok. Perjanjian secara hukum."

Ave menghela napas, bangkit dari tempat duduknya dan berjalan naik tangga.

"Loh kamu mau ke mana? Telor mata sapi Papa gimana?" tanya Papa. Ia menatap nasi goreng di depannya dengan bingung.

Santai Ave menjawab, "Sekarang Ave bukan anak Papa lagi ya, Ave mau siap-siaplah."

"Telor mata sapi Papa?" ulang Papa lagi.

"Goreng sendiri!" jawab Ave sebal sambil keluar dari ruang makan, meninggalkan Papa yang memandangi nasi gorengnya. Untuk apa lagi memasak buat si Demon Loan Shark berkedok Papa itu?

Tapi belum lagi keluar, kakinya berhenti melangkah dan kembali ke meja makan. "Mau digorengin, Pa?"

Papa mengangguk-angguk. Matanya kembali bersinar penuh harap.

"Bayar 50 juta ya, Pa? Ave gorengin tiap hari sampe tahun depan. Gimana?" tawar Ave dengan mata berbinar.

Bibir Papa membentuk garis lurus. "Enggak! Gak usah!" jawab Papa kesal. Tangannya menyendok nasi dengan kasar, memasukkan nasi ke mulut sebanyak-banyaknya. Menganggap ia sedang ******* putrinya yang pelit itu.

Ave mengangkat bahu. Tersenyum masam. Ya sudah. Paling tidak dia sudah memulai usahanya.

Di kamar, Ave duduk di kursi belajarnya. Sekecil apapun, ia harus mengambil kesempatan. 50 juta? Tak masalah. Itu jumlah realistis dan ia pasti bisa membuktikannya. Sekarang, ia hanya harus memulai rencananya.

*****

 

 

 

 

 

 

Episode 2 - The Princesses Meeting

~ Saat para putri merencanakan sesuatu... ~

Di cafe lobby apartemen milik Jaya, berkumpullah empat orang perempuan cantik. Lily, Tiara, Natasha dan Avelia.

Lily menggeleng-geleng tak percaya. "Lu berani banget sih, Ve! Udah tau Papa tuh keras. Makin lu lawan, makin keras. Kenapa gak ngomong ke gue atau Mas Ajie dulu? Kami bisa bantuin."

Ave tersenyum masam. "Percuma, Kakak ipar gue sayang. Mas Ajie juga mana berani kalo itu udah diputuskan Papa."

"Iya sih, tapi kan harusnya sebelum itu lu ngomong ke Mas atau gue. Gak gini deh kalo gue tahu," ujar Lily, sambil tersenyum dan mengelus perutnya. "Yang satu ini bisa memuluskan permintaan apapun yang gue inginkan."

Ave menggeleng-geleng. "Gaklah, Kak. Gue gak berani gunain ponakan gitu. Lahir aja belom. Buat gue itu yang penting restunya Papa. Biar bagaimanapun, Papa juga penting banget buat gue."

"Hasilnya?" Kali ini Natty yang menyahut. "Lu kejebak sendiri kan? Terus gimana? Lu pikir ngumpulin duit 50 juta itu gampang."

Dua kepala lain ikut mengangguk setuju dengan pernyataan Natty, Tiar yang sedang sibuk menyelamatkan keranjang kentang gorengnya dan Lily yang sibuk mengambil kentang goreng Tiar setelah menghabiskan pesanannya sendiri dan Ave.

"Gue kalo gak nikah sama kakak lu, sampe kiamat juga uang segitu gak terkumpul. Apalagi sekarang," kata Lily santai. Tangannya lagi-lagi terulur, ingin menjangkau kentang di piring yang dipegang Tiar.

Tiar mendelik saat sekali lagi Lily kembali berhasil mengambil kentang. "Iiih, itu sebabnya lo pelit banget. Ketularan sama mertua dan suami ya? Dari tadi nyolong kentang gue aja!"

"Apaan sih? Kentang doang!" sahut Lily kesal. Juga sambil melotot.

"Lo hamil apa sih? Mabok kagak, rakus iye!" sungut Tiar sambil menjauhkan kentang gorengnya dari jangkauan Lily.

"Jangan jahat-jahat sama ibu hamil, Yar! Entar lo gak hamil-hamil," kata Natty sambil tertawa.

Wajah Tiar jadi masam, sementara Lily tertawa-tawa senang, mengacungkan jempol pada Natty.

