...HAPPY READING...
...•...
...•...
...•...
Hai, guys. Kembali lagi dengan Aya. Kali ini aku mau coba buat cerita di Noveltoon ya xixixi, happy reading all.
...•••••••••••••••••••••••••••••...
Seorang gadis berjalan di lorong kampus dengan menenteng totebag yang di dalamnya ada beberap map. Gadis itu berjalan menuju toilet, setelah kelas pertama tadi dia kebelet dan memilih untuk ke toilet dulu sebelum ke kantin bersama kedua sahabatnya. Saat ingin masuk ke dalam toilet gadis itu mendengar suara rintihan seseorang, karna merasa penasaran dia memilih untuk pergi ke lorong yang sepi.
Langkah nya terhenti melihat seorang pria yang memakai jaket hitam di belakangnya ada logo gangster yang sangat di takutin banyak orang.
Gadis itu melihat dengan sangat jelas, jika pria itu sedang menyiksa seseorang.
Merasa di perhatikan pria itu melirik kearah belakang, dimana ada seorang gadis menggunakan hoodie pink serta rok pendek. "Ngapain lo di situ?"
Chika Arumitha. Gadis cantik keturanan Inggris tersentak kaget karna ketahuan memperhatikan seorang pria yang sudah di kenal psikopat oleh banyak orang. "V--vano, aku tadi nggak sengaja denger suara rintihan, jadi aku cari asal suara itu," gugup Chika ketika di tatap tajam oleh pria yang ada di hadapannya dengan jarak yang cukup jauh.
Alvano Narendra. Seorang psikopat yang di takutin banyak orang karna kekejaman pria itu. "Pergi, sebelum gue bunuh lo."
Chika mengangguk pelan. "Maaf."
"Tunggu. Nama lo, Chika Arumitha?" cela Vano saat gadis itu ingin pergi dari lorong.
"Iya, ada apa ya?" tanya Chika.
Vano tidak menjawab pertanyaan Chika. Pria itu melirik kearah tikus kecil yang kini sudah lemas tak berdaya di lantai. Dengan santai tanpa ada rasa takut Vano memutuskan urat nadi tikus kecil nya yang di saksikan oleh Chika.
Gadis itu menutup mulutnya, dia kaget. Ini pertama kalinya buat Chika melihat orang seperti Vano yang membunuh orang tanpa ada rasa bersalah sama sekali. "Dia beneran psikopat," gumam Chika.
Sedangkan Vano hanya acuh. Ia mengelap kembali pisau kesayangannya yang di lapisin oleh perak. Vano menghampiri Chika lalu menarik pergelangan tangan gadis itu dan pergi menjauh dari lorong yang sepi tadi.
Chika hanya diam. Dia masih sangat syok dengan apa yang dia liat barusan.
Mereka pergi ke taman kampus. Vano menatap datar Chika. "Apa yang lo liat tadi?" tanya Vano.
Chika gugup mendengar pertanyaan Vano. Oh, ayolah, siapa yang tidak akan gugup jika sudah berhadapan oleh seorang psikopat. "Aku liat kamu bunuh orang dan siksa orang itu," cicit Chika yang tidak berani menatap mata Vano.
"Nikah sama gue!" celetuk Vano.
Chika terbelalak mendengar celetukan pria yang ada di hadapannya. "No Kidding, Vano!" ucap Chika yang berpikir celetukan pria itu adalah hanya sebuah lelucon.
"Gue nggak bercanda." Vano menjeda ucapannya. "Lo udah liat gue bunuh orang, dan gue pastikan hidup lo nggak akan aman sebentar lagi. Satu hal yang harus lo tau, siapa pun yang melihat aksi gue tadi, hidup dia nggak akan tentram. Karna apa? musuh gue bisa ber'anggapan kalo lo adalah orang terdekat gue, dan pastinya mereka akan menjadikan lo sebagai umpan," jelas Vano.
Chika bungkam. "Van, tapi gue masih kuliah. Dan gue sama lo juga nggak saling kenal, gue nggak mungkin nikah sama laki-laki yang baru gue kenal," ujar Chika.
"Pilihan lo cuman dua. Nikah sama gue, atau mati di tangan musuh-musuh gue." Vano pun pergi dari hadapan Chika. Pria itu memasuki mobilnya lalu pergi menjalankan mobilnya keluar dari area kampus.
Masih di tempat yang sama Chika terdiam. Dia mencerna semua ucapan Vano. Apa ia karna hanya melihat aksi pria itu dirinya jadi tidak aman? atau hanya akal-akalan Vano saja.
Chika menghela nafas kasar. Gadis itu memilih untuk kembali masuk ke dalam area kampus nya, ia mau menemui kedua sahabatnya dan curhat kepada mereka.
Kalo di tanya ingin menikah atau tidak, jawaban nya pasti mau. Apalagi nikah sama anak keluarga Narendra. Keluarga terkaya nomor 1 di dunia, dan putra Narendra yang memiliki paras tampan, datar, sikap dingin, tajir, siapa pun tidak akan menolak ucapan Vano jika di ajak menikah.
Tapi, bagi Chika bukan masalah paras nya, atau segi ekonomi. Ia mau menikah dengan pria yang dia sendiri mengenal pria itu, begitu pun sebaliknya. Bukan hanya itu, Chika juga mau menikah dengan orang yang mencintai dirinya.
Chika menghampiri kedua sahabatnya yang duduk di pojok kantin. "Maaf telat ya."
Jessy dan Karina menatap kearah teman mereka yang baru saja sampe di kantin. "Kok lo lama banget? padahal cuman ke toilet loh, Chik," ucap Karina.
"Iya, maaf."
Jessy menatap sahabatnya yang sepertinya sedang gelisah. "Kamu kenapa?"
"Aku di ajak nikah sama Vano," celetuk Chika.
Uhuk uhuk uhuk
Karina langsung tersedak air putih mendengar celetukan Chika. Gadis itu menatap sahabatnya dengan terkejut, bukan hanya Karina. Jessy juga ikutan terkejut mendengar celetukan dari sahabat mereka.
"Lo bercanda kan?" kata Karina tak percaya.
Chika menggelengkan kepalanya. Tanpa sadar dia meneteskan airmata yang membuat kedua sahabatnya kaget. "Hikss, aku harus gimana?"
Jessy mengelus punggung Chika. "Coba jelasin dulu ke kita, gimana bisa Vano ngajak kamu nikah? sedangkan kalian berdua aja jarang ngobrol loh," ucap Jessy.
Chika mulai menjelaskan semuanya kepada para sahabatnya. Karina dan Jessy menyimak, mereka cukup terkejut mendengar penjelasan dari Chika sekarang.
Setelah cerita semua ke para sahabatnya Chika merasa lebih lega. Gadis itu meminun jus alpukat miliknya yang sudah di pesankan tadi oleh Jessy.
"Lo terima aja ajakan Vano. Apa yang dia bilang bener, emang lo mau mati di usia muda?" Chika menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Nggak. Tapi, gimana sama kuliah aku? orang tua aku yang ada di London? Mereka pasti akan kaget denger aku mau nikah di usia muda," ucap Chika.
Jessy menepuk pundak Chika. "Kamu omongin baik-baik. Aku yakin kalo keluarga kamu pasti paham, dan masalah kuliah kan gapapa kalo ada yang nikah," ucap Jessy.
"Nah, betul tuh kata, Jessy," timpal Karina.
"Demi kebaikan lo juga, Chik. Lagian apa salah nya nikah sama seorang Alvano Narendra? Udah ganteng, tajir lagi," sambung Karina.
Chika menghela nafasnya. "Bukan itu, aku nggak cinta sama Vano. Begitu pun dengan sebaliknya," ragu Chika.
"Cinta datang seiring jalannya waktu. Kayak aku sama Nevan gimana? Kami menikah karna di jodohkan, sekarang aku udah punya satu anak dari pernikahan kami," kata Chika.
Karina mengangguk. "Nah, bener. Dulu gue juga gitu kok sama Farel, walaupun dia emang suka bikin gue emosi, tapi makin kesini gue malah takut kehilangan dia," ujar Karina.
"Yaudah, makasih sarannya." Jessy dan Karina mengangguk. Keduanya berharap jika Chika selalu di dalam lindungan Tuhan.
Menikah dengan seorang Alvano Narendra juga ada resiko nya.
...^<>^°°°°°^<>^...
