Davin berjalan di pantai dengan bertelanjang kaki. Kaus polos putih dan celana pendek terlihat cocok untuknya. Outfit yang sangat dia sukai setelah beberapa tahun selalu memakai setelan jas dan menghadapi orang gila jabatan.
Tangannya menjinjing sandal, matanya menatap matahari yang indah, yang pulang dari berkelana sepanjang hari, sembari menyusuri pantai dan melewati orang-orang yang juga menikmati hal yang sama.
Ini liburannya yang kedua di pantai, sebelumnya dia tak sempat memanjakan dirinya walau untuk sejenak karena masalah pekerjaan yang tak ada habisnya.
Davin merasa sangat puas dengan liburannya kali ini, dia menikmati setiap langkah sore itu. Namun tiba-tiba temannya datang mengaitkan tangannya di leher Davin.
"Hei.....Tuan Muda mati rasa! Kau menikmati liburan mu?" gurau Alex padanya.
Candaan Alex tentang penyakitnya yang sulit menegang meski sudah berkali-kali berusaha berhubungan dengan wanita.
"Berhenti memanggilku seperti itu! Orang-orang akan mengira hal aneh tentang ku" keluh Davin.
"Haha...kau memang mati rasa, puluhan gadis sudah mendatangi mu untuk menjadi kekasih mu, tapi tak ada satupun dari mereka yang membuat junior mu berdiri. Hahahahahahaha" gurauan Alex semakin menjadi.
Davin melirik padanya dengan sinis, dia melempar tangan Alex dari bahunya lalu bergegas meninggalkannya.
"Hei.....tunggu aku! Jangan marah Tuan Muda, jangan pecat aku!" seru Alex sambil tanpa henti tertawa.
Davin buru-buru masuk ke hotel tempatnya menginap untuk menghindari temannya yang gila itu. Namun tak sengaja dia menabrak seorang gadis dan membuatnya terjatuh keras.
"Bruukkk!" suara gadis itu jatuh membuat semua orang menatapnya. Namun tak lama mereka berpaling dan kembali beraktivitas.
Sementara Davin berusaha membantu dengan hendak memberikan tangannya pada gadis itu. Namun Alex yang berlari, menabraknya dan membuatnya jatuh ke pelukan gadis itu.
Wajah Davin jatuh tepat di atas wajahnya dan mengecup bibirnya.
"Awww.......!" teriak Amelia.
Bibirnya beradu dengan bibir Davin dengan keras. Dia terlihat kesakitan terlebih tubuh proporsional Davin menimpa tubuhnya.
"Amelllll!"
Teriak kedua teman Amelia sambil mendekat dan memberikan bantuan untuknya berdiri.
Sementara Davin hanya diam menatap wajah Amelia yang manis dan cantik. Matanya tak bisa lepas dari bibir Amelia yang sedikit berdarah karena beradu dengan bibirnya tadi.
Teman-teman Amelia, Siena dan Ghina, mengusir Davin untuk bangun dan tak menindihnya terus. Davin terbangun dari lamunannya. Dia mengedipkan mata beberapa kali kemudian berusaha untuk meminta maaf.
"Aduh.. sakit...!" keluh Amelia dengan tak berani menyentuh bibirnya sendiri.
"Berdarah Mel!" ucap Ghina.
Amelia semakin panik dan merengek seperti seorang gadis kecil.
"Haaaa...... sakit!"
Davin tersenyum melihatnya, Alex memukul bahunya.
"Sssth....malah senyum!" bisik Alex.
Davin buru-buru menahan tawanya.
"Maaf....maaf!" ucap Davin.
"Enak aja maaf maaf, lihat bibirnya berdarah, tanggung jawab!" ucap Siena ketus.
Mata Ghina dan Siena melotot, kemudian berubah tersenyum saat Davin mengeluarkan beberapa lembar uang seratusan dollar dari sakunya.
"Aku ngga bawa uang banyak!" ucap Davin merasa bersalah.
Siena dan Ghina mengambil semua uang yang ada di tangan Davin.
"Udah...! ini cukup buat beli salep luka" ucap Siena.
