NovelToon NovelToon

Jejak Di Pipi Membekas Di Hati

Naufal adalah Devan?

Kata orang pernikahan adalah awal bermulanya kehidupan dua insan. Dan di sinilah aku sekarang, memandang cermin di depanku yang memantulkan bayanganku dengan gaun modifikasi kebaya putih dan hijab menutupi dada berwarna senada berhias bunga melati. Aromanya sedikit membuatku tenang karena aku tidak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Perasaanku benar-benar campur aduk, bahagia, takut, dan entahlah ada perasaan yang bahkan aku tidak bisa menggambarkannya. Jantungku sudah seperti tabuhan gendang yang bersautan, aku jelas tak mengidap takikardi tapi entahlah aku bahkan tak bisa mengontrol irama jantungku sendiri.

"Sayang sudah siap? Pengantin prianya sudah siap lhoo?"

"Mama..." aku meremas jari-jariku yang sudah dingin sejak tadi

"Pasti gugupkan? Tak apa sayang siapa yang tak akan gugup di hari pernikahannya? Itu wajar kok!" Mamaku tersenyum menyentil hidungku. "Anak mama cantik banget sih, gak terasa waktu begitu cepat, mama dan papa hari ini harus melepaskanmu menjadi milik orang lain." Wajah mama yang masih tersenyum namun aku tahu ada kesedihan yang tersimpan di sana.

"Kiran tetap anak mama dan papa, tidak akan ada yang berubah ma..." sekarang aku yang tersenyum mencoba menghapus kesedihan mama.

"Ah, udah yuk buruan. Kasihan kan Naufal nungguinnya kelamaan." Ucap mama melepas pelukan singkatnya dari tubuhku.

Akupun hanya bisa menganggukkan kepalaku.

Saat berjalan mendekati ruang tamu yang sudah disulap indah menjadi ruangan akad nikah aku memandangi punggung laki-laki dengan pakaian senada denganku. Aku hanya bisa menatap punggungnya dari arahku, punggung tegap yang membuat jantungku kembali bertabuh tak beraturan padahal tadi iramanya sudah normal saat bersama mama.

"Ah, dia calon suamiku, beberapa menit lagi akan menjadi orang yang berhak atas diriku." Suara hati Kiran.

Kiran tak mengenal dengan baik calon suaminya karena orangtuanya menjodohkannya dalam waktu cepat dan Kiran tak punya alasan kuat untuk menolaknya. Dia hanya tahu calon suaminya bernama Naufal Satriya Devanka, lulusan S2 dari salah satu universitas favorit di dunia. Kiran hanya melihat wajahnya dari samping itupun tidak jelas, foto dari mamanya adalah satu-satunya foto yang dia punya tentang calon suaminya karena dia tidak bisa menemukan media sosial calon suaminya dengan nama lengkap yang Kiran ketahui.

Maka saat ini adalah saat yang jelas membuat kegelisahannya tak bisa terukur lagi karena akad nikahnya adalah saat pertama kali dia melihat wajah suaminya dengan jelas.

Kiran duduk di kursi yang berjarak tiga meter di belakang mempelai pria. Di depan pria itu ada papanya dan penghulu yang duduk bersebelahan dipisahkan sebuah meja bernuansa putih dan perak dengan calon suaminya. Kiran hanya bisa memandang punggung lebar calon suaminya yang membelakanginya.

Flash back on

Sepuluh hari yang lalu....

"Percaya sama mama, pilihan mama dan papa insyaAllah yang terbaik untukmu. Papa dan mama sudah mengenal keluarganya cukup lama walaupun kami tinggal di kota yang berbeda. Dia anak yang baik, seorang anak jika dia baik pada orangtuanya insyaAllah dia juga akan baik pada orang lain. Dan satu lagi dia tampan sayang tadi mama sampai terkesima saat dia datang melamarmu, cocok dengan anak mama yang cantik ini." suara antusias mama memenuhi rongga telingaku

"Tapi ma, apa secepat ini pernikahan harus dilangsungkan. Program profesiku baru saja dimulai dan dalam waktu dekat aku juga akan praktik kerja profesi alias PKP ke luar kota. Kenapa terkesan buru-buru sih ma?"

