NovelToon NovelToon

Ayrisa And Her Story

Ayrisa⁰¹ - First Day

Langit di luar sana tampak cerah dengan matahari yang bersinar terang dan awan yang sesekali berlalu-lalang. Cuaca di luar seharusnya bisa berpengaruh pada suasana hati orang-orang agar lebih ceria. Namun, sepertinya gadis yang sedang menunggu di depan pintu kamar mandi itu tidak terpengaruh. Wajahnya tertekuk masam dengan tangan yang terlipat di depan dada, tidak lupa jubah mandi yang tersampir di pundaknya.

Ketika akhirnya pintu kamar mandi terbuka dan memunculkan seorang laki-laki yang topless, gadis itu langsung menyerobot masuk dan menutup pintu dengan kasar. Di dalam, gadis itu mandi secepat yang ia bisa karena dirinya memang sedang dikejar oleh waktu sekarang. Selesai mandi ia langsung menutupi tubuh polosnya dengan bathrobe. Begitu keluar dari kamar mandi, gadis itu langsung melangkah dengan cepat untuk kembali ke kamar.

Kamar yang ditempatinya adalah sebuah kamar luas yang ia bagi bersama kakak perempuannya. Sisi untuknya dan untuk kakaknya hanya dipisahkan oleh sebuah tirai yang ada di tengah kamar. Ia berada di sisi kiri dan kakaknya di sisi yang lain. Sebenarnya dulu tidak ada tirai yang membagi kamar itu. Namun, karena mereka semakin tumbuh dan membutuhkan ruang untuk privasi masing-masing, maka hadirlah tirai itu.

Gadis itu dengan cepat menuju lemari pakaiannya dan meraih seragam yang akan dipakainya hari ini, atasan berwarna putih dan rok abu-abu. Setelah semua itu terpasang dengan rapi di tubuhnya, ia bergegas mengambil tasnya dan keluar kamar. Tidak lupa ia mengambil masker yang tersimpan di laci meja belajarnya.

Kakinya melangkah menuruni tangga secepat yang ia bisa. Begitu mencapai lantai dasar ia langsung mengarah ke ruang makan yang terhubung langsung dengan dapur. Kedua kakaknya sudah ada di sana.

"Lain kali jangan lari-lari, Ay!"

Seruan dari sang bunda menyambut begitu ia mendudukkan dirinya di kursi meja makan. Ayrisa, gadis itu, menganggukkan kepalanya sembari meneguk segelas susu cokelat yang sudah disiapkan.

"Udah, Bun, berangkat yuk!" ujar Ayrisa setelah mengelap sudut bibirnya yang terdapat sisa susu dengan tisu.

"Gak mau makan dulu?" Bunda Ayrisa, Dara, bertanya memastikan. "Atau mau bawa bekal?"

"Nggak, Bun. Nanti aja makannya, palingan pulang cepet, kok." Ayrisa membalas seraya memakai maskernya.

"Ya udah."

Dara menuju wastafel untuk mencuci tangannya. Kemudian menyusul Ayrisa yang sudah lebih dulu ke depan untuk memakai sepatunya. Sebelum keluar Dara mengambil kunci motor yang tersimpan di lemari kecil berlaci yang ada di dekat pintu.

Ayrisa memang sedari dulu untuk berangkat ke sekolah akan diantar oleh Dara. Ingin mengendarai motor sendiri, tetapi tidak bisa karena saat belajar bulan lalu malah jatuh. Itu berakhir dengan mendapat larangan dari Dara.

Saat pulang pun Dara yang biasanya menjemput dirinya. Terkadang kakak laki-lakinya jika Dara sedang ada kesibukan. Sesekali juga sang ayah yang mengambil alih tugas itu.

Motor akhirnya berhenti tidak jauh dari gerbang sekolah Ayrisa. Gadis itu langsung turun dan menyalimi tangan bundanya sebelum masuk.

Satu hal yang ditakutkan Ayrisa saat kembali bersekolah, yaitu takut menjadi seperti anak hilang begitu mencapai lobi sekolah karena tidak tahu temannya ada di mana sekarang. Terlalu malas untuk menggunakan ponselnya, Ayrisa pun akhirnya memilih untuk mengikuti instingnya menuju kelas mereka saat kelas 10.

Sampai di sana, entah berapa banyak ucapan syukur yang digumamkan Ayrisa dalam hati begitu melihat Reylin—temannya sejak hari pertama bersekolah di sana—sedang berbincang dengan guru ekonomi mereka—Pak Dzakariah. Beliau termasuk guru yang disenangi oleh para murid karena ramah. Jadi, adalah hal wajar ketika melihat beliau sedang berbincang santai dengan murid.