Ave juga memandangi ketiganya dengan wajah lebih masam. Bagaimana mereka berdua bisa membantunya? Makan kentang saja mereka berebutan. Ia menghela napas.

Natty rupanya merasakan kekesalan Ave, maka ia menatap gadis itu dan berbicara dengan lembut, "Sudahlah, kalo hanya segitu, gue ada. Mau gue pinjamin dulu? Gue yakin dengan masakan buatan lo yang luar biasa itu, cafe lo pasti berhasil."

"Gak bisa, Mbak Nat. Gue gak mau pake cara itu. Papa pasti nertawain gue kalo begitu. Gue pengen Papa mengakui kemampuan gue. Dengan begitu, entar pas cafe gue benar-benar release, Papa gak bakal ngeledekin lagi."

"Price of pride ya guys, hahaha... " ujar Tiar sambil tertawa, diikuti yang lain. (Harga dari sebuah harga diri ya teman)

Hanya Avelia yang menekuk wajahnya kesal.

"Intinya lo tetap harus kerja. It's the only way that I can suggest to you, Mbakyuq," kata Natty menimpali. Semuanya mengangguk kompak. (Itu satu-satunya cara yang bisa kusarankan untukmu)

"Gue tahu, tapi gue harus gimana? Gue gak pernah kerja di sektor formal kayak lo semua," keluh Ave sedih.

Natty tergelak. Tangannya sibuk mengelap jarinya yang terasa lengket dengan tisu. "Artis emangnya sektor formal ya?"

"Pelatih kebugaran juga sektor formal? Sejak kapan?" Mata Tiar membulat. Ave tertawa malu.

Lalu ketiganya menatap Lily yang masih asyik menggigiti kentang Tiar yang sekali lagi tidak dijaga dengan baik. Wanita itu melongok, "Apa? Gue?"

"Lo kan mantan sekretaris, Li. At least kasih saran gitu," kata Natty bijak.

Lily tertawa kecil. Ia tak tahu harus memberi nasihat apa kalau mengingat saat ia diwawancara oleh Ajie dulu.

"Ya... Kalo saat diinterview, lu harus jujur, harus ngegambarin keloyalan lu kalo entar kerja. Hmmm... Apalagi ya? Lu juga harus berani mengkritik kalo emang diperlukan. Udah sih itu aja."

"Benarkah?" Alis Avelia terangkat sedikit. Ia teringat Ajie yang tampak stress di hari pertama saat Lily mulai bekerja. Ajie bahkan mandi cukup lama sampai ia bisa mencuri ponsel kakaknya itu.

Tiba-tiba tangan Lily terangkat. "Dan lu harus kenal pengarang buku yang bukunya bagus juga! Ingat itu!" Ia tertawa sendiri mengingat saat-saat itu.

Tatapan penuh tanda tanya terlihat di wajah ketiga perempuan di depan Lily. Maksudnya?

Avelia mengangguk-angguk. Berusaha mengerti. "Terus kalo misalnya gue gagal jawab pertanyaan gimana? Kalo gue tau interviewnya bakal gak diterima?"

Lily menyipitkan mata. "Ya udah, lu pacarin aja boss lu! Gitu aja kok repot!"

"Ealaah... hahaha! Gaya Lily banget." Natty terbahak.

"Iiiih, emang semua bos kayak laki lu, Li?"  sahut Tiar geli.

Mereka berempat tertawa berbarengan, termasuk Avelia yang menggeleng-geleng tak percaya. Tak ada saran yang serius sama sekali dari teman-temannya.

Mereka masih tertawa-tawa ketika mendadak Natty berdiri. Buru-buru mengambil tasnya. "Gue balik dulu ya."

"Loh?" Tiar menatap bingung.

"Kenapa?" Lily urung menelan kentang curiannya.

"Gue kan belum selesai, Mbak," rengek Ave.

Tapi tatapan Natty tertuju ke arah pintu masuk cafe, membuat teman-temannya juga melihat ke arah yang sama. Lily dan Tiar langsung mengerti. Hanya Avelia yang malah tersenyum lebar saat melihat seorang pemuda berjaket coklat yang sedang berbicara dengan pelayan cafe.

"Aaah, itu kan Mas Elang! Pangeran Garuda!!" pekiknya senang. Ia segera berdiri dan menghampiri Elang. Begitu dekat, wajah Elang berubah gembira dan... Ave memeluknya dengan hangat, membuat tiga rahang perempuan yang memperhatikan keduanya terbuka.