"Sayang ini bukan terburu-buru tetapi menyegerakan kebaikan. Mama dan papa rasa kamu sudah pantas kok menikah, dan lagi ada yang jagain dan ngunjungin kamu saat PKP nanti. Mama malah jadi tenang. Walaupun sebenarnya Naufal sendiri sih yang meminta pernikahannya seminggu lagi karena menurutnya lebih cepat lebih baik, saling mengenalnya bisa sambil jalan dan lebih nyaman juga karena sudah halal. Katanya tadi istilahnya pacaran setelah nikah. Bukankah itu bagus Kiran, kamu kan juga gak mau pacaran kan?"

"Ah mama, tapi ini waktunya sudah dekat lhoo ma.... aku juga gak bisa ninggalin kuliah kan, aku gak mau ketinggalan materi menjelang PKP!"

"Nikahnya kan akhir pekan sayaaaang.. kamu gak perlu ninggalin kuliah. Naufal ngerti kok kalau kamu lagi kuliah program profesi dan dia gak keberatan sedikitpun. Lagian kamu itu kan kuliah di Surabaya, rumah kita di Sidoarjo. Sejam lebih dikit juga sudah sampai, biasanya kamu kan juga pulang akhir pekan."

"Ah, mama..." Kiran sudah kehabisan kata-kata untuk membantah mamanya.

Flashback off

Penghulu sudah memulai membuka suaranya menandakan akad nikah akan segera di mulai. Tanganku meremas tangkai buket di pangkuanku. Mataku melirik ke punggung tegap calon suamiku yang daritadi duduk dengan posisi membelakangiku bahkan saat aku masuk ke ruangan inipun dia sama sekali tidak menoleh ke arahku.

"Ah, bagaimana ya jadinya hidupku setelah akad nikah ini?" Suara-suara ini mulai berlarian di kepalaku membuatku menerka-nerka apa yang akan terjadi setelah akad nikah.

"Tenanglah Kiran, semua akan baik-baik saja. Bukankah mama bilang dia tidak keberatan dengan stutusmu yang masih mahasiswa. Tapi bagaimana nanti aku bisa hidup dengan orang asing ini. Ah... pasti terasa aneh kan." Kiran benar-benar gelisah memikirkan nasibnya setelah ini.

Lamunannya terhenti saat mendengar suara laki-laki yang akan menjadi suaminya itu menjawab pertanyaan dari penghulu tentang kesiapannya.

Rangkaian acarapun dimulai.. dan inilah saat paling mendebarkan dalam hidup Kiran mengalahkan sidang skripsinya.

"Naufal Satriya Devanka bin Damar Pramana saya nikahkan dan kawinkan kau dengan putri kandungku Kirania Putri Kamaniya binti Fauzan Abdullah dengan mas kawin emas 99 gram dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Kirania Putri Kamaniya binti Fauzan Abdullah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.."

"Sah?"

"Saaaahhhh!"

"Alhamdulillah..."

Sebuah doa dilantunkan penghulu untuk kami...

"Selamat datang Kiran, di dunia barumu...." hatiku berseru sendiri. Antara lega dan cemas, lega karena akad nikah berjalan lancar dan cemas karena detik ini aku telah berubah status menjadi seorang istri.

Istri dari Naufal Satriya Devanka yang aku sendiripun tak mengenalnya. Apakah aku bisa menjalankan tugas istri dengan baik dan sebenarnya aku sendiripun merasa takut bagaimana suamiku kelak memperlakukanku.

Buket bunga di tanganku menjadi sarana menyalurkan keteganganku saat aku melihat punggung lebar itu berdiri. Detak jantungku bertabuh tak terkendali, keringat dingin sudah membasahi tanganku. Mama meraih lenganku memberikan isyarat padaku untuk ikut berdiri.

Laki-laki yang sekarang sudah resmi menjadi suamiku itu sudah berdiri menghadap ke arahku tapi justru aku tak berani memandangnya aku malah memilih menatap buket bunga di tanganku yang sedari tadi sudah kuremas. Ah, dia sudah berjalan ke arahku dan aku masih belum berani bertemu pandang dengannya aku hanya memandangi kakinya yang terus berjalan mendekat ke arahku. Dalam jarak satu meter suamiku berhenti tepat di hadapanku. Aku memberanikan diri untuk mengangkat kepalaku.

Buket di tangan Kiran tiba-tiba terlepas jatuh bersamaan dengan sendi-sendi tubuhnya yang seketika lemas.

Naufal Satriya Devanka

Seluruh persendian Kiran terasa lemas melihat laki-laki di hadapannya. Walaupun enam tahun lalu, otaknya masih mengingat jelas wajah itu.