"Selamat pagi, Pak!" sapa Ayrisa begitu menghampiri mereka. "Hai, Re!"

"Ay, gue punya bad news. Untuk kelas 11 ini, kelas kita dibagi dua yang berakhir kita gak sekelas karena nomor absennya jauh." Reylin berujar dengan lesu. Baru hari pertama dan ia sudah kehilangan semangat bersekolahnya begitu mendapat pengumuman itu.

Mata Ayrisa membulat tidak percaya. Ia menoleh pada Pak Dzakariah. "Pak, ini beneran? Dalam rangka apa dibagi dua gitu? Kelas kita, kan, muridnya pas-pasan aja."

Pak Dzakariah tersenyum maklum melihat siswanya yang 'protes'. "Itu keputusan kepala sekolah, dengan jumlah murid sekelas yang berkurang diharapkan agar kelas kalian bisa lebih fokus belajarnya." Beliau menjelaskan dengan baik agar siswa di hadapannya ini paham.

"Tapi, katanya juga biar seluruh kelas di sekolah ini terpakai. Karena di angkatan kalian kelas Bahasa cuma ada satu, makanya dibagi dua untuk tahun ini." Pak Dzakariah melanjutkan.

"Yahh, kita udah terlanjur enakan bareng, Pak. Gak bisa pindah atau tukeran gitu?"

"Ini yang bagi kelasnya Pak Udin, jadi Bapak sendiri tidak tahu bisa pindah atau tidak."

Ayrisa menghela napas berat. "Re, kita gak bisa bareng lagi, dong."

Raylin menggeleng tidak setuju. "Nggak, kita pasti bakal bareng. Gini aja, lo kan anaknya Pak Frans, minta aja buat gue pindah ke kelas lo. Nanti gue juga bantu ngomong, deh."

"Oke, nanti kita bareng ngomongnya." Ayrisa menyetujui ide Reylin tanpa berpikir panjang.

Di sisi lain Pak Dzakariah tertawa kecil setelah mendengar Reylin menyebut Ayrisa sebagai anak wali kelas mereka, Pak Frans.

Sebenarnya sebutan itu diberikan Reylin pada Ayrisa bukan tanpa alasan. Yang menjadi penyebab Reylin memberi sebutan seperti itu karena wali kelas mereka sering memberikan tugas pada Ayrisa yang padahal seharusnya diberikan pada ketua kelas atau wakil ketua mereka. Alasan Pak Frans memberikan tugas semacam itu pada Ayrisa pun tidak mereka ketahui. Yang pasti Ayrisa hanya menurut saja ketika mendapatkan tugas dari Pak Frans.

Triingg! Triingg!

"Diharapkan kepada semua murid untuk memasuki kelas masing-masing! Tidak ada yang boleh berada di luar kelas ketika jam pembelajaran berlangsung." Suara dari guru yang memiliki jadwal piket hari ini terdengar dari alat pengeras suara yang tersebar di beberapa sudut sekolah.

"Ya sudah, kalian masuk kelas sana. Bapak juga mau kembali ke ruangan." Setelah mengatakan itu Pak Dzakariah berbalik dan pergi dari sana, meninggalkan kedua muridnya.

"Kelas kita di mana?" tanya Ayrisa.

"Di lantai dua. Yuk!"

Ayrisa mengikuti langkah Reylin, menaiki tangga menuju lantai dua gedung sekolah. Begitu mencapai lantai dua, mereka berbelok ke kiri.

"Ini kelas lo." Reylin menunjuk kelas pertama yang mereka jumpai dari tangga. "Kelas gue di sebelah. Ingat ya, minta ke Pak Frans!"

Ayrisa mengangguk sebelum masuk ke kelas. Karena sekarang kelasnya hanya ada enam belas siswa, setiap siswa memiliki meja dan bangkunya sendiri. Ia mengambil tempat di deretan paling depan dekat meja guru. Hanya tempat itu yang tersisa dan meja di sebelahnya, sepertinya jumlah meja dan kursi di kelas mereka lebih. Siswa sekelasnya yang lain lebih banyak memilih tempat di deretan belakang.

Ayrisa melepas maskernya dan menyimpan itu ke dalam tas. Kemudian ia hanya duduk dengan tenang di tempatnya sambil memainkan ponsel. Hitung-hitung mengisi waktu menunggu wali kelasnya.

"Ayrisa, tumben tadi udah bel baru masuk." Melia, salah satu teman sekelasnya, berceletuk setelah mendudukkan diri di bangku kosong di samping milik Ayrisa.