Di sebuah mansion yang besar dan sangat luas seorang pria paruh baya tengah berdiri di dekat kolam renang. Pandangan nya tertuju pada pria yang berusia 21 tahun yang tengah berenang di kolam tanpa sadar jika sedang di perhatikan.
Alvano, pria yang sedang berenang itu adalah dia. Setelah dari kampus Vano memutuskan untuk pulang ke mansion, dia sangat lelah. Karna seharian belum tidur sama sekali, di usia yang yang sekarang 21 tahun sudah memegang banyak amanah dari kedua orang tuanya.
Vano yang harus mengambil alih perusahaan Narendra'Group dan juga FBI milik keluarga nya. Bukan hanya itu, Vano juga masih harus ikut turun tangan ketika ada misi yang sangat berat dan berbahaya.
Setelah selesai berenang Vano menghampiri pria paruh baya yang sudah menunggu nya. "Ada apa paman?"
"Vano, situasi semakin berbahaya. Mereka mengincar kamu dan seorang gadis yang bersama dengan mu tadi. Lebih baik kamu dan dia pergi dulu dari Indonesia untuk sementara waktu, mereka pasti sedang merencanakan sesuatu buat kamu," jelas Paman.
"Apa harus aku pergi? Kenapa tidak kita lawan saja? Jelas mereka akan kalah, apalagi anggota ku banyak, paman." Vano yang tidak mau pergi, dia mau stay di Indonesia.
Sang paman mengangguk paham. "Lalu, gadis itu? apa kamu tega melihat dia yang akan menjadi umpan mereka nantinya," katanya.
Vano diam, kini pikirannya tertuju pada Chika. "Baiklah, aku dan dia akan pergi untuk sementara waktu. Tolong siapkan jet pribadi, dan sedikit barang-barang ku." Vano pun masuk ke dalam mansion, dia ingin membersihkan tubuhnya.
Setelah membersihkan tubuhnya dan semua barang keperluan Vano sudah di rapihkan ia pun langsung pergi dari mansion menggunakan mobil sport nya. Vano melajukan mobilnya menuju apartemen Chika yang tidak jauh dari kampus mereka.
Bagaimana Vano tau? Jawabannya, dia sudah tau semua tentang Chika. Bahkan asal gadis itu, tempat tinggal, dan tentang keluarga Chika yang ada di London.
Vano melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia tidak takut mati di tangan musuhnya, yang Vano takutin jika Chika yang akan menjadi sasaran pertama para musuhnya.
Vano melirik kearah spion mobilnya, seperti ada yang mengikutinya. Vano mengeluarkan smirk, dia menambah kecepatan mobilnya dengan tinggi.
Sedangkan di tempat lain seorang gadis baru saja selesai mandi. Chika duduk di ruang tv yang ada di apartemennya, gadis itu sangat lelah banget setelah seharian beraktivitas di kampus.
Chika menatap jam yang terpasang di dinding. "Laper banget, makan apa ya malem ini?" Chika bangkit dari duduknya lalu pergi menuju dapur untuk masak makan malam.
Ting tong
Chika melirik kearah pintu karna mendengar suara bel. Gadis itu berdecak kesal karna ada tamu yang membunyikan bel apartemennya terus menerus. Dengan kesal Chika membuka pintu apartemen dan terkejut melihat kedatangan Vano.
Vano masuk ke dalam apartemen Chika lalu menutup pintu. "Vano, kamu ngapain disini?"
"Jangan banyak tanya, sekarang rapihin barang-barang lo! Kita harus pergi," ucap Vano tanpa menjawab pertanyaan dari Chika.
Chika mengerutkan keningnya. "Kita mau kemana?" tanya Chika.
"JANGAN BANYAK TANYA, CHIKA! LO BERESIN BAJU-BAJU LO SEBELUM MEREKA NEMUIN KITA!" bentak Vano.
Kaget, tapi Chika langsung mengangguk. Dengan cepat gadis itu masuk ke dalam kamar nya untuk membereskan semua barang-barang miliknya ke dalam koper.
Vano mengeluarkan ponselnya, ia mau menghubungi paman Jack. "Hallo paman, tolong kirim 20 bodyguard ke apartemennya Chika! Aku di ikutin oleh mereka saat menuju ke apartemen," ujar Vano.
"Baik, Vano. Paman akan segera kesana dan beberapa bodyguard, kamu tunggu disana."
Vano memutuskan sambungan telpon nya secara sepihak. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Vano takut jika orang-orang itu berhasil menemui dirinya disini dan berakhir Chika akan terkena juga.
Tidak lama kemudian Chika menghampiri Vano dengan menyeret koper berukuran sedang. "Kita mau kemana sih?"
Vano melirik kearah sumber suara. "Jangan banyak tanya! Lo ikutin gue aja kalo mau selamat!" tegas Vano. Chika bungkam, dia tidak mau membuka suara lagi.
Vano menarik pergelangan tangan Chika lembut. Mereka keluar dari dalam apartemen gadis itu dan berjalan menuju lift, Chika bingung kenapa Vano terlihat sangat gelisah? Ini ada apa sebenarnya.
Di dalam lift hanya ada keheningan. Hawanya sangat dingin. Benar-benar dingin, apalagi Vano terlihat sangat emosi.
Takut? sedikit.
Saat pintu lift terbuka Vano terkejut, ia langsung membawa Chika ke dalam pelukannya. Pria itu memakai topi miliknya. "Jangan brisik, ikutin gue aja," bisik Vano.
Chika hanya mengangguk.
Perlahan Vano keluar dari dalam lift dengan Chika yang ada di pelukannya. Vano melewati para musuh nya yang ada di dekat resepsionis, dirinya hanya santai aja tanpa ada rasa takut.
Di dalam pelukan Vano, Chika merasa sangat deg-deg an. Ini kali pertama dia dekat dengan seorang pria asing, kecuali sang daddy.
Seorang pria berpakaian serba hitam memperhatikan Vano dan Chika yang baru saja keluar dari lift.
"ITU VANO!" teriak seseorang.
Vano terkejut, dengan cepat dia menarik tangan Chika dan berlari keluar apartemen dengan cepat. Mereka seperti main kejar-kejaran sekarang, dimana Vano dan Chika yang berlari dari para musuh yang mengikuti Vano.
"Arghh Vano tolong," pekik Chika ketika tangannya di tarik dari belakang.
Vano memberhentikan langkahnya, ia menatap Chika yang kini ada di dalam kepungan musuhnya. "BRENGSEK!"
Bugh
Vano berlari kearah mereka dan menarik tangan Chika dengan kasar. "JANGAN PERNAH LO SENTUH CALON ISTRI GUE, BANGSAT!" hardik Vano.
Chika bersembunyi di belakang tubuh Vano. Jujur, dia takut. Apalagi melihat pria yang ada di depannya sudah terjulur emosi. "Van, takut.."
"Masuk ke dalam mobil, NOW CHIKA!" Gadis itu pun menurutin perintah Vano.
Setelah Chika masuk ke dalam mobil, Vano menatap tajam semua anak buah dari Arthur. Musuh bebuyutan nya, entah apa penyebab nya yang membuat Arthur sangat membenci Vano.
Tanpa banyak bicara Vano langsung menyerang semua anggota Arthur dengan tangan kosong. Pria itu memukul, menendang, para anggota Arthur berulang kali. Vano sendiri melawan 15 orang suruhan Arthur tanpa bantuan apapun.
Bugh
Bugh
Bugh
Vano mencekik leher tangan kanan Arthur. "LO BILANG SAMA ATASAN LO JANGAN MAIN KOTOR ANJING! MASALAH DIA SAMA GUE, JANGAN LIBATKAN CHIKA DALAM MASALAH INI!" hardik Vano.
Bugh
"Jangan jadi leader kalo nggak turun tangan sendiri. Banci sih, Arthur!" ejek Vano.
Pria itu masuk ke dalam mobilnya dengan cepat lalu melajukan mobil miliknya menuju bandara. Chika? dia masih takut. Baginya, hal tadi yang dia liat seperti mimpi buruk buat Chika sekarang.
Vano melirik kearah Chika sebentar. Vano menepikan mobilnya, ia menarik Chika ke dalam pelukan. "Maaf, lo jadi takut kan?" Chika hanya membalas dengan anggukan singkat.