"Tidak mungkin Devan dan Naufal adalah orang yang sama. Tapi, Naufal Satriya Devanka ya itu nama lengkapnya. Kenapa aku tidak menyadarinya. Ya Allah, dari 273 juta penduduk Indonesia, mengapa harus dia yang menjadi suamiku." Wajah Kiran sudah berubah pucat. Mama yang menyaksikan ekspresi Kiran yang menjatuhkan buket bunganya segera mengambilnya kembali dan memberikan pada tangan Kiran untuk digenggamnya lagi.

Naufal menyadari keterkejutan Kiran, tetapi wajahnya tetap tenang bahkan dia semakin mendekati Kiran yang membeku di tempat. Naufal meraih tangan kanan Kiran kemudian menggandengnya ke depan menuju salah satu sisi meja tempatnya duduk tadi. Kiran tak punya tenaga selain untuk mengikuti langkah suaminya.

Naufal mengambil sebuah cincin di meja kemudian memasangkan di jari manis Kiran lalu mengecup punggung tangan Kiran. Naufal mengarahkan tangan Kiran untuk mengambil cincin yang lain, dengan tangan bergetar Kiran memasangkan cincin di jari Naufal. Naufal kemudian mendudukkan Kiran di kursi bersebelahan dengannya kemudian menandatangani buku nikah mereka. Kiran membubuhkan tandatangannya dengan bergetar dipandangi sekali lagi foto laki-laki di sebelah foto dirinya. Tidak salah lagi ini adalah Devan, orang yang telah meninggalkan jejak di pipinya dan membekas di hatinya. Kiran bukannya tak sadar dengan apa yang dilakukannya saat menyematkan cincin di jari Naufal dan menandatangani buku nikahnya. Tapi apalagi yang bisa dia lakukan selain mengikuti alurnya karena Kiran tak ingin membuat keributan dan menceritakan kejadian enam tahun lalu. Kejadian itu hanya dia, Devan dan Tuhan yang tahu.

Saat prosesi foto paska akad nikahpun Kiran masih membeku dengan senyum yang dipaksakan, sebaliknya Naufal terlihat biasa saja, senyumnya merekah natural saat pemotretan dan menjawab ucapan selamat dari para tamu yang tidak terlalu banyak hanya keluarga dan tetangga dekat saja.

Naufal sedang berbincang dengan keluarga, Kiranpun mengambil langkah ke kamarnya. Sesampai di kamarnya dia duduk di pinggir ranjangnya, memikirkan nasibnya saat ini.

"Naufal ah Devan bagaimana dia bisa menjadi suamiku. Melihat dari ekspresinya dia pasti sudah tahu jika wanita yang akan dinikahinya adalah aku. Tapi bagaimana ini bisa terjadi? Mama papa, bagaimana dia bisa mengenal keluarga Devan? Aaaarghh!" Kiran bingung sendiri dengan semua pertanyaan yang muncul di benaknya. Akhirnya dia memilih untuk melepas pakaian pengantinnya dan mengguyur tubuhnya dengan air shower.

Selepas mandi, Kiran tak bisa menahan rasa kantuknya saat melihat ranjang kesayangannya akhirnya dia memilih untuk memeluk gulingnya dan memejamkan matanya. Semalam dia memang tidak bisa tidur dan saat ini tidur adalah pilihan yang tepat untuk mengusir pusing di kepalanya dan Kiran berharap saat dia terbangun ini semua hanyalah mimpi.

Naufal masih berbincang dengan keluarga Kiran, sementara keluarganya sudah pergi lebih dulu untuk persiapan resepsi malam harinya. Mata Naufal berkeliling mencari Kiran namun tak tertangkap bayangannya.

"Nak Naufal mencari Kiran ya?" Mamanya Kiran seolah tahu apa yang dicari Naufal

"Iya ma." Senyum menghiasi wajah tampannya.

"Kiran pasti di kamar, sepertinya dia istirahat. Nak Naufal masuk aja ke kamarnya istirahat juga. Itu kamarnya." Mama menunjuk sebuah pintu di dekat ruang keluarga.

"Baik ma, terimakasih. Saya memang butuh istirahat sebentar. Saya ke kamar dulu ya ma." ucap Naufal kemudian beranjak menuju kamar Kiran.

Naufal membuka pintu kamar Kiran, dia tersenyum melihat istrinya yang tertidur memeluk guling. Gaun pengantinnya sudah berganti dengan pakaian yang lebih santai tapi rupanya Kiran tetap memakai jilbabnya walaupun berada di kamarnya sendiri.

