NovelToon NovelToon

BOSS WITH BENEFIT

Bab. 1. Berakhir Di Ranjang.

Dua orang yang memiliki kromosom berbeda, kini tengah bergelung di bawah hangatnya selimut tebal yang menutupi tubuh polos mereka.

Kedua manusia itu, baru saja berkenalan dua jam yang lalu di lantai dansa sebuah klub malam. Namun kini sudah berakhir dengan berbagi peluh bersama. Menikmati indahnya surga dunia.

Bukan karena pengaruh minuman keras, atau bukan juga karena pengaruh obat. Namun karena sang pemilik kromosom XX yang menginginkannya.

Putri Regina Prayoga, gadis berusia 28 tahun yang hendak menyerahkan diri kepada sang kekasih yang telah di pacarinya selama 3 tahun belakangan ini, harus menelan pahitnya pengkhianatan.

Tepat di hari jadi mereka yang ke 3, Regina yang akan memberi kejutan kepada sang kekasih, justru mendapatkan kejutan yang lebih besar. Ia mendapati Alvino, sang kekasih, tengah bergelut dengan sekretarisnya di ruang tamu apartemen pria itu.

Membanting pintu dengan kasar, gadis itu berlari meninggalkan dua manusia yang tengah sibuk berbagi peluh.

Hari masih sore, Regina memutuskan mengunjungi salah satu klub malam di pusat kota untuk menenangkan dirinya.

Sampai di tempat yang khusus untuk orang-orang dewasa itu, Regina memasan segelas minuman kepada seorang bartender.

Ia bukan wanita lemah, ia memiliki kemampuan meminum alkohol yang sangat tinggi.

Ketika ia telah menghabiskan 3 gelas cocktail berkadar alkohol sedang, matanya tanpa sengaja melihat seorang pria yang tengah duduk sendirian di atas sofa, di dekat lantai dansa.

Regina pun menghampiri pria itu, mengajaknya berkenalan. Berbasa-basi, hingga mereka sampai ke dalam sebuah kamar hotel.

“Jadi, sebenarnya hari ini kamu berniat menyerahkan diri kepada kekasihmu, nona?” Tanya pria yang baru saja menghabiskan banyak tenaga bersamanya. Pria itu mendekap tubuh polos Regina, mengusap punggungnya dengan lembut.

“Ya.”

“Kamu aneh, nona. Kekasihmu mengajak, tidak mau. Kamu justru menyerahkan diri padaku. Beruntung sekali aku menjadi yang pertama.” Pria itu terkekeh di atas kepala Regina.

“Mungkin dia memang bukan pria yang tepat untuk mendapatkan kesucian ku.” Gadis yang kini berubah status menjadi wanita itu, bersikap masa bodoh. Ia justru mengeratkan pelukannya pada tubuh kekar pria yang entah bernama siapa.

Dentuman keras suara musik di lantai dansa, membuat telinga Regina menjadi tuli. Meski sempat berjabat tangan, ia tak mendengar dengan jelas nama yang di ucapkan pria gagah itu.

Regina mendongak. Ia menatap dengan intens wajah pria itu. Sangat tampan. Memiliki garis rahang yang tegas, hidung mancung, dan jangan lupakan, milik pria itu yang sangat mampu memenuhi segala dahaga para kaum hawa.

“Kenapa?”

“Kita belum berkenalan dengan jelas tadi. Aku tak begitu mendengar namamu.”

Pria itu pun merubah posisi tidurnya, menjadi setengah bersandar pada kepala ranjang.

Regina pun duduk dengan tegak di depannya, sembari mengapit selimut di depan dadanya.

“Tidak usah di tutupi, aku sudah melihatnya tadi.” Pria itu menurunkan selimut yang menutup pemandang indah di depan matanya.

“Aku serius. Mari berkenalan.” Tanpa membenahi selimut yang jatuh di atas pangkuannya, Regina menjulurkan tangan kepada pria tampan itu.