"Chika, dengerin gue. Mulai saat ini gue bakal lindungin lo. Apapun keadaannya gue akan selalu ada buat lo, entah susah atau senang. Dan, gue mau lo nikah sama gue. Hidup lo pasti nggak akan aman setelah ini, Arthur pasti akan libatkan lo dalam masalah gue sama dia," jelas Vano.
Chika melepaskan pelukannya, dia menatap manik mata Vano dalam. "Kamu gapapa? mereka nggak apa-apain kamu kan? Vano, ayo jawab. Kamu nggak ada yang terluka kan?" tanya Chika yang melihat keadaan Vano.
"Gue gapapa. Justru gue yang harus tanya, lo gapapa kan? Tadi mereka nggak buat lo terluka?" Chika menggelengkan kepalanya.
Gadis itu memeluk tubuh Vano dengan erat. "Jangan tinggalin aku. Aku takut, takut mereka datang lagi," lirih Chika.
Vano tertegun, ini kali pertama dia berpelukan dengan seorang gadis. Vano mencoba tenang, dia mengelus rambut panjang Chika yang terasa sangat lembut. "Iya, gue nggak akan pergi ninggalin lo," bisik Vano.
......•••••••••••••••••••......
......**Jangan lupa follow @amlanrl @wattpadadmla_......
......See you next part!🖤**......
...HAPPY READING!!!...
Author POV
Kini Vano dan Chika berada di bandara, keduanya sedang menunggu paman Jack yang katanya akan ke bandara dan sedang berada di perjalanan. Chika duduk di kursi yang kosong. Vano? dia duduk di sebelah Chika dan hanya fokus pada ponselnya itu. Sesekali pria itu melirik kearah Chika yang sedang membaca buku, entah buku apa yang gadis itu baca.
Tidak berselang lama paman Jack dan 20 bodyguard datang. Vano bangkit dari duduknya. "Bagaimana, apa Arthur sudah bisa di temukan?" tanya Vano.
"Maaf, Vano. Paman dan yang lain tidak berhasil menemukan Arthur. Sepertinya dia bersembunyi dan tidak mau menunjukan dirinya," jawab paman Jack.
Vano mengangguk paham. "Tak apa, Paman."
Paman Jack melirik kearah Chika. "Dia, gadis yang kau maksud?" Vano mengangguk.
"6 bulan lagi aku akan kembali, dan aku harap Paman dan yang lain bisa menjaga diri kalian," ujar Vano.
Jack tersenyum tipis. "Kamu tidak usah memikirkan Paman. Yang terpenting itu keselamatan kamu. Lebih baik kamu pergi sekarang, situasi belum aman untuk kalian." Vano mengangguk.
Vano menepuk pundak Chika pelan. Chika menoleh kearah pria yang ada di hadapannya, dia menatap Vano bertanya-tanya. "Kita ke pesawat sekarang."
Chika menutup bukunya lalu bangkit. Dia memakai jaket kulitnya, gadis itu memasuki kembali bukunya ke dalam tas ransel kecilnya. "Ayo."
"Kami pamit, Paman." Vano pun pergi dari hadapan paman nya lalu menarik pergelangan tangan Chika.
Paman Jack menatap kepergian Vano. Sedih, karna harus jauh dari ponakannya. Ini kali pertama buat Jack jauh dari Vano, dia juga tidak mau egois. Vano harus pergi, banyak orang yang menginginkan dia mati.
Senyuman terbit di sudut bibir Jack. "Semoga kalian aman," gumam Jack.
Jack melirik kearah anak buahnya. "Katakan pada Letnan, jika Vano akan ke London selama 6 bulan. Perketat keamanan dia dan juga keluarga Chika! Jangan sampe terjadi sesuatu kepada mereka," ujar Jack dingin.
"Baik, Tuan Jack."
Di dalam pesawat Chika dan Vano duduk saling berhadapan. Chika masih bingung, sebenarnya dia mau di bawa kemana oleh pria yang ada di hadapannya? Kenapa setiap di tanya hanya diam.
Chika berdeham pelan yang membuat Vano melirik kearah gadis itu. "Van, kita mau kemana?" tanya Chika.
Ck, Vano berdecak kesal. "Lo nggak bosen apa daritadi nanya kek gitu? Gue yang denger aja sampe bosen," ucap Vano.
"YA, MAKANYA JAWAB DONG. PUNYA MULUT BUKANNYA JAWAB MALAH DIEM AJA!" pekik Chika kesal.
Vano melotot, baru kali ini ada gadis yang berani teriak kepada dirinya. Dan itu hanya Chika Arumitha yang berani. "Lo jadi cewe berisik banget," ketus Vano.
Sedangkan Chika hanya diam, dia sudah malas berbicara dengan orang seperti Vano. Sangat menguras emosi, dia nanya malah di katain cewe berisik oleh pria itu.
"Chika," panggil Vano.
Chika hanya membalas dengan dehaman singkat.
"Lo marah?" Chika tidak membalas ucapan Vano, biar saja pria itu berpikir sendiri.
Vano menghela nafasnya. "Sorry, gue mau bawa lo ke London." Sponta Chika langsung melirik kearah Vano.
Gadis itu kaget, untuk apa mereka ke London? Apalagi disana ada keluarganya. "Ha? Kita mau ngapain?" kaget Chika.
"Ketemu keluarga lo, gue mau minta restu." Chika semakin terkejut, kali ini benar-benar terkejut.
"Are you kidding?" Vano menggeleng. "I'm not kidding, Chika." Vano serius. Pria itu memang berniat mau mendatangkan kediaman Chika yang ada di London.
Chika meremas ujung jaketnya. Entah kenapa dia merasa gelisah, gugup. Itu artinya, Vano beneran akan menikahi dirinya? Apa ini akan menjadi takdir hidupnya yang baru? Menikah di usia muda 20 tahun?
"Tatap mata gue!" tegas Vano.
Saat Chika menatapnya, Vano menaikan sebelah alisnya. "Lo nggak yakin sama gue?" Chika langsung menggelengkan kepalanya. "Bukan gitu, aku cuman kaget aja. Apa harus nikah sekarang? I mean, nggak bisa pas udah lulus?" ucap Chika.
"Kalo bukan karna mau lindungin lo gue juga nggak mau nikah." Chika bungkam. Apa maksud perkataan Vano barusan? Dia tidak mau menikah?
Vano bangkit dari duduknya, dia pergi ke dalam toilet yang ada di pesawat.
Chika menerjabkan matanya. "Pasrah deh, nikah nikah dah gue." Gadis itu pasrah, mau dia seperti apa juga tidak akan ada gunanya sekarang. Kedua orang tuanya juga pasti setuju, apalagi sang Mommy sudah menyuruh dirinya menikah terus.
Di dalam toilet Vano membasuh wajahnya. Apa tindakannya benar? Menikahi gadis yang baru dia kenal berapa jam lalu hanya untuk melindungi gadis itu dari musuhnya?
Bisa saja Vano melindungi Chika tanpa harus menikah. Namun, pastinya Arthur akan melakukan hal licik ketika ia sedang lengah. "Apapun resikonya gue terima," gumam Vano.
Vano keluar dari dalam toilet dan kembali ke tempat duduknya. Saat Vano kembali dia melihat Chika yang sekarang sudah tertidur, perasaan tidak sampe 10 menit Vano pergi ke toilet deh, kok sudah tertidur saja?
Pria itu duduk di sebelah Chika dan menyenderkan kepala gadis itu di pundaknya. Vano memejamkan matanya, dia merasa mengantuk juga sekarang.
Dua jam kemudian Chika terbangun dari tidurnya. Dia merasakan ada yang memeluk ia, gadis itu terkejut saat tau ternyata Vano memeluknya. Chika merubah posisinya, dia gugup dekat dengan cowo sampai sedekat ini.
Gadis itu menatap kearah jendela sekilas. Mereka berada diatas ketinggian yang entah berapa jauh jika dari atas. Chika melirik kearah Vano, sebenarnya dia lapar. Namun, tidak tega jika harus membangunkan pria itu.
"Bangunin jangan? Gue laper..." lirih Chika.
Jika, Chika sudah kelaparan maka dia akan menangis. Aneh, namun itu faktanya tentang Chika Arumitha jika kelaparan.
Chika menghembuskan nafasnya panjang. "Vano bangun." Gadis itu menepuk pipi Vano lembut, dia tidak punya pilihan lain. Mau tidak mau harus membangunkan pria itu sekarang.
"Ihhh Vano bangun. Bangun, Vano!!!!" kesal Chika karna Vano tidak bangun-bangun.