Naufal mengambil baju gantinya yang sudah dia siapkan untuk menginap di rumah mertuanya, kemudian melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk menyegarkan badannya.

"Apa kamu lelah sekali Kiran, sampai tak menyadari kehadiranku?" Kiran masih terlelap dalam tidurnya bahkan setelah Naufal selesai dengan aktivitas mandinya.

"Ah, kamu benar-benar lelah rupanya, semalam kamu pasti tidak bisa tidur dengan nyenyak. Akupun juga begitu jadi boleh ya aku istirahat bersamamu." Naufal tersenyum kemudian naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya di samping Kiran.

Naufal memiringkan badannya menghadap ke Kiran, meneliti ukiran Tuhan yang sangat indah di hadapannya. "Cantik, semoga tidak butuh waktu lama untuk membuatmu jatuh cinta padaku. Maaf untuk kejadian yang lalu." Tangan Naufal menyentuh pipi Kiran dengan lembut tak ingin Kiran terbangun. Perlahan Naufalpun terlelap dalam damai karena berada satu ranjang dengan wanita yang sudah menempati satu ruang di hatinya.

Pukul satu siang Kiran merasa ada yang memeluknya. Dia tersentak dan langsung bangun karena biasanya dia tidur sendirian.

"Astaghfirullah... Kamu... kamu kenapa di si.." teriakan Kiran terhenti saat tangan Naufal membekap mulutnya.

"Kenapa berteriak? kamu mau semua orang datang ke kamar kita?" Naufal juga terkejut dan langsung terbangun mendengar teriakan Kiran.

"Mmmmm...." Kiran berusaha melepaskan tangan Naufal dari mulutnya.

"Kamu lupa sudah menikah dan sekarang aku adalah suamimu?" Naufal menatap wajah Kiran tanpa melepas bekapannya. "Jadi bisa kan tidak berteriak pada suami sendiri?" Naufal sebenarnya ingin tertawa melihat mata Kiran yang membulat ditambah lagi tangannya yang berusaha keras melepaskan bekapan tangan Naufal. Tapi Naufal menahannya dan justru ingin mengintimidasi dan mengerjai Kiran.

"Jangan sekarang teriak-teriaknya, nanti malam aja ya." Senyum jahil Naufal sudah menghiasi wajahnya.

Reflek Kiran memukul tangan Naufal dan mendekap gulingnya di depan dada. Sikap Kiran justru membuat Naufal semakin ingin menggodanya.

"Atau kamu mau sekarang?" Naufal masih dengan sengaja menggoda Kiran. Tentu saja wajah Kiran langsung memerah, Kiran mendekap guling di depan dadanya semakin erat.

"Kiran Kiran kamu tidak berubah... kamu meninggalkan aku dan malah asyik tidur memeluk gulingmu. Bagaimana bisa kamu tidak peduli padaku di saat para wanita di luar sana berebut perhatianku?"

"Lalu mengapa kamu menikahiku bukan menikahi salah satu pemujamu?"

"Aku tidak suka ditolak, dan kau sudah menolakku jadi aku harus mendapatkanmu." Nada bicara Naufal berubah serius dengan tatapan menusuk jantung Kiran.

Mata Kiran sudah berkaca-kaca, dia terbenam dalam pemikirannya sendiri bahwa Naufal menikahinya karena dulu dia menolaknya dan kini Naufal ingin balas dendam padanya. "Pernikahan seperti apa yang akan aku jalani?" Kiran mengeratkan pelukan gulingnya sementara Naufal meninggalkannya menuju kamar mandi.

"Naufal benar-benar Devan dan aku tidak bermimpi. Lalu sekarang apa yang harus aku lakukan dengan pernikahan ini. Dia menikahiku hanya karena aku menolaknya dulu. Apa yang dia inginkan dariku, tidak cukupkah bekas yang sudah dia tinggalkan dulu, mengapa masih juga ingin menyusahkanku." Kiran membuang nafasnya yang terasa berat.

Naufal keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah. "Kita adalah pengantin baru, jadi bersikaplah selayaknya pengantin baru."

Cup.. sebuah ciuman mendarat di pipi kiri Kiran. Kiran sangat terkejut tapi masih membeku tak sanggup berbuat apapun.

"Ini untuk melengkapi yang dulu. Dan jangan berpikir untuk menamparku lagi. Jika itu terjadi aku akan mencium bagian yang lain."