Ia tidak perduli, mata pria itu terus tertuju pada aset berharganya. Lagi pula benar, pria itu sudah melihatnya tadi. Untuk apa di tutupi?

“Kenalkan, Aku Putri Regina Prayoga. Berusia 28 tahun. Kamu bisa memanggilku Regina, atau Gina, asal jangan memanggilku putri, karena aku bukan seorang putri.” Ucapnya tergelak.

Pria itu meraih tangan wanita cantik itu, menggenggamnya erat. Kemudian mengecup punggung tangan itu.

“Aku William, tepatnya William Antony Sanjaya, umurku 32 tahun.”

Regina tersentak mendengar nama panjang yang di sebutkan teman duetnya itu. Ia buru-buru menarik tangannya. Dan meraih selimut untuk menutupi dadanya.

“Ada apa?”

“Jangan katakan jika kamu putra dari pak Antony Sanjaya?”

“Ya, aku memang putra satu-satunya pak Antony Sanjaya, meski aku bukan anak satu-satunya. Aku memiliki saudara perempuan.” Jelas pria itu.

Regina menelan ludahnya kasar. Seperti ada sesuatu yang mengangganjal di kerongkongannya.

“Jangan katakan jika kamu yang akan datang besok menggantikan pak Antony sebagai direktur di Sanjaya Group.”

William mencebikan bibirnya. Kemudian menegakkan posisi duduknya.

“Apa kamu seorang peramal? Bagaimana bisa kamu tau jelas tentang keluarga ku? Padahal kita baru dua jam bertemu?”

Regina membuang nafasnya kasar. Tentu ia tau. Selama dua tahun ini, ia bekerja sebagai sekretaris dari pak Antony Sanjaya. Dan besok, adalah hari dimana atasannya menyerahkan jabatan direktur kepada sang putra.

“Apa kamu salah satu karyawan di SG?”

Regina hanya mampu mengangguk. Ia membayangkan hari-harinya kedepan akan terus bertemu dengan pria ini. Padahal ia hanya bermaksud melakukan cinta satu malam saja. Setelah itu, saling melupakan. Namun takdir berkata lain.

“Departemen mana? Katakan? Biar aku bisa mengunjungi mu setiap saat aku rindu.”

Regina mencebik. Mudah sekali pria itu berucap rindu.

“Aku sekretaris pak Antony.” Ucapnya lirih.

“Apa? Pantas saja mama selalu mengeluh papa yang selalu lembur, bahkan masih bekerja di akhir pekan. Rupanya dia betah di kantor karena memiliki sekretaris sese*si ini.” Tangan nakal William mencubit salah satu aset indah Regina.

“Apa sih, tidak ada seperti itu. Pak Antony memang benar-benar bekerja.” Tukas Regina.

William tergelak mendengar ucapan wanita itu. Ia hanya bercanda, papanya memang penggila kerja.

“Ya, papa ku memang penggila kerja, karena itu mama merengek meminta ku cepat-cepat menggantikan posisi papa, agar pria tua itu punya lebih banyak waktu di rumah.”

William juga menghela nafasnya pelan.

“Padahal aku sudah memiliki cukup uang, dari hasil usahaku, tetapi, melihat mama terus merengek, membuatku kasihan. Lagi pula, aku masih bisa mengurus usaha ku di malam hari.” Imbuhnya lagi.

“Memang apa usaha yang kamu miliki?” Tanya Regina penasaran. Selama ia bekerja dengan pak Antony, ia sudah sering mendengar keluhan pria paruh baya itu tentang putranya yang nakal.

“Klub malam tadi. Dan beberapa saham di tempat teman-temanku.”

Regina menganga mendengar jawaban William.

“Pemilik tempat haram, pantas saja sudah berpengalaman.” Cibir Regina sembari menatap sinis ke bawah perut pria itu.

“Hei, nona. Meski aku pemilik klub malam, aku bukan seorang Casanova.”

“Benarkah? Omong kosong. Papamu selalu mengeluh tentang kenakalanmu.”