Perlahan Vano membuka matanya, dia menatap kearah Chika sayup. "Apaan sih? Ganggu gue tidur lo," ketus Vano yang tidak suka tidurnya diganggu oleh orang.
Chika menerjabkan matanya. Dia meremas ujung roknya, entah kenapa saat Vano bangun tidur terlihat sangat ganteng. Apa matanya mulai tidak beres? Apalagi saat pria itu mengucek-ucek mata dia. "A--anu, gue laper." Chika gugup, tatapan Vano sangat datar yang membuat dia jadi gudup.
Tanpa sepatah kata Vano bangkit dari duduknya dan meninggalkan gadis itu yang sekarang terdiam dikursi. Chika menatap Vano dengan tidak percaya, pria itu emang sangat cuek dan dingin ya? Sikapnya sangat tidak bisa ditebak.
Hikss, Chika mengeluarkan isakan. Perutnya sakit banget, magh dia kambuh lagi pasti. "Mommy, Chika laper..." lirih Chika.
Saat Vano kembali keningnya mengerut melihat gadis itu menangis. "Kenapa?" tanya Vano datar.
"Laper, perut gue sakit hikss," isak Chika.
Vano duduk disebelah Chika. Dia memberikan makanan yang sudah diambilkan dari pramugari. "Nih, makan." Bola mata Chika tersenyum senang, gadis itu langsung menghapus airmatanya. Dia menerima makanan yang diberikan oleh Vano, rasa lapar dia sudah tidak bisa ditahan lagi.
>>>>>>>>>>>>>>
Kini Chika dan Alvano sudah sampai di depan kediaman rumah Chika. Mereka baru saja tiba, rumah yang terlihat sangat besar dari luar halaman, namun terlihat sepi juga. Chika mengerutkan keningnya, apa keluarga dia pergi semua? Sangat sepi banget rumahnya.
Vano melirik kearah samping. "Lo yakin mereka ada dirumah?" celetuk Vano yang sejak tadi diam.
"Kayaknya, apa mungkin mereka keluar?"
Chika melangkah masuk ke dalam rumah. Tepat di depan pintu, gadis itu menatap sekitar rumahnya lagi untuk memastikan apa keluarga dia ada di rumah atau tidak.
Tok tok tok
Gadis itu mengetuk pintu rumahnya yang besar. Dia mencoba mengetuk sekali lagi, namun tetap sama aja. Tidak ada orang dirumah ini. Percuma juga ia mengetuk pintu berkali-kali dengan kencang, tidak ada sautan apapun dari keluarganya.
Vano menatap sekitar rumah Chika. Dia melihat ada sebuah tulisan yang terpasang di dinding dekat garasi. "Chik, keluarga lo pindah. Itu ada tulisan di dekat pintu garasi." Mendengar hal itu Chika langsung melihat tulisan yang dimaksud oleh Vano barusan.
"Mereka pindah?" gumam Chika yang terlihat sendu karna keluarganya pindah tanpa sepengetahuan dia.
Chika menghembuskan nafasnya panjang. "Vano, kita cari apartemen ya? Gue mau istirahat," ucap Chika tersenyum.
Vano tertegun dengan senyuman Chika. Apa gadis itu masih bisa biasa aja ketika keluarga dia pindah tanpa bilang? Vano mengangguk. "Kita ke apartemen gue." Pria itu menarik pergelangan tangan Chika dengan lembut dan membawanya keluar dari perkarangan rumah gadis itu.
Sebelum benar-benar pergi, Chika kembali melirik kearah rumahnya yang memiliki banyak kenangan di dalamnya. "Mom, Dad kalian di mana? Chika pulang..." lirih Chika
Mereka kembali masuk ke dalam mobil yang dibawakan oleh bodyguard Vano. Tujuan mereka kali ini adalah apartemen milik Vano. Apartemen yang terletak di pusat kota London langsung, dia sengaja memilih tinggal di sana agar lebih gampang untuk memantau keberadaan musuhnya.
Vano sudah yakin, jika musuhnya akan menyusul dia sampai ke sini. Karna Arthur tidak akan membiarkan Vano hidup dengan tenang sampai dia mati.
Dan selama di perjalanan menuju apartemen Chika hanya melamun. Gadis itu jadi kepikiran dengan keadaan keluarganya, apa mereka semua baik-baik saja? Kenapa pindah tidak memberikan kabar kepadanya? Chika jadi tidak tenang. Ia takut terjadi sesuatu kepada keluarganya itu.
Diam-diam Vano memperhatikan Chika. Dia tau gadis itu pasti sedang memikirkan tentang keluarganya.
30 menit kemudian mereka sampai di apartemen. Vano membuka pintu apartemen miliknya itu lalu masuk ke dalam yang diikuti oleh Chika di belakang. Saat pertama kali masuk ke dalam, Chika terperangah dengan apartemen Vano yang sangat mewah dan luas banget. Bahkan 5 kali lipat luasnya daripada apartemennya yang ada di Indonesia.
Vano melirik kearah Chika. "Lo tidur dikamar yang kosong, di sini ada tiga kamar. Terserah lo mau pilih yang mana, nanti kalo udah nikah baru kita satu kamar," celetuk Vano.
Chika terdiam sejenak. "Kalo aku nikah sama kamu, apa aku boleh minta sesuatu?" ucap Chika pelan.
Namun, Vano dapat mendengarnya. "Tell me!"
"Cari keberadaan orang tua aku. Aku pengen ketemu mereka, aku takut terjadi sesuatu sama semua keluarga aku. Mereka pindah tanpa bilang apa-apa dan pasti terjadi sesuatu sama mereka," lirih Chika.
"Tanpa lo minta gue akan cari mereka. Jangan banyak pikiran, biar urusan ini gue yang ambil alih. Tugas lo cuman santai aja, percayain semuanya ke gue," jawab Vano.
Chika mendongakan kepalanya. Dia tidak percaya jika Vano mau mengabulin permintaan dirinya, ia sempat berpikir jika Vano tidak akan mau menerima permintaan dia yang satu ini.
Vano meninggalkan Chika yang masih berdiri di dekat pintu. Langkahnya terhenti karna tiba-tiba Chika memeluk dia dari belakang. "Vano, makasih," bisik Chika.
Pria itu berdeham pelan. Ia melepaskan pelukan Chika dan melanjutkan langkahnya menuju kamar. Tanpa Vano sadari jika Chika tersenyum lembut kepadanya.
Merasa capek juga setelah perjalanan jauh Chika berjalan menuju kamar yang kosong. Dia lelah, sangat lelah. Apalagi harus terjebak dalam situasi seperti ini. Ia akan menikah?
Menikah dengan seorang Alvano Narendra? Pria yang mendapatkan julukan psikopat. Leader gangster yang sangat di seganin oleh banyak orang, bahkan dunia. Bukan hanya itu, Vano juga dikenal banyak orang karna dia CEO termuda. Pria itu sudah mengambil alih tugas sang Papa dulu. Sedikit demi sedikit Vano paham tentang dunia bisnis.
Di dalam kamar Vano merebahkan tubuhnya diatas ranjang. "Sehari tanpa ada gangguan bisa nggak? Capek banget kalo setiap hari kayak gini terus," gumam Vano.
Vano merubah posisinya menjadi duduk. Ia teringat sesuatu, kalo sebentar lagi akan menikahi teman sekampusnya. Lucu, yang awalnya Vano tidak mau menikah, sekarang? Harus menikah karna situasi yang seperti ini.
"Chika Arumitha." Nama itu adalah yang terus terngiang-ngiang di dalam benak Vano hingga sekarang ini.
Tiba-tiba saja Vano tersenyum sendiri mengingat tadi Chika memeluknya. Ini adalah pertama kali ada yang berani memeluk dirinya dari belakang. "Ternyata gitu rasanya dipeluk sama perempuan? Nyaman..." ucap Vano tanpa sadar.
Vano tersadar langsung menggelengkan kepalaya. "Lo kenapa sih? Masa dipeluk sama Chika aja bisa sampe senyum gini." Vano mengusap wajahnya dengan kasar.
Tak mau memikirkan apa-apa lagi Vano memilih untuk mandi saja. Badannya cukup lengket setelah perjalanan jauh dari Indonesia sampai ke London. Cukup memakan waktu yang lama banget buat dirinya.
