Kisah tentang perjalanan hijrah seorang laki-laki, di balut perjalanan cinta yang penuh liku dan tantangan. Saat denting cinta di sebutkan dalam doa, tersemat di butiran tasbih, apakah dia akan bertemu bahagia?
ini adalah kisah spin off dari novel "menikahi Tunangan Adikku". Tentang perjalanan hidup salah satu tokoh antagonis di dalam kisah itu, yang telah menyia-nyiakan istri dan anak-anaknya dalam kubangan perselingkuhan sepanjang perjalanan rumah tangganya.
Tapi di satu titik dalam salah satu episode author telah menuliskan titik balik seorang Bram, yang kemudian menyadari bahwa dia telah melakukan banyak kesalahan dan dosa sepanjang dirinya menjadi seorang suami, ayah dan sebagai manusia.
Bagi yang belum tahu tentang asal usul kisah Bram, Author sarankan membaca novel Menikahi Tunangan Adikku, ya. Sudah tamat🤗
Cerita ini di tulis berdasarkan request pembaca di novel sebelumnya, mungkin tidak terlalu panjang seperti Novel Menikahi Tunangan Adikku tetapi kisah ini di harapkan memberikan kita banyak pelajaran tentang hidup🙏☺️
Kurang dan lebih cerita ini, tetap mohon kritik dan saran dari pembaca, bisa tulis di kolom komentar per babnya, ya 🙏
PERKENALAN TOKOH
BRAMANTYO (BRAM)
Aisyaharani (Aisyah/Isah)
Diah Pitaloka (Diah)
Bella Bramantyo
Tito Abdillah
Ini adalah visual untuk para tokohnya, ya ☺️ Semoga bacaan ini bisa menjadi referensi bacaan di bulan ini, paling tidak bisa menghibur para pembaca kesayangan di waktu senggang🙏💜
Terimakasih sudah membaca novel ini dan selalu setia, kalian adalah kesayangan othor🤗 i love you full....
Jangan Lupa VOTEnya yah untuk mendukung novel ini, biar othor tetap semangat menulis😂🙏🙏🙏
...VOTE, LIKE dan KOMEN kalian selalu author nantikan, ya...
Dalam langkah gontai, kaki yang hampir mati rasa, Bram keluar dari apartemen itu. Sakit hatinya melebihi apa yang pernah diketahuinya, sampai-sampai dia tak tahu jika tubuhnya membawanya kemana. Langit masih gelap, hawanya dingin menusuk di musim hujan, penghujung tahun.
Bram terus saja menyetir membawa hatinya yang kosong, tak lagi mengerti arah hanya terus saja berjalan membawa mobilnya.
Mobil yang di kendarai Bram terhenti di depan sebuah mesjid tak seberapa besar pada sebuah ujung jalan, berada di seberang sebuah gang, jalan yang tak dikenali oleh Bram.
Suara lantunan sholawat terdengar merdu dari toa mesjid itu, tiba-tiba membuat Bram terkesima. Mobilnya berhenti begitu saja.
Sholawat itu terasa akrab di telinganya membangkitkan rindu yang menggelitik pada suatu masa, sesaat di pejamkannya mata, mengingat di mana dia pernah begitu sering mendengarnya.
Kamar Beni!
Ya, di kamar Beni anak sulungnya yang telah tiada, dari dalam kamar itu dia sering mendengar nada sholawat yang begitu merdu dan menyayat setiap menjelang subuh.
Kemudian, dia pernah pulang dini hari, sangat kesal dengan suara lantunan itu, dan di dapatinya, Diah sedang duduk dalam sujudnya di balut mukena putih bersih, melantunkan sholawat di bawah tempat tidur Beni yang tertidur lelap dalam sakitnya.
Dalam penasaran dia mengintip sang istri, yang begitu fasih mengucapkan ayat demi ayat, kemudian melakukan sholat tahajjud yang tak pernah sekalipun di lakukannya kecuali pada saat dia masih serumah dengan orangtuanya dan ibunya membangunkannya untuk sahur kemudian supaya dia tidak tidur kembali, ibunya melantunkan sholawat sebelum sholat.