“Aku akui, aku memang nakal, tak jarang aku memanggil wanita bayaran, tetapi hanya sebatas jasa mulut. Tidak lebih.” Tangan dan bibir William mempraktikkan apa yang sering mereka lakukan.

Regina menatap kedua bola mata William. Dan ia tidak menemukan kebohongan disana.

“Apa itu artinya aku yang pertama?”

William mengangguk.

“Ah sama saja bohong. Dia—menujuk bawah perut William. “Sudah di sentuh banyak wanita.”

William menarik tangan wanita itu, membuat jatuh ke dalam pelukannya.

“Tetapi milikmu yang pertama di masuki nya.”

William mendekat, hendak mencium. Namun Regina dengan cepat mendorong pria itu. Ia bergegas turun dari atas ranjang.

Dengan tubuh polosnya, memungut satu persatu pakaiannya yang terberai di atas lantai berlapis karpet tebal.

“Mau kemana?”

“Pulanglah, ini sudah malam. Aku harus tidur. Besok ada penyambutan direktur baru.” Jawabnya sembari memakai satu persatu pakaiannya.

“Kamu tidak mandi? Kita mandi saja dulu. Nanti aku antar pulang.” Ada nada ketidakiklasan dari ucapan William.

“Nanti saja di rumah.” Wanita itu meraih tasnya yang tergeletak di atas sofa.

“Gi, tunggu.” William bangun dan meraih tangan Regina.

“Tulis nomor ponselmu.” Ia menyodorkan benda pipih berharga puluhan juta ke tangan Regina.

Wanita itu pun mengetikan deretan angka pada layar benda pintar itu. Kemudian memanggilnya, ponsel di dalam tas pun menjerit.

“Sudah.” Regina mengembalikan ponsel itu ke tangan William.

“Sampai jumpa besok pagi, bos.” Sebuah kecupan wanita itu tinggalkan pada bibir tebal William. Tangannya pun nakal mengusap sesuatu yang menggantung bagian tengah tubuh William.

Dan pria itu hanya bisa mematung, menatap tubuh wanita yang telah memberinya pengalaman baru dalam hidup.

“Oh boy, hanya di kecup dan di belai saja kamu sudah bangun.”

Dia kemudian berlalu menuju kamar mandi untuk menidurkan sesuatu yang tak seharusnya bangun.

.

.

.

Bersambung.

Hai-hai.. selamat datang di novel kedua aku. Semoga novel ini lebih tidak berfaedah ya 😅

Ingat, ini hanya fiktif belaka. Tidak ada ikmah yang bisa di ambil setelah membaca novel ini.

Sekian dan Terima Nasib 🙋‍♀️

Bab. 2. Direktur Baru.

“Selamat pagi, yang mulia Ratu.” William mengecup pipi sang mama yang tengah menyiapkan sarapan di meja makan.

“Pagi, sayang.” Balas nyonya Aurel, wanita dewasa yang kini memasuki usia 55 tahun, tetapi masih terlihat sangat cantik. Mungkin karena perawatan kulit yang sering ia lakukan bersama sang putri. Membuatnya masih terlihat segar di usia lanjut.

“Pagi, bawel.” William beralih mengecup pipi sang adik yang sedang duduk di salah satu kursi di meja makan. Kemudian duduk di sebelah kiri gadis itu.

Willona Aurelie Sanjaya, adik perempuan satu-satunya yang William miliki, mereka terpaut usia 7 tahun.

“Pagi.. tumben bang, semangat sekali ke kantornya, biasanya juga ogah-ogahan.” Ledek sang adik yang berprofesi sebagai model itu.

“Memangnya kenapa? Aku sudah dewasa, sudah sepantasnya turun gunung menggantikan posisi yang mulia Raja.” Ucap William mencebik. Tangannya terulur meraih piring di hadapan sang mama. Namun belum sampai, tangannya telah di tepis oleh mamanya.

“Tunggu papa dulu.”

“Astaga.” William mendengus kesal. Untuk sarapan saja harus menunggu sang papa. Sementara perutnya sudah meronta minta di isi.