Dan di kamar yang berbeda Chika yang baru saja selesai mandi. Dia ingin melakukan rutinitasnya, yaitu memakai skincare agar wajahnya tetap terawat dengan baik dan sehat juga pastinya.
Chika menatap dirinya dari pantulan cermin. "Kalo gue beneran nikah sama Vano gimana, ya? Mommy sama Daddy izinin nggak? Terus kalo mereka tau pekerjaan Vano yang sebenarnya gimana?" ucap Chika sendiri.
"Tapi kalo di liat-liat, Vano punya sisi baik juga. Bahkan dia termasuk orang yang peka, cuman nggak semua orang tau dia lebih dalam lagi. Dan gue jadi penasaran sama Vano yang sebenarnya, dia pasti asik banget." Chika sudah membayangkan melihat sikap Vano yang berubah menjadi lembut seperti hello kitty. Gadis itu terkekeh pelan saja.
>>>>>>>>>>>
Malam ini di kota London sangat dingin. Chika yang sedang memasak di dapur untuk makan malam dirinya serta Vano, walaupun sangat dingin banget dan membuat dia hampir tidak tahan dengan dinginya kota London sekarang. Padahal dulu biasa aja, mungkin karna sudah berbeda iklim dengan Indonesia dan London.
Gadis itu membuat sup kali ini. Tak lama Vano datang kearah dapur karna mencium bau masakan yang sangat enak di penciuman dirinya.
"Lo masak apa?" tanya Vano tiba-tiba.
Chika terkejut. "Astaga Vano! Kamu bikin kaget aja deh, tiba-tiba nongol di belakang aku lagi," kesal Chika.
Vano menatap Chika. "Maaf. Gue nggak bermaksud buat lo kaget, gue penasaran sama apa yang lo masak sekarang," kata Vano.
"Aku bikin sup. Karna di sini dingin banget, jadi aku bikin yang anget-anget deh," ucap Chika tersenyum.
"Oh. Yaudah, kalo udah jadi bilang. Gue ke ruang tv dulu." Vano melangkah'kan kakinya menuju ruang tv untuk menunggu Chika selesai masak.
Chika tersenyum tipis. Dia melanjutkan masaknya yang sempat tertunda karna Vano tadi. Sup buatannya hampir jadi, hanya tinggal menunggu berapa menit lagi.
Skip
Setelah makan malam bersama keduanya duduk diruang tv. Antara Vano dan Chika hanya saling diam satu sama lain. Hening, sangat hening. Hanya suara televisi yang meramaikan ruangan ini. Chika canggung, begitu'pun dengan Vano yang tidak pernah dekat perempuan.
Vano berdeham pelan. "Chika."
Chika melirik kearah Vano, entah kenapa dia jadi gugup. Gadis itu meremas ujung piyama miliknya, tatapan Vano membuat ia menjadi tambah gugup banget.
"Kenapa?" tanya Chika.
"Gue udah atur tanggal pernikahan kita. Kalo minggu depan lo mau?" ucap Vano.
Pria itu menatap manik mata Chika yang sangat indah. Chika menundukan kepalanya. "M--minggu depan?" gugup Chika.
"Lo keberatan?" Vano mengerutkan keningnya, dia merasa aneh dengan tingkah laku Chika sekarang.
Chika menggeleng. "Nggak kok. Cuman...Aku gugup doang," cicit Chika dengan pipi yang sudah bersembu merah.
Entahlah, Chika sangat malu dan selalu bertingkah aneh jika di depan Vano.
Hening. Mereka berdua kembali menjadi diam. Vano yang masih setia menatap Chika yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan atau bahkan berkedip. Vano akuin jika Chika cantik, sangat cantik banget malah. Bukan hanya cantik, tapi dia juga pintar yang Vano tau dari omongan anak kampus.
Vano tersenyum tipis, sangat tipis. "Lo lucu."
Degh
Tubuh Chika mematung. Gadis itu semakin gugup ketika Vano benar-benar ada di hadapannya. Jarak diantara mereka sangat dekat, bahkan hanya berjarak berapa centi saja antara Vano dan Chika.
Chika menelan ludahnya kasar. "K--kamu mau ngapain?" gugup Chika.
Vano membisikan sesuatu ditelinga Chika. Gadis itu melotot mendengar bisikan Vano barusan. "Apa sih!!! Kamu tuh ngeselin juga!" kesal Chika.
"Kenapa hm? Lo nggak mau?" ucap Vano seraya menaik-turunkan alisnya.
Pipi Chika merah merona. Gadis menutupi wajahnya dengan bantal sofa. "AAAA VANO JANGAN GITU DONG!!!" pekik Chika.
Vano terkekeh pelan karna berhasil membuat Chika salting sekaligus malu. Chika terkejut melihat pertama kalinya Vano tertawa kecil di depannya. Dia tersenyum.
"Gapapa deh aku dibuat salting sama kesel, yang penting Vano bisa ketawa kayak gini terus. Beban dia kayak terlepas gitu aja." -Batin Chika.
Gadis itu tidak berhenti memperhatikan Vano. "Vano, makasih ya. Aku tau kamu orang baik sebenarnya, cuman sikap kamu di tutup sama pekerjaan kamu sebagai leader gangster," ujar Chika lembut.
Vano menoleh kearah Chika. Pria itu berdeham pelan. "Kalo gue jahat sama lo udah daritadi gue bunuh lo," kata Vano yang membuat Chika terdiam membisu.
Ia bangkit dari duduknya. Vano melirik kearah Chika sebentar. "Gue masuk ke dalam kamar dulu. Lo istirahat mendingan, jangan tidur malem-malem!" tekan Vano yang berlalu dari hadapan Chika.
"Good Night." Langkah Vano berhenti mendengar ucapan itu. "Too." Dia hanya balas ucapan Chika dengan satu kata saja.
Vano masih mau adaptasi dengan Chika. Dia belum terbiasa dekat dengan perempuan sedekat ini. Apalagi notabene Chika calon istrinya, siap tidak siap Vano harus bisa jadi suami yang baik buat gadis itu. Vano tidak mau rumah tangganya kandas ditengah jalan.
Setelah Vano masuk ke dalam kamar, Chika masih berada di ruang tv. Gadis itu membuka ponselnya dan membuka aplikasi Google.
"Cara menjadi istri yang baik."
Ini konyol. Tapi Chika ingin tau apa tugas seorang istri setelah menikah. Menerima pernikahana ini? Mungkin. Chika berpikir jika semua ini adalah takdir hidupnya yang sudah di rencanakan oleh Tuhan untuk dia.
Chika scroll semua yang diberitahu oleh Google. "Ternyata gini, lumayan." Gadis itu terus membaca setiap artikel yang ditemukan, tidak mau ketinggalan sedikit pun.
Di dalam kamar Vano yang sedang berkutik dengan laptopnya. Pria itu mengecek semua perusahaannya dari kejauhan. Data yang di kirim semua oleh tangan kanannya pun akan dia cek satu persatu. Seharusnya Vano tidak perlu capek mengurus semua, namun dia tidak mau mengandalkan orang lain.
Walaupun ada banyak anggotanya bahkan paman Jack sekalipun yang siap membantu dirinya itu.
Vano melirik kearah ponselnya yang bergetar.
"Kebetulan paman Jack nelpon." Tanpa menunggu lama Vano langsung mengangkat telpon tersebut.
Dari sebrang sana paman Jack bersuara menanyakan kabar Vano.
"Hallo, Vano. Bagaimana keadaanmu? Sudah sampai tujuan?"
Vano tersenyum tipis. "Sudah Paman."
"Syukurlah. Kamu harus jaga diri baik-baik, dari kejauhan Paman akan menjaga kamu. Dan beritahu Paman jika kamu dan Chika sudah menikah ya? Paman ingin melihat foto kalian."
"Tentu. Aku akan kirim nanti ke Paman. Oh, ya aku mau minta tolong. Paman lacak keberadaan keluarganya Chika bisa? Mereka pindah tanpa memberitahu gadis itu," kata Vano yang sedikit kasian dengan calon istrinya.
Dari jauh Jack terdiam. "Apa mungkin mereka sudah memulaikan rencana?" gumamnya.
Vano mengerutkan keningnya. Kenapa tidak ada jawaban lagi? Apa sambungan telponnya terputus? Namun tidak deh.
"Paman akan lacak mereka. Kamu dan Chika jangan terlalu memikirkan ini semua. Biar kami yang urus semuanya."