Ave menarik tangan Elang menuju tempat ketiga temannya. Mereka semua menatap heran pada Ave. Menunggu penjelasan gadis itu.

"Kak Li, lo inget yang gue cerita ada kakak baik yang selalu bantuin gue waktu di Sydney dulu?" Ave menatap Lily yang masih bengong. Dengan tak yakin, Lily mengangguk. "Nah, ini! Ini orangnya! Kak Elang ini yang bantuin Ave lulusin ujian bahasa sama bantuin waktu Ave nyari kerjaan part-time," lanjutnya.

Ave berbalik, menoleh pada Elang. "Mas, kenalin ini teman-teman Ave. Ini Lily, teman dan ipar Ave. Itu Tiar dan itu... Mbak Natty. Semuanya, kenalin ini Mas Elang. Senior Ave di UTS*."

Elang tersenyum pada semuanya. "Saya udah kenal mereka semua, Ve. Halo, Mbak-mbak semua!"

Ave menepuk dahinya. "Oh iya ya, Mas Elang nyambi jadi satpam ya di sini. Ave lupa, Mas. Terus kapan dong bener-bener ngambil alih manajemen company-nya?"

Tiga perempuan yang hanya diam mendengarnya, makin bingung dengan celoteh Avelia. Mereka menatap Elang dan Ave bergantian.

"Ve, sssttt... Jangan dibahas! Itu pekerjaan sampingan." Wajah Elang tampak malu.

"Upsss! Sorry Mas! Sorry keceplosan," kata Ave dengan nada rendah. "Gabung yuk, Mas! Minum kopi bareng kita," ajaknya.

"Sama beli kentang, Mas!" seru Lily.

Tepat saat itu, Natty mendengus. "Ya udah, gue pulang ya." Gadis cantik itu menoleh pada Avelia. "Nanti gue cariin info ya, Ve."

Belum lagi sempat dicegah, Elang menghadang langkah Natty. "Maaf, Mbak... saya ke sini karena mau bicara sama Mbak."

Natty melotot. "Mbak, Mbak, sejak kapan coba aku ngasuh kamu?"

Bibir Elang membentuk garis tipis. Buru-buru ia memperbaiki, "Kalau begitu... Ibu?  Ibu Natty?"

"Emangnya aku setua ibumu apa?" Mata Natty makin membulat. Ia tampak jengkel.

Elang makin bingung. Tapi kemudian ia tersenyum. Sedikit jenaka. "Mmm... Gimana kalo Yayang Natty?"

"Cieeeee!" Kompak, Lily dan Tiar memekik menggoda.

"Wuiiih! Mas Elang... " Ave bersiul senang.

Wajah Natty memerah. "Apaan sih!?" Lalu tanpa peduli, ia bergegas melangkah pergi, diikuti oleh Elang yang berusaha memegang tangannya, namun selalu ditepis oleh Natty. Mereka berjalan beriringan sambil berebutan tangan.

"Emangnya sejak kapan... " Ave memandangi kepergian keduanya dengan bingung.

Lily mengangkat bahu. Hanya Tiar yang berujar, "Udah lama Elang ngejar-ngejar Natty, Ve. Tapi gara-gara Elang ngerusakin mobil kesayangannya, Natty marah sama Elang. Terus tadi lagi... Kamu sama Elang kok akrab begitu? Sampe meluk-meluk gitu."

Ah, Ave lupa. Ini Indonesia. Ia terbiasa memeluk teman-teman baiknya entah itu cowok atau cewek saat di Sydney. Itu hal biasa di sana. Apalagi hubungan akrabnya dengan Elang hanya hubungan persahabatan saja. Kalaupun ada, Elang sudah seperti kakak untuk Avelia. Pengganti Ajie yang sempat terpisah karena perceraian orangtua mereka dulu. Tapi berpelukan bukan hal biasa yang dilakukan di sini. Tentu saja timbul persepsi aneh.

Tangan Ave mengibas-ibas di depannya, "Enggak ada apa-apa kok, Yar. Gue ama Mas Elang ya udah batasannya cuma temenan. Gue juga biasa gitu kok sama kakak-kakak senior waktu di Sydney. Mas Elang juga sama." Lalu ia menatap ke arah pintu dengan perasaan tidak enak. "Kalo gitu, tadi Mbak Natty pasti marah ke gue ya?"