"Ngga apa-apa? Bener?" tanya Amelia yang masih panik.
"Iya....yuk Mel, kita beli salep di mini market" ajak Ghina dengan memberi kode pada Siena sambil membantu Amelia berjalan.
Alex dan Davin menganga menatap mereka bertiga pergi begitu saja setelah mengambil lima lembar uang seratusan dollar milik Davin.
"Gila....tabrakan kecil doank lima ratus dollar! Cewek zaman sekarang bener-bener gila" seru Alex kesal.
Sementara itu Davin terdiam, dia merasakan sesuatu di bawah pusarnya bergerak mengeras saat mengingat bibir gadis itu. Matanya membulat, dia menyadarinya kemudian dia berlari menuju kamarnya.
Alex menatap kepergiannya dengan wajah kebingungan kemudian menyusulnya.
"Hei...tuan muda!" seru Alex.
Davin sampai di depan pintu kamarnya dan membukanya dengan terburu-buru. Dia masuk dan menguncinya. Alex tak sempat masuk dan tak diizinkan masuk. Dia menggedor pintu dengan panik.
"Tuan muda! Kenapa? Apa yang terjadi?" seru Alex.
Davin masih memegang juniornya yang masih keras. Dia panik dan tak tahu harus melakukan apa, dia takut Alex menertawakannya lagi karena sekarang juniornya bisa berdiri. Namun tak tahu harus melakukan apa karena ini kali pertama baginya.
"Aku....aku .... cape....aku....mau tidur! Pergi sana!" seru Davin.
Alex berhenti menggedor pintu dan diam terheran.
"Ada apa dengannya?" gumamnya.
Tapi seolah merasa lega dengan ucapan bosnya, dia pun pergi dari sana.
Davin melempar tubuhnya ke ranjang dengan telungkup dan memejamkan mata. Berusaha keras untuk membuat juniornya kembali normal. Dia mengingat semua masalah pekerjaan dan hal lainnya.
Namun ingatannya tak bisa lepas dari bibir gadis itu, dia menggaruk kepalanya dengan putus asa. Dia bangun lagi dan duduk menatap juniornya.
"Hei...kau gila! Kenapa bisa mendadak berdiri seperti itu?"
Wajahnya merengut karena tak bisa mengendalikannya. Dia pun tak bisa tidur dan hanya duduk di depan jendela menatap bintang semalaman suntuk.
###
Siena dan Ghina tertawa lepas setelah mengajak Amelia membeli salep dan mengobatinya. Amelia kebingungan, dia sama sekali tak menyadari semua yang terjadi. Dia bahkan tak melihat pria yang menabraknya. Dia hanya fokus pada rasa sakitnya. Dia menatap kedua temannya dengan mengerutkan dahi.
Siena dan Ghina menatap wajah Amelia dan memeluknya.
"Terimakasih Amelia cantik!" ucap mereka bersamaan.
Amelia hanya diam, jarinya meraba bibirnya yang bengkak.
"Ngga akan lama, salep ini mahal pasti cepat sembuh. Lihat kemasannya ada tulisan DIJAMIN!" ucap Siena dengan sumringah.
Ghina tersenyum mendengar ucapan Siena. Mereka mengadu lengan dengan riang.
###
Paginya, Alex mengetuk pintu dan memanggil Davin.
"Tuan muda! Mau sarapan apa?" seru Alex.
"Sandwich!" ucap Davin perlahan.
Matanya sayu lelah karena tak bisa tidur, tubuhnya lunglai seolah berada di kursi pesakitan, namun juniornya sudah kembali normal. Alex masih memanggil dan menggedor pintunya. Terpaksa dengan perlahan, dia berjalan menuju pintu.
"Apa Tuan muda, aku tidak bisa dengar!" seru Alex.
Davin membuka pintu, Alex terkejut menatap wajah Davin yang pucat seperti hantu.
"Astaga! Ada apa denganmu Tuan muda? Kenapa mata mu sayu begitu?" tanya Alex tak henti bicara.
Davin mengacuhkannya, dia berjalan dengan lemas dan melempar tubuhnya sendiri ke ranjang.