Vano mengangguk. "Terimakasih Paman." Sambungan telpon pun terputus. Vano senang, karna selama ini Paman Jack sudah menggantikan posisi Papanya. Dia selalu ada buat Vano. Dari kematian orang tuanya, Jack tidak pernah meninggalkan Vano sendirian.
Bahkan ketika menjalankan misi pun dia membawa Vano. Walaupun beresiko, namun meninggalkan anak itu dirumah tanpa adanya dia jauh lebih beresiko.
Dan Vano sudah menganggap Jack adalah Ayahnya. Ia sangat sayang kepada pria paruh bayah itu sampe sekarang. Vano berkata, kalo Jack mati dengan cara terbunuh. Maka dia akan membalas semua kematian tersebut dengan kejam.
......>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>......
HAPPY READING!
Waktu berjalan begitu sangat cepat, tidak terasa pernikahan Vano dan juga Chika datang. Minggu pagi keduanya melangsungkan upacara pernikahan di sebuah gereja, tidak ada sanak keluarga yang datang. Dan sampai sekarang keluarga Chika juga belum ditemukan. Chika sedih, dihari bahagia dirinya tidak ada yang mendampinginya.
Tamu undangan yang di undang juga sedikit. Pernikahan mereka sengaja Vano private dulu, dia tidak mau ambil resiko jika semuanya terbongkar. Untuk sekarang, Chika adalah prioritasnya. Keselamatan dan nyawa dia adalah tanggung jawab Vano.
Walaupun keduanya menikah tanpa ada ikatan cinta sama sekali.
Dan malam ini Chika berada di dalam kamarnya. Dia belum pindah kamar, gadis itu gugup. Takut dengan keadaan yang sangat canggung ketika berduaan bersama Vano.
Chika melirik kearah jam yang ada di dinding. Sudah masuk jam makan malam, dan Chika belum masak apapun. Gadis itu lagi malas, dia berniat mengajak Vano makan diluar, namun takut pria itu menolak.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu dari luar kamar. "Chika, gue mau ngomong sesuatu. Gue tunggu diruang kerja," celetuk Vano dari luar.
Chika mematung, setiap mendengar suara Vano dia selalu menjadi gugup. Chika bangkit dan pergi keluar kamar untuk menemui Vano yang ada diruang kerja pria itu.
Tepat di depan pintu ruangan tersebut Chika masih tidak bergeming. Dia ragu, tapi dirinya juga sangat penasaran apa yang akan Vano bicarakan kepada dirinya itu.
Chika menghela nafas panjang. Ia memegang gagang pintu lalu membukanya perlahan. "Vano?" ucap Chika pelan.
Pandangan Vano teralih mengarah ke Chika. "Masuk." Gadis itu mengangguk dan menutup kembali pintu.
Langkah Chika mendekat kearah Vano. Dia duduk dihadapan pria itu. "Ada apa?" tanyanya lembut.
Vano menutup dokumennya. "Gue mau bicarain tentang kita," jawab Vano dengan nada yang serius.
Kening Chika mengerut. "M--maksudnya?" gugup gadis itu ketika tatapan Vano menatap dirinya dengan sangat intents.
Vano terdiam sejenak, dia sulit untuk mengungkap'kan kepada Chika sekarang. Mungkin karna dia tidak pernah bilang ini sebelumnya kepada siapapun, termasuk ke seorang gadis seperti Chika ini.
Hening. Ruangan itu menjadi hening, keduanya sama-sama terdiam. Chika hanya bisa menunggu apa yang akan dikatakan oleh Vano kepada dirinya. Penasaran? Banget. Apalagi sebenarnya, Chika orang yang sangat kepoan.
"Gue bakal buka hati buat lo. Dan gue akan belajar mencintai lo."
Deg
Tubuh Chika mematung mendengar apa yang barusan Vano katakan kepada dirinya. Gadis itu mendongakan kepalanya dan menatap Vano dengan tatapan sulit untuk diartikan.
"Van? Kamu serius?" tanya Chika yang tidak percaya.
Pria yang ada dihadapan Chika tersenyum tipis dan mengangguk. "Serius. Pernikahan bukan sebuah permainan. Pernikahan suatu hal yang sangat suci, di mana lo dan gue udah sama-sama ngucapin janji suci di hadapan Tuhan, pendeta dan semua saksi. Dan gue udah berani buat ngajak lo nikah, yang itu artinya gue serius dalam hal ini." Vano menjeda ucapannya.
"Bukan hanya melindungi lo dari musuh gue. Tapi gue juga akan melindungi lo dari semua orang jahat yang ada diluar sana, walaupun nyawa gue sebagai taruhannya. Gue nggak bisa ngucap janji, tapi gue akan buktikan ke lo semua yang udah gue ucapkan. Termasuk, menemukan keluarga lo," lanjut Vano serius.
Chika tidak bisa berkata apa-apa. Dirinya menatap Vano dengan tatapan lembut, airmata Chika jatuh tanpa sadar. Dia terharu, mencoba mencari sebuah kebohongan lewat Vano pun tidak dia temukan.
Vano bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis itu. Dia menarik Chika ke dalam pelukannya untuk kedua kali. "Jangan pernah nangis, airmata lo terlalu berharga buat nangis. Apalagi tangisin gue, jangan pernah," bisik Vano lembut.
Gadis itu membalas pelukan Vano. "Van, makasih. Aku juga akan coba buka hati buat kamu, dan jadi istri yang baik buat kamu," ucap Chika lembut.
Keduanya melepaskan pelukan. Vano menatap manik mata istrinya yang sangat indah. Bola mata berwarna hazel. Vano menangkup pipi Chika, dia mendorong pelan gadis itu hingga mentok ditembok.
Cup
Vano mencium bibir Chika lembut. Bola mata Chika melotot, dia terkejut. Kedua kalinya mereka berdua ciuman. Pertama, saat di gereja tadi sebagai tanda kalo mereka sudah menjadi sepasang suami istri.
Ciuman tersebut hanya berlangsung selama 15 detik saja. Vano melepaskan ciumannya, dia mengelap sudut bibir Chika yang tampak basah. "Bibir lo bikin candu," kata Vano.
"Apa sih." Chika menundukkan kepalanya, dia sangat malu banget. Pipinya bersembu merah merona, Vano terkekeh pelan melihat Chika yang salting dihadapan dia.
Ia megenggam tangan Chika. "Kita makan malam, gue yang masak," ucap Vano.
Chika kaget. "E--eh? Aku lupa belum masak. Biar aku aja, kamu tunggu aja diruang keluarga," kata Chika.
Vano menggelengkan kepalanya. "Nggak. Gue lagi pengen masak, lo cukup liatin gue aja." Chika menatap Vano. "Tapi itu kan tugas aku sebagai istri kamu, masa kamu yang masak."
"Masak ataupun ngerjain pekerjaan rumah bukan hanya dilakukan oleh seorang istri. Suami juga boleh. Gue juga nggak masalah, lagian sesekali gue masakin lo," ucap Vano.
Chika pasrah. Dia mengangguk pelan lalu mengikuti langkah suaminya menuju dapur.
Di dapur Vano membuka kulkas dan mengambil bahan makanan yang akan dia gunakan untuk masak. Sedangkan Chika hanya duduk dan memperhatikan suaminya yang memasak untuk makan malam mereka.
"Kamu beneran nggak mau aku bantu?" Vano menggeleng lalu melirik kearah istrinya sekilas. "Lo duduk aja." Chika menghembuskan napas panjang. Suaminya sangat keras kepala, padahal Chika mau bantu.
Gadis itu berdiri dari duduknya lalu menghampiri suaminya. Chika memeluk Vano dari belakang yang membuat pria itu terkejut. "Kamu masak apa?" bisik Chika.
"Coba tebak," kata Vano. Sebenarnya, dengan posisi mereka yang seperti ini membuat Vano merasakan sesuatu.
Chika menatap masakan yang dibuat suaminya. "Yang pasti masakan Jepang, iya, kan?" Vano mengangguk. Dia membalikan tubuhnya dan menatap Chika. "Lo nakal," celetuk Vano gemas.
"Nakal? Emang aku ngapain?" balas Chika yang menunjukkan wajah polosnya.
Tanpa menjawab ucapan istrinya, Vano mencium Chika kembali dengan lembut. Kali ini, Chika membalas ciumannya. Dia melingkarkan tangannya dileher Vano.