"Oh, tadi bareng sama Reylin dulu di bawah." Ayrisa menjawab sambil lalu. "Belum tahu juga kelasnya di mana tadi, jadi bareng Reylin aja."

"Lo ada rekomendasi cerita baru gak? Yang kemarin gue udah selesai baca semua. Rekomendasi dari lo emang gak pernah mengecewakan."

"Bagus kalau gitu. Aku sekarang lagi baca yang ini, sih," ucap Ayrisa menunjukkan layar ponselnya. "Ini lumayan bagus, coba aja dibaca."

"Oke, oke. Nanti kirimin link ke gue aja."

"Iya, Mel."

"Makasih ya."

"Selamat pagi semuanya!" Seruan dari arah pintu kelas mengambil alih perhatian semua siswa.

Semua siswa kembali ke tempat duduknya masing-masing. Ayrisa juga merapikan posisi duduknya dan menyimpan ponsel miliknya di laci meja.

"Apa semuanya sudah hadir?" tanya Pak Frans sambil melihat buku absen di tangannya. Beberapa siswa tampak menjawab pertanyaan tersebut. "Baik, tidak ada yang perlu disampaikan di pertemuan pertama ini. Kalian bisa menunggu guru mata pelajaran sesuai jadwal yang sudah dibagikan di grup."

"Pak, ini kan kita baru hari pertama, kenapa udah belajar? Biasanya palingan bersih-bersih kelas," ujar Restha sebelum Pak Frans meninggalkan kelas.

"Kalian, kan, kemarin sudah dapat tambahan libur satu minggu, jadi sekarang belajar." Pak Frans menjawab dengan santai kemudian lanjut berlaku dari sana, tidak melihat wajah masam siswanya.

Di saat teman sekelasnya mengeluhkan hal itu, Ayrisa keluar mengikuti Pak Frans. Tidak lupa ia membawa ponselnya agar aman.

"Pak," panggilnya.

Pak Frans menoleh padanya, kemudian memasang wajah tanya.

"Umm, kan saya sama Reylin kepisah, tuh. Ini boleh pindah kelas gak, Pak?"

"Di antara kalian siapa yang mau pindah?"

"Saya, Pak." Reylin yang muncul dari belakang menjawab pertanyaan itu.

"Kalau itu kurang tahu juga. Tapi, ya sudah, kalian ikut saya ke ruangan Pak Udin."

Ayrisa dan Reylin spontan tersenyum senang. Mereka segera menyusul Pak Frans yang sudah pergi duluan dari sana.

Sampai di ruangan Pak Udin. Pak Frans langsung membicarakan tentang hal itu, dan keputusan akhirnya adalah pertukaran. Jadi, mereka perlu mencari teman di kelas Bahasa A yang ingin pindah ke kelas Bahasa B.

Beruntungnya mereka karena ada Gesha yang ingin pindah.

Setelah pindah Reylin menempati bangku yang masih kosong di samping Ayrisa. Tidak lama setelah itu Bu Mela, guru bahasa Jerman, masuk ke kelas.

...·o0o·...

Jangan lupa untuk memberikan dukungan. Terima kasih.

Ayrisa⁰² - Scared

Ayrisa sekarang sedang menunggu sendirian di tempat parkir sekolah. Reylin dan temannya yang lain sudah pulang duluan. Dengan ponsel yang ada di tangan guna mengusir kebosanan, sesekali tangannya yang lain memainkan pola masker yang dipakainya. Sudah lebih dari 10 menit ia menunggu sendirian di parkiran guru setelah Reylin pulang duluan. Untungnya parkiran guru memiliki atap jadi ia terhindar dari cahaya matahari sore.

"Ayrisa!"

Mendengar panggilan itu Ayrisa menoleh ke arah lobi sekolah. Di sana ada dua temannya dari waktu SMP, Ilham dan Farzi. Di belakang kedua temannya itu ada seorang laki-laki lain yang mengikuti, Ayrisa mengenalinya sebagai teman sekelas kedua laki-laki itu karena sering melihat mereka bersama.

"Belum pulang lo?" ujar Ilham sembari mendudukkan diri di motor yang terparkir di sana. Farzi memilih duduk tidak jauh dari Ayrisa, sedangkan teman laki-laki mereka mengikuti jejak Ilham.

"Kalau udah pulang gak mungkin aku masih ada di sini," balas Ayrisa. "Kalian sendiri kenapa belum pulang? Sekolah aja udah sepi gini."

"Biasalah, nontonin anak basket dulu."

"Kenapa kalian gak gabung ke tim basket aja?"

"Males, mendingan juga main ke arena."