“Ini yang mulia raja kemana sih? Bagaimana jika aku terlambat ke kantornya?” Pria itu kembali menggerutu.

“Pagi semuanya.” Sang kepala keluarga yang di tunggu-tunggu sedari tadi, akhirnya turun juga. Membuat William membuang nafasnya lega.

“Yang mau di sambut itu aku, pa. Kenapa papa yang berdandan terlalu lama sih?”

“Memangnya kenapa? Papa juga ingin terlihat tampan disisi mu nanti.”

Nyonya Aurel pun meletakkan satu persatu piring yang telah terisi dengan nasi goreng, di hadapan anggota keluarganya.

“Sudah, sudah. Ayo kita makan. Bukannya kamu tadi sudah tidak sabar ingin ke kantor, Will?”

Ucapan sang mama, membuat William tersedak, meski belum memakan sesuatu.

“Pelan-pelan, Abang sayang. Belum juga makan, sudah tersedak.” Willona dengan sigap menyodorkan gelas berisi air kehadapan sang kakak.

“Benarkah, Will. Kamu sudah tidak sabar ke kantor?” Tanya pak Antony.

“Apa sih, pa. Si bawel di percaya.”

“Papa yakin, kamu akan betah bekerja di kantor papa, karyawan wanitanya cantik-cantik. Papa setuju, jika kamu memilih salah satu dari mereka.”

William memicingkan matanya ke arah sang papa. Apa jangan-jangan benar ucapannya kemarin malam dengan Regina, jika papanya betah di kantor karena wanita se*si itu?

Ah, William kembali teringat wanita yang telah merenggut keperjak*aannya.

‘Perja*ka? Sial, mulut wanita-wanita bayaran itu yang telah mengambilnya terlebih dulu.”

“Bang?” Willona menyenggol lengan sang kakak.

“Ma, jangan-jangan papa selama ini lembur cuma alasan saja. Dia pasti punya simpanan di kantor. Mama tidak curiga?” William memanasi sang mama, mencari sekutu untuk melawan pria berusia 60 tahun itu.

“Apa sih Will? Mama tau semua karyawan kantor, lagi pula papa mu mana berani macam-macam. Silahkan saja, asal sudah siap mama tinggal balik ke kampung.”

“Karyawan kantor memang cantik-cantik, ma. Tetapi tidak ada yang seperti kamu. Paket komplit.” Pak Antony mengedipkan mata kirinya kepada sang istri. Membuat wanita paruh baya itu memukul manja lengan suaminya.

William mencebik kesal. Sementara Willona hanya menggeleng, melihat tingkah kedua orang tuanya.

*****

Pagi ini, karyawan di Sanjaya Group terlihat lebih sibuk dari biasanya. Hari ini akan di adakan penyambutan kedatangan direktur baru, menggantikan direktur yang lama.

Regina yang bekerja sebagai sekretaris direktur, juga ikut sibuk memantau segala sesuatu yang telah di intruksikan oleh pak Antony kepada dirinya.

Ruangan yang kemarin masih di tempati oleh pak Antony. Kini sedikit di ubah, mulai dari letak meja, sofa, rak buku. Hanya mini pantry dan ruang istirahat yang tetap pada posisinya.

Waktu menunjukkan pukul 10 pagi, para menejer dari semua devisi telah berdiri di lobby gedung perkantoran Sanjaya Group.

Menurut berita, sang calon direktur baru telah sampai di dekat gedung bertingkat 20 itu.

Lima menit menunggu, akhirnya sebuah mobil Rolls-Royce Ghost, berwarna hitam, berhenti di depan pintu gedung perkantoran itu.

Seorang penjaga keamanan, dengan sigap berlari dan membukakan pintu untuk penumpang mobil mewah itu.

Dari sebelah kanan, turun pak Antony selaku pemilik dan direktur dari Sanjaya Group. Dan dari sebelah kiri, turun pria muda dengan setelan kerja berwarna hitam, lengkap dengan kaca mata hitam yang bertengger di pangkal hidungnya. Membuat putra dari Antony Sanjaya itu semakin terlihat tampan.