Malam Pertama Bersama

Kiran membeku mendengar kata-kata Naufal yang telah membuat wajahnya memerah bak udang rebus. Kata-kata Naufal membuat tubuhnya menghangat, Kiran tiba-tiba saja merasa tubuhnya berkeringat. Setelah mengucapkan kata-katanya, Naufal justru menjauh dari Kiran dan meninggalkannya di kamar sendian. Ternyata Naufal pergi ke mushola di rumah orangtua Kiran untuk melaksanakan solat Dhuhur di sana.

Sementara Kiran buru-buru ke kamar mandi memercikkan air ke wajahnya untuk menetralisir wajahnya yang memanas.

"Apa yang dipikirkannya, bagaimana dia bisa mengatakan hal semacam itu dengan santainya. Dasar playboy!" Kiran tak tahan untuk tidak mengeluarkan umpatan pada laki-laki yang pada pertemuan pertama dan terakhir mereka dulu sudah membuatnya sangat marah.

Setelah itu, Kiran mengambil air wudhu untuk selanjutnya menunaikan solat Dhuhur yang sudah menjadi kewajibannya sebagai seorang muslim. Saat dia menaruh lipatan mukenanya seusai solat, Naufal membuka pintu masuk ke kamar Kiran. Seperti biasa wajah tampannya selalu saja mempesona. Kiran buru-buru menundukkan wajahnya menyadari pemilik wajah tampan itu melihat ke arahnya.

"Gak dosa kok nglihatin wajah tampan suami sendiri." Tanpa dosa Naufal berjalan lalu naik ke ranjang Kiran. Kiran malah membuang wajahnya mendengar ucapan Naufal, diapun bingung harus melakukan apa saat ini di kamarnya sendiri.

"Kemarilah, bukankah tadi sudah kukatakan bersikaplah seperti pengantin baru." Naufal menepuk kasur di sebelahnya.

Kiran yang melihatnya justru memilih duduk di sofa di samping ranjang.

"Mari kita buat kesepatan, aku tahu anda kesal pada saya karena kejadian dulu tapi anda harus tahu kekesalan saya pada anda ribuan kali lipat lebih besar." Kiran mulai bicara, dia tidak ingin menjadi orang yang tertindas dan dirugikan dalam pernikahannya ini.

"Tidak ada kesepakatan apapun, pernikahan ini akan berjalan sesuai dengan keinginanku dan kau Kiran harus patuh pada suamimu ini." Naufal menatap Kiran dengan tatapan tajam yang jelas membuat Kiran tak berkutik. "Lakukan kewajibanmu sebagai seorang istri dan aku akan lakukan kewajibanku sebagai seorang suami." Naufal jelas tak ingin kata-katanya dibantah oleh Kiran karena sejak dulu dia tak pernah mendapat penolakan, hanya Kiran yang berani menolaknya. Dan saat ini dengan statusnya sebagai suami Kiran jelas Naufal tak ingin ada penolakan sekecil apapun dari Kiran.

Tubuh Kiran meremang mendengar kata-kata Naufal dia sudah membayangkan apa yang dimaksud Naufal dengan kewajiban antara suami istri. Kiran tak pernah dekat dengan laki-laki manapun, dan sekarang berada sekamar dengan seorang pria saja sudah membuat jantungnya berdebar tak karuan apalagi perkataan tentang suami istri yang baru dikatakan Naufal padanya.

"Aku hanya ingin istirahat sebentar, nanti malam pasti melelahkan."

"Nanti malam... apa maksudnya...."

"Maksudku resepsi akan melelahkan menyambut para undangan." Naufal sudah tak tahan melihat wajah Kiran yang memerah, dia yakin pikiran Kiran sudah berkelana membayangkan hal lainnya. Wajah Kiran bertambah merah karena malu mendengar yang diucapkan Naufal.

Menjelang sore rombongan perias sudah datang untuk merias Kiran dan keluarganya. Kiran meminta dirias setelah solat magrib, dan perias sudah menyetujuinya karena tidak membutuhkan waktu lama untuk merias Kiran yang menginginkan riasan natural tanpa dicukur alisnya. Wajah cantik Kiran yang biasanya hanya dihiasi sun protection, bedak dan lip gloss semakin terpancar dan bersinar saat riasan natural yang mempertegas kecantikannya sudah melekat sempurna di wajahnya. Kiran begitu cantik dan anggun dengan gaun pengantin yang dipilihkan Naufal untuknya. Naufal yang membuka pintu kamarnya seketika mematung menangkap bayangan bidadari di depannya. Namun dia dengan mudah menguasai dirinya.