Kali ini Lily yang melambaikan tangannya. "Tenang aja, Ve! Entar gue yang jelasin. Malah gue senang lu meluk Mas Elang tadi. Biar Mbak Natty tuh sadar kalo dia juga ada hati ke Elang. Kalo gak gitu kapan mereka jadian coba? Capek gue ngeliat mereka maen sinetron kejar daku tak tertangkap-tangkap."

Tiar dan Ave tertawa mendengarnya. Tapi kemudian mata Lily menatap tajam pada Ave.

"Ve, tapi lu mesti berentiin tuh kebiasaan lu meluk-meluk cowok sembarangan. Lu tau kan galaknya abang lu. Gue ngidam meluk tiang rumah aja dia cemburu, apalagi lu meluk cowok laen."

Tiar tertawa terbahak-bahak. Ave sudah tak sibuk menutup mulutnya yang terbuka lebar.

Satu yang tidak mereka ketahui, saat keduanya sibuk tertawa, Lily berhasil menguasai kembali piring kentang milik Tiar dan menghabiskan seluruh isinya.

*****

Author Notes:

UTS: University of Technology Sydney*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Episode 3 - Be A Real Cinderella

~ Putri sejati dilahirkan oleh keadaan, termasuk Cinderella... ~

Avelia tak menyangka kalau Papa benar-benar serius dengan kata-katanya. Hanya dalam beberapa hari menyiapkan dokumen, pria tua itu telah berhasil tersenyum lebar di depan notaris dengan perjanjian resmi di tangannya.

Jadi dengan perasaan campur aduk, Avelia benar-benar keluar dari rumah Papa, hanya dengan uang tabungan tunai sebesar 5 juta rupiah dan sebuah koper juga ransel. Untunglah, apartemen Jaya sudah lama kosong dan ia bersama istrinya, Tiar tinggal di rumah dinas.

"Hitung-hitung ada yang bersihin!" Itu alasan Tiar saat Avelia berterima kasih untuk biaya sewa yang teramat murah. Ia harus membayar Tiar sesuai perjanjian dengan Papa. Kecuali ia mendapat fasilitas dari tempatnya bekerja, semua akomodasinya harus dibayar.

Padahal Avelia masih belum tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghasilkan uang dengan cepat. Ia sudah mencoba melamar menjadi koki di beberapa restoran, tapi gajinya jauh dari harapan. Avelia belum pernah bekerja di restoran manapun di Indonesia, dan beberapa kali melakukan pekerjaan part-time selama di Sydney ternyata tak banyak membantu.

Yang membuat Avelia mengerti kemudian, alasan Papa begitu senang saat ia menandatangani perjanjian adalah... Papa telah menghubungi semua perusahaan yang ia tahu dan ia kenal, bahwa seorang gadis bernama Avelia Shamsiah Al Farizi sedang mencari pekerjaan. Dengan caranya yang halus, hampir semua perusahaan yang didatangi Avelia selalu menolaknya.

Bahkan yang menyebalkan Avelia saat mendengar informasi dari Lily.

"Ve, lo mau merit sama siapa?" tanya Lily melalui telepon.

Kening Ave berkernyit. "Maksud lo apa, Kak?" tanya Ave. Sekarang ia harus memanggil Lily dengan sebutan itu. Ajie sudah berkali-kali menegurnya. Pria itu tak mau saat anaknya lahir melihat sang adik yang tak sopan pada istrinya.

"Ini loh... Papa minta bantuan Emak buat nyariin perancang baju pengantin dan kebaya buat nikahan. Trus Emak gue nanya ke gue, emang lo mau nikah ama siapa?"

Ave menghembuskan napas kuat-kuat. Duh Papa. Belum juga seminggu!

"Gak ada, Kak. Papa pasti ngerasa udah menang, makanya dia siap-siap gitu. Enggak deh! Lupakan! Bilang aja ke Emak kalo gue gak mau nikah."

"Hahaha. Nikah aja, Ve. Enak kok nikah itu! Ada yang lo bantai suka-suka lo tiap hari. Ada yang lo jahilin tiap hari. Tapi yang paling nyenengin itu ada yang belain lo depan siapapun. Beneran. At least gue udah buktikan." cerita Lily penuh semangat. Terdengar suara berat seseorang di dekat Lily. Lalu Ave bisa mendengar suara perdebatan disertai tawa di ujung telepon. Ave ikut tersenyum. Pasti itu Ajie yang sedang protes.