Regina yang berdiri di barisan paling depan, dengan tangan memeluk sebuah buket bunga, hanya bisa menelan ludahnya kasar. Sembari menggigit bibir bawahnya.

Belum ada dua puluh empat jam ia bergelut dengan pria itu, kini mereka telah bertemu kembali. Masih teringat jelas di dalam ingatan wanita itu, bagaimana panasnya pergulatan mereka.

“Selamat datang, pak.” Dengan sigap sekretaris diretur itu menyerahkan buket bunga kepada putra pak Antony itu.

Di balik kaca mata hitamnya, William mengamati sekitarnya, ia pun menyunggingkan sudut bibirnya. Menerima buket bunga itu dengan kedua tangannya, namun satu tangan yang tersembunyi oleh rangkaian bunga, meraba tangan Regina. Memberi sedikit sentuhan kemudian sedikit merematnya.

“Thank you.” Ucap William sambil mengulum bibirnya. Mata dibalik kaca mata hitam itu, tanpa henti memandang bibir tipis milik Regina. Rasanya William ingin menarik wanita itu, kemudian menghimpitnya di dinding.

“Pa, dia karyawan devisi mana?” Tanyanya berbisik kepada sang papa, hanya berpura-pura tidak tau.

“Dia sekretaris papa.”

“Wow.. itu artinya dia sekretaris ku? Kalau begini. Aku pasti betah pa.”

Pak Antony mencebik, ia memukul lengan sang putra. “Jangan macam-macam, dia gadis baik-baik.”

‘Ah papa tidak tau saja, semalam dia merayuku, sehingga aku menyerahkan diri padanya.’

William pun mendekap buket bunga itu, lalu berjalan dengan anggun, bak seorang model yang sedang berlenggang di atas panggung.

“Selamat datang, pak.” Para menejer berucap dengan kompak. William membalasnya dengan senyum ramah, sambil mengangguk kecil.

Regina dan para menejer ikut mengekor di belakang ayah dan anak itu, untuk menuju ke setiap lantai tempat karyawan bekerja sesuai devisi nya.

“Kau cantik hari ini. Dan aku suka.” William memberi pujian kepada Regina melalui sebait lagu. Supaya orang lain tidak mencurigai mereka.

Regina mendengar senandung itu, namun ia tidak mau terlalu gede rasa, takut salah mengartikan, nanti malu sendiri.

Mereka baru beberapa jam berkenalan, meski perkenalkan yang anti mainstream, karena langsung berakhir di ranjang, Regina tidak mau terlalu berharap jauh.

Ia masih dalam keadaan kecewa, luka yang di goreskan Alvino terlalu dalam. Hubungan mereka juga masih menggantung.

Entah sengaja, atau memang lupa. Pria itu bahkan tidak menghubunginya, sebatas mengucapkan selamat hari jadi.

“Kita sekarang kemana, nona?”

Regina tersentak, ia mengamati sekitarnya. Hanya tertinggal dia, pak Antony dan William. Kemana para menejer yang lain?

“Ah, ya. Sekarang kita ke ruangan bapak.” Wanita itu pun menekan tombol lift, membuat kotak besi itu terbuka, kemudian mereka bertiga memasukinya.

.

.

.

Bersambung.

Bab. 3. Awas Kamu Regina.

Pak Antony menjelaskan beberapa hal penting kepada sang putra. Sementara Regina hanya ikut menyimak. Karena ia sudah mengetahui apa saja yang pak Antony katakan.

William nampak profesional dalam bekerja. Ia sangat fokus mendengarkan apa yang papanya jelaskan.

Ada beberapa dokumen yang menanti untuk William periksa. Dan ada beberapa nama klien yang menunggu untuk William temui.

Hampir satu jam pak Antony mengoceh, ia pun berdiri, dan membenahi jas yang di gunakan.