Ya, Ayrisa tahu kedua temannya sejak SMP itu lebih tertarik pada otomotif. Terkadang mereka akan ke arena untuk mengadu kecepatan dengan kendaraan masing-masing. Ilham dengan motornya dan Farzi dengan mobilnya. Setelah mencapai usia legal dua bulan yang lalu, mereka jadi lebih sering ke sana.

"Eh, kantin masih buka gak?" tanya Ayrisa.

"Cuma kantin belakang yang masih buka." Farzi menjawab.

"Temenin, yuk! Mau beli minum mumpung belum jemput, nih," pintanya. Ketiga laki-laki itu menyetujuinya dan menemani Ayrisa ke kantin belakang.

Di sekolah mereka terdapat dua kantin, di samping dan belakang, karena itulah mereka menyebut kantinnya seperti itu sesuai letaknya. Walaupun begitu, kantin samping lebih banyak didatangi siswa karena biasanya kantin belakang kebanyakan digunakan sebagai tempat membolos ataupun merokok bagi siswa-siswa 'nakal'.

Sampai di kantin belakang, Ayrisa menawari ketiga laki-laki itu untuk ditraktir sebagai bentuk terima kasih karena sudah menemani dirinya. Tentunya tawaran itu tidak disia-siakan. Mereka langsung memesan minuman dingin dan juga makanan ringan.

Ayrisa sendiri juga ikut memesan minuman dingin rasa melon karena sore ini terasa begitu panas. Padahal matahari sudah tidak setinggi saat siang tadi.

Sambil menunggu minuman pesanan mereka jadi, Ayrisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Masih ada beberapa siswa yang nongkrong di pojokan kantin sambil menyebat batangan nikotin. Asap putih terlihat samar di sekitar mereka.

"Ayrisa, punya lo, nih!"

Setelah membayar semuanya mereka kembali ke depan. Ayrisa berjalan sambil sesekali menyesap minumannya. Begitu sampai di lobi ia menghentikan langkahnya tiba-tiba. Kakak laki-lakinya, Nefra, sudah menunggu di depan gerbang sambil celingukan mencari dirinya. Netra Ayrisa dengan cepat mengedar ke sekitar untuk mencari tempat sampah.

"Aku duluan ya, bye!"

"Yoo, makasih traktirannya!" Farzi membalas seraya kembali menempelkan sedotan ke bibirnya.

Ayrisa mempercepat langkahnya. Begitu melewati pintu lobi tangannya terulur untuk membuang gelas minumannya. Ia melakukan itu senatural mungkin agar Nefra tidak menyadarinya.

"Dari mana? Biasanya nunggu di parkiran."

Baru saja sampai di samping Nefra, Ayrisa langsung ditembaki pertanyaan oleh kakaknya itu.

"Dari toilet," bohongnya.

"Ya udah, naik cepet, kita ke kampus gue dulu. Gue ada rapat sama anak event, jadi nanti lo tunggu di kantin aja." Nefra berujar sembari memberikan helm yang dipinjamnya tadi pada Ayrisa. "Nih, pake!"

"Gak mau, nanti gak tau bukanya," tolak Ayrisa. "Lagian ini masih pake seragam, gak bakal kena tilang."

"Kalau lo kenapa-napa, gue yang bakal ribet. Jadi, mending lo pake."

Ayrisa mendengkus kesal, tetapi akhirnya meraih helm yang disodorkan oleh Nefra. Ia memakai helm itu tanpa mengaitkan talinya karena jujur ia memang tidak tahu cara melepasnya. Kemudian ia naik ke atas Ducati Panigale berwarna putih milik kakaknya itu.

Bukannya langsung melajukan motornya, Nefra malah berdecak sambil melihat spion. Lalu ia memutar tubuhnya dan meraih helm yang dipakai Ayrisa dan menyatukan pengaitnya.

"Ihh, apaan, sih! Aku tuh gak tau cara bukanya! Lepasin, gak!" seru Ayrisa.

"Iya, nanti gue lepasin, sekarang jalan dulu. Gue udah mau telat, nih."

Setelah itu Nefra langsung melajukan Ducati Panigale miliknya menuju kampus. Karena mengendarakannya dengan cukup cepat, tidak memerlukan waktu lama untuk sampai di kampusnya.

Begitu motor berhenti di parkiran kampus, Ayrisa sadar kalau mereka sedang diperhatikan. Kebanyakan oleh para mahasiswi, dan mereka menatap Ayrisa dengan sinis. Ayrisa jadi menciut karenanya.