"Eh itu mah elo kali, Kak! Mas gue aja **** mau punya bini model lo." Tawa Lily terdengar, membuat senyum Ave mengembang lagi, teringat wajah Masnya yang juga sering tertawa sendiri sekarang. Mungkin kekonyolan istrinya sudah menular padanya. Tentu saja, Ave juga ingin punya pernikahan bahagia seperti itu. Tapi tidak sekarang.

"Yee makanya. Lo gak ngiri punya laki model gitu?"

"Masalahnya gue mau dijodohin sama anaknya teman Papa yang gue juga gak tahu siapa," kata Ave murung.

Terdengar helaan napas Lily. "Hmmm, iya juga ya."

Untunglah, beberapa hari kemudian, sebuah petunjuk akhirnya datang juga. Saat ia menerima pesan Whatsapp dari Natasha.

[Natty: Ve, can we meet?]

[Ave: Sure, Mbak. Where? Now? I'm in the apt now.]

[Natty: Wait for me in the cafe apt ya. 3 pm ya.]

[Ave: Yes, OK.]

Sore itu, saat Ave memasuki cafe, Natty sudah duduk dekat jendela. Seperti biasa, gadis cantik itu menggunakan kacamata hitam meskipun berada di ruang tertutup. Baru beberapa kali Ave bertemu dengannya, tapi ia menyukainya. Meski usia mereka berselisih hampir empat tahun, tapi sejak Ave tahu kalau Natty dekat dengan Elang, ia ingin menjadikannya sebagai sahabatnya juga.

"Sudah dapat pekerjaan, Ve?" tanya Natty begitu Ave duduk.

Ave menggeleng dengan cepat.

"Lily cerita ke gue, kalo lo dipersulit sama Papa. Trus gue tanya ke Ajie juga, kalo dia diancam kalo bantuin lo. Nah Ajie pengen gue bantuin lo. Gimana? Mau?"

"Iya iya iya mau, Mbak. Ave mau banget, Mbak!" jawab Ave penuh semangat.

Natty melepas kacamata hitamnya. "Tapi dengan satu syarat."

"Apa itu, Mbak?" tanya Ave.

Wajah perempuan di depannya tampak ragu. Lalu setelah melipat bibirnya sebentar, Natty pun membuka suara. "Mmmm... Tolong ceritakan gimana kamu ketemu sama Mas Elang. Tapi yang jujur. Please, Ve!"

Ave mengerjapkan matanya dua kali. Berusaha memahami situasi di antara dirinya dan Natty, sebelum berpikir mengenai Elang. Lalu ia teringat kata-kata Lily soal Natty dan Elang. Ia paham sekarang.

"Mbak\, Mas Elang sama Ave itu kenalnya waktu di Sydney. Kami sama-sama kuliah di UTS*. Mas Elang ambil ElMec*\, Ave ambil CW* (Baca. si double u). Kebetulan dia itu senior yang sama-sama orang Indonesia. Kami ketemu waktu Ave baru masuk dan kesulitan lulus ujian English. Mas Elang itu juga bantuin Ave waktu nyari kerja di sana."

{A/N: UTS: University of Technology Sydney, Elmec: Electrical and Mechatronic - Engineering, CW: Creative Writing - Communication}

"Terus... berapa lama kalian begitu? Selama kamu kuliah?" selidik Natty sambil menghirup kopinya.

Ave menggeleng. "Enggak! Hanya sekitar dua tahunan karena habis itu Mas Elang langsung balik ke Indo. Kan dia udah selesai."

Natty menatap Ave, lalu tersenyum tipis. Tangannya saling terkait. "Apa... hubungan kalian murni hanya teman?"

Untuk sesaat Ave ingin berbohong tapi kemudian ia mengangguk pelan. "Bisa dibilang, Ave juga pernah punya perasaan sama Mas Elang... Oh, tolong dengerin dulu, Mbak!" Tangan Ave terangkat menahan pertanyaan Natty. "Siapa yang gak jatuh cinta sama cowok setampan Mas Elang? Sudah gitu dia doang yang baik sama Ave di sana, Mbak. Ave belum pernah kenal sama cowok sedekat itu dan kakak sendiri... Mbak tau kan? Kami terpisah karena orangtua. Apalagi saat itu Mama juga udah gak ada. Ave sendirian dan ada Mas Elang."