"Tuan muda! Apa kau baik-baik saja?" Alex mulai khawatir dengan keadaan bosnya.
"Hmmm...!" jawab Davin singkat.
"Mau sarapan apa?" tanya Alex lagi.
"Wenwic" ucap Davin.
Alex mengerutkan dahinya, dia tak begitu jelas mendengar ucapan Davin.
"Heuh...apa?" ucap Alex dengan suara yang cukup kuat sambil mendekatkan telinganya ke wajah Davin.
"Sandwich bodoh! Siapkan dua jam lagi, aku mau tidur!" ucap Davin kesal sambil memukul kepala Alex.
Alex mengernyitkan dahinya karena sakit.
"Iya Tuan!" jawabnya sambil mengusap kepalanya.
Dia berjalan keluar dan meninggalkan bosnya untuk tidur.
\=\=\=\=\=>
Davin menjawab telpon dari Oma Mira dan menjelaskan perjalanan bisnisnya kali ini. Dia berbohong.
"Iya Oma, aku belum melihatnya datang. Dia juga belum memberikan kabar lagi. Apa aku harus kembali sekarang?" tanya Davin.
Wajah Alex menertawakannya yang sedang melakukan kebohongan pertama kalinya, di hadapannya. Davin meraup wajah Alex dan berdiri menghindarinya.
"Tidak...tunggu saja di sana, dia akan datang besok. Kau jalan-jalan saja dulu, kau juga butuh liburan" ucap Oma Mira.
"Terimakasih Oma!" ucap Davin.
"Untuk apa?" tanya Oma Mira.
"Karena Oma berusaha mengerti aku" jawab Davin.
Alex kembali meledeknya dengan bertingkah sebagai perayu disisinya. Davin kesal kemudian memukul kepala Alex dengan keras. Dia pun pergi dengan meringis kesakitan.
Davin menyeringai senang Alex kesakitan.
"Ok nikmati liburan mu, sampai ketemu lusa" pamit Oma Mira.
"Sampai jumpa Oma!" jawab Davin.
Davin menutup ponselnya kemudian menatap Alex dengan menertawakannya.
"Kita pergi cari wanita!" Alex memberikan ide sambil menggosok kepalanya.
"Tidak, aku tidak mau!" jawab Davin.
"Kenapa? Kau takut tidak berhasil lagi?" ucap Alex meledeknya.
Davin mengangkat wajahnya menatap Alex dan hendak memukulnya lagi. Alex melindungi kepalanya dengan kedua tangannya. Tapi Davin terdiam mengingat kejadian semalam. Dia menelan ludah dan mencoba tidak mengingatnya lagi. Namun hatinya bertanya, apakah gadis itu masih di hotel yang sama dengannya atau tidak?
"Atau kita cari gadis-gadis matre kemarin dan meminta kembali uang dollar yang mereka ambil kemarin" ucap Alex memberikan ide lagi.
Davin membulatkan matanya merasa Alex bisa membaca pikirannya.
"Mereka pasti masih di hotel yang sama" ucap Alex lagi.
Davin mengalihkan pandangannya, merasa Alex benar-benar bisa membaca pikirannya.
"Diam! Aku mau turun, kita akan pergi keliling kota ini seharian" ucap Davin mengambil keputusan sendiri.
Alex mengangkat kedua alisnya dan menuruti perkataan Davin dan mengikutinya keluar dari kamar.
Davin masuk ke lift, Alex berjalan melewatinya dan berdiri di belakangnya. Dia memencet tombol menutup pintu lift, namun ditahan oleh tangan seorang gadis. Mata Davin menyusuri tangan hingga wajah gadis itu. Matanya membulat saat melihat bibir gadis itu, bibirnya masih bengkak dan sedikit luka.
~Gadis ini!~ ucap hati Davin.
"Kalian!" ucap Amelia.
Alex mengingatnya, dia menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah wajah Amelia.
"Kebetulan sekali!" ucap Amelia.
Dia mengambil sesuatu dari tasnya dan menghitung. Kemudian memberikan beberapa lembar uang ratusan dollar ke hadapan Davin.