"Gak usah liatin mereka!" ujar Nefra, membawa kepala Ayrisa menghadapnya. Kemudian ia menyuruh Ayrisa mendongak agar lebih mudah membuka pengait helm. Setelah helm terlepas dari kepala Ayrisa, Nefra mengembalikannya ke atas motor sang pemilik, Rashi—temannya.

"Lo tunggu di kantin sama temen gue nanti," kata Nefra sambil melepas jaketnya. "Pake ini juga," imbuhnya memberikan jaket pada Ayrisa.

Ayrisa memakai jaket hitam milik Nefra setelah menyimpan maskernya. Lalu mereka langsung menuju kantin fakultas, tempat di mana teman Nefra berada.

Keadaan kantin tidak terlalu ramai sore itu. Nefra dengan cepat menemukan keberadaan temannya yang ada di meja pojokan. Rivan melambaikan tangannya begitu melihat Nefra.

Kakak beradik itu menghampiri mereka.

"Riv, Jan, nitip adek gue, ya. Gue masih ada rapat sama anak lain buat ngurus event," ujar Nefra seraya menyuruh Ayrisa duduk di samping Rivan.

"Aman, bro. Adek lo pasti seneng bareng kita," sahut Januar.

"Ay, kalau mau makan pesen aja," Ayrisa sudah ingin mengembangkan senyum, tetapi diurungkan begitu Nefra melanjutkan, "nanti lo bayar sendiri."

"Ish, nyebelin!" ketusnya. Nefra mengacak rambut Ayrisa sebelum pergi dari sana, meninggalkan gadis yang semakin kesal bersama kedua temannya.

Setelah kepergian Nefra, Ayrisa mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kantin untuk melihat-lihat makanan apa yang menarik. Kemudian ia melihat stan penjual corndog yang begitu menarik perhatiannya. Ia sudah berdiri untuk pergi ke stan penjual soto itu ketika tiba-tiba seseorang menyiram dirinya dengan minuman.

Tubuhnya mematung seketika, menatap tidak percaya pada perempuan yang menyiram dirinya. Orang-orang yang ada di kantin pun mulai memandangi mereka dengan tatapan ingin tahu.

"Lo apa-apaan, hah!" seru Rivan yang bangkit dari duduknya dan memposisikan diri melindungi adik temannya itu.

"Gue gak ada urusan sama lo. Urusan gue sama jal*ng kecil ini, jadi minggir lo!" Perempuan itu balas berseru sambil menunjuk Ayrisa di belakang Rivan.

"Heh, masih kecil kerjaan lo udah ngerayu cowok. Gue gak akan tinggal diam liat lo ngegoda Nefra. Berapa harga lo sekali pake?!"

"Jaga ucapan lo kalau gak tahu apa-apa!" bentak Rivan.

"Oh, lo belain dia gegara lo juga sering pake, ya." Perempuan itu menatap Ayrisa dengan tatapan mencemooh. "Hebat juga, ya, lo udah bisa muasin banyak orang."

"Sebaiknya lo diam sebelum nyesel." Januar yang sedari tadi diam akhirnya angkat suara untuk memperingatkan.

Perempuan itu mendengkus jijik sembari menatap Ayrisa dari atas ke bawah. "Wow, seberapa memuaskannya lo sampe—"

Plak!

Semua yang ada di sana terkejut melihat kejadian itu. Tidak ada yang menyadari kedatangan Nefra. Ya, Nefra-lah pelaku yang melayangkan sebuah tamparan pada perempuan itu. Itu terjadi begitu cepat.

"Ka—kamu nampar aku, Nef?" Perempuan itu tidak percaya pada apa yang dilakukan kekasihnya itu.

"Gue gak ada lagi hubungan sama lo. Kita putus!" Nefra berujar dengan marah.

"Apa maksud kamu? Kita gak ada masalah apa-apa, dan seharusnya aku yang marah karena kamu udah nampar aku!" Perempuan itu membalas tidak terima. Matanya mulai berair, siap menumpahkannya detik itu juga.

"Lo udah nyakitin Ayri, itu udah cukup buat jadi alasannya! Gue gak akan segan buat ngasarin cewek kayak lo yang udah nyakitin dia."

"Oh, jadi karena jal*ng—"

"Anjing! Sekali lagi lo nyebut adek gue gitu, gue pastiin lo gak akan bisa ngomong lagi!" Lagi-lagi Nefra berseru marah. Ia tidak akan membiarkan siapapun menyakiti adiknya, baik secara fisik maupun verbal.

Perempuan itu dan penghuni kantin lainnya menatap tidak percaya. Lebih-lebih, sekarang perempuan itu sangat ketakutan, ia telah berurusan dengan orang yang salah.