Kenangan-kenangan itu berlompatan, membawa kaki Bram turun dari mobilnya, di mesjid yang benderang dalam subuh itu, Bram seperti mendengar suara Diah sedang melantunkan sholawat yang sama, begitu merdu, bening, mendayu dan menyayat hati.
Mata Bram tak sadar melihat ke jam tangannya, pukul tiga lewat, hari menjelang subuh.
Dengan badan gemetar seperti musafir yang telah lama tersesat, dia mendapati dirinya membersihkan tubuhnya di sebuah keran samping mesjid itu.
Entah apa yang menggerakkannya dengan telanjang kaki dan tubuh yang gentar, dia menapaki tangga mesjid itu, memasukinya seperti sedang mencari sesuatu.
Di tengah ruangan mesjid yang terang benderang itu, dia merasa lututnya goyah, dia tersungkur di sana tepat menghadap sebuah mihrab.
Tak ada Diah di sana, sholawat itu berasal dari rekaman yang di putar, sebelum seseorang menyuarakan adzan subuh.
Bram benar-benar tersungkur, dengan air mata uang mengalir deras tak lagi bisa di tahannya.
Rasa amarah, kesedihan, penyesalan dan ketakutan menyatu tertumpah bersamanya.
Sekarang, baru di sadarinya, betapa jauh langkahnya tersesat, betapa lama dia larut dalam dosa dan maksiat sehingga berharap menemukan Diah melantunkan sholawat di telinganyapun adalah hal yang mustahil.
"Ya...Allah...Yaaaa...Allaaaah..." Pertama kali setelah sekian lama dia menyebutkan kalimat itu, bibirnya gemetar memanggil-manggil Tuhan, yang terasa begitu jauh darinya.
Bukan karena Tuhan yang meninggalkannya tetapi dirinya sendiri yang meninggalkan Tuhan.
Entah kapan, seseorang telah berdiri di mihrab itu, menyuarakan adzan dengan suara yang lantang dan bening.
Bram tak tahu harus berbuat apa, kecuali bersujud di belakang laki-laki itu, setelahnya dia tak bergerak seperti sebuah patung. Dia hanya tahu, air matanya turun begitu saja,
Entah berapa lama dia tidak masuk ke dalam mesjid, entah berapa lama pula dia telah meninggalkah sholat, bahkan dia hampir lupa apa yang harus di lakukan, apa yang harus di ucapkan.
Bram tenggelam dalam perasaan haru dan rindu yang sangat sulit dia jelaskan, rasa malu yang tak bisa di jabarkan karena merasa dirinya begitu kotor untuk berada di tempat suci ini.
Sebuah tepukan lembut di bahunya, menyadarkan lamunannya.
"Selamat datang di rumah Allah, anakku..." Bapak tua yang sederhana itu dengan sebuah peci di kepala, sarungnya yang lusuh tapi bersih membalut tubuh cekingnya, menyapa Bram dengan suara lembut.
Tadi beliau berdiri di depan untuk mengumandangkan adzan, kini duduk di samping Bram dengan senyum ramah yang tulus.
"Ketika hati kita tak tenang, jiwa kita dalam kebimbangan, ke rumah Tuhanlah tempat yang tepat kita mengadu...kamu telah datang pada rumah yang tepat, nak." Lanjutnya dengan begitu tenangnya.
Bram menatap bapak itu dengan tatapan terluka,
"Aku adalah manusia yang kotor...Tuhan akan mengutukku..." Ucap Bram terbata-bata, jendak beranjak pergi, tetapi tangan kurus itu menahannya, sebenarnya begitu ringan dan ringkih tetapi membuat Bram seperti di tahan oleh batu besar.
"Setiap manusia di dunia, setiap anak Adam pasti berbuat salah dan tak ada yang bersih dari dosa, tetapi sebaik-baik mereka yang berbuat kesalahan adalah yang mau bertaubat." Bapak itu berkata perlahan tapi sanggup membuat Bram seperti terhipnotis mendengarnya.
"Tidak ada kata terlambat untuk memohon ampunan kepada Allah, mungkin saja matahari masih terbit esok hari, tapi belum tentu dengan kita, apakah masih di beri kesempatan untuk melihatnya lagi ataukah kehilangan waktu untuk itu, maka jika hatimu tergerak, bertaubatlah hari ini, sebelum semuanya menjadi terlambat."