"Ini! Aku beli salep dengan uangku sendiri, uang mu terlalu banyak. Maaf teman-teman ku memang begitu, mereka terlalu berlebihan menanggapi tabrakan kemarin" jelas Amelia.
Alex hendak mengomelinya namun jadi diam saat melihatnya menyodorkan uang semalam. Sementara Davin menatap bibirnya yang bicara tanpa berkedip.
"Hei! Ini!"
Amelia menarik tangannya dan menyerahkan uangnya. Dia merasakan tangan Davin yang dingin, kemudian menatap matanya.
"Tanganmu dingin, kau harus banyak minum jahe hangat agar tidak sedingin ini" ucap Amelia.
"Haaah?"
Davin malah tak mengerti seolah baru sadar.
Amelia tersenyum dengan menutup bibirnya karena masih terasa sakit.
"Sudah sampai di lobi, bye!" ucap Amelia sambil melambai.
Davin masih diam menatap kepergiannya, Alex melihatnya. Dia menatap ke arah celana Davin dengan sedikit membungkukkan tubuhnya.
Davin tersenyum dan melihat uang yang diberikan Amelia. Namun senyumnya buyar saat melihat Alex sedang memperhatikan celananya. Dia memukul kepala Alex lagi.
"Aish....sakit Bos!" keluh Alex.
"Kau sedang apa?" tanya Davin kesal.
"Kau jatuh cinta ya Bos?" taya Alex.
Davin menghela nafas dan memejamkan matanya sebentar. Dia mengakui bahwa Alex menebak dengan benar, pikirannya tentang juniornya merespon saat menatap Amelia.
"Ok, aku akan mendekatinya, kali ini....tolong...... jangan mengatakan apapun, tentang apapun" pinta Davin sambil berisyarat menutup mulutnya seperti resleting.
Alex mengangkat keningnya dan tersenyum kemudian mengikuti Davin menutup mulutnya seperti resleting.
Davin berjalan cepat hendak menyusulnya namun dia kehilangan jejak. Alex menatapnya dengan tersenyum.
"Kemana dia?" tanya Davin.
Alex mengambil ponselnya dan menelpon seseorang dengan wajah tersenyum sambil menatap Davin.
"Hai! Kalian ada acara dimana?" tanya Alex di ponselnya.
Davin menatapnya mendengarkan.
"Ouh....ya....boleh aku dan temanku bergabung?" tanya Alex lagi.
Davin semakin penasaran dengan apa yang dia lakukan.
"Ok...aku akan segera ke sana, see you!"
Alex tersenyum lebar menutup ponselnya.
"Aku tahu dia kemana!" ucap Alex.
Davin mengakui kepintaran Alex dalam mencari tahu tentang gadis-gadis itu. Dia mendapatkan nomor Siena langsung malam kemarin. Dia hendak meminta kembali uangnya namun Siena mengatakan bahwa Amelia marah dan menyimpannya.
Alex merasa bahwa Amelia gadis yang berbeda dengan kedua temannya. Dia juga sudah tahu bahwa Davin menyukainya, maka dari itu dia meminta nomor ponsel Siena dengan imbalan seratus dollar. Siena pun memberikan nomor ponselnya sendiri karena takut Amelia semakin marah jika dia memberikan nomornya tanpa seizinnya.
Davin dan Alex menyusul mereka ke sebuah event bazar untuk pengumpulan donasi di Pasar Seni. Alex mengatakan bahwa ide bazar donasi itu adalah ide Amelia sebagai manager pemasaran sebuah Bank tempat mereka bekerja. Davin tersenyum mendengar pujian Alex untuk Amelia.
Sambil berjalan, Alex juga mengatakan sudah mencari tahu tentang Amelia dari kedua temannya. Amelia seorang gadis pekerja keras, berpendirian dan sangat baik. Davin semakin menyukainya.
Sampai di Pasar Seni, Davin langsung bisa menemukan Amelia di stand Bank sponsor bazar itu. Dia sedang bicara dan mengenalkan produk baru mereka. Dia terlihat sangat profesional meski terlihat sesekali dia memijat daerah bibirnya karena sakit.