Dua tahun Nefra berkuliah di sana, tidak ada yang tahu kalau laki-laki itu memiliki saudara selain Nura, perempuan yang mengambil jurusan ilmu komunikasi itu. Tentunya fakta yang baru mereka ketahui ini cukup menggemparkan.

"Nef, a—aku ...."

"Riv, Jan, jauhin jal*ng ini dari gue." Nefra membalikkan sebutan tidak baik itu kepada mantan pacarnya.

Tidak ingin mendengar apa pun lagi dari perempuan itu, Nefra meminta kedua temannya untuk mengurus perempuan itu.

Rivan dan Januar maju ke depan kemudian menggiring perempuan itu menjauh dari meja mereka dengan sedikit paksaan.

Nefra dengan cepat berbalik untuk melihat keadaan Ayrisa. Ia tahu adiknya itu mengalami sedikit syok, karena itu ia menuntun Ayrisa untuk kembali duduk. Lalu mengambil tisu di atas meja untuk membersihkan sisa-sisa minuman di wajah dan leher gadis itu.

Kemudian ia berlutut dengan satu kakinya di hadapan Ayrisa, diraihnya kedua tangan sang adik yang saling meremas di atas pangkuannya untuk memberikan kehangatan. Untung saja tadi ia kembali ke kantin untuk mengambil ponselnya yang masih ada di saku jaket yang dipakai Ayrisa. Jika tidak, pasti pacarnya—ralat, mantan pacarnya—sudah melakukan hal yang lebih jauh.

"Aku ... aku takut liat Kakak kayak gitu."

Dengan cepat Nefra membawa Ayrisa ke dalam pelukannya. Ia memaki dalam hati karena merasa gagal menjaga Ayrisa. "I'm sorry, you're fine now," ucapnya berusaha menenangkan sembari tangannya mengusap punggung Ayrisa pelan. "No one can hurt you anymore. I promise."

Ayrisa⁰³ - Reylin

Waktu istirahat kedua telah tiba, membuat banyak siswa berhamburan di koridor sekolah untuk menuju kantin. Menyerbu kantin untuk mendapatkan makan siang, atau hanya sekedar membeli makanan ringan sebagai cemilan. Ada juga beberapa yang menetap di kelas karena membawa bekal dari rumah.

Ayrisa sendiri membawa bekal yang dibuatkan bundanya. Jadi, ia tidak perlu bersusah diri untuk pergi ke kantin. Reylin yang juga terlalu malas untuk ke kantin dan berdesak-desakan, mengikuti jejak temannya itu untuk membawa bekal.

Keduanya makan dalam diam, ada pun ponsel di tangan masing-masing. Reylin yang sedang scrolling santai di Instagram dan Ayrisa yang sedang menonton kartun di YouTube. Mereka asyik dengan ponsel masing-masing hingga Reylin yang menyelesaikan makannya duluan kemudian disusul Ayrisa.

Setelah meminum air dari tumbler miliknya yang berwarna soft blue, Reylin mengubah posisinya untuk menghadap tempat duduk Ayrisa. "Ay, gue mau ngomong," ujarnya.

Ayrisa yang sudah selesai minum menatap Reylin setelah menyimpan tumblernya. "Iya?"

"Umm ... gue bakal pindah tiga hari lagi. Gue gak ada maksud nyembunyiin dan baru ngasih tahu sekarang, beneran nggak."

Ayrisa terdiam. Ia memutar ingatannya kembali pada tadi pagi dimana Reylin yang datang bersamaan dengan guru mata pelajaran bahasa Indonesia. Yang mana temannya itu tumben sekali telat.

"Jadi, tadi kamu telat karena ngurus kepindahan itu dulu?"

Reylin mengangguk sebagai jawaban. "Sebenarnya Papa gue udah ngasih tahu dari seminggu lalu kalau bakal pindah, tapi gue kira prosesnya masih lama."

Ayrisa menghela napas pelan. "Gak papa, tapi tetap teman ya," ujarnya dengan pasrah.

"Itu pasti, Ay, palingan untuk beberapa waktu awal bakal jarang kontakan soalnya pasti sibuk ngurus beberapa hal."

"Gue pasti bakal kangen lo," imbuh Reylin.

"Iya, sama," sahut Ayrisa pelan. Kepalanya tertunduk dengan jari-jemari yang saling bertaut di atas pangkuannya.

Terdiam untuk beberapa saat, Reylin kembali berujar setelahnya. "Besok mau quality time sama gue? Abis pulang sekolah besok, mumpung hari Jumat pulangnya cepat." Tanpa berpikir panjang Ayrisa langsung mengangguk setuju. Lagipula ia juga sudah lama tidak refreshing dengan bebas.