"Lalu Mas Elang sendiri?" tanya Natty.

Ave menggeleng. "Gak pernah, Mbak. Mas Elang benar-benar hanya nganggap Ave temannya. Setidaknya itu yang dia jelaskan ketika Ave tanya kenapa dia gak punya pacar dan kenapa gak jadiin Ave pacarnya aja biar gak usah capek nyari. Tapi Mas Elang bilang, bahwa selamanya Ave adalah adik paling ia sayangi."

"Itu saja?" tanya Natty. Ave mengangguk.

Senyuman mulai menghiasi wajah Natty saat ia menyandarkan punggungnya yang tegang ke sandaran kursi. Rupanya penjelasan Ave berhasil melenyapkan semua rasa penasarannya setelah melihat kedekatan hubugan Ave dan Elang. Lily memang menjelaskan, tapi tak cukup meyakinkan.

Sementara Ave berusaha tetap tersenyum manis. Ada satu hal yang tak ia ceritakan seutuhnya. Bahwa saat Elang menolak cintanya, Ave-lah yang menghilang dari pria itu. Berhenti dari tempat kerjanya dan pindah apartemen. Saat yang sama, Elang juga harus kembali ke Jakarta. Hampir setahun setelah mereka berpisah, Ave bertemu dengan Elang secara tak sengaja saat di kampus mereka lagi. Saat itu Elang sedang mengunjungi mantan dosennya sambil berlibur. Barulah, keduanya kembali berhubungan selayaknya dua teman biasa. Walaupun kini hanya sekadar bertegur sapa dan saling bertanya kabar.

Satu hal yang membuat Avelia takut untuk jatuh cinta lagi. Karena sebuah penolakan, tak hanya meninggalkan luka di hati tapi juga trauma malu.

"Tapi... Kalau Elang alumni kampus di Sydney, kenapa ia bekerja sebagai satpam?" tanya Natty bingung.

Ave tersenyum pada Natty. "Mbak udah coba nanya ke Mas Elang?" tanyanya kalem.

Natty menggeleng. "Gue ragu, Ve. Dia punya banyak rahasia. Gue gak tau apa-apa soal dia, tapi semua tentang gue, dia tahu. Gue takut... diperalat. Gue udah terlalu sering digituin."

Ave teringat cerita Lily tentang hubungan dekat Ajie dan Natasha yang bahkan ditandai dengan sebuah kontrak resmi. Ajie dan Papa memang mirip sekali.

"Ave gak bisa ngomongin alasannya, Mbak. Sebaiknya Mbak yang tanya. Yang jelas, menjadi satpam itu bukan pekerjaan utama Mas Elang. Dia juga tinggal di apartemen itu kok. Mas Elang punya pekerjaan lain. Ave juga gak tau tepatnya apa."

Natty mencondongkan tubuhnya. "Tapi kamu tahu soal ini dari mana?"

"Itu karena Ave nanya."

"Lalu apa yang terjadi? Kenapa masih diterusin kalo dia punya kerjaan lain?"

Ave menggeleng. "Ave gak tau kalo soal itu, Mbak. Tapi yang jelas Mas Elang itu hanya malam aja kerja sebagai satpam. Itupun paling 2-3 jam. Kalo siang dia ngerjain pekerjaan utamanya itu. Tapi Ave gak tau ini bener atau enggak. Mbak bisa konfirmasi langsung aja ke Mas Elang, hehehe."

Suasana cafe yang sepi, makin terasa sepi saat Natty diam tanpa merespon apapun. Ave jadi tidak enak.

Ave tersenyum pada Natty. "Kami udah gak seakrab dulu sejak di Jakarta, Mbak. Ave malah baru ngobrol lama ya pas kita ketemu kemaren waktu di cafe itu. Kalo ngelihat dia pas lagi tugas, biasanya hanya sapa-sapa aja. Cuma setahu Ave nih Mbak... dari dulu dia suka nonton film dan drama Mbak. Sejak di Oz*."

{A/N: Oz: Australia - Oz from Aus}

"Masak sih?" Wajah Natty merona mendengar itu. Tapi Ave senang, itu artinya Natty tak lagi curiga padanya.