Berjalan perlahan sambil tak berhenti menatapnya, Davin terus terpesona dengan wajah Amelia. Dia merasa senang sudah pernah bertabrakan dan tak sengaja mengecup bibirnya. Amelia tak sengaja melihatnya dan mengangkat kedua alisnya sebagai tanda menyapanya. Davin tersenyum dan mengangguk.
Alex memperhatikannya dari kejauhan, dia merasa senang bosnya sudah menemukan cintanya. Dia lega bahwa bosnya masih normal sebagai seorang pria.
Selesai dengan promosinya, Amelia duduk bersama temannya di kursi dekat standnya. Davin masih memperhatikannya dari meja yang tak jauh. Kemudian Alex melambaikan tangannya mengajak mereka untuk bergabung. Siena menarik tangan Amelia untuk menerima ajakan Alex.
Beberapa obrolan dimulai oleh Alex yang menanyakan produk yang sedang dipromosikan Amelia. Dia sangat bersemangat menyampaikan jenis produknya meskipun menjelaskan dengan bibir yang sakit.
Davin benar-benar tak bisa melepas pandangannya dari wajah Amelia yang manis. Senyum hingga cara bicaranya membuat Davin terpesona.
Mereka asik bicara hingga sore, canda dan tawa membuat Davin semakin menyukai karakter Amelia.
Malam tiba, seorang senior meminta Amelia, Siena dan Ghina untuk ikut mereka makan malam bersama staf yang mengikuti promosi di sana. Mereka pun ikut dan meninggalkan Davin juga Alex.
\=\=\=\=\=>
Amelia, Siena dan Ghina ditantang sebuah permainan oleh beberapa rekan kerja. Sebuah permainan yang membuat mereka harus memilih antara kejujuran atau tantangan (truth or dare).
Dalam setiap permainan, Ghina dan Siena selalu kalah dan mereka selalu memilih dare yaitu minum satu gelas bir. Karena mereka mabuk, akhirnya mereka menunjuk Amelia untuk melanjutkan permainan mereka.
Amelia selalu menang, dia bisa menjawab pertanyaan dan terhindar dari pilihan. Namun sepandai-pandainya kelinci melompat, ia akan jatuh juga, Amelia kalah.
Saat pertama kali Amelia salah dia mulai tertantang dan kembali bermain dengan mereka. Sayangnya, Amelia akhirnya selalu kalah dan harus meminum semua bir yang jadi taruhan.
Amelia mabuk, dia ditinggalkan oleh semua temannya. Dia tertunduk di meja seperti sedang tidur. Beberapa saat kemudian, dia bergerak bangun dan berjalan menuju lift dengan sempoyongan.
Amelia mendekatkan matanya ke tombol lift untuk melihat nomor lantai yang ingin ia pencet, kemudian dia duduk bersila karena merasa pusing untuk berdiri kembali.
Pintu lift terbuka, Amelia masih duduk dan melihat ke arah pintu. Seorang pria berdiri menatapnya dengan terheran. Davin yang hendak turun untuk mencari udara segar malah melihat Amelia terduduk di dalam lift dalam keadaan mabuk.
"Kamu ngapain?" tanya Davin.
Dia mendekat dan membantu Amelia berdiri. Davin mencium bau bir yang kuat dari tubuh Amelia. Dia menyadari bahwa Amelia mabuk berat. Dengan membantunya berdiri, Davin mengeluarkannya dari lift.
"Dimana kamarmu?" tanya Davin.
Amelia tak menjawab, dia masih lunglai lemas. Deretan kamar hotel itu sangat hening, Davin berusaha mencari kunci kamar di saku Amelia. Namun sayang, Amelia tak memakai pakaian dengan saku. Dia juga tak membawa tas nya.
Davin melepaskan tangannya dari tangan Amelia dan menelpon Alex. Namun Alex yang sudah tidur, tak menjawabnya. Davin memegang pinggangnya sendiri dan menatap Amelia yang terduduk lagi.
"Maaf Bu!" ucap Amelia dengan suara perlahan.
Davin mengerutkan dahinya, jelas mendengar suara Amelia namun tak jelas dengan apa yang dikatakannya. Dia duduk dan mendekatkan telinganya ke mulut Amelia.