Bram tertegun memandang pada bapak itu, tak lepas lagi. Seakan dia sedang bercerita dengan mata dan raut wajahnya, tentang keadaannya yang hancur lebur.
"Kamu menginginkan kedamaian? Kamu mencari dimana tempat terbaik untuk menenangkan setiap permasalahan, mari taruh keningmu di atas tanah, bicaralah kepada-Nya dan ungkapkan semua isi hatimu, menyesallah dengan sungguh-sungguh niatkan hati untuk bertaubat." Hati Bram yang keras itu seketika luluh saat rangkaian kalimat itu.
"Apakah...apakah Allah akan menerima taubatku? Aku telah berbuat maksiat bahkan hampir sepanjang hidupku?" Tanya Bram dalam suara parau, seperti anak kecil yang begitu putus asa dan ketakutan.
"Saat kita berkubang dalam kemaksiatan sesungguhnya kita sedang menggali jalan menuju penderitaan, hanya taubat yang mampu membatalkan perjalanan kita menuju itu.
Sekelam apapun masa lalu kita, sehitam apapun sejarah hidup kita, Allah tak pernah menolak setiap taubat kita, jangan pernah meragukan kebesaran hati Allah dalam memberikan pengampunan.
Taubat sejati bukan hanya berhenti dari berbuat maksiat, tetapi juga berbalik menuju kebaikan dan terus menjaga niat untuk tetap berada di jalan kebaikan itu..." Bapak tua itu menatap Bram dengan tatapan hangat.
"Bagaimana aku tahu jika Allah menerimaku...?"
"Imam Syafi'i pernah berkata, Kulihat dosa-dosaku seakan begitu besar. Tapi saat kusandingkan dengan ampunan-Mu, ternyata ampunan-Mu jauh lebih besar. Anakku, percayalah Allah itu maha pengampun dan pemaaf." Sahut bapak tua yang bahkan Bram sendiri tak tahu namanya itu.
Sejenak hening mencekam, Bram tergugu di depan si bapak berwajah lembut ini.
"Nak, mari kita sholat..." Ajaknya kemudian.
"Tapi..." Bram sejenak ragu.
"Kenapa? bukankah kamu seorang muslim?" Pertanyaan itu terasa menohok hati Bram.
Bram menganggukkan kepalanya lamat-lamat.
"Tapi...tapi aku telah lama meninggalkannya...aku...aku mungkin lupa." Bram menjawab dengan wajah merah, betapa malu dirinya mengucapkam kalimat itu.
Sejenak, bapak tua itu mengernyit dahi, sedikit heran tapi sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia sedang mempertanyakan Bram.
"Kamu sudah berwudhu, nak?" Tanya bapak itu dengan lembut.
"Sudah." Jawab Bram sambil mengangguk tegas.
"Nak, kamu hanya lupa, tetapi apa yang di ajarkan di waktu kecil sekalipun akan tersimpan di memorry kita, Aku akan membimbingmu untuk mengingatkanmu kembali pada indahnya sholat..."
Bram mengerjap matanya yang sembab, kepalanya terangguk seperti seorang anak kecil yang sedang menurut pada ayahnya.
Saat dia merasa terjebak dalam lingkaran neraka yang sangat hitam, suara Diah yang syahdu dalam sholawatnya seolah memanggilnya pulang pada jalan yang telah lama di tinggalkannya dan tangan bapak tua yang dikirim Tuhan ini menariknya perlahan.
(ini adalah cuplikan kilas balik dari sebuah bab di dalam novel menikahi Tunangan Adikku, sebagai awal dari perubahan kehidupan Bram. Sangat di sarankan untuk membaca novel tersebut untuk lebih nyambung dan mengenal seperti apa Bram di kehidupan sebelum bab kilas balik ini)
Terimakasih sudah membaca novel ini dan selalu setia, kalian adalah kesayangan othor🤗 i love you full....
Jangan Lupa VOTEnya yah untuk mendukung novel ini, biar othor tetap semangat menulis😂🙏🙏🙏
...VOTE, LIKE dan KOMEN kalian selalu author nantikan, ya...