Tidak lama setelah itu bel berbunyi, menandakan berakhirnya waktu istirahat. Para siswa kembali ke kelas masing-masing. Ada yang membawa serta makanan mereka yang direncakan akan dihabiskan begitu tiba di kelas. Itu seperti sudah biasa dilakukan para siswa.

Untuk pelajaran terakhir di kelas Ayrisa adalah ekonomi, yang akan berlangsung dua jam ke depan. Pelajaran ekonomi untuk kelas 11 ini diajari oleh Bu Yuni, seorang guru yang sering dibilang killer oleh teman-teman sekelas. Bab pertama yang mereka pelajari adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah dan negara.

Ayrisa sesekali mencatat hal-hal penting di bukunya dan mendengarkan penjelasan Bu Yuni. Di akhir penjelasan yang diberikan, Bu Yuni meminta para siswa untuk mengerjakan uji kompetensi di halaman dua puluh. Selesai mengerjakan tugas itu dan mengumpulkannya, bertepatan dengan bel yang berbunyi.

Setelah siswa terakhir mengumpulkan tugasnya, Bu Yani langsung menyudahi pembelajarannya kali ini. Sebelum keluar, beliau meminta Ayrisa untuk membantunya membawa buku-buku tugas itu.

"Reylin, kamu boleh pulang duluan, kok." Ayrisa memberitahu Reylin sebelum membawa tumpukan buku mengikuti Bu Yani.

Reylin mengacungkan ibu jarinya. Pas juga sang sopir yang mengabari kalau sudah menunggu di depan.

Ruang guru ada di lantai dasar gedung sekolah, berada tidak jauh dari jajaran kelas IPS. Di sepanjang jalannya Ayrisa mendapati semua siswa sudah keluar dari kelas masing-masing untuk pulang.

Begitu sampai di ruang guru Ayrisa langsung meletakkan tumpukan buku itu di atas meja milik Bu Yani, kemudian ia pamit keluar. Saat kembali ke kelas, sebagian besar teman sekelasnya sudah pulang. Menyisakan tiga siswa yang memiliki jadwal piket hari ini.

"Aku duluan, ya!" pamit Ayrisa sembari mengambil tasnya.

"Iya, hati-hati!" balas Restha.

Memiliki kelas di lantai dua gedung membuat Ayrisa bisa melihat keadaan sekolahnya yang dengan cepat berubah menjadi sepi. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, hum, hanya butuh beberapa menit sekolahnya berubah sepi.

Baru keluar dari lobi sekolah, Ayrisa bisa melihat bundanya yang sudah menunggu tidak jauh dari gerbang sekolahnya. Ia mempercepat langkahnya untuk sampai pada sang bunda.

"Bunda!"

Dara tersenyum membalas. "Kenapa lama tadi? Reylin aja udah pulang duluan tadi."

"Tadi diminta bantu sama guru buat bawain buku." Dara mengangguk paham, kemudian melajukan motornya setelah memastikan Ayrisa duduk dengan benar di jok belakang.

Membutuhkan waktu hampir 20 menit untuk sampai di rumah. Saat sampai bersamaan dengan Nura yang juga pulang diantar oleh pacarnya, Lingga. Laki-laki itu ikut turun dari motornya begitu melihat Dara.

"Sore, Tante." Lingga menyapa Dara kemudian mencium punggung tangan bunda dari pacarnya.

"Sore. Masuk dulu, yuk. Udah lama juga gak mampir ke rumah," ajak Dara.

"Boleh, Tante."

Mereka memasuki bangunan minimalis berlantai dua. Setelah pintu utama, mereka akan menjumpai area batas pemakaian alas kaki mirip seperti yang biasanya ada di rumah orang-orang Jepang. Dara mengajak Lingga ke ruang keluarga yang akan langsung didapati di sebelah kiri.

Di rumah keluarga Ayrisa memang tidak ada ruang tamu, hanya ada ruang keluarga. Dibuat seperti itu agar tidak ada jarak antara pemilik rumah dan tamunya, para tamu akan disambut hangat seperti keluarga sendiri.

Ayrisa lebih memilih ke kamar duluan. Setelah masuk ia meletakkan tasnya begitu saja dekat kaki ranjang. Ia sedikit lelah hari ini, ditambah lagi dengan kabar Reylin yang akan pindah membuatnya cukup sedih saat memikirkan itu. Tubuhnya seakan kehilangan tenaga karenanya.