Vano melepaskan ciuman mereka. "Ternyata lo jago juga dalam kissing," ucap Vano.
Chika tersenyum. "Kan diajarin kamu." Vano mengacak-acak rambut istrinya, dia kembali masak yang sempat tertunda.
Sedangkan Chika kembali duduk dikursi meja makan yang kosong. Sambil menunggu Vano selesai masak, gadis itu memilih untuk makan buah apel yang ada diatas meja yang sudah dia cuci.
>>>>>>>>>>>>>>
Pagi pun datang, Chika bangun terlebih dahulu daripada suaminya. Mereka berdua memutuskan untuk satu kamar. Vano tidak mau pisah kamar dan ranjang dengan Chika. Walaupun masih sama-sama canggung, tapi nggak masalah.
Chika melirik kearah samping, di mana suaminya yang masih tertidur dengan memeluk dirinya.
Cup
Gadis itu mencium kening Vano lama.
Chika mengelus rambut Vano lembut. "Van, bangun, yuk." Chika membangunkan suaminya dengan nada lembut.
Tidak ada sahutan sama sekali. Vano yang masih terlelap dalam tidurnya membuat Chika kesal. Pria itu sangat sulit untuk di bangunkan setiap pagi. "Vano bangun." Lagi, gadis itu membangunkan suaminya.
"Dasar kebo. Susah banget sih disuruh bangun, mimpi apa kamu sampe nggak mau bangun gini?" kesal Chika.
Gadis itu memukul pelan lengan suaminya.
"Mimpi dicium bidadari," ucap Vano dengan mata yang masih terpejam.
Perlahan matanya terbuka dan menatap Chika yang sudah kesal dengan dia. Vano merubah posisinya, pria itu menaikan sebelah alisnya. "Kenapa hm?"
"Kamu susah dibangunin. Udah jam setengah 7 tau," ucap Chika.
"Terus kenapa kalo udah setengah 7?" tanya Vano yang semakin membuat sang istri kesal.
Chika mencubit lengan Vano kuat. "KENAPA? KAMU NGGAK KE KANTOR? KEMARIN KAMU SENDIRI YANG BILANG MAU KE KANTOR, KAN?!" pekik Chika.
Vano meringis pelan. Suara dan cubitan istrinya sangat pedas banget, dia baru tau kalo sisi buruk istrinya adalah galak.
"Iya sayang. Ini mau ke kantor kok," kata Vano gelisah karna tatapan maut dari sang Istri.
Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, Vano bangkit dari ranjangnya dan berlari menuju kamar mandi. Tatapan maut istrinya membuat nyali Vano menciut. Dia tak sangka, jika Chika sangat galak. Padahal kalo orang liat termasuk dirinya, Chika sangat lemah lembut.
Chika menggelengkan kepalanya. Dia membereskan tempat tidurnya yang dia dan Vano gunakan untuk tidur.
Setelah merapihkan kasur, Chika lanjut menyiapkan pakaian Vano untuk ke kantor. Sudah pasti pria itu memakai tuxedo. Apalagi, katanya dia ada rapat nanti jam 8 sampai jam makan siang.
Berapa menit kemudian Vano keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk yang di lilitkan di pinggang. Ketika Vano keluar dia tidak melihat keberadaan istrinya, tapi ia melihat pakaian kantornya yang sudah di siapkan oleh Chika.
Jika biasanya dia menyiapkan sendiri, sekarang beda. Pagi ada yang bangunin, siapin pakaian kantornya dan disiapin sarapan oleh Chika. Vano merasa beda saja, dia senang? Mungkin. Karna selama ini dia melakukan apapun sendiri, walaupun Vano punya banyak pekerja.
Tak mau berlama-lama lagi, Vano mengambil pakaian kantornya lalu segera bersiap.
Di dapur Chika tengah membuatkan sarapan. Gadis itu akan membuat sarapan untuk dirinya dan juga Vano pastinya.
Sebuah tangan melingkar diperut Chika. "Masak apa?" bisik Vano lembut.
Chika tersenyum. "Sandwich kesukaan kamu. Aku tau kalo kamu lebih suka sarapan sama sandwich daripada sarapan nasi goreng."
Mendengar hal itu membuat Vano semakin mengeratkan pelukannya. "Tau aja sih."
"Tau dong, kan itu tugas aku sebagai istri."
Vano tertegun dengan ucapan Chika. Dia melepaskan pelukan. "Chik, harusnya lo nggak perlu capek-capek lakuin ini. Kita bisa pake maid, kan?" ujar Vano.
Chika melirik kearah suaminya. "Gapapa." Gadis itu menampilkan senyuman manis.
"Yaudah. By the way, nanti gue pulang telat, lo makan malam jangan nungguin ya?" kata Vano.
"Oke, tapi jangan lupa makan," ujar Chika.
Vano berdeham pelan saja. Dan tak lama kemudian sandwich buatan Chika pun jadi, dia memberikan Vano sandwich tersebut. Keduanya menjadi hening, mereka fokus dengan makanan masing-masing. Vano dan Chika tipe orang yang kalo makan tidak mau bicara, karna itu di anggap tidak sopan banget.
Setelah sarapan mereka kembali ke kamar. Chika memakaikan jas Vano, tidak lupa dia mengancingkan jas tersebut agar tampak rapih nantinya. Chika melirik kearah Vano yang sejak tadi memperhatikan dirinya terus.
"Kenapa kamu natap aku kayak gitu?" tanya Chika heran.
Cup
Vano mencium sekilas bibir Chika. "Gapapa, cuman mau kasih morning kiss buat lo," jawab Vano.
Chika berjinjit agar bisa menyamakan tinggi dia dengan Vano. Ia mencium suaminya sekilas. "Semangat kerjanya, jangan lupa makan siang ya. Terus jangan genit sama sekertaris kamu dikantor, awas aja kalo genit, aku nggak izinin kamu tidur dikamar," kata Chika kepada suaminya.
Sedangkan Vano terkekeh pelan karna perkataan istrinya. "Lo lupa ya? Sekertaris gue aja laki-laki." Chika menepuk jidatnya, dia lupa jika sekertaris suaminya itu laki-laki dan bukan perempuan.
"Hehehe lupa." Vano menggelengkan kepalanya.
Dengan gemas Vano memeluk tubuh Chika erat. Ia mencium aroma rambut istrinya yang sangat wangi, dia suka dengan Chika yang wangi seperti ini. Benar-benar membuat dia nyaman dan betah banget, apalagi Vano juga tipe orang yang bersih dan tidak suka hal yang jorok.
Chika melepaskan pelukan suaminya. "Udah sana berangkat ke kantor, nanti telat loh kamu," ucap Chika.
"Entar, meeting diubah. Jadi, gue bisa lebih lama di sini. Lagian siapa juga yang mau marah kalo gue telat? Gue bos mereka dikantor," ujar Vano santai.
Chika mencubit perut suaminya. "Ya, walaupun kamu bos mereka tapi harus kasih contoh yang baik dong. Datang nggak boleh telat, harus tepat waktu ke kantor. Gimana mereka mau contoh yang baik kalo bosnya aja modelan kayak kamu," ketus Chika.
"Lo bawel banget jadi cewe." Vano menatap Chika datar, mungkin dia belum terbiasa dengan ocehan gadis itu di pagi hari untuk dirinya. Karna memang biasanya tidak ada yang berani marah jika dia telat.
Sang istri mencibirkan bibirnya. Chika menatap Vano tak kalah datar, ia tidak suka dengan sikap pria itu yang seenaknya. "Terserah kamu deh." Chika pasrah, dia tidak mau berdebat dengan suaminya di pagi hari.
Gadis itu memilih untuk duduk ditepi ranjang dan meninggalkan suaminya. Vano menatap Chika yang mendadak menjadi diam, dia mendekati gadis itu. "Maaf, jangan marah."
"Nggak marah."
"Bohong."
Vano mengangkat dagu Chika lalu mencium bibir gadis itu lama. Keduanya memejamkan mata mereka, Chika mengalungkan tangan dia dileher suaminya lalu dia bangkit dari duduknya. Vano memegang pinggang ramping istrinya itu.
Keduanya hanyut dalam ciuman yang keempat kalinya di pagi ini. Bohong kalo Vano tidak suka dengan ini, dia laki-laki normal. Apalagi dia melakukan ini bersama istrinya, melakukan hal lebih? Belum ada dilintas Vano serta Chika untuk melakukan itu yang sering dilakukan pasangan suami-istri.