"Sudah siapkan?" Tangan Naufal meraih buket bunga di ranjang lalu memberikannya pada Kiran, kemudian menarik lengan Kiran agar segera berdiri dan mengikuti langkahnya karena Naufal ingin acara resepsinya berjalan sesuai dengan waktu yang sudah diatur.

Sepanjang perjalanan tak ada kata-kata yang keluar dari sepasang pengantin yang baru saja melaksanakan akad nikahnya tadi pagi. Bahkan Kiran merasa sulit untuk menelan salivanya sendiri karena berada di sebelah Naufal saja sudah membuat jantungnya berdebar tak karuan apalagi Naufal meletakkan tangan Kiran di lengan kokoh miliknya. Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di gedung resepsi karena memang sudah dipertimbangkan sebelumnya agar tidak memakan waktu di jalan karena acara resepsi akan dimulai pukul 19.30.

"Tersenyumlah tapi jangan genit." ucap Naufal seraya membuka handle pintu mobil pengantin.

Spontan saja Kiran membelalakkan kedua matanya, "Memang siapa yang genit, bukankah kata-kata itu pantas diucapkan untukmu yang suka tebar pesona." Kiran mengikuti Naufal keluar dari mobil dan memandang Naufal dengan tatapan kesal yang menggunung.

"Jangan menatapku terus, nanti kamu malu karena tersandung. Nanti malam saja, aku akan meladeni sepuasmu." Naufal mengatakannya dengan pandangan lurus ke depan. Kiran yang bertambah kesal meremas lengan Naufal dengan kuat.

"Bersabarlah jangan sekarang!" Tangan bebas Naufal malah mengusap lembut tangan Kiran yang meremas lengannya. Manik hitam matanya bertemu dengan manik coklat milik Kiran yang menatapnya dengan kesal.

Sengatan listrik seketika menjalar di tubuh keduanya. Saling menatap dalam di tambah sentuhan langsung Naufal di tangan Kiran yang tak terhalang apapun membuat keduanya sejenak membeku. Namun kemudian Naufal segera melangkahkah kakinya diikuti oleh Kiran masuk ke dalam gedung resepsi. Di atas pelaminan mereka tak saling bicara hanya berbicara saat ada yang mengucapkan selamat pada mereka.

Dua jam acara resepsi sungguh melelahkan. Setibanya di rumah, Kiran langsung masuk ke kamar mandi membersihkan wajah dan tubuhnya yang lelah. Saat dia keluar Naufal yang duduk di sofa gantian masuk ke kamar mandi. Kiran solat Isya' tanpa menunggu Naufal kemudian dia duduk di sofa namun rasa kantuk menyerangnya sehingga Kiran mencari posisi ternyamannya di sofa dan tertidur di sana.

Naufal menggelengkan kepala saat melihat Kiran dengan posisinya yang sudah lelap di sofa. Naufalpun solat isya' di kamar menggunakan sajadah milik Kiran. Setelah melipat sajadahnya dia mendekati Kiran yang terlelap.

"Kamu memilih tidur di sofa rupanya. Baiklah." Naufal kemudian meraih remote AC dan mengecilkan suhunya. Lalu dia tersenyum dan naik ke ranjang kemudian menutupi separuh tubuhnya dengan selimut tebal. Naufal mulai memejamkan matanya.

Naufal yang sudah terlelap seketika bangun mendengar suara seseorang, dan ternyata itu adalah suara Kiran yang menggigil kedinginan dengan posisi meringkuk di sofa.

"Kamu benar-benar keras kepala Kiran." Naufal menggendong tubuh Kiran dan menurunkan dengan pelan di ranjang karena Naufal tak ingin Kiran terbangun. Setelah itu Naufal naik ke ranjang melalui sisi yang lainnya. Selimut di tariknya menutupi separuh tubuhnya dan istrinya. Namun saat dia melihat wajah bersih istrinya dia justru membuka kembali selimutnya dan memposisikan tubuhnya di atas Kiran.

Naufal menarik jilbab Kiran, kemudian mengecup keningnya. Melihat Kiran tetap terlelap, Naufal kembali mengecupi wajah Kiran. Kiran justru memeluk lengan Naufal yang mengurungnya. Naufal menyudahi aksinya dan menarik kembali selimut menutupi tubuhnya dan Kiran. Dia tersenyum melihat Kiran yang masih memeluk lengannya.

"Kita lihat bagaimana reaksimu besok"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!