"Apa kamu bilang?" tanya Davin.
"Maaf Bu! Amel bener-bener minta maaf. Amel bilang mau kerja tapi Amel malah liburan ke sini" ucap Amelia meracau.
Davin tersenyum mendengar bisikan Amelia yang menyesal membohongi ibunya.
"Aku kira apa!" ucap Davin.
"Maaf Bu! Amel salah....Amel nggak akan lagi melanggar perintah dan larangan Ibu!" suara Amelia meninggi.
Davin panik dan menutup mulutnya dengan tangannya.
"Diam! Aku bisa disalahkan jika kamu berteriak seperti itu!" ucap Davin sambil membulatkan matanya pada Amelia.
Amelia memberontak, dia memukul dada Davin menyadari itu bukan ibunya.
"Kamu bukan Ibu....mana Ibu...mana Ibu aku!" teriak lagi Amelia.
Davin semakin panik, dia akan ditegur karena membuat keributan di tengah malam itu. Dia menarik Amelia ke kamarnya dan menyuruhnya diam.
"Sstthhh....diam! Nanti mereka marah karena kamu ribut!" ucap Davin berbisik.
Amelia berusaha berdiri dan menarik kaus Davin sehingga tubuh dan wajahnya mendekat.
"Kamu siapa?" tanya Amelia tak sadar.
"Dda...vin" jawab Davin gugup menatap wajah Amelia yang sangat dekat dengannya.
Amelia semakin tak bisa menjaga keseimbangannya. Dia terjatuh dan menarik Davin ke pelukannya. Davin menatap bibirnya dengan mengingat kejadian kemarin malam. Dia sangat ingin mencium bibir Amelia. Namun Davin mengurungkan niatnya, dia merasa bahwa hormonnya mulai naik dan membuat juniornya berdiri.
Davin menolak pikirannya untuk melakukan hal itu pada Amelia. Dia mengangkat tubuh Amelia agar bisa berbaring di ranjangnya. Dia merapikan bantal dan selimut untuk Amelia bisa tidur dengan nyenyak. Namun tangan Amelia menariknya lagi dan membuat Davin yang kehilangan keseimbangan pun terjatuh dengan posisi wajah yang kembali dekat dengan wajah Amelia.
Kali ini Davin tak bisa menahan, hormonnya semakin naik saat melihat bibir Amelia. Dia pun mencumbunya. Amelia yang masih mabuk terbawa suasana dan membuka semua pakaiannya. Davin yang baru pertama kali merasakan ketegangannya tak bisa membiarkan dirinya tersiksa lagi seperti malam kemarin.
Kali ini, wanita yang membuatnya bisa berhasrat sudah ada di hadapannya dia takkan melewatkan momen ini sedetikpun. Davin meluapkan seluruh hasratnya malam itu. Amelia yang mabuk menikmatinya, dia membuka pakaiannya sendiri, membuat Davin percaya diri bahwa Amelia juga menyukainya.
###
Suara ponsel berdering di kamar hotel Siena, Ghina dan Amelia. Siena meraba dan menatap ponselnya sudah pukul 09.00 pagi. Dia melewatkan jam meeting yang sudah setelnya jam 07.00 tadi.
Siena terhentak bangun dan membuat Ghina juga terkejut.
"Kita terlambat! Amelia kenapa ngga bangunin?" teriak Siena.
Namun hanya Ghina yang dia lihat, ranjang Amelia masih rapi tak ada yang tidur di sana. Siena meremas kepalanya untuk bisa menghilangkan pusing karena mabuk semalam dan berusaha untuk sadar.
"Amelia!" teriak Siena lagi.
Ghina bangun dan membuka matanya sedikit menatap ranjang Amelia.
"Ngga ada" jawab Ghina.
Siena memukulnya dengan bantal.
"Jelas ngga ada, dimana dia? apa di kamar mandi?" ucap Siena.
Siena bangun dan memeriksa kamar mandi. Tak ada siapapun di sana. Siena menggaruk kepalanya, kemudian masuk ke kamar mandi.