Pasokan udara yang hampir habis keduanya melepaskan ciuman. Vano mengelap sudut bibir istrinya. "Maaf untuk hal tadi, gue tau yang lo omongin emang bener. Gue cuman belum terbiasa aja," ucap Vano lembut.
"Iya, aku juga minta maaf kalo udah bawel."
Vano hanya mengangguk pelan saja. Dia suka-suka aja jika istrinya bawel, lagian kalo bawel artinya sayang bukan? Daripada Chika acuh dan cuek, mending dia bawel.
>>>>>>>>>>>>>>>
Waktu menunjukan pukul 12 siang, Vano yang baru saja selesai rapat dengan para karyawannya. Pria itu kembali ke dalam ruangan untuk mengecek beberapa berkas lagi sebelum dia makan siang, bagaimanapun dia tidak akan lupa dengan ucapan Chika untuk makan siang nanti.
Ketika Vano masuk ke dalam ruangannya ternyata ada Letnan. "Loh, Letnan."
Pria paruh baya itu melirik kearah Vano. "Sudah selesai rapatnya?"
"Sudah, kapan sampai? Lama ya nunggunya," tanya Vano kepada pria itu.
"Ah, tidak."
James Narendra a.k.a Letnan. Dia adalah kembaran dari Jack yang di mana mereka hanya beda 10 menit. James yang termasuk Paman Vano, dia dan Jack sangat menyayangi anak itu dari dulu hingga dia sudah beranjak dewasa menjadi laki-laki yang bijaksana, mandiri, dan berwibawa.
Pria itu menepuk pundak Vano. "Maaf, sampai sekarang Letnan belum menemukan keberadaan keluarga istrimu. Kalo menurut Letnan, sepertinya mereka pindah ke luar negri. Karna kalo emang masih dalam negara Inggris pasti cepat ditemukan."
Mendengar hal itu membuat Vano terdiam. "Apa mungkin mereka ke Indonesia?"
"Bisa saja. Apalagi istrimu kuliah di sana," kata Letnan kepada Vano.
"Aku boleh minta tolong lagi?" ucap Vano.
James mengangguk. "Tentu."
"Kerahkan semua anggota team B untuk cari keluarga Chika di Indonesia. Kalo perlu mereka telusuri semua kota dan provinsi untuk mencari keberadaan keluarga Chika," ujar Vano.
"Baiklah, Letnan akan kerahkan semua team B untuk mencari keberadaan keluarga istrimu." Vano tersenyum tipis.
"Terimakasih Paman." James hanya mengangguk pelan lalu menelpon kembaran dia yang ada Indonesia untuk memberikan informasi kepadanya.
Vano kembali ke tempat duduknya. Dia mengecek semua data perusahaan yang harus di cek. Mungkin hanya sedikit saja, karna pria itu harus makan siang. Jika tidak, maka Chika akan kembali mengoceh nanti.
Setelah memberikan informasi kepada kembarannya, James duduk dihadapan Vano yang seperti sangat sibuk. "Bagaimana rumah tanggamu dengan Chika? Baik-baik saja?" tanya pria itu.
"Baik, memang kenapa?" Vano kembali bertanya kepada Pamannya.
"Hanya bertanya. Paman jadi nggak sabar akan ada Vano junior diantara kalian, dan pastinya ada penerus keluarga Narendra juga," kata James.
Mendengar hal itu membuat Vano berhenti mengetik. "Aku belum melakukan itu dengan Chika, jadi mungkin jangan terlalu berharap banyak kalo kami akan punya anak dalam waktu dekat," ceketuk Vano yang berkata jujur.
Dia memang belum menyentuh Chika. Hanya sebatas kiss, no having ***. Vano masih bingung, apa dia perlu menyentuh istrinya sekarang juga? Dan apa Chika mau punya anak diusia dia yang masih 21 tahun?
"Why? kalian belum siap? Atau jangan-jangan kamu hanya menikahi Chika sebatas kontrak? Vano, pernikahan bukan permainan. Kalo kamu hanya mau melindungi dia dari Arthur tidak perlu menikahi dia," ujar James.
Vano menghela nafas panjang. "Bukan itu, aku belum berani menyentuh dia sampai kesitu. Chika juga belum siap pastinya, aku nggak mau maksa dia," ucap Vano.
"Tapi mau sampai kapan? Paman tidak yakin kalo kamu bisa menahan hasrat kamu, kamu laki-laki normal bukan? Kalo kamu tidak tergoda dengan istrimu sendiri, maka kamu tidak normal," sarkas James.
Vano mendelik sinis. Kalo dia tidak normal tidak akan mungkin mencium Chika terus menerus, apalagi dia sampe mau menikahi Chika.
"Paman!!! Vano masih normal, ayolah. Aku nggak harus punya anak sekarang, kami juga masih muda, lagian kalo punya anak sekarang waktu aku dan Chika untuk berduaan pasti nggak akan bisa," ujar Vano.
James menaikan sebelah alisnya. "Masa? bilang saja kamu tidak tau cara melakukan hal itu kepada Chika."
"Vano tau, cuman belum waktu yang pas aja buat melakukan hubungan intim dengan Chika, jika kami mau nanti malam juga bisa," ucap Vano.
James mencibir kesal. "Ayolah, Pamanmu ini ingin menggendong anak dari kamu dan Chika. Kalian juga masih bisa berduaan nantinya, biar Paman nanti yang jagain anak kalian berdua," ucap James terus mendesak ponakannya agar cepat punya anak.
"Kenapa tidak paman saja yang punya anak? Lagian paman sudah tua, kenapa nggak nikah? Vano saja udah nikah tuh," ejeknya.
"Yeuhh malah ngejek. Lagian ya, Paman tuh nggak minat buat menikah, melihat kamu bahagia sudah cukup buat paman." James tersenyum, baginya melihat Vano bahagia, dia juga akan bahagia.
Sedangkan Vano sudah tidak tau respon seperti apa, bingung. Sebenarnya, dulu juga dia berpikir tidak mau menikah karna tidak mau meninggalkan kedua pamannya yang sudah merawat dia dari umur 10 tahun ketika kedua orang tuanya meninggal.
Diluar ruangan Chika tak sengaja mendengar percakapan mereka. Ada rasa bersalah dalam benaknya karna belum memberikan haknya kepada Vano, dia sebenarnya mau punya anak, namun dia takut melahirkan. Rasanya pasti sakit banget.
Chika menghela napas panjang, gadis itu datang kesini karna membawakan makan siang untuk suaminya. Dia mengetuk pintu ruangan, dari dalam suara Vano menyuruh masuk dengan suara dingin.
Ketika Chika masuk membuat Vano bingung. "Ada apa? tumben kesini," tanya pria itu.
Chika menghampiri mereka. "Aku bawain makan siang buat kamu. Jangan lupa dimakan ya, kalo gitu aku pamit. Aku harus ke toko buku dulu buat ngerjain tugas kampus," kata Chika.
Vano menahan tangan istrinya, dia bangkit dari duduknya lalu mencium Chika dihadapan pamannya. Bola mata James melotot, bisa-bisanya Vano berciuman dihadapannya.
"Dasar bocah baru kenal cinta," ketus James yang berasa jadi nyamuk diantara keduanya.
Ekhmm, James berdeham kencang.
Keduanya tersadar masih ada James di sini, Chika menunduk malu. Suaminya memang tidak tau tempat, ia mencubit perur Vano. "Kamu tuh kalo mau cium jangan di sini!!!" bisik Chika.
Vano menggaruk tekuk lehernya. "Maaf, aku kelupaan kalo masih ada Letnan diantara kita hahaha," kata Vano.
"Yaudah, aku pulang dulu. Letnan, Chika pulang dulu ya, permisi...." Chika pun keluar dari ruangan suaminya dengan cepat, dia masih malu mengingat hal tadi.
Letnan menatap datar keponakannya. Untung saja dia sayang dengan Vano, jika tidak sudah ia buang karna ciuman dihadapannya. Sungguh tidak sopan. Tidak tau apa? Kalo dia punya paman yang jomblo.
Vano hanya menunjukkan senyuman tanpa dosa. Dia tau sekarang pamannya sedang mengambek kepada dirinya, cuman mau bagaimana lagi? Siapa suruh masih di sini. Sudah tau kalo Vano dan Chika akan ciuman, ya walaupun sebentar doang.
......•••••••••••••••••••......
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!