“Papa harap, kamu bisa bekerja dengan baik, Will. Regina akan membantu mu. Papa harap kalian bisa menjadi team work yang kompak.”

Pak Antony menepuk pundak putranya.

“Re, aku harap kamu bisa membimbing putraku dengan baik. Jika dalam satu bulan ke depan, William bisa bekerja dengan baik, aku akan memberimu bonus tambahan dari rekening pribadiku.”

Mendengar rangkaian kalimat yang terlontar dari bibir pak Antony, membuat senyuman terbit dengan cerah di wajah Regina. Matanya berbinar ketika indra pendengarannya menangkap kata bonus tambahan.

Kepala wanita itu pun mengangguk dengan cepat.

“Tentu, pak.”

Pak Antony mengangguk. “Titip putra ku Re, jewer saja telinganya jika dia nakal.”

Pak Antony pun bergegas, ia mengambil beberapa barangnya yang telah tertata rapi di dalam sebuah kotak.

William mencebik kesal. Selalu saja papanya mengatakan dia nakal. Padahal dia tak senakal yang papanya bayangkan. Hanya baru semalam ia nakal dengan Regina.

“Papa mau kemana sekarang? Apa mau menemui simpanan papa?”

“Tentu saja papa mau berkencan dengan mama mu. Sudah lama kami tidak menghabiskan waktu dengan berbagi peluh.”

“Astaga, papa?” Mata William membulat mendengar ucapan sang papa. Benar-benar tidak tau malu. Ada Regina di antara mereka.

Regina memalingkan wajahnya, ia jelas tau maksud ucapan sang atasan.

“Kenapa? Kalian berdua sudah cukup umur, bukan anak kemarin sore.” Pak Antony pun meninggalkan ruangan yang kini resmi di tempati oleh putranya.

Melihat pak Antony yang sudah semakin jauh. Regina pun ikut berjalan menuju pintu. Namun baru dua langkah, tangan wanita itu sudah di tarik oleh William.

Pria itu menjatuhkan diri kembali ke atas sofa yang tadi ia duduki bersama sang papa. Dan membawa tubuh Regina di atas pangkuannya.

“Mau kemana?” Tanyanya sembari mengambil tangan wanita itu, kemudian mengalungkan pada lehernya.

“Mau ke depan, ke meja ku. Pekerjaan masih banyak.”

“Nanti saja. Temani aku disini dulu. Ini masih asing bagiku.” Tatapan William tertuju pada manik mata indah milik Regina. Membuat wanita itu salah tingkah. Sehingga memalingkan wajahnya.

“Kita tidak sedekat itu, Will.”

“Kita bahkan sudah melewati batas kedekatan, Gi.” William mendekatkan wajahnya pada wajah Regina. Sungguh ia ingin menyesap bibir tipis itu.

Regina berpaling, sehingga membuat ciuman William jatuh di pipinya.

“Gi.. ayolah..” pria itu memelas. Berharap Regina memenuhi dahaganya.

Menghela nafasnya pelan. Regina akhirnya menuruti keinginan atasan barunya.

Wanita itu menangkup kedua pipi William. Kemudian menyatukan bibir mereka. Sentuhan bibir yang awalnya lembut, semakin lama semakin menuntut. Membuat suasana seketika memanas.

Tangan nakal William pun tak tinggal diam. Perlahan naik, mengusap lembut punggung sekretarisnya. Semakin lama tangan itu berpindah ke depan.

Entah sejak kapan, Regina yang tadinya duduk menyamping di atas pangkuan William, kini berubah posisi menjadi menghadap pria itu. Dengan posisi kaki yang berada di kanan dan kiri pria itu.

“Sudah. Hhh.” Nafas Regina tersengal. Dadanya naik turun. Seperti habis lari maraton.

“Kurang.” Pria itu kembali menyatukan bibir mereka.

“Will.. Mmhhh. Sudah.” Regina berusaha melepaskan diri, ia merasakan sesuatu telah memberontak di bawahnya.