"Ada lagi yang Mbak pengen tahu soal Mas Elang?" tanya Ave. Ia tak sabar ingin menejelaskan semua pada Natty. Jadi jika bisa membersihkan namanya dari dugaan yang tidak-tidak, itu harus dilakukan segera.

Tapi Natty malah menggeleng dan menyodorkan sebuah kartu nama. "Kalo begitu, ini lo coba lamar ke sini. Ini perusahaan teman gue. Perusahaan iklan. Dia nawarin gaji yang lumayan buat tenaga magangnya, apalagi kalo sering lembur atau ada proyek, bonusnya bakal bikin tabungan lo cepet nambah."

"Eh, iklan? Tapi kantornya Mas Ajie... "

Telunjuk Natty bergoyang bolak-balik di depan hidungnya. "Tenang aja! Yang satu ini pasti menghindari dan dihindari oleh semua perusahaannya Ajie. Gue bisa pastiin itu!"

"Benarkah? Oh makasih banget ya, Mbak. Makasiiiih banget." Ave meraih tangan Natty penuh rasa terima kasih.

Tangan Natty yang lain menepuk balik tangan Ave perlahan. "Satu hal lagi, lo harus tahu kalo direktur perusahaan ini tak mau berurusan dengan Ajie. Itu artinya lo harus ngerahasiain siapa kamu, Ve. Bisa?"

Ave mengangguk penuh keyakinan. "Tapi dia gak tau siapa Ave kan, Mbak?"

Ganti Natty yang mengangguk. "Iya, dia gak tahu. Hanya saja sebaiknya lo gak bilang lo lulusan UTS. Pakai saja ijazah SMA karena kalo tenaga magang di kantornya gak perlu lulusan sarjana. Hanya perlu lulusan SMA."

"Oh begitu? OK!" kata Ave. Dalam hati ia bersyukur. Akhirnya ada juga petunjuk yang tampak menjanjikan.

Itu sebelum ia kembali ke apartemen, melewati jajaran kotak surat dan menerima tumpukan surat-surat serta informasi tagihan bulanan. Matanya hampir keluar ketika melihat tagihan utilitas bulanan apartemen kecil mungil itu. Hampir separuh dari uang tunai yang diberikan Papa!

Dengan panik, Avelia berlari menuju unitnya, membuka secepat kilat dan mulai mematikan semua yang memakai listrik.

Tagihan bulan ini memang masih dibayar oleh Tiar dan Jaya, tapi bulan depan ia sudah harus menanggungnya sendiri. Ave teringat kebiasaannya yang praktek memasak dengan gas sesuka hati, memanaskan makanan dengan memakai microwave begitu sering, mandi berendam dengan air memenuhi bak, lampu-lampu yang terang benderang di seluruh ruangan dan AC yang selalu diputar maksimum untuk mendinginkan seisi rumah. Kalau ia ingin selamat dari tagihan luar biasa seperti yang sekarang tertera dalam tagihan.

Dalam keheningan malam yang gelap, Ave duduk di sofa ruang tamu yang gelap gulita. Hanya ada satu lampu tidur yang temaram. Kain tipis gorden bertiup melalui sela jendela yang sengaja dibuka Ave untuk memberi hawa pada ruangan yang tak lagi berpendingin itu. Ave memilih tidur di ruang tamu menghadap jendela terbuka, agar tak kepanasan.

Sepanjang malam, ia sibuk memikirkan program penghematan. Mungkin memasak sekali sehari bisa menghemat gas. Atau tidur dalam keadaan gelap seperti ini tiap hari. Juga ide untuk mandi ketika tubuhnya sudah benar-benar tak tertolong lagi baunya. Entahlah... saat ini menghemat adalah cara lain untuk mengurangi beban pengeluaran. Tak apa ia bau. Tak apa ia makan seadanya. Nanti ketika cafenya terwujud, Ave akan memakai listrik, gas dan air sebanyak-banyaknya. Kalau perlu ia mandi berendam dua kali sehari. Terakhir ia sudah harus berpikir untuk tinggal di kamar kost saja. Hidup di apartemen terlalu mewah bagi seorang gadis mendadak miskin sepertinya. Bahkan dengan harga sewa hampir gratis.

Sebelum matanya terpejam, Ave mengambil kesimpulan.

Aku adalah seorang Cinderella nyata di dunia modern. Seorang putri yang termakan oleh omongannya sendiri.

*****

 

 

 

 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!