Bram tertidur entah berapa lama di atas lantai masjid itu, kelelahan secara fisik dan mental menderanya bertubi-tubi. Hidupnya telah berubah dalam satu malam. Dia benar-benar telah kehilangan segalanya, entah itu sally ataupun Diah. Cinta serasa menjauh, entah kemana tak ada yang mengerti tentang kehampaannya.
Tetapi, dalam gelayar kesedihannya ada sesuatu yang menghangat di sudut hatinya. Saat dia bersimpuh di subuh yang dingin mengucapkan do’a, di bawah bimbingan pak Syarif, laki-laki tua, marbot yang lembut hati itu, ada kehangatan yang menyelinap mengisi tempat-tempat kosong dalam jiwanya.
“Nak, bangunlah.” Jemari yang hangat itu menyentuh bahu Bram. Dengan berat, Bram membuka matanya, dia tertidur di sudut masjid itu dengan kaki yang di tekuk dan kepala bertopang di atas lututnya.
“Ini, sudah pagi. Bagaimana kalau nak Bram ke rumah bapak saja.”Tawarnya dengan suara yang halus.
“Oh, maafkan saya pak, saya akan pulang saja. Saya tidak ingin merepotkan bapak.” Bram menjawab dengan sedikit gelagapan, mengucek matanya dan menyeka rambutnya yang awut-awutan dengan pias malu.
“Tidak apa-apa, nak. Bapak senang kalau bisa membawa nak Bram bersilaturahmi ke rumah bapak. Pondok bapak ada di belakang masjid ini, kita bisa berjalan ke sana. Puteri bapak mungkin sudah merebus singkong, tentu sangat enak jika di makan dengan seduhan kopi panas saat pagi-pagi begini.” Pak Syarif merapikan pecinya sambil tersenyum ramah.
“Tapi…”
“Mari ikuti bapak.”
Sepertinya pak Syarif tidak menerima penolakan Bram, dia beranjak lebih dulu memberi isyarat untuk Bram mengikuti langkahnya.
Rumah Pak Syarif tidak besar dan kalau bisa di katakan sangat sederhana. Rumah itu, di bagian depannya ada teras yang cukup besar, dengan lantai tanpa keramik, hanya lantai polos yang diplester seadanya. Di atas lantai itu di gelar tikar, sepertinya teras itu sering di gunakan untuk berkumpul.
Pintu rumah terbuka lebar sehingga nampak ruang tamu yang tak seberapa besar dimana ada kursi dan meja kayu yang tertata rapih.
Selebihnya ke arah dalam, Bram tak bisa melihatnya lagi karena di batasi gorden.
“Mari masuk, nak…”
“Di sini saja, saya duduk di luar saja.” Jawab Bram dengan rikuh, keramahan pak Syarif sungguh membuatnya medrasa tak nyaman. Di era modern dan pergaulan Bram, dia tak pernah merasa di perlakukan dengan begitu baiknya.
“Baiklah…silahkan duduk, nak. Cari saja posisi senyaman mungkin meskipun hanya di lantai. Di sini Cuma ada tikar, biasanya tempat anak-anak datang dan belajar mengaji.” Pak Syarif mempersilahkan, badannya yang sudah menua itu tampak berjalan dengan sedikit berayun.
Bram menganggukkan kepalanya, dia mengucapkan terimakasih dan duduk bersila di atas tikar sambil merapat ke tembok. Rasanya sangat nyaman, apalagi di pinggiran rumah itu tersusun rapih beberapa pot bunga dengan daun yang lebar-lebar, meskipun Bram tak tahu apa namanya tetapi terasa sangat asri di pandang. Pada pekarangannya, di teduhi oleh pohon mangga yang sedang berbunga dan pohon rambutan yang buahnya masih hijau kecil-kecil.
Sungguh pemandangan langka yang pernah di lihat oleh Bram, dia merasa nafasnya begitu nyaman. Tempat ini benar-benar berbeda. Tidak jauh di depan, bangunan masjid yang tadi merupakan tempatnya singgah, berdiri kokoh meski dalam catnya yang sedikit memudar tetapi saat menatapnya jiwa Bram merasakan damai.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…”Pak Syarif mengucapkan salam.
“Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh.”Sebuah jawaban datang dari seorang anak kecil, tak lama anak yang bersuara polos itu muncul, wajahnya tirus dengan baju kaos warna biru pudar dan celana pendek.
“Kakek, kakek sudah pulang…” Dia menyalami sang kakek, mencium dengan khidmat punggung tangan lelaki tua itu. Dari penampilannya, anak yang berumur 8 tahun itu baru saja mandi.
“Beri salam kepada pak Bram.” Nada itu meminta tetapi sangat tegas pada anak itu.
Anak itu menatap sesaat pada Bram lalu mengulurkan tangannya pada Bram yang memandangnya tak berkedip. Ingatannya melayang pada Beni, anaknya yang telah meninggal. Jika dia masih hidup mungkin sekarang usianya telah sama dengan usia anak ini dan besarnya tentu saja kurang lebih.
“Tito, Umimu mana?” Tanya pak Syarif, sambil berusaha duduk di atas tikar dengan di bantu oleh anak bernama Tito itu.
“Umi sedang mencuci baju di belakang.”
“Beritahu umimu, buatkan dua cangkir kopi untuk kakek dan tamu kakek.” Ujar pak syarif, tanpa menunggu dua kali, anak itu berlari ke belakang, suaranya terdengar sampai depan, menggema memanggil uminya.
“Nak Bram ini rumahnya di mana? Kalau boleh bapak tahu?” Tanya pak Syarif. Bram menyebutkan alamat rumahnya dan pak Syarif mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah dia tahu alamat yang disebut oleh Bram.
“Tampaknya kamu sedang menanggung beban yang sangat berat, nak. Laki-laki jarang meneteskan airmata jika tidak karena beban yang menghimpit dadanya sedemikian dalamnya.” Pak Syarif menatap pada Bram, lekat.
“Maafkan aku, telah membuat bapak melihatku begitu cengeng sebagai laki-laki.” Sahut Bram, wajahnya memerah dan kemudian tertunduk malu.
“Nak,, menangis itu bukan berarti cengeng, lemah, rapuh dan rentan. Setiap mahluk Allah, berhak untuk menangis entah laki-laki atau perempuan, anak-anak, tua maupun dewasa. Bahwasanya Dialah Yang menjadikan manusia itu tertawa dan menangis. Jadi siapa yang membuat manusia menangis? Jawabannya Allah, dengan segala prosesnya yang rasional, menangis adalah hal yang wajar. Jadi jika kita merasa sesak dan ingin menangis, menangislah...jangan malu.” Pak Syarif melemparkan senyum tipis pada Bram.
“Bahkan nak Bram, sesungguhnya bahwa Allah sangat senang jika melihat hambanya menangis. Namun, menangis seperti apa yang sangat disukai oleh Tuhan? Yaitu tangis seorang hamba yang dipenuhi dengan sesal dan taubat, tangis seseorang yang takut kepada Allah. Saat seseorang terfikirkan apakah hidupnya sudah sesuai antara apa yang diberikan Allah kepadanya dengan apa yang dia perbuat untuk Allah, kemudian dia menangis, karena apa yang dia berikan dalam bentuk pengabdian kepada Allah ternyata jauh lebih sedikit, bahkan tidak terlihat sama sekali. Tangisan seperti ini adalah tangisan yang mulia karena berdampak pada seseorang untuk selalu ingin memperbaiki dan terus memperbaiki dirinya di hadapan Allah. Rasulullah pernah bersabda, Andaikata kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu semua akan sedikit tertawa dan banyak menangis ”
Bram terdiam, matanya terpekur menatap pada lelaki yang beru di kenalnya beberapa jam yang lalu itu. Betapa tenangnya saat dia mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut lelaki tua yang ramah dan baik hati ini.
Terimakasih sudah membaca novel ini dan selalu setia, kalian adalah kesayangan othor🤗 i love you full....
Jangan Lupa VOTEnya yah untuk mendukung novel ini, biar othor tetap semangat menulis😂🙏🙏🙏
...VOTE, LIKE dan KOMEN kalian selalu author nantikan, ya...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!