Melepaskan seragam dan menyisakan kaos tanpa lengan berwarna putih. Kemudian Ayrisa menarik kursi yang ada di samping meja belajarnya ke depan jendela yang sudah ia buka. Ia ingin mendinginkan dirinya terlebih dulu sebelum nantinya mandi. Itu sudah menjadi kebiasaannya.

Sembari bersantai sejenak Ayrisa melihat ke luar. Sesekali ada kendaraan yang lewat, atau hanya sekadar anak-anak kecil yang balapan menggunakan sepeda. Suara tawa dan seruan mengiringi balapan tersebut.

Selang beberapa menit, akhirnya Ayrisa menyudahi yang dilakukannya itu. ia menutup kembali jendela kamarnya.

Ayrisa melepas rok sekolahnya, menyisakan celana pendek setengah paha. Setelah meraih jubah mandi miliknya, ia berlalu menuju kamar mandi. Selang 20 menit kemudian gadis itu sudah terlihat segar dengan celana yang panjangnya di atas lutut berwarna hitam dan kaos berukuran besar yang menutupi setengah pahanya berwarna abu-abu.

Mengambil ponsel yang sebelumnya ia taruh di atas meja belajarnya, kemudian Ayrisa keluar kamar. Ada yang harus ia bicarakan dengan sang bunda. Langkahnya ia bawa menuruni tangga.

Ternyata Lingga belum pulang. Laki-laki itu sedang bersama kakaknya sambil bercerita tentang sesuatu yang tidak Ayrisa dengar dengan jelas. Karena tidak mendapati sang bunda di ruang keluarga, Ayrisa langsung mengubah haluan ke arah dapur.

Benar saja, Dara ada di sana.

"Bunda," panggil Ayrisa.

Dara berdeham untuk menyahut. Ia sedang fokus mengeluarkan bahan-bahan yang ia butuhkan untuk membuat makan malam.

"Pulang sekolah besok aku main sama Reylin, ya. Kita mau quality time sebelum dia pindah." Ayrisa berujar meminta izin.

Dara mengarahkan pandangannya pada sang putri. "Reylin mau pindah ke mana?" Ia bertanya.

"Ke luar kota katanya, tapi gak tahu tepatnya." Ayrisa menjawab.

"Nanti pulangnya gimana?"

"Kan, ada ojek online. Kita pulangnya palingan sore, kok," bujuk Ayrisa.

"Iya, boleh."

Ayrisa langsung berseru senang mendengar jawaban sang bunda.

Detik berikutnya terdengar mesin mobil dan motor yang memasuki pekarangan rumah mereka. Jendela yang mengarah langsung ke luar mempermudah ibu dan anak itu untuk melihat yang datang. Terlihat papanya dan sang kakak laki-laki yang pulang bersamaan. Lalu di belakang mereka disusul keluarga Carsion—teman Dara yang datang berkunjung.

Ayrisa dengan bersemangat langsung berlari ke arah pintu utama. "Mama!" serunya dengan riang.

Shera, yang juga dipanggil Mama oleh remaja di depannya itu, langsung memeluk Ayrisa. Sudah lama ia tidak berkunjung, jadi perasaan rindunya meluap saat melihat gadis yang masih berusia lima belas tahun itu.

"Bunda mana, Ay?" tanya Shera.

"Di dapur, lagi siap-siap buat masak makan malam."

"Kalau gitu Mama ke dapur dulu, ya."

Ayrisa mengikuti langkah Shera ke dapur. Ia ingin berbincang lebih lama dengan Shera karena dua minggu ini keluarga mereka tidak datang berkunjung. Namun, sebelum ia berhasil menyusul langkah Shera, Elio—putra Shera—sudah lebih dulu menahan lengannya. Laki-laki yang berbeda dua tahun itu membawa Ayrisa ke dalam pelukannya. Sama seperti mamanya, Elio juga merindukan Ayrisa.

Setelah berada di dalam pelukan Elio, pucuk kepala Ayrisa dielus lembut oleh Arfa—suami Shera sekaligus papa Elio. Kehangatan yang didapatnya membuat Ayrisa sedikit melupakan perasaan sedihnya.

"Jangan halangin jalan!" Ujaran kesal itu membuat Ayrisa dan Elio menoleh ke belakang. Mereka mendapati Nefra yang sedang memandang dengan tajam.

"Kan, masih ada jalan di situ." Ayrisa menunjuk kecil celah besar yang ada di sampingnya.

"Nyahut mulu lo. Udah pelukannya! Lo itu adek gue, ya." Nefra memisahkan Ayrisa dan Elio, kemudian membawa gadis itu untuk bergabung ke ruang makan. Langkah kakak-beradik itu diikuti oleh Elio.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!