William mendekap tubuh gadis itu. Mengusap punggungnya dengan lembut. Dadanya juga ikut naik turun. Belum pernah ia segila ini.

“Jangan bergerak. Atau kamu tidak akan selamat.” Suara pria itu terdengar serak. Sesuatu dalam dirinya telah bangkit tanpa di minta. Sungguh, Regina mampu memberikan sengatan yang sangat besar kepada dirinya.

Sebelumnya sekeras apapun para wanita bayaran yang ia sewa memberi sentuhan, benda keramat yang ia sebut boy itu sangat susah untuk berdiri kokoh. Paling hanya berdiri setengah. Membuat William cepat merasa bosan. Karena itu ia tidak pernah sampai bergelut dengan wanita-wanita yang ia bayar. Hanya jasa mulut. Begitu pria itu sering menyebutnya.

“Aku mau kembali ke depan.” Ucap Regina dalam dekapan William.

“Sebentar saja, Gi. Boy masih bangun.”

“Boy?” Regina mengernyitkan alisnya. Ia pandangi sejenak wajah pria tampan itu.

“Hmm.” William mengangguk, dengan matanya ia menunjuk ke tempat dimana boy bersemayam.

Regina ikut melihat ke arah pandangan atasan barunya itu, seketika pipi wanita itu memanas, bayangan tentang boy yang di maksud William pun terlintas di benaknya.

Tanpa sadar, wanita itu menggigit bibir bawahnya. Hal itu membuat William tidak tahan, kemudian menyatukan bibir mereka lagi.

Regina terhanyut, hampir saja tenggelam dalam rasa yang memabukkan. Namun sesaat kemudian, ia kembali tersadar ke permukaan.

“Will. Mmhh.”

“Sebentar.”

“Ruangan ini ada CCTV nya.” Ucapan Regina menyadarkan William. Pria itu lantas melepaskan Regina.

“Gi, kenapa tidak katakan dari awal?” Jantung pria itu kembali bergemuruh. Senakal-nakalnya dia, namun masih memiliki rasa malu, jika sampai orang lain melihat kenakalannya.

Regina segera bangkit dan duduk bersandar di samping William. Wanita itu menetralkan degup jantungnya yang juga bergemuruh kencang.

Sejenak kemudian, Regina tertawa keras. Namun langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.

“Kenapa tertawa? Kamu membohongiku?” William mendelik ke arah wanita yang sekarang menjadi sekretarisnya itu.

Kepala Regina menggeleng. Ia kemudian menegakkan posisi duduknya. Masih dengan dada yang sedikit naik turun.

Tangannya terulur meraba wajah tampan pria di hadapannya, ia akui William lebih tampan daripada Alvino.

“Di ruangan ini memang ada CCTV nya. Itu—Regina menunjuk letak kamera pengawas yang tepat mengarah pada sofa.

Kemudian menunjuk beberapa titik lainnya. William menelan ludahnya kasar. Sudah di pastikan orang yang bertugas di bagian CCTV, kepanasan melihat kejadian yang baru ia lakukan dengan Regina.

Regina mendekatkan wajahnya ke arah wajah William. Pria itu bahkan bisa merasakan hembusan nafas yang sangat lembut menerpa kulit pipinya.

“Di ruangan ini memang banyak terpasang CCTV nya. Tetapi—.” Ia menjeda ucapannya. Kemudian berbisik di telinga William.

“Tetapi sambungannya ada pada laptop yang aku bawa.” Dan Regina meniup telinga William, membuat pria itu meremang sekaligus membulatkan matanya sempurna. Ia telah di tipu wanita itu.

Sejurus kemudian, wanita berusia 28 tahun itu mengambil langkah seribu meninggalkan ruangan sang atasan.

“Putri Regina Prayoga, awas kamu!!”

William menyeringai, ia akan membalas wanita itu dengan lebih kejam nantinya.

“Awas saja kamu Regina. Aku pastikan pertempuran kita berikutnya, kamu akan terkulai lemas tak berdaya.”

.

.

.

.

Bersambung

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!