###
Sementara itu, Amelia membuka matanya dengan perlahan. Dia menggeliat seperti biasanya saat dia bangun, namun dia merasakan dingin di seluruh tubuhnya saat selimut terbuka. Amelia menatap bagian perutnya terbuka, kakinya polos tanpa celana tidurnya. Kemudian dadanya tak memakai bra juga kaos tidurnya.
Amelia terkejut, terperanjat dari ranjang dengan menutupi tubuhnya dengan selimut yang dia tarik. Kemudian dia berteriak dengan histeris saat melihat Davin yang juga telanjang karena selimutnya dia tarik.
"AAAAAAHRRGGGGGHHHHHH!"
Davin terkejut mendengar teriakan Amelia. Dia melihat dirinya tak ditutupi selimut. Dia menarik seprai dan menutupi tubuhnya dan diam menunduk.
Amelia terdiam sejenak, dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Namun semuanya tak muncul di ingatannya. Amelia membawa semua pakaiannya dan masuk ke kamar mandi. Davin masih diam kebingungan harus mengatakan apa padanya. Dia tak menyangka Amelia akan berteriak seperti itu. Dia merasa malam kemarin Amelia menerima semua sentuhannya dalam keadaan sadar.
Saat berganti pakaian, Amelia sadar bahwa kamar itu bukan kamarnya dan teman-temannya pun tak ada di sana. Amelia merasa sedih karena sudah mendapati dirinya berada di kamar orang lain, terlebih tidur di satu ranjang bersama seorang pria. Berkali-kali memejamkan mata untuk mengingat, akhirnya dia ingat saat terduduk di lift.
Dia jelas melihat Davin terlihat heran menatapnya. Namun mengapa dia mengajak Amelia ke kamarnya? Amelia masih belum bisa mengingatnya. Dia bergegas merapikan rambut dan pakaiannya menghadap cermin.
"Amelia ....apa yang kamu lakukan semalam? Kenapa bisa seperti ini?" Amelia bicara pada bayangannya di cermin.
Amelia hampir menangis meratapi kesalahannya. Suara ketukan pintu membuatnya mengendalikan perasaannya. Dia harus bisa menghadapi pria yang ada di luar untuk bisa pergi ke kamarnya.
Amelia keluar dan melihat Davin yang hanya memakai celananya. Dia memalingkan pandangannya dan berusaha bicara.
"Aku....harus pergi, a..ku...aku..."
Amelia semakin gugup.
"Kita akan melanjutkan hubungan ini, kan?" ucap Davin sambil memegang lengannya.
Tubuh Amelia terasa bergetar seperti tersetrum listrik saat Davin menyentuhnya. Amelia merasa berat mendengar kata-kata yang diucapkan Davin.
Terbayang wajah kedua orangtuanya yang akan sangat kecewa saat mendapati dirinya dilamar pria asing yang tidak dikenal apalagi direstuinya. Amelia memejamkan matanya dan mengambil nafas panjang. Dia berbalik dan berusaha bicara.
"Kita....ngga pernah ketemu, jadi....kita ngga pernah ngelakuin apa-apa...jelas!" ucap Amelia.
Davin terkejut dengan ucapan Amelia. Dia tak menyangka bahwa Amelia akan mengatakan hal itu. Dia berpikir bahwa dia akan memulai sebuah hubungan dengan Amelia dimulai hari itu. Namun ucapan Amelia seolah seperti petir di siang bolong. Davin terdiam menganga dan tak tahu harus mengatakan apa.
Amelia melepaskan tangan Davin dari tangannya dan pergi keluar. Davin tersadar saat pintu yang ditutup Amelia terdengar keras. Davin mengejarnya dan memanggilnya.
"Amel!"
Namun Amelia sudah menghilang, dia berlari dan tak sama sekali kembali lagi. Davin masuk kembali ke kamarnya dengan perasaan yang sedih.
Untuk pertama kalinya dia bertemu dengan wanita yang membuatnya tersenyum saat melihat senyumannya. Berdebar saat menyentuhnya, berhasrat saat bersamanya. Namun wanita itu malah memilih untuk melupakan semua dan pergi meninggalkannya.
\=\=\=\=\=\=